| |
|
IV. SIKAP PENGARANG-PENGARANG KRISTEN TERHADAP KESALAHAN ILMIAH DARI TEKS BIBEL (2/2) Sebaliknya, para spesialis pada masa kita sekarang merasa bangga untuk mempertahankan teks Bibel terhadap sangkaan kesalahan. R.P. de Vaux, dalam Pengantar kepada Kitab Kejadian memberikan sebab-sebab yang mendorongnya untuk mempertahankan teks Bibel, walaupun teks tersebut ternyata tidak dapat diterima dan segi sejarah atau dari segi Sains. Ia meminta kita "supaya jangan memandang sejarah dalam Bibel dengan kacamata metode-metode yang diikuti oleh orang-orang modern," seakan-akan ada beberapa cara untuk menulis sejarah. Jika sejarah itu ditulis dengan cara yang tidak betul, maka ia menjadi roman sejarah. Tetapi dalam hal ini, sejarah menjadi terlepas dari konsep-konsep kita. Ahli-ahli tafsir Bibel menolak pengamatan teks Bibel dengan geologi, paleontologi dan ilmu pra sejarah. Ia menulis: Bibel tidak ada sangkut pautnya dengan disiplin-disiplin tersebut. Jika seseorang ingin mengkonfrontasikan Bibel dengan ajaran Sains, ia hanya akan mencapai sebagai hasilnya, suatu pertentangan yang tidak riil, atau suatu persesuaian yang "semu." Perlu diterangkan disini bahwa pemikiran-pemikiran ini dikemukakan berhubung dengan hal-hal yang terdapat dalam Kitab Kejadian yang sama sekali tidak sesuai dengan Sains modern yakni yang terkandung dalam 11 fasal yang pertama. Tetapi jika ada bagian-bagian Bibel yang sekarang ini diperkuat oleh ilmu pengetahuan, umpamanya beberapa hikayat dari zaman nabi-nabi bangsa Israil, pengarang tidak segan-segan memakai pengetahuan modern untuk menunjang kebenaran Bibel. Ia menulis dalam halaman 34: Keragu-raguan terhadap hikayat ini harus disingkirkan karena sejarah dan arkeologi Timur telah memberikan kesaksian yang menguntungkan. Dengan kata lain: jika Sains berfaedah untuk menguatkan teks Bibel ia menggunakannya; jika Sains melemahkan teks Bibel, orang tak boleh mempergunakan Sains untuk menyesuaikan hal-hal yang tidak dapat disesuaikan, yakni untuk menyesuaikan teori bahwa Bibel itu mutlak benar. Dengan kekeliruan-kekeliruan yang terdapat dalam Perjanjian Lama, ahli-ahli teologi modern mencoba meninjau kembali tentang konsep klasik mengenai kebenaran. Untuk menyebutkan secara terperinci argumentasi-argumentasi rumit yang berkembang dalam karangan-karangan mengenai Kebenaran Bibel seperti karangan O. Lorentz (1972) "Apakah kebenaran Bibel itu (quelle est la verite de la Bibel), akan membawa kita keluar dari rangka buku ini; cukuplah kiranya jika kita cantumkan disini pantangannya mengenai Sains." Penulis menyebutkan bahwa Konsili Vatikan II berhati-hati untuk memberi patokan guna membedakan antara kekeliruan dan kebenaran dalam Bibel. Pertimbangan-pertimbangan fundamental menunjukkan bahwa hal tersebut adalah mustahil oleh karena Gereja tidak dapat memutuskan kebenaran atau kesalahan metode ilmiah sehingga ia juga tidak dapat memutuskan kebenaran Bibel secara umum dan menurut prinsip. Memang jelas bahwa Gereja tak dapat mengatakan terus terang mengenai metode ilmiah sebagai usaha untuk sampai kepada Pengetahuan. Tapi itu bukan persoalan yang kita bicarakan. Kita tidak membicarakan teori-teori tetapi membicarakan fakta yang jelas. Apakah kita harus menjadi pendeta besar di zaman kita ini untuk mengetahui bahwa alam itu tidak diciptakan dan bahwa manusia itu tidak timbul di dunia ini semenjak 37 atau 38 abad, atau mengetahui bahwa perkiraan yang didasarkan atas silsilah keturunan dalam Bibel mungkin dianggap salah, tanpa ada resiko kekeliruan. Pengarang yang namanya disebut di sini (O. Lorentz) tentu mengetahui hal ini. Keteranganrrya tentang Sains hanya dimaksudkan untuk mengelakkan persoalan, karena ia tidak membahas persoalan tersebut secara yang semestinya. Bahwa kita menyebutkan sikap para pengarang Kristen dalam menghadapi kekeliruan ilmiah dalam teks Bibel menunjukkan kesulitan yang timbul karenanya dan menunjukkan pula bahwa tidak mungkin untuk menerangkan sikap yang logis kecuali dengan mengakui bahwa kekeliruan-kekeliruan itu berasal dari manusia dan rasanya tidak mungkinlah untuk menerima kekeliruan-kekeliruan tersebut sebagai suatu bagian daripada wahyu. Krisis yang mencekam kalangan-kalangan Gereja mengenai wahyu telah terungkap dalam Konsili Vatikan II (1962-1965), di mana diperlukan lebih dari 5 redaksi untuk sampai kepada suatu teks final sesudah perdebatan selama 3 tahun. Dengan begitu maka berakhirlah "situasi yang parah dan mengancam bubarnya Konsili," menurut kata-kata Monsieur Weber dalam kata pengantarnya untuk dokumen no. 4 mengenai: Wahyu. Dua kalimat dalam dokumen Konsili Vatikan mengenai Perjanjian Lama (fasal 4, halaman 3) menyebutkan kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan beberapa teks dengan cara yang tidak dapat lagi dibantah. Dengan mengingat situasi manusia sebelum keselamatan yang ditegakkan oleh Yesus Kristus, kitab-kitab (fasal-fasal) Perjanjian Lama memungkinkan kepada kita semua untuk mengetahui siapa Tuhan itu dan siapa manusia itu, begitu juga rasanya Tuhan dalam keadilanNya dan rahmatNya bertindak terhadap manusia. Kitab-kitab (fasal-fasal) itu walaupun mengandung hal-hal yang tidak sempurna dan lemah, merupakan saksi dari pendidikan ilahi yang benar.6 Dengan kata "imparfait" (tidak sempuma) dan "Caduc" (lemah) yang dipakai untuk memberi ciri kepada beberapa teks, berarti bahwa teks-teks tersebut dapat dikritik dan dapat ditinggalkan. Prinsip ini telah diterima secara jelas sekali. Teks ini merupakan satu bagian daripada deklarasi umum yang mendapat 2344 suara pro dan 6 kontra. Tetapi sesungguhnya tidak diperlukan adanya gambaran hampir aklamasi. Dalam tafsiran dokumen resmi, di bawah tanda tangan Monsigneur Weber kita dapatkan suatu kalimat yang dengan jelas mengoreksi adanya "caducite" (kelemahan) beberapa teks yang termasuk dalam deklarasi agung daripada Konsili "Tidak ada syak lagi bahwa beberapa fasal dari Bibel Israil mempunyai sifat "sementara" dan sifat "tidak sempurna." "Caduc" suatu kata dalam deklarasi resmi, tidak sinonim dengan "sifat sementara" yang dipakai oleh juru tafsir. Mengenai kata sifat "Israilite" yang ditambahkan, memberi kesan bahwa deklarasi Konsili hanya dapat mengkritik versi Ibrani; padahal soalnya tidak begitu. Yang menjadi sasaran Konsili adalah Perjanjian Lama, dan Perjanjian Lama itulah yang dianggap mengandung kekurangan dan kelemahan dalam beberapa bagiannya. V. KESIMPULAN Kita harus memandang Bibel bukan dengan melekatkan kepadanya secara resmi sifat-sifat yang kita inginkan untuknya, tetapi, dengan menelitinya sebagaimana adanya secara obyektif. Ini memerlukan pengetahuan tentang teks dan juga tentang sejarah teks-teks tersebut. Sejarah teks memungkinkan kita memperoleh idea tentang keadaan-keadaan yang mendorong kepada terjadinya perubahan-perubahan teks selama beberapa abad, kepada terbentuknya teori yang kita miliki secara pelan-pelan dengan beberapa pengurangan atau penambahan. Hal-hal tersebut memungkinkan sekali bahwa dalam Perjanjian Lama kita mendapatkan versi bermacam-macam mengenai sesuatu hikayat, atau mendapatkan kontradiksi-kontradiksi, kekeliruan sejarah, kesalahan dan ketidak sesuaian dengan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang sudah pasti. Hal-hal yang akhir ini sangat wajar dalam karya manusia kuno, sehingga wajar pula jika kita menemukannya dalam buku-buku yang ditulis dalam kondisi tersusunnya teks Bibel. Sebelum problema ilmiah muncul, dalam periode di mana orang belum dapat mengatakan tidak benar atau kontradiksi, seseorang yang berperasaan sehat seperti Agustinus, berpendapat bahwa Tuhan tidak mungkin mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak sesuai dengan kebenaran, dan ia membentuk suatu prinsip yaitu: kemustahilan bahwa pernyataan yang tidak sesuai dengan kebenaran itu berasal dari Tuhan. Dan karena itu ia bersedia untuk mengeluarkan hal yang semacam itu dari Bibel. Kemudian, ketika orang sudah dapat memahami bahwa beberapa bagian Bibel tidak sesuai dengan pengetahuan modern, manusia tidak suka mengikuti sikap seperti tersebut di atas. Dengan begitu kita mengalami perkernbangan teratur yang bertujuan untuk memelihara dalam Bibel teks-teks yang mestinya sudah tidak mempunyai tempat lagi. Konsili Vatikan II (1962-1965) telah meredakan sikap yang keras ini dengan mengemukakan reserve untuk "fasal-fasal Perjanjian Lama" yang mengandung "hal-hal yang kurang sempurna dan hal-hal yang lemah." Apakah sifat reserve tersebut merupakan suatu pandangan taqwa semata-mata atau akan disusul dengan perubahan sikap terhadap hal-hal yang tak dapat diterima lagi pada abad XX dalam buku-buku yang jika diselamatkan dari perubahan-perubahan yang dibikin oleh manusia, hanya akan dijadikan oleh Tuhan sebagai saksi daripada pendidikan suci yang hakiki. |
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |