KEBANGKITAN PEMUDA ISLAM SUATU KEMAJUAN HARUS DIBIMBING BUKAN DILAWAN (6/6)

Oleh: Dr. Yusuf Qardhawi

 
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

1. Hiduplah bersama Masyarakat

Penulis berpesan kepada para pemuda agar mereka turun dari langit mimpi dan dunia idealistik menuju ke bumi realistik. Berdampinganlah dengan rakyat, para pekerja, petani, buruh mujahid, masyarakat akar rumput (grass root) di kota-kota besar dan desa-desa terpencil, sehingga kalian akan memperoleh fitrah yang lurus, hati yang baik, dan raga yang terlatih bekerja.

Penulis berpesan agar mereka terjun melihat realitas, memberikan sumbangsih pengajaran terhadap orang-orang yang masih buta huruf hingga dapat membaca, mengobati orang-orang yang sakit hingga sembuh, memompa semangat orang-orang untuk bangkit, mendorong orang-orang yang malas untuk bekerja, menolong orang-orang yang membutuhkan hingga tercukupi kebutuhannya, dan berbagai kebajikan lainnya.

Pemuda bertanggung jawab membentuk kelompok-kelompok untuk menghapuskan buta huruf, mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, membangun sarana umum, memerangi penyakit-penyakit menular, kampanye anti merokok, miras (minuman keras), dan gambar-gambar porno, melawan tradisi-tradisi yang berbahaya, dan menyebarkan tradisi-tradisi yang sehat sebagai gantinya. Betapa luasnya lapangan yang masih membutuhkan kesungguhan, niat, dan semangat para pemuda.

Wahai pemuda Islam, janganlah kalian terpaku pada diri sendiri, meninggalkan bangsa, padahal mereka adalah nenek moyang, saudara-saudara, dan sanak kerabatmu. Turunlah ke masyarakat bangsamu! Bergumullah bersama mereka, hidup dan berserikatlah bersama mereka, bimbinglah orang-orang yang terbebani dalam hidupnya, usaplah air mata anak-anak yatim, tersenyumlah untuk menghibur wajah-wajah yang tertimpa kesusahan, ringankanlah beban yang dipikul oleh orang-orang yang kepayahan, tolonglah orang yang teraniaya, dan obatilah hati yang bersedih dengan perbuatan, kata-kata yang baik, dan senyuman yang tulus.

Sesungguhnya melakukan tugas sosial dan memprioritaskan pertolongan kepada mereka --khususnya terhadap golongan lemah-- merupakan ibadah yang bernilai tinggi yang belum ditunaikan secara baik oleh mayoritas umat Islam dewasa ini. Meskipun ajaran Islam jelas-jelas mengajak kepada kebaikan dan memerintahkannya, bahkan menetapkannya sebagai kewajiban harian bagi seorang muslim.

Penulis telah menjelaskan dalam karya kami, al-Ibadah fil Islam, bahwa Islam memperluas lapangan ibadah dan memperlebar wilayahnya yang meliputi amal-amal yang amat banyak yang tak pernah terbetik di hati bahwa hal itu ditetapkan oleh agama paripurna ini sebagai suatu cara penghambaan (ibadah) dan pendekatan diri kepada Allah SWT.

Ketahuilah, setiap amal yang bermanfaat dianggap sebagai ibadah oleh Islam. Bahkan ibadah yang paling utama, selama dimaksudkan oleh penulisnya sebagai kebaikan yang ikhlas lillahi ta'ala, bukan untuk mencari pujian dan popularitas semu. Setiap perbuatan baik yang dilakukan dengan niat dan cara yang baik digolongkan sebagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah SWT (taqarrub illallah). Perbuatan semacam itu merupakan amal yang dapat menghapus air mata orang yang dirundung kesedihan, meringankan kegelisahan orang lain, membalut luka orang yang tertimpa bencana, membangkitkan semangat hidup orang yang kesusahan, mencegah penderitaan orang yang dizalimi, membantu orang yang dililit hutang, menolong fakir miskin, dan sebagainya.

Amal yang demikian banyaknya telah ditetapkan oleh Islam sebagai ibadah kepada Allah SWT, cabang keimanan, dan hal-hal yang mendatangkan pahala dari-Nya.

