Islam dalam Lintasan Sejarah
Hamilton Alexander Rosskeen Gibb

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

BAB 6. SYARIAT

Ciri kecenderungan praktis masyarakat Islam dan pikiran Islam bahwa kegiatan yang terdahulu dan pernyataannya paling tinggi adalah dalam bidang hukum, bukan dalam bidang ilmu kalam. Beberapa keterangan dapat dianjurkan untuk fakta itu. Misalnya, boleh dimajukan keterangan bahwa kebutuhan sehari-hari masyarakat yang sedang terbentuk memerlukan penetapan dan penyesuaian proses hukum lama, jauh sebelum hasrat pengetahuan mereka mencapai tahap mempersoalkan dan menjawab masalah-masalah berkenaan metafisika (ilmu yang membahas dasar pertama dari alam dan pikiran). Atau dapat dibentangkan bahwa pengetahuan tentang Rumawi yang diperoleh orang Arab tidak hanya di Siria dan Mesir, akan tetapi juga diantara orang Kristen di Irak telah menakdirkan mereka membentuk sistem hukumnya sendiri pada waktu pertentangan antara kaum Kristen dan filsafat Yunani belum mempengaruhi pikiran keagamaan Islam. Dalam mendukung pendapat ini boleh diajukan bahwa mazhab-mazhab Islam pertama dalam arti tegas, berdiri di Siria dan di Irak sebelum Khilafah Bani Umayah berakhir dalam 750 M. Atas dasar kemasyarakatan, boleh disarankan bahwa masyarakat Timur berbeda dengan masyarakat Barat; umumnya lebih membaktikan usaha yang giat dan berhasil guna membentuk organisasi-organisasi sosial yang tetap dengan hukum sebagai salah satu sendinya daripada membentuk sistem-sistem yang menjadi idaman pikiran filsafat.

Mungkin juga pelajaran hukum dalam Islam dan penertiban unsur-unsurnya dalam suatu sistem yang bersangkutan telah dipengaruhi atau dipercepat oleh sebab-sebab itu atau lainnya. Dorongan hatinya bukan berasal dari situ. Bukti-bukti yang ada pada kami menunjukkan bahwa dalam zaman Bani Umayah pertengkaran diantara suku Arab dipecahkan oleh hukum adat suku, yang dilaksanakan oleh syekhnya, diadili oleh khalifah atau wakil-wakilnya sesuai dengan pertimbangan sendiri; dalam kedua hal tidak boleh disangsikan --lebih kurang-- dipengaruhi oleh peraturan hukum Quran. Hukum Rumawi, meskipun beberapa perumusannya dan isinya telah merembes dalam hukum Islam, asas-asas pembinaan hukum Islam dan boleh dikatakan) seluruh jiwa pemakaiannya tidak ada hubungannya dengan jiwa ahli hukum Rumawi. Memang benar, dari awal permulaan cara dan perumusan hukum Islam merupakan suatu kombinasi ganjil dari perintah positif yang tegas dengan pembicaraan secara teori memperlihatkan iklim perguruan lebih dari iklim pasar.

Hukum dalam pandangan sarjana Islam bukanlah semata-mata pelajaran yang bebas atau berdasarkan pengalaman. Hukum ialah segi praktis doktrin agama dan sosial yang diajarkan Muhammad saw. Untuk orang muslim yang terdahulu tidak ada bedanya antara sah "menurut hukum" dan "menurut agama". Dalam Quran dua segi ini terdapat berdampingan, atau lebih tepat saling terjalin; demikian juga dalam hadis. Pembahasan dan penafsiran Quran kadang-kadang menyangkut yang satu, kadang-kadang yang lain. Baru setelah hampir seabad kemudian, para sarjana mulai menuntut keahlian dalam salah satu segi tadi. Akhirnya bidang-bidang tadi dibedakan dengan istilah relatif: ilm 'pengetahuan positip', bermakna ilmu ketuhanan (meskipun tidak mengesampingkan hukum), dan fiqh "pengertian" bermakna hukum (yang berdasarkan ilmu ketuhanan). Lama sesudah kata Yunani "canon (qanun) digunakan untuk menunjukkan peraturan administratif, berbeda tegas daripada hukum yang diwahyukan (karena itu "hukum qanun" dalam bahasa Arab sebenarnya berarti lawannya qanun dalam penggunaannya di Eropa).

Hubungan antara hukum dan agama yang telah diletakkan demikian oleh Muhammad saw. dan diterima oleh penganutnya sepanjang abad-abad kemudian. Sebagai ciri khas, segala penjelasan hukum Islam dimulai dengan "kewajiban agama" atau "ibadat" seperti wudu, salat, dan haji. Sebagaimana juga dalam agama-agama Semit lain, hukum dipikirkan tidak sebagai hasil kecerdasan manusia dan penyesuaian pada kebutuhan sosial dan cita-cita yang-berubah, akan tetapi --sebagaimana suatu ilham dari Tuhan-- tidak dapat diubah. Bagi muslimin naskah buktinya ialah terdapat dalam Quran dan hadis Nabawi. Dengan dalil-dalil tersebut, maka ahli fiqih dan alim ulama dari abad kedua dengan panjang lebar membina susunan hukum --yang dilihat dari sudut kesempurnaan akal-- adalah salah satu karya akal manusia yang paling cemerlang.

Sebelum kami membahas hasil kegiatan dalam bidang ini, penting untuk meninjau lebih dekat cara-cara yang dipakai oleh ahli fiqih waktu mereka berusaha menyusun bahan-bahan mereka dalam suatu sistem untuk memahami sifat sistem pengetahuan dan pikiran Islam.

Quran dan hadis bukan sebagai dasar pikiran hukum Islam, akan tetapi hanya merupakan sumber-sumbernya. Asas yang sebenarnya harus dicari dalam sikap cita-cita yang menetapkan cara penggunaan sumber-sumber tadi. Oleh karena itu, pertanyaan pertama bukanlah "Apakah yang telah tertera dalam Quran dan hadis?" akan tetapi "Mengapakah Quran dan hadis diterima sebagai sumber hukum?"; dan pertanyaan kedua adalah "Bagaimanakah peraturan-peraturannya harus dipahamkan dan dilaksanakan?"

Apabila pertanyaan pertama dijawab dengan mengatakan bahwa Quran dan hadis diterima sebagai sumber tanpa salah karena merupakan dasar dan piagam utama agama Islam, maka hanya sebagai perdebatan dalam lingkaran (berputar-balik) saja. Sebab yang akhir berkenaan dengan metafisika dan a priori, sebelum dibuktikan. Hal ini ialah keyakinan akan ketidaksempurnaan pikiran manusia dan ketidaksanggupannya memahami dengan kemampuannya sendiri alam nyata dari kebajikan atau sebenarnya. Kebajikan dan dosa hanya dapat diketahui oleh manusia dengan, perantaraan wahyu Tuhan yang diantarkan nabi-nabi. Karena takdir Tuhan, maka sejak ciptaan Adam as. (ialah nabi yang pertama), manusia terdapat di dunia setelah ada rangkaian nabi. Wahyu-wahyu yang diturunkan pada nabi-nabi itu pada dasarnya sama, tetapi merupakan suatu rangkaian yang menunjukkan perkembangan yang bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkat perkembangan manusia. Tiap-tiap wahyu yang kemudian meluaskan, mengubah, membatalkan wahyu yang mendahuluinya. Quran adalah wahyu terakhir; karena itu memuat jawab yang terakhir dan paling sempurna atas semua soal tentang iman dan kelakuan.

Dalil tanpa kesalahan sunah adalah dalil yang lebih konsekuen dan logis daripada dalil yang berkenaan dengan ilmu-metafisika. Quran itu pendek, apabila dinilai dengan jalan perbandingan. Dalam buku yang ringkas ini, sebagian besar tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan tentang doktrin, ibadat, syariat, politik, dan kesosialan. Dalam teorinya, prinsip-prinsip pokok yang mengatur masalah-masalah tadi harus terdapat dalam Quran. Tidak semuanya peraturan telah diberikan dengan penjelasan yang sama terangnya dan diuraikan hingga pasal-pasal yang kecil. Oleh karena itu, perlu mentafsirkan dan memaparkan dengan panjang lebar naskah-naskah bersangkutan. Nabi Muhammad saw. yang dipercayakan wahyu, memang satu-satunya pentafsir yang dapat dipercayai pertimbangannya. Menurut Quran, Nabi Muhammad saw. tidak hanya diberikan Kitab 'buku yang tertulis', akan tetapi juga Hikmah kearifan dengan akhirnya prinsip-prinsip tadi dapat dilaksanakan hingga pasal-pasal yang kecil untuk segala masa kehidupan biasa. Bertalian dengan itu, gerak-geriknya dan sabdanya yang disiarkan dengan rangkaian perawi-perawi yang jujur merupakan suatu macam tafsir dan perlengkapan Quran. Dari landasan ini, pernyataan bahwa tafsiran tersebut diilhamkan, dan semua ucapan dan amalnya telah dilakukan di bawah "ilham diam" karena merupakan jawaban atas soal baik dan buruk yang terakhir, sebagaimana Quran.

Setelah Quran dan hadis diterima sebagai sumber yang tanpa salah, bagaimanakah peraturan dan petunjuk-petunjuk dilaksanakan? Baik Quran maupun hadis tidak memberikan kumpulan secara sistem peraturan hukum, akan tetapi hanya memberikan bahan-bahan yang dapat dipakai membangun suatu sistem. Pembangunan sistem itu dalam prakteknya memerlukan penciptaan satu cabang ilmiah yang lebar, dan tafsir "usul al-fiqh" (akar-akar ilmu hukum).

Dasar-dasar sistem itu diletakkan oleh perintah-perintah dan larangan-larangan yang terang dan pasti artinya dalam Quran dan hadis. Jika perintah dan larangan itu terdapat, tidak diperbolehkan pemakaian akal insani. Akan tetapi, perlu dibuktikan bahwa peraturan tersebut ada. Pertanyaan ini tidak akan timbul dalam hal firman Quran (kecuali kalau ada bacaan lain yang dapat mengubah maknanya), tetapi timbul dalam hal isi hadis. Oleh karena itu, diadakan pembahasan keaslian hadis dengan syarat-syaratnya yang berbelit-belit sebagaimana telah diterangkan dalam bab di muka. Boleh ditambahkan bahwa perlu dibuktikan naskah yang berhubungan belum dibatalkan, apabila terdapat pertentangan dengan naskah lain yang bernilai sama.

Setelah kebutuhan pembahasan secara ilmu sejarah telah dicukupi, selanjutnya harus dipertimbangkan apakah peraturan yang dirumuskan tentang suatu masalah terbatas atau tidak terbatas dalam pelaksanaannya. Prinsip umum yang telah diletakkan oleh ahli fiqih bahwa hal naskah sendiri tidak menyebutkan atau memuat suatu pembatasan (misalnya, terhadap keadaan sejarah setempat atau terhadap lapisan masyarakat yang khas), maka peraturan tidak dibatasi dan harus dilaksanakan secara umum pada segala waktu.

Akhirnya perlu juga ditetapkan apakah yang dimaksudkan peraturan yaitu mendapat makna naskah atau peraturan menurut arti kata dengan pertolongan ilmu bahasa dan ilmu perkamusan. Apabila telah ditetapkan, maka dipegang sebagai prinsip umum bahwa kata-kata harus diambil artinya menurut arti kata-kata tersebut sebagaimana lazim dipakai dalam percakapan dalam bahasa Arab; kecuali ucanan-ucapan yang bersifat kiasan (misalnya, perintah dalam Quran "berpegang kukuh pada tali Allah').

Bilamana terbit pasal-pasal hukum yang belum diatur dengan jelas dalam Quran satu hadis, sebagian besar ahli qiyas menggunakan qiyas yakni pada masalah baru prinsip-prinsip yang menjadi dasar keputusan yang telah diambil dalam hal lain, yang dapat dipandang sesuai dengan masalah baru tadi. Hal ini telah ditolak oleh ahli qiyas yang teliti karena masuknya unsur pertimbangan manusia yang dapat bersalah.

Atas dasar rupanya yang sempit dan arti kata ahli kalam dan ahli qiyas dari abad kedua dan ketiga, tidak hanya membangun hukum, akan tetapi ibadat dan doktrin yang akan menjadi milik khas masyarakat Islam, yang membedakan mereka dari organisasi-organisasi keagamaan dan sosial yang lain. Kesempitan tadi hanya terdapat dalam teori dibandingkan dalam praktek. Sebab (sebagaimana telah kita lihat dan akan lihat lagi) sejumlah besar dimasukkan dan diakui dalam Islam berasal dari sumber-sumber di luar dengan perantaraan sunah Nabi Muhammad saw. atau dengan jalan lain. Prinsip-prinsip yang dipakai landasan buat pembentukan susunan secara logis ini tidak dapat diubah, --dan demikian juga sistemnya sendiri-- sekali dirumuskan dianggap tidak dapat diubah, dan sebenarnya seakan-akan diilhamkan oleh Tuhan sebagaimana sumber-sumber asalnya. Semenjak itu hingga sekarang Syariat atau Syar yang dinamakan "Jalan Raya" dari perintah dan pimpinan Tuhan tetap tidak berubah dalam pokok-pokoknya.

Boleh ditanyakan di sini, sampai dimana sifat tidak berubah dan ketetapan bentuk adalah berpaut dengan sistem hukum dan ilmu tauhid sebagaimana mereka diciptakan pada asal mulanya. Ada yang mengharapkan bahwa karya ahli kalam dan fiqih dari abad kedua dan ketiga terbuka untuk penelaahan, dan apabila perlu terbuka pula untuk diperbaiki oleh generasi-generasi kemudian dengan kewibawaan yang sama dalam batas-batas yang sama juga. Kekakuan disebabkan pemasukan prinsip-prinsip yang mulai diperkenalkan pada masyarakat buat pertama kali rupanya memberikan pengesahan pada bentuk politiknya. Inilah prinsip ijmak (persetujuan, permufakatan).

Salah satu kebanggaan Islam ialah agama Islam tidak mengenal pendeta-pendeta, yang dapat menuntut dirinya sebagai perantara manusia dan Tuhan. Walaupun itu benar, Islam setelah ditertibkan menjadi suatu sistem memiliki golongan tingkat pendeta, yang dengan tepat mendapat kekuasaan dalam soal agama dan sosial, serta kewibawaan semacam golongan pendeta dalam masyarakat Kristen. Adapun yang dimaksudkan ialah golongan alim ulama, ulama1, para cendekiawan atau sarjana, yang boleh disamakan dengan golongan scribe dalam agama Yahudi. Dengan kesucian Quran, hadis, dan kebutuhan akan suatu golongan yang pekerjaannya hanya mentafsirkan Quran dan hadis, maka timbulnya para alim ulama ialah perkembangan wajar yang tidak dapat dielakkan, walaupun pengaruh masyarakat keagamaan yang terdahulu telah membantu cepatnya pembangunan kekuasaan mereka dalam bidang sosial dan agama.

Waktu kekuasaan mereka bertambah kuat dan lebih diperhatikan oleh pendapat umum masyarakatnya, maka alim ulama menuntut (dan umumnya diakui) mewakili masyarakat dalam semua urusan yang bersangkutan dengan iman dan syariat, lebih-lebih terhadap kekuasaan negara. Lebih dahulu --kira-kira pada suatu waktu dalam abad kedua-- prinsip telah diperoleh bahwa "persetujuan masyarakat" (dalam prakteknya berarti permufakatan alim ulama) mempunyai kuasa yang mengikat. Dengan demikian, ijmak dimasukkan dalam gedung senjata ahli kalam dan fiqih untuk menutupi semua celah yang masih terdapat dalam sistem mereka. Sebagaimana hadis merupakan perlengkapan Quran, demikian ijmak alim ulama merupakan penyempurnaan hadis.

Apabila ditelaah dengan cermat, secara logis ijmak merupakan dasar bangunan yang mengagumkan, dan dengan sendirinya memberikan pengesahan terakhir. Sebab ijmak pertama telah menjamin sahnya naskah Quran dan hadis. Ijmaklah yang menentukan bagaimana kata-kata naskah harus dilafalkan, dan apakah artinya, dan ke arah mana naskah-naskah tadi harus dilaksanakan. Ijmak lebih dari itu; ijmak telah dibangun menjadi teori ketanpa-salahan, saluran ketiga bagi wahyu. Hak rohani istimewa Nabi saw., --pengarang-pengarang muslimin menggambarkannya sebagai "Cahaya Nabawi"-- telah diwariskan (dalam doktrin ahli sunah) bukannya kepada pengganti-penggantinya dalam pemerintahan umat sementara yaitu para khalifah, akan tetapi kepada umat Islam sebagai keseluruhan.

"Apabila umat Islam menyetujui suatu amal ibadat atau peraturan tentang iman, umat itu dalam cara tertentu dipimpin dan diilhami oleh Tuhan, maka ia diselamatkan dari kekeliruan dan tanpa salah akan dituntun ke kebenaran ... berkat karunla istimewa yang dianugerahkan Tuhan atas umat mukminin"2

Oleh karena itu, ijmak lebih kurang campur tangan dengan tegas dalam tiap cabang doktrin, syariat, dan ketatanegaraan; ijmak dapat menyisihkan atau mengganti kesimpulan yang diambil dengan tegas secara logis tentang sahnya, makna, dan pelaksanaan suatu naskah; ijmak dapat mendukung suatu hadis, yang ditolak oleh kecaman tepat karena keasliannya diragu-ragukan. Walaupun teori ijmak tidak dapat membatalkan suatu naskah yang langsung dari Quran atau hadis, ijmak boleh (menurut pendapat ahli fiqih) menyatakan bahwa hukum yang diperintahkan demikian tidak digunakan lagi.

Apabila diperoleh persetujuan pendapat diantara alim ulama dari abad kedua dan ketiga tentang suatu masalah, dilarang mengumumkan cita-cita baru tentang penjelasan naskah yang berhubungan dengan Quran dan hadis. Keputusan mereka tidak dapat dicabut kembali. Hak menafsirkan seseorang (ijtihad) dalam teori (dan hampir umumnya dalam praktek) terbatas pada masalah-masalah yang belum didapati persetujuan umum. Karena masalah yang demikian berkurang dari generasi ke generasi, maka para ulama dari abad-abad kemudian membatasi karya hingga pengulasan dan penjelasan risalat-risalat yang menuturkan keputusan-keputusan. Sejumlah besar para alim ulama berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup untuk selama-lamanya, tidak ada sarjana secerdas-cerdasnya berhak menjadi mujtahid, pentafsir hukum yang berwenang. Beberapa ulama kemudian ada yang menuntut hak ijtihad tadi.

Perletakan doktrin antara ijmak dalam Islam dan Dewan-dewan Gereja Kristen ada persamaan yang tertentu; meskipun bentuk lahirnya berlainan, dalam beberapa segi hasilnya sama. Misalnya, hanya setelah ijmak diakui umum sebagai sumber syariat dan doktrin dapat diperoleh dan dilaksanakan pengujian secara tuntutan hukum yang pasti atas penyelewengan. Tiap-tiap usaha untuk memajukan masalah, memasukkan naskah dengan cara yang seakan-akan mengingkari keadaan sah akibat keputusan yang diambil dan diterima oleh ijmak, dinamakan bid'ah, satu tindakan pembaharuan (lihat halaman 56) yaitu penyelewengan hukum yang benar.

Segi yang menarik dari perkembangan tadi adalah sifat formal yang masuk akal. Walaupun prasangka-prasangka yang menjadi dasarnya mungkin boleh diambil dari Quran, alim ulama yang kemudian di Madinah dan Irak dalam semangatnya menyempurnakan sistem hingga rapat, tidak segan-segan mendorongkan kesimpulan dari prasangka-prasangka tersebut hingga akhir batas kemungkinan jalan pikiran. Doktrin yang menerangkan bahwa Muhammad saw. telah "terkandung" ilham dalam seluruh ucapannya disebabkan kebutuhan untuk menjamin dan menyelamatkan ketanpa-salahannya sebagai pentafsir Quran. Apabila ada persangkaan bahwa beliau diilhami dalam ucapan-ucapannya yang mentafsirkan Quran, akan tetapi tidak dalam ucapan-ucapan lain yang berkenaan dengan kejadian-kejadian kehidupan sehari-hari yang remeh, akan timbul kesulitan untuk membedakannya. Lagi pula telah kita lihat, bahwa para ahli fiqih membutuhkan sumber yang tanpa salah menentukan setepat-tepatnya pasal-pasal yang remeh ini. Setiap kemungkinan untuk pertanyaan apakah sebenarnya suatu keputusan yang telah diilhamkan, harus dihindarkan bagaimanapun juga. Bahaya tersebut dapat dielakkan dengan menyatakan semua tindakan dan sabdanya telah diilhami.

Perhatian yang sama besarnya beserta kesempurnaan teori menjadi dasar doktrin ijmak. Asal mulanya doktrin tadi mengizinkan sekadarnya perkembangan (misalnya, khilafah berdasarkan seluruhnya atas ijmak), tetapi fungsinya kemudian dibatasi untuk tujuan mentahkikkan doktrin-doktrin yang diuraikan alim ulama dengan panjang lebar dan memberikan cap pada doktrin-doktrin tersebut tidak dapat diubah. Dari prinsip yang positif dan kreatif ijmak tadi dipaksakan dalam penggunaan yang negatif dan represif. Oleh karena itu, penciptaan hukum dalam Islam adalah otoriter hingga batas akhir. "Hukum yang menjadi undang-undang dasar umat tidak lain dari kehendak Tuhan, diwahyukan dengan perantaraan Nabi."3 Pernyataan tadi adalah bentuk Semit dari prinsip "kehendak raja adalah hukum !" karena Tuhan adalah satu-satunya penghulu umat, dan karena itu satu-satunya pencipta hukum. Melanggar hukum, bahkan mengalpakan hukum bukannya merupakan pelanggaran peraturan tata tertib sosial saja, tetapi suatu tindakan pelanggaran agama, suatu dosa, dan harus dijatuhi hukuman agama.

Kami sekarang dapat menelaah dengan singkat isi dan sifat perundang-undangan Tuhan ini. Ahli fiqih berpendapat bahwa "peraturan dasar hukum ialah kebebasan, kemerdekaan". Akan tetapi, sifat dasar manusia itu lemah, mudah disesatkan, tidak berterima kasih, dan loba; perlu bagi kepentingan perseorangan dan kepentingan susunan sosial untuk membatasi kemerdekaan bertindak hingga batas tertentu. Batas-batas itu merupakan hukum. Oleh karena itu, ahli fiqih menggunakan istilah, hadd 'batas' dalam arti "peraturan hukum".

