Islam di Simpang Jalan

oleh Muhammad Asad

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

7. JIWA SUNNAH

Hampir sama pentingnya dengan pembenaran formal daripada Sunnah, yaitu tentang sahnya Hadits, atas dasar pembuktian-pembuktian tentang dapat dipercayainya Hadits secara historik, adalah pertanyaan tentang pembenaran spiritual batinnya. Mengapa maka pelaksanaan praktis Sunnah harus dipandang sebagai sesuatu yang tidak boleh dielakkan untuk satu kehidupan dalam pengertian Islam yang sebenarnya? Tidak adakah jalan lain menuju realitas Islam selain melalui sistem luas tentang tindakan-tindakan dan kebiasaan-kebiasaan, tentang perintah-perintah dan larangan-larangan, sebagian daripadanya bersifat sepele, tetapi seluruhnya berasal dari teladan hidup Nabi? Tiada ragu, beliau adalah seorang yang paling besar; tetapi tidakkah keharusan meniru kehidupannya dalam segala detail-detail formalnya merupakan satu pelanggaran terhadap kebebasan individual dari keperibadian manusia? Ini adalah satu keberatan lama yang sering dikemukakan pengeritik-pengeritik terhadap Islam yang tidak bersikap bersahabat; bahwa perlunya mengikuti Sunnah dengan keras adalah satu dari sebab-sebab pokok kemunduran dunia Islam berikutnya, karena sikap semacam itu dikira lambat laun melanggar batas kebebasan tindakan manusia dan perkembangan masyarakat secara alami. Adalah yang paling penting bagi masa depan Islam apakah kita sanggup membantah keberatan ini atau tidak. Sikap kita terhadap masalah Sunnah akan menentukan sikap masa depan kita kepada Islam.

Kita merasa bangga, dan wajar, akan kenyataan bahwa Islam, sebagai satu agama, tidak berdasarkan dogmatisme mistik, tetapi selalu terbuka bagi penyelidikan akal yang kritis. Oleh karena itu kita bukan saja mempunyai hak untuk mengetahui apakah pelaksanaan terhadap Sunnah telah diletakkan pada kita, tetapi juga untuk mengerti hikmahnya mengapa maka ditekankan demikian.

Islam membimbing manusia pada penyataan segala aspek-aspek kehidupan. Karena merupakan alat untuk tujuan itu, agama ini sendiri mewakili satu totalitas konsepsi-konsepsi kemana tiada sesuatu dapat ditambahkan dan dari mana tiada sesuatu dapat dikurangkan. Tidak ada tempat bagi elektisisme dalam Islam. Dimana saja ajaran-ajarannya diakui sebagai yang sesungguhnya diperintahkan oleh al-Qur'an atau Nabi, kita harus menerimanya dalam kesempurnaannya; kalau tidak demikian maka nilai-nilainya akan hilang. Adalah suatu salah paham fundamental untuk berpikir bahwa karena Islam agama reason, agama akal, agama pemikiran sehat, maka Islam menyerahkan ajaran-ajarannya terbuka bagi pemilihan individual --suatu pengakuan yang dimungkinkan oleh salah penerimaan populer tentang "rasionalisme." Adalah satu jurang besar --dan cukup diakui oleh falsafah sepanjang zaman-- antara reason dan "rasionalisme" seperti yang umum diartikan pada zaman ini. Fungsi reason (akal) berkenaan dengan ajaran-ajaran agama bersifat pengontrol; tugasnya adalah menjaga agar tidak ada sesuatu ditekankan pada pikiran manusia yang tidak dapat ditanggungnya dengan wajar yaitu tanpa bantuan sulapan filosofis. Sepanjang berhubungan dengan Islam, akal (reason) yang tak berprasangka berulang-ulang diberi suatu kepercayaan tanpa kekangan. Ini tidak berarti bahwa setiap orang yang bertemu dengan Islam harus menerima ajaran-ajarannya sebagai kewajiban baginya; ini adalah soal temperamen --dan last but not least-- dari illuminasi spiritual. Tetapi tentu dan pasti tidak ada orang yang tidak berprasangka akan puas bahwa ada sesuatu dalam Islam yang bertentangan dengan akal. Tiada diragukan bahwa ada hal-hal dalam Islam yang terletak di luar batas-batas pengertian insani, tetapi tidak ada yang bertentangan dengan pengertian manusia.

Peranan akal dalam masalah-masalah agamawi, seperti telah kita lihat, adalah dalam fungsi suatu kontrol --suatu alat pencatat yang mengatakan "ya" atau "tidak" sesuai dengan tempatnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan yang disebut rasionalisme. Rasionalisme tidak puas dengan pencatatan dan kontrol, tetapi meloncat kedalam bidang spekulasi; ia tidak reseptif dan terlepas sebagai reason murni, tetapi sangat subyektif dan temperamental. Reason tahu akan batas-batasnya sendiri; tetapi rasionalisme melanggar batas dalam tuntutannya untuk mencakup dunia dan segala rahasia-rahasianya dalam lingkungan individualnya sendiri. Dalam masalah-masalah agamawi ia hampir tidak sama sekali menerima kemungkinan hal-hal tertentu, temporal atau kekal, yang berada di luar pengertian manusia; tetapi pada saat itu pula cukup tidak logis untuk menerima kemungkinan itu pada ilmu pengetahuan --dan dengan demikian menentang dirinya sendiri.

Penilaian yang berlebih terhadap rasionalisme yang imaginatif ini adalah satu dari sebab-sebab mengapa demikian banyak kaum Muslimin menolak untuk berserah diri pada bimbingan Nabi. Tetapi tidak diperlukan seorang filosof besar sekarang untuk membuktikan bahwa pengertian insani sangat terbatas dalam kemungkinan-kemungkinannya. Pikiran itu, menurut alamnya, tidak sanggup memahami ide-ide totalitas. Kita tidak mengetahui apa itu infinitas dan eternitas, ketidakterbatasan dan kekekalan; kita bahkan tidak tahu apakah hidup itu. Oleh karena itu dalam problema-problema satu agama yang bertumpu pada dasar-dasar kerohanian, kita memerlukan seorang penunjuk yang pikirannya memiliki sesuatu yang lebih dari sifat-sifat pemikiran normal dan rasionalisme subyektif yang umum bagi kita semua; kita memerlukan seorang yang beroleh wahyu --seorang Nabi. Kalau kita percaya bahwa al-Qur'an adalah kata-kata Allah dan Muhammad saw. adalah Rasul Allah, maka kita tidak saja terikat secara moral tetapi juga secara intelektual, untuk mengikuti bimbingannya secara "membuta." Ungkapan "membuta" di sini tidak berarti bahwa kita harus mengesampingkan daya pemikiran kita. Sebaliknya kita harus menggunakan daya pemikiran itu sebaik mungkin menurut kesanggupan dan pengetahuan kita; kita harus berusaha menemukan arti dan hikmah dan maksud yang terkandung dalam perintah-perintah yang disalurkan Nabi kepada kita. Tetapi bagaimanapun juga --baik kita sanggup memahami tujuannya yang terakhir atau tidak-- kita harus mematuhi perintah itu. Ingin saya menggambarkan contoh seorang prajurit yang menerima perintah dari jenderalnya untuk menduduki satu posisi strategis. Prajurit yang baik akan mengikuti dan melaksanakan perintah itu dengan serta merta. Apabila sementara melakukannya ia sanggup menerangkan pada dirinya sendiri tujuan strategi itu yang sebenarnya dalam pandangan jenderal itu maka lebih baik baginya dan bagi karirnya; tetapi apabila tujuan yang lebih dalam yang menjadi dasar perintah jenderal itu tidak segera tampak olehnya, prajurit itu betapapun juga tidak berhak untuk tidak melakukan atau bahkan menangguhkan pelaksanaannya sekalipun. Kita kaum Muslimin berpegang bahwa Nabi adalah komandan yang terbaik yang pernah diperoleh manusia. Kita tentu percaya bahwa beliau mengetahui wilayah agama dalam aspek spiritual maupun aspek sosialnya, jauh lebih baik daripada yang pernah dapat kita ketahui.

Dalam memberi perintah kepada kita untuk melakukan ini dan meninggalkan itu, beliau selalu mempunyai sesuatu tujuan pandangan "strategis" yang menurut pikiran beliau tidak dapat dielakkan untuk kemaslahatan spiritual dan sosial manusia. Kadang-kadang tujuan itu tampak jelas dan kadang-kadang, banyak atau sedikit, tersembunyi dari hadapan mata yang kurang terlatih dari kebanyakan manusia; kadang-kadang kita dapat memahami tujuan yang paling dalam dari perintah Nabi dan kadang-kadang hanya tujuan yang dangkal yang sangat langsung. Bagaimanapun halnya, kita terikat untuk mengikuti perintah-perintah Nabi, asal saja keaslian perintah itu telah ditegakkan secara patut.

Tidak ada lainnya yang menjadi soal. Tentu saja ada perintah-perintah Nabi yang terang dan utama pentingnya dan yang lainnya kurang penting, dan kita harus mengutamakan yang lebih penting dari yang kurang penting. Tetapi sekali-kali kita tidak berhak mengabaikan salah satu daripadanya, karena tampak pada kita "tidak penting sekali" --karena dikatakan dalam al-Qur'an tentang Nabi:

"Ia tidak berkata-kata atas kehendaknya sendiri." (Qur'an Suci, 53: 3).

Ini berarti bahwa beliau hanya berkata-kata apabila timbul keharusan obyektif, dan beliau melakukannya karena Allah memerintahkan beliau berkata demikian. Dan karena sebab ini maka wajib kita mengikuti Sunnah Nabi dalam jiwa dan bentuknya, kalau kita hendak bersikap benar terhadap nur Islam.

Sekali keharusan obyektif ini ditegakkan bagi seorang Muslim untuk mengikuti Sunnah Nabinya, ia berhak bahkan wajib, untuk menyelidiki peranannya dalam struktur Islam, religius dan sosial. Apakah arti spiritual dalam sistem hukum-hukum yang berdetail dan mengatur peri kelahirannya hingga menjelang maut, dan mengatur perilakunya dalam fase-fase hidupnya yang paling penting dan paling berarti? Atau adakah itu tidak berarti apa-apa? Adakah sesuatu kebaikan dalam Nabi memerintahkan pengikut-pengikut beliau untuk melakukan segala sesuatu dalam cara beliau melakukannya? Perbedaan apakah yang dapat dibuatnya, apakah saya makan dengan tangan kanan atau tangan kiri --apabila keduanya sama bersih? Apakah bedanya saya memelihara janggut saya atau mencukurnya? Bukankah soal-soal semacam itu hanya soal formalitas melulu? Adakah itu mengandung sesuatu atas kemajuan manusia atau kemaslahatan masyarakat? Dan kalau tidak, maka mengapakah hal-hal itu ditekankan pada kita?

Sudah lama tiba waktunya bagi kita yang percaya bahwa tegak jatuhnya Islam bersama-sama dengan tegak jatuhnya pelaksanaan Sunnah, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Hikmahnya yang pertama ialah untuk melatih manusia dalam cara metodik, untuk hidup secara tetap dalam keadaan sadar, bangun dan menguasai diri. Dalam kemajuan spiritual manusia, tindakan-tindakan dan kebiasaan-kebiasaan serampangan adalah seperti balok-balok penghalang dalam medan perlombaan; penghalang-penghalang itu harus dikurangi hingga minimumnya, karena tindakan-tindakan dan kebiasaan-kebiasaan serampangan itu memusnahkan konsentrasi spiritual. Segala sesuatu yang kita lakukan seharusnya ditentukan oleh kemauan kita dan diletakkan dibawah penguasaan moral kita. Tetapi untuk dapat berbuat demikian kita harus belajar meninjau diri kita sendiri. Keperluan pengawasan diri yang permanen ini, bagi seorang Muslim, telah dilahirkan dengan indahnya oleh 'Umar Ibn Khatthab: "Laporkanlah kepada dirimu sendiri tanggung jawab tentang dirimu sebelum kau dipanggil melaporkan tanggung jawabmu. Dan Nabi bersabda: "Sembahlah Tuhanmu seakan-akan kau melihat Dia". (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Da'ud, Sunan Ari-Nasa'i).