Penulis telah menyimak hadits-hadits Nabi Muhammad saw. mengenai hal ini dan berkesimpulan bahwa tidaklah mencukupi hanya dengan amal-amal yang dicontohkan tersebut, yang dianggap sebagai ibadah sosial (yang objeknya adalah manusia sebagai manusia). Lebih dari itu, Islam masih menetapkan amal yang terkait dengan eksistensi manusia sebagai makhluk biologis yang terdiri dari organ-organ.

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan hadits Rasulullah saw.,

"Setiap ucapan salam untukku dari orang-orang adalah sedekah baginya setiap hari di mana matahari terbit di dalamnya. Berbuat adil di antara dua orang adalah sedekah. Menolong orang dengan mengangkatnya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya, adalah sedekah. Kata-kata yang baik adalah sedekah. Setiap langkah menuju tempat melakukan shalat adalah sedekah dan menyingkirkan gangguan dari jalan iuga sedekah." (Muttafaq'alaih)

Ibnu Abbas juga meriwayatkan hadits semacam ini dari Rasulullah saw.,

"Setiap senyuman seseorang merupakan shalat (baginya) setiap hari!" Seorang dari para sahabat berkata, "Ini adalah sesuatu yang paling berat dari apa yang pernah engkau sampaikan kepada kami!" Rasulullah saw. menjawab, "Perintahmu ber-amar ma'ruf dan laranganmu meninggalkan kemungkaran sama dengan shalat. Kamu membantu dan menolong orang yang lemah adalah shalat. Engkau menyingkirkan gangguan dari jalan adalah shalat. Dan setiap langkah untuk mengerjakan shalat adalah shalat juga." (HR Ibnu Huzaiman dalam Sahihnya)

Hadist yang serupa maknanya dengan hadits di atas diriwayatkan oleh Buraidah dari Rasulullah saw.,

"Dalam diri manusia ada 360 sendi, dia harus mengeluarkan sedekah untuk setiap sendi tersebut." Para sahabat bertanya, "Siapa yang kuat untuk melakukannya wahai Rasulullah saw.?" (Mereka mengira sedekah harta). Rasulullah saw. menjawab, "Dahak di dalam masjid yang dipendamnya (dalam tanah) dan sesuatu yang mengganggu yang disingkirkannya dari jalan..." (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Hibban)

Berbagai hadits menerangkan bahwa tersenyum kepada orang lain, menuntun tuna netra, menunjukkan jalan bagi orang yang tersesat, turut merasakan penderitaan orang lain, memikul beban berat kaum dhuafa, dan semua pekerjaan baik di dunia ini merupakan sedekah.

Dengan menjalankan petunjuk Rasulullah saw. tersebut, seorang muslim hidup di tengah masyarakat dengan memancarkan kebaikan dan kasih sayang serta penuh manfaat dan berkah. Ia melakukan kebaikan dan mengajak orang lain kepada kebaikan pula. Ia menerangkan dan menunjukkan hal-hal yang ma'ruf, sehingga ia layak disebut sebagai kunci kebajikan dan penutup pintu kejahatan. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda,

"Sungguh beruntung seorang hamba Allah yang (dijadikan-Nya) sebagai kunci pembuka kebaikan dan sekaligus pengunci bagi kejahatan."

Sebagian muslim yang bersemangat mengatakan, "Akan tetapi, amal-amal sosial ini dapat mengganggu kesibukan berdakwah dan memberi kontribusi dalam bentuk nyata, padahal aspek ini lebih membutuhkan garapan dan keseriusan." Penulis menjelaskan kepada mereka bahwa amal sosial merupakan salah satu bentuk dakwah kepada masyarakat secara real, yakni dakwah yang disertai aksi (perbuatan).

Dakwah bukanlah sekadar pemaparan kata-kata atau tulisan, tetapi juga memperhatikan dan menyelesaikan persoalan manusia. Imam Hasan al-Banna --semoga Allah SWT senantiasa merahmatinya-- amat peka terhadap persoalan semacam ini, yang mendorongnya mendirikan badan sosial bersama kaum muslimin lainnya.

Umat Islam diperintahkan untuk menebar kebaikan kepada manusia lain seperti halnya perintah untuk melakukan ruku', sujud, dan beribadah kepada Allah. Seperti ditegaskan Allah Azza wa Jalla,

"Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebaikan supaya kamu mendapatkan kemenangan. Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu... " (al-Hajj: 77-78)

Maka, penulis membuat tiga kategori muslim berdasarkan aktivitas yang mereka lakukan. Pertama, muslim yang menekankan hubungan vertikal dengan Allah dalam bentuk pelaksanaan berbagai ibadah ritual kepada-Nya. Kedua, muslim yang menekankan hubungannya dengan masyarakat dalam bentuk pelaksanaan program-program sosial demi kebaikan masyarakat. Ketiga, muslim yang menekankan perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan jahat. Mereka berjihad di jalanAllah dengan sebenar-benarnya.

Barangsiapa yang menyibukkan diri melakukan kebaikan bagi masyarakat, maka dia tidak menyibukkan diri kecuali untuk hal-hal yang diwajibkan Allah kepadanya. Muslim yang melaksanakannya, insya Allah, akan menerima pahala dariNya dan terpuji di hadapan manusia.

Sebagian aktivis yang menggebu-gebu mengatakan, "Sesungguhnya jihad yang dilakukan oleh para da'i harus difokuskan pada upaya mendirikan negara Islam yang menerapkan hukum Allah dan menjalankan seluruh aspek kehidupan atas dasar Islam. Negara tersebut harus benar-benar menerapkan Islam dan menyiarkannya ke luar negeri."

"Bila negara Islam telah berdiri, maka negara akan menguasai seluruh hajat dan tuntutan masyarakat, menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh penduduk, memberikan lapangan pekerjaan kepada orang-orang yang menganggur, memelihara dan menjamin para dhu'afa, mencukupi segala kebutuhan masyarakat, menyuplai obat-obatan kepada orang-orang yang menderita sakit, menyadarkan orang-orang yang zalim, dan membangun kekuatan kelompok mustadh'afin. Maka kita harus mewujudkan berdirinya negara ini. Tidak membuang-buang waktu untuk memulai langkah perdana, membangun sisi-sisi tertentu, dan menggarap dasar-dasarnya," tegas mereka.

Menanggapi pernyataan tersebut, penulis ingin menjelaskan bahwa mendirikan negara Islam yang menerapkan syari'at Allah, mengumpulkan dan mempersatukan umat di bawah panji Islam itu fardhu hukumnya. Kita wajib mengusahakannya dan wajib pula bagi para da'i untuk melakukan sesuatu sedapat mungkin dalam rangka mencapainya dengan menerapkan metode-metode yang paling ideal dan melalui jalan-jalan yang paling utama. Kita harus menggalang potensi yang masih berserakan, latihan berpikir yang tertib, menyingkirkan berbagai kendala, merangkak menelusuri jalan menuju tercapainya maksud tersebut, dan mempersiapkan pendapat umum dalam skala nasional dan internasional untuk menerima ide pendirian negara Islam.

Hal ini tentu membutuhkan waktu yang amat panjang, kesabaran yang baik, hingga tercukupinya syarat-syarat yang diperlukan, lenyapnya tantangan-tantangan, dan kematangan hasil dari proses perjuangan. Dalam upaya mewujudkan cita-cita mulia itu, sebaiknya setiap muslim menyibukkan diri pada hal-hal yang dapat dilakukan dan ditekuni. Misalnya membina keluarga dan membangun masyarakat. Dan ingatlah, Allah tidak membebani seseorang melebihi batas kemampuannya. Doktrin ini dapat dijadikan pelajaran dalam berjuang karena banyaknya cobaan dan rintangan dalam memimpin dan mempengaruhi masyarakat.

Seorang muslim tidak sepatutnya menolak mengobati orang yang sakit padahal dia mampu melakukan pengobatan dengan alasan menunggu berdirinya negara Islam. Tidak dibenarkan pula seorang muslim membiarkan orang-orang fakir, janda, dan lemah padahal dia sanggup membantu mereka dengan memungut zakat dari orang kaya, dengan alasan santunan itu akan dilaksanakan setelah negara Islam berdiri melalui solidaritas sosial yang menyeluruh.