Telah ditunjukkan sebelumnya bahwa ide Islam tentang ibadat bukan saja mencakup kewajiban-kewajiban peribadatan yang wajib, tetapi sebenarnya meliputi seluruh kehidupan kita. Tujuannya adalah pengesaan wujud rohani dan jasmani menjadi satu kesatuan tunggal. Oleh karena itu maka usaha kita harus tegas-tegas ditujukan ke arah melenyapkan faktor-faktor tidak-sadar dan tidak terkontrol dalam kehidupan kita sejauh yang mungkin bagi manusia. Peninjauan diri adalah langkah pertama pada jalan ini dan metoda yang pasti untuk melatih dalam peninjauan diri untuk meletakkan dibawah kontrol tindakan-tindakan kebiasaan yang tampaknya seakan-akan tidak penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal yang kecil-kecil itu, tindakan-tindakan dan kebiasaan-kebiasaan "tidak penting" itu adalah dalam rangkaian latihan mental yang kita bicarakan di atas, dalam realitasnya jauh lebih penting daripada kegiatan-kegiatan "besar" dalam kehidupan kita. Hal-hal yang besar itu, karena besarnya, selalu dapat dilihat dengan nyata; dan oleh karena itu hal-hal yang besar itu kebanyakan tetap dalam bidang kesadaran kita. Tetapi hal-hal yang "kecil" dengan mudah dapat luput dari perhatian dan lepas dari kontrol kita. Oleh karena itu hal-hal yang kecil adalah obyek-obyek yang jauh lebib berharga dalam mempertajam kekuatan-kekuatan penguasaan diri kita.

Barangkali dalam hal ini tidak penting dengan tangan apa kita makan atau apakah kita mencukur janggut atau tidak, tetapi secara psikologis adalah paling penting melakukan hal-hal menurut satu putusan sistematik: karena dengan berbuat demikian kita membuat diri kita terkunci pada satu pendekatan yang lebih dekat pada observasi diri dan kontrol moral. Ini tidak mudah --karena kemalasan pikiran tidak kurang nyatanya dari kemalasan jasmani. Apabila anda meminta kepada orang yang telah membiasakan diri dengan cara duduk terus-terusan untuk berjalan jarak jauh maka ia akan segera letih dan tidak akan sanggup meneruskan perjalanannya. Tetapi tidak demikian halnya dengan orang yang selama hidupnya telah melatih diri berjalan kaki. Bagi dia pekerjaan otot semacam itu sama sekali tidak berat malah merupakan tindakan jasmani yang menyenangkan dimana ia telah biasa. Ini merupakan keterangan lebih lanjut mengapa Sunnah hampir mencakup seluruh segi kehidupan manusia. Apabila kita secara tetap membawahkan segala tindakan-tindakan kita kepada pembedaan yang sadar, kekuatan observasi diri kita tumbuh terus-menerus dan pada suatu saat akan menjadi sifat kita yang kedua. Setiap hari selama latihan ini maju, kemalasan moral kita berkurang bersama-sama dengan itu.

Penggunaan istilah "latihan" tentu sewajarnya mencakup pengertian bahwa hasilnya tergantung dari kesadaran pada pelaksanaannya. Pada saat praktek Sunnah terbelakang menjadi kebiasaan mekanik, maka ia sama sekali kehilangan nilai pendidikannya. Demikianlah jadinya kaum Muslimin pada abad-abad terakhir ini. Ketika para sahabat dan generasi berikutnya berusaha untuk menyesuaikan segala detail kehidupannya pada contoh Rasul Allah itu, mereka melakukannya dengan penyerahan yang sadar pada kehendak terarah yang akan membentuk kehidupannya dalam sinar al-Qur'an. Berhubungan dengan putusan sadar itu mereka dapat mengambil manfaat dengan jalan latihan melalui Sunnah hingga sepenuhnya. Bukanlah kesalahan daripada sistem itu apabila kaum Muslimin yang kemudian tidak membuat penggunaan yang benar dari jalan jalan psikologik yang dibuka oleh sistem itu. Pengabaian ini boleh jadi --dalam ukuran yang sangat besar-- dipengaruhi oleh Sufisme dengan kebenciannya yang menonjol, yang banyak atau sedikit, terhadap enersi-enersi aktif dan penekanannya pada enersi-enersi reseptif dalam diri manusia. Karena praktek Sunnah telah ditegakkan sebagai satu komponen kehidupan keagamaan Islam sejak permulaan Islam, Sufisme tidak berhasil dalam mencabut akar-akarnya dalam prinsip. Tetapi ia berhasil dalam menetralisir kekuatan aktif itu dan dengan demikian hingga ukuran tertentu menetralkan kegunaannya hingga ukuran tertentu. Bagi kaum Sufi, Sunnah itu tinggal sebagai satu ideogram kepentingan platonik dengan latar belakang mistik; bagi ahli-ahli theologia dan ahli-ahli hukum sebagai satu sistem hukum-hukum; dan bagi masa Muslimin tidak lain dari suatu kulit kerang kosong tanpa sesuatu arti yang hidup. Tetapi walaupun kaum Muslimin telah gagal untuk mengambil manfaat dari ajaran-ajaran al-Qur'an dan tafsirannya melalui Sunnah Rasul, idea yang mendasari ajaran-ajaran maupun tafsiran-tafsirannya tetap tinggal utuh dan tidak ada alasan mengapa ia tidak dapat diterapkan dalam praktek sekali lagi. Tujuan nyata dari pada Sunnah bukanlah seperti yang dianggap kritikus-kritikus agnostik itu, untuk mendidik orang ala kaum Parisi dan formalisme gersang, tetapi mendidik manusia menjadi sadar, teguh, berhati dalam dan siap untuk bertindak. Kaum pria dan wanita dalam gaya semacam itu adalah para Sahabat Nabi. Kesadaran permanen, kebangunan batin dan rasa tanggung jawab dalam segala yang mereka lakukan- didalamnyalah terletak rahasia efisiensinya yang seperti mukjizat dan sukses historisnya yang cemerlang.

Inilah yang pertama, dan kita katakanlah aspek individual daripada Sunnah. Aspeknya yang kedua adalah kepentingan dan manfaat sosial. Hampir tidak dapat diragukan sedikitpun bahwa kebanyakan dari konflik-konflik sosial disebabkan oleh salah pengertian manusia antara tindakan-tindakan dan maksud-maksud diantara sesamanya. Sebab dari salah paham semacam itu adalah perbedaan-perbedaan ekstrim antara temperamen-temperamen dan kecenderungan-kecenderungan dari anggota-anggota individu masyarakat. Temperamen-temperamen yang berbeda memaksakan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda pada manusia, dan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda itu, yang diperkuat oleh pembiasaan-pembiasaan lama bertahun-tahun menjadi penghalang-penghalang antara individu. Sebaliknya seandainya beberapa individu kebetulan mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang sama sepanjang hidupnya, sangat mungkin sekali hubungan mereka menjadi saling simpati dan pikiran-pikiran mereka siap untuk saling mengerti. Oleh karena itu maka Islam, yang sama berurusan dengan kemasyarakatan maupun kesejahteraan individual, menganggapnya; satu titik hakiki bahwa anggota-anggota individual dari pada masyarakat harus diajak secara sistematik untuk membuat kebiasaan-kebiasaan dan adat-adat mereka menjadi serupa, betapapun perbedaan status masing-masing dalam bidang sosial dan ekonomi.

Tetapi di atas segala ini Sunnah dalam keadaannya yang disebut "kaku" malah memberikan pengabdian lebih besar pada masyarakat; ia membuat masyarakat menjadi akrab dan stabil dalam bentuk, dan menyingkirkan perkembangan antagonisme dan konflik-konflik seperti, dengan nama "masalah-masalah sosial," telah menyebabkan kekacauan-kekacauan penting dalam masyarakat Barat. Masalah sosial semacam itu timbul apabila lembaga-lembaga atau kebiasaan-kebiasaan tertentu terasa tidak sempurna dan oleh karena itu terbuka terhadap kritik dan perubahan-perubahan ke arah kemajuan. Tetapi bagi mereka yang merasa dirinya terikat oleh hukum al-Qur'an, dan konsekuensinya terikat oleh petunjuk-petunjuk Nabi --kondisi-kondisi masyarakat harus mempunyai satu pandangan yang transendental. Selama tidak ada keraguan atas keasliannya ini, tidak akan ada timbul hasrat untuk mempersoalkan organisasi sosial dalam hal-hal fundamentalnya. Hanya dengan demikian kita dapat menerima satu kemungkinan praktis bagi dalil al-Qur'an bahwa kaum Muslimin harus menjadi seperti satu "bangunan yang padu." Apabila kita menerapkan prinsip kehidupan kemasyarakatan kita, maka tidak akan ada perlunya bagi masyarakat untuk membuang-buang energinya dalam perkara-perkara kecil dan "pembentukan kembali" yang separuh-separuh yang berhubung sifat alaminya sendiri hanya dapat beroleh nilai-nilai sepintas lalu. Terlepas dari kekacauan dialektik dan dibangun atas landasan kuat dari hukum Ilahi itu dan teladan hidup Nabi, masyarakat Islam dapat menggunakan segala kekuatan-kekuatannya untuk masalah-masalah kesejahteraan material, moral dan intelektual, dan dengan demikian membuka jalan bagi individu dalam usaha-usaha spiritualnya. Ini, dan tiada lainnya, adalah tujuan agamawi yang nyata dari organisasi sosial Islam.

Dan sekarang kita tiba pada aspek ketiga daripada Sunnah, dan perlunya kita mengikuti Sunnah secara keras.

Dalam sistem ini banyak detail dari kehidupan kita sehari-hari didasarkan pada teladan yang diberikan Nabi. Dalam segala yang kita lakukan, kita secara permanen didorong untuk memikirkan perbuatan dan perkataan Nabi yang bersangkutan dengan itu. Dengan demikian maka pribadi manusia terbesar itu terserap dalam-dalam pada kebiasaan kehidupan kita sehari-hari, dan pengaruh spiritualnya menjadi faktor nyata yang terus berlangsung dalam kehidupan kita. Secara sadar dan dibawah sadar kita terbimbing untuk mempelajari sikap Nabi dalam hal ini dan hal itu; kita belajar memandang beliau bukan saja sebagai pembawa pembentangan moral, tetapi juga sebagai penunjuk ke arah kehidupan sempurna. Disinilah kita harus memutuskan apakah kita harus memandang Nabi hanya sebagai seorang bijaksana diantara manusia-manusia bijaksana, atau sebagai Rasul Allah yang paling tinggi yang selalu bertindak atas ilham Ilahi. Titik pandangan al-Qur'an dalam hal ini terang diatas segala kemungkinan salah paham. Seorang manusia yang telah direncanakan sebagai Nabi terakhir dan sebagai rahmat bagi seisi alam tidak dapat tidak pastilah beroleh ilham secara permanen. Untuk menolak petunjuk ini, atau unsur-unsur tertentu dari bimbingan itu, akan berarti tidak kurang dari menolak atau memandang enteng bimbingan Allah sendiri. Ini selanjutnya akan berarti, dalam kelanjutan logis dari pikiran ini, bahwa seluruh amanat Islam tidak dimaksudkan sebagai pemecahan sempurna masalah-masalah manusia tetapi hanya sebagai pemecahan alternatif dan bahwa ia meninggalkan kebebasan pada kita untuk memilih ini atau sesuatu yang lain, yang barangkali sama benarnya dan sama bermanfaat. Prinsip seenaknya ini dapat membawa kita kemana-mana tetapi pastilah tidak akan membawa kita kepada jiwa Islam, yang dikatakan dalam al-Qur'an

"Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku pada kamu dan telah Aku relakan Islam sebagai agama kamu." (Qur'an Suci, 5: 3 )

Kita memandang Islam lebih tinggi dari segala sistem-sistem agama manapun karena Islam mencakup kehidupan dalam seluruh kebulatannya. Islam mencakup masalah dunia dan akhirat, rohani dan jasmani, perorangan dan kemasyarakatan; dalam wilayah pertimbangannya, Islam mencakup bukan saja kemungkinan-kemungkinan luhur dari alam insani, tetapi juga batasan-batasan dan kelemahan-kelemahannya yang terpadu. Islam tidak menekankan yang tidak mungkin pada kita tetapi mengarahkan kita bagaimana mengambil manfaat yang sebaik-baiknya dari segala kemungkinan-kemungkinan kita dalam mencapai wilayah realitas yang lebih tinggi dimana tidak ada penyimpangan dan dimana tidak ada tabrakan antara ide dan perbuatan. Islam bukan salah satu dari jalan-jalan tetapi jalan; dan manusia yang menyampaikan ajaran ini kepada kita bukan hanya salah satu diantara penunjuk-penunjuk jalan, tetapi penunjuk jalan. Mengikuti segala yang dilakukannya dan yang diperintahkannya adalah mengikuti Islam, meninggalkannya berarti meninggalkan realitas Islam.

(sebelum, sesudah)


Islam di Simpang Jalan
Judul asli: Islam at the Crossroads
Cetakan pertama: Delhi (India), 1935
Edisi Indonesia: Islam di Simpang Jalan
Penterjemah: M. Hashem
Cetakan pertama: YAPI, Surabaya, 1967
Cetakan kedua: PUSTAKA, Bandung, 1981
Hak cipta: Muhammad Asad
All rights reserved.

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team