Tidak sepantasnya seorang muslim melihat orang-orang di sekelilingnya saling bermusuhan dan membunuh, sedangkan dia diam saja sambil menunggu berdirinya negara Islam. Melihat berbagai permasalahan itu, seorang muslim harus mengadakan perbaikan di antara mereka secara wajar dan adil serta memerangi kelompok yang enggan diajak berdamai.

Sepatutnya seorang muslim melawan kejahatan sedapat mungkin, demikian juga dalam hal mengerjakan kebaikan. Ia tidak boleh berpangku tangan. Hendaknya ia mengerjakan kebajikan dalam kapasitas kemampuannya, meskipun sekecil atom. Allah SWT berfirman,

"Bertakwalah kepada Allah semampu kamu " (at-Taghabun: 16)

Negara Islam yang dicita-citakan ini dapat dimisalkan sebagai pohon zaitun dan kurma yang hasilnya baru dapat dipetik beberapa tahun yang akan datang. Apakah pemilik kebun akan berhenti bekerja dan menanti kurma dan zaitunnya berbuah? Tentu tidak. Ia dapat menanam tanaman-tanaman yang cepat menghasilkan. Apalagi tanaman-tanaman tersebut dapat menyuburkan tanah, mengisi waktu, dan memberikan kesibukan yang bermanfaat. Di sisi lain, pohon zaitun dan kurma yang telah ditanam juga membutuhkan perawatan hingga masa panen tiba.

2. Berprasangka Baik pada Sesama Muslim

Penulis berwasiat kepada para pemuda bahwa hendaknya mereka membuang prasangka negatif terhadap orang lain dan sebaliknya memandang hamba-hamba Allah secara positif. Berprasangkalah yang baik dan sadari bahwa tujuan utama kita adalah keterbebasan dan membawa umat Islam kepada kondisi yang lebih baik. Beberapa hal yang mendorong terciptanya tingkah laku optimis adalah sebagai berikut.

Pertama, hendaknya kita bergaul dengan orang lain dengan memandang kedudukannya sebagaimana manusia. Mereka bukan malaikat yang mempunyai sayap dan bukan diciptakan dari cahaya, melainkan dari air yang memancar. Sehingga wajar bila mereka terkadang berbuat salah, sebab setiap anak Adam mempunyai kesalahan. Jika mereka berbuat dosa, ketahuilah bahwa ayah mereka yang pertama juga melakukan hal yang sama sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an,

"Dan sesungguhnya telah Kami perintahlah kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat." (Thaha: 115)

Tidak samar lagi bahwa manusia suatu saat bisa tergelincir dan di saat lain bangkit kembali. Mereka dapat berbuat kebajikan, tetapi juga dapat berbuat salah. Maka kita harus membuka pintu maaf baginya dan mengharapkan ia memperoleh ampunan dari Allah di tengah ketakutannya akan siksa-Nya. Orang alim setinggi apa pun tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah, dan dia pun tidak dapat bebas dari makar Allah bila Dia menghendaki. Cukuplah penulis kutipkan firman Allah berikut ini.

"Katakanlah, 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'." (az-Zumar: 53)

Lihatlah bagaimana Allah SWT menghibur orang-orang yang telah jauh terperosok dalam lembah kesalahan. Ia memanggilnya dengan kalimat "Wahai hamba-hamba-Ku." Di ujung kalimat ini Allah masih menambahkan kata ganti untuk Zat-Nya Yang Suci sebagai rasa sayang dan dekat dengan manusia karena kelapangan-Nya. Lalu Ia membuka pintu pengampunan bagi seluruh pendosa yang lebih besar dari sebesar apa pun dosa yang dilakukan anak manusia.

Kedua, kita diperintahkan untuk menilai sesuatu dari aspek lahirnya dan menyerahkan masalah batinnya kepada Allah. Kita mengakui keislaman orang yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw. adalah utusan Allah. Mengenai batinnya, kita serahkan kepada Allah. Dialah yang akan mempertanyakan apa yang disembunyikan manusia di dunia pada Hari Kiamat nanti. Dalam kitab Shahih disebutkan hadits Nabi Muhammad saw. sebagai berikut.

"Aku diperintahkan untuk menerangi manusia hingga mereka mengatakan 'tidak ada Tuhan selain Allah'. Jika mereka telah mengatakannya, maka mereka terjaga dariku darah dan harta mereka kecuali dengan haknya, dan perhitungan (mengenai) mereka terserah pada Allah."

Oleh karena itu, Rasulullah saw. menyikapi orang-orang munafik dengan berpedoman pada aspek lahiriahnya, meskipun mereka secara rahasia membuat rekayasa untuk menyerang Nabi saw. dari belakang. Ketika sebagian sahabat mengusulkan kepada Nabi saw. agar mereka dibunuh untuk menghentikan kejahatan dan makarnya, maka lihatlah betapa pribadi agung ini menjawab dengan haditsnya,

"Aku takut orang berbicara bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya."

Ketiga, hati orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tidaklah kosong sama sekali dari kebaikan, meskipun secara lahiriah ia berkubang dalam lumpur kemaksiatan dan terjatuh karena dosa besar. Kemaksiatan memang mengurangi keimanan, tetapi tidak mencabutnya sama sekali dari akar-akarnya, selama itu tidak dilakukan oleh orang yang terhalang dari kekuasaan Allah.

Tuntunan kita, Rasulullah saw., adalah orang yang paling mempunyai rasa belas kasihan kepada pelaku maksiat. Maksiat yang dilakukan oleh salah seorang umat Islam kala itu tidak mencegah Rasulullah saw. untuk berdoa kepada Allah SWT agar membukakan pintu maaf bagi si pelaku. Beliau memandang orang yang tergelincir melakukan kesalahan itu dengan pandangan seorang dokter terhadap pasiennya, bukan pandangan seorang polisi terhadap penjahat.

Ilustrasi berikut menunjukkan kebenaran pernyataan di atas. Seorang pemuda Quraisy meminta izin kepada Rasulullah saw. agar diperbolehkan berzina. Para sahabat amat geram dan hendak memberinya pelajaran karena sikap pemuda itu terhadap Nabi saw., tetapi Nabi saw. menyikapinya dengan caranya yang khas. Rasulullah saw. bersabda, "Dekatkanlah dia kepadaku." Maka, pemuda itu pun mendekat. Rasulullah saw. bertanya, "Apakah kamu suka kalau ibunya melakukannya?" Dia menjawab, "Tidak, demi Allah. Allah telah menjadikan kami tebusanmu." Rasululah saw. bersabda, "Orang-orang lain juga tidak mau kalau ibu-ibu mereka melakukannya." Kemudian Rasulullah saw. meneruskan pertanyaan seperti itu kepadanya, yakni bagaimana jika hal itu dilakukan terhadap putri, saudari, dan bibinya. Setiap pertanyaan Rasulullah saw. dijawabnya "Tidak, demi Allah. Allah telah menjadikan kami tebusanmu." Akhir-nya Rasulullah mengatakan, "Dan semua orang tidak mau melakukannya ..." Kemudian Nabi agung yang lembut hati ini meletakkan tangannya di atas pundak sang pemuda dan berdoa, "Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikan hatinya, dan jagalah alat kelaminnya." Maka setelah itu si pemuda tidak lagi menoleh kepada sesuatu (maksiat) (HR Ahmad dan Thabrani dalam kitab al-Kabir. Para pensanadnya adalah sahih, sebagaimana, juga dimuat dalam Majma' az-Zawaaid, I, hlm. 129).

Sikap dan perlakuan Rasulullah saw. kepada pemuda ini disebabkan beliau berprasangka baik kepadanya. Ini karena sesungguhnya kebaikan masih ada di dalam diri pemuda itu tetapi kemudian kejahatan mendatangi jiwanya. Maka Rasulullah saw. terus mengajaknya berdialog hingga dia merasa puas dan pemikirannya menyadari bahwa zina adalah perbuatan kotor dan keji. Kemudian hatinya pun menjadi tenang dan menerima ketentuan tersebut dengan ikhlas. Bersamaan dengan itu, Rasululllah saw. memanjatkan doa untuknya.

Contoh lainnya, seorang wanita janda berzina dan akhirnya hamil. Wanita ini datang kepada Rasulullah saw. untuk menyucikan diri dengan memohon agar ia dihukum. Ia terus memintanya hingga hukuman rajam dilaksanakan. Ketika mulai dieksekusi Khalid bin Walid memakinya, Rasulullah saw. menegurnya, "Wahai Khalid, apakah kau memakinya? Demi Allah, dia benar-benar telah bertaubat, andaikan taubatnya dibagikan kepada tujuh puluh rumah dari penduduk Madinah, tentu akan mencukupi bagi mereka!" Apakah kau tahu, seutama-utamanya manusia adalah wanita yang bersungguh-sungguh terhadap dirinya demi Allah Azza wa Jalla." (HR Muslim dan lainnya)

Berikut ini adalah contoh terakhir yang hendak penulis paparkan. Pada zaman Rasulullah saw. ada seorang sahabat yang gemar meminum khamar hingga kecanduan. Dia datang kepada Rasulullah saw. sambil meminumnya lebih dari sekali. Para sahabat yang lain bangkit emosinya dan memukuli si peminum itu. Akan tetapi, kebiasaan buruknya itu kambuh lagi. Ia menenggak khamar dan mendatangi Rasulullah saw. dan dipukuli lagi oleh sahabat-sahabat yang lain. Begitu terus menerus, sehingga salah seorang sahabat berkata, "Si peminum itu telah mendatangi Rasulullah saw. Dengan apa yang mudah-mudahan Allah melaknatinya. Betapa banyak dosa yang dibawanya! "

Akan tetapi, Rasulullah saw. tidak tinggal diam atas perlakuan para sahabat terhadap orang muslim itu, meskipun ia telah melakukan dosa besar dan memperlihatkan kecanduannya. Rasulullah saw. bersabda,

"Janganlah kau melaknatnya sebab dia mencintai Allah dan Rasul-Nya."

Dalam riwayat lain disebutkan,

"Janganlah kamu sekalian membantu setan pada saudaramu."

Nah, lihatlah bagaimana manusia termulia ini bersikap lapang dan berbaik sangka terhadap manusia lain meskipun terhadap orang yang telah berlumuran dosa. Rasulullah saw merasakan kilatan kebaikan tersembunyi di dalam dada si peminum itu, meskipun fenomena kejahatan telah menyelimuti bagian luarnya, sehingga Rasulullah saw. menilainya sebagai orang yang "mencintai Allah dan Rasul-Nya." Karenanya, beliau melarang para sahabat melaknatnya, sebab sikap semacam itu akan menciptakan jurang di antara pelaku dengan saudara-saudaranya yang mukmin. Ia akan semakin jauh dari komunitas orang beriman dan kaum mukminin pun akan semakin jauh darinya. Berarti, seseorang telah mendekati setan lalu setan pun mendekatinya. Inilah hikmahnya mengapa Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah kamu sekalian membantu setan pada saudaramu," serta tidak memutus tali persaudaraan antara pelaku dengan para sahabat meskipun ia telah berulang kali melakukan maksiat. Ini karena prinsip utama Islam adalah mengumpulkan mereka dengannya dan mengumpulkannya dengan mereka.

Maka silakan Anda pelajari pandangan Rasulullah saw. yang teramat dalam ini. Inilah pendidikan berkualitas tinggi dari seorang Rasul, wahai orang-orang yang berprasangka buruk terhadap orang banyak dan yang menjatuhkan maksiat-maksiatnya dari hisab. Belajarlah dari kasus ini, wahai orang-orang yang gemar menggelari saudaranya yang berbuat maksiat sebagai kafir. Andaikan mereka mau memahami dan merenungkan, tentu mereka akan tahu bahwa orang-orang yang telah dicap kafir itu bukanlah orang yang telah keluar dari agamanya sehingga harus dibunuh, melainkan orang yang tidak mengetahui Islam yang harus didakwahi. Mungkin mereka terjerumus dalam lembah maksiat karena pengaruh pergaulan yang jahat serta lingkungan yang rusak atau mereka lupa terhadap akhirat karena terlampau sibuk dengan urusan dunia. Mereka harus dibangunkan dan diingatkan. Bukankah peringatan itu sangat bermanfaat bagi kaum muslimin? Wallahu a'lam bish-shawab.

(sebelum, sesudah)


Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar (As-Shahwatul Islamiyah Ru'yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili) Penerbit GEMA INSANI PRESS Jl. Kalibata Utara 11 No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team