Batas-batas itu yang dititahkan oleh hikmah dan kasih sayang Tuhan dua macamnya, yang berkenaan dengan sifat dasar manusia: rohani dan jasmani. Sebagaimana roh dan jasad saling melengkapi dalam organisme manusia, demikian juga dua segi hukum tadi saling melengkapi dalam organisme sosial. Batas-batas yang dititahkan bagi roh manusia menetapkan hubungannya terhadap Tuhan yaitu mengatur dasar pokok kepercayaan agama, dan khusus amal-amal sebagai pernyataan lahir yakni lima "Rukun Islam" (lihat halaman 50). Serupa batas-batas, dititahkan bagi kegiatan jasmani manusia menetapkan hubungannya terhadap sesama manusia. Semua merupakan pikiran dari hukum dalam arti sempit yakni masalah-masalah kedudukan perseorangan, susunan keluarga (meliputi perkawinan dan perceraian), memegang dan melepaskan milik, muamalat4 perdagangan, hukum pidana, walaupun perbedaan Barat antara hukum sipil, hukum pidana, privat, dan macam-macam hukum tidak diakui dalam buku-buku hukum Islam.

Akibatnya ialah bahwa dalam penciptaannya hukum tidak pernah meninggalkan kewajiban dan tidak pernah menghargai diri sepenuhnya. Takrif baku: "Ilmu hukum ialah pengetahuan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang memungkinkan manusia menjalankan kehidupannya dalam dunia dan menyiapkan diri bagi kehidupan di akhirat dengan pantas." Oleh karena itu, syariat tidak pernah didewankan dengan resmi, tetapi sebagaimana dikatakan dengan tepat "pembicaraan tentang kewajiban muslimin." Ciri tersebut menetapkan sifat pertimbangan yang diberikan pada pelbagai kegiatan yang diperhatikan. Pertimbangan yang kembali pada penciptaan menjadi dasar perundang-undangan Ilahi memberikan ukuran mutlak tentang kebajikan dan kejahatan. Jumlah terbesar dari kegiatan orang tidak tercakup sama sekali dalam lingkaran hukum karena prinsip asas kemerdekaan menganjurkan bahwa ketiadaan peraturan yang diwahyukan mengecap perbuatan tadi dari segi akhlak (dilihat dari segi hukum) sebagai hal yang tidak penting. Perbuatan demikian dinamakan dengan istilah mudah atau jaiz 'diizinkan'. Perbuatan-perbuatan lain ialah termasuk baik atau buruk karena dia sendiri. Dalam kedua bagian tersebut, hukum mengakui dua golongan yang mutlak dan diperbolehkan. Oleh karena itu, pembagian perbuatan mengenal lima tahap atau derajat.

  1. Perbuatan fardu atau wajib atas mukminin.
  2. Perbuatan yang patut atau dianjurkan (tetapi tidak diwajibkan).
  3. Perbuatan yang diizinkan.
  4. Perbuatan yang dipuji bila kita tinggalkan, tetapi tidak dilarang orang mengerjakannya.
  5. Perbuatan yang dilarang.

Unsur kesusilaan dan keagamaan tidak hanya masuk dalam pembagian golongan perbuatan tadi, tetapi juga dalam sangsi-sangsi hukum. Sangsi-sangsi tadi tidak ditentukan secara lengkap dan acap kali hukuman agama diberikan sebagai pelengkap atau ganti hukuman sosial dan sipil.

"Ilmu pengetahuan penggolongan" tadi menunjukkan kesempurnaan teori dan pembukuan. Asal mulanya ilmu tadi berdasar atas suatu himpunan praktek hukum yang bercampur aduk asalnya yaitu hukum adat Arab, hukum dagang kota Mekkah, hukum tanah kota Madinah, unsur-unsur hukum asing (terutama hukum Siria Rumawi) yang diambil alih setelah penaklukan-penaklukan yang melengkapi atau disesuaikan pada Quran. Sejak zaman Bani Umayah, urusan hukum dalam praktek terdapat dalam tangan pembesar sipil dan militer; perumusan hukum yang diwahyukan dibiarkan dalam tangan ahli usul dan pentafsir-pentafsir yang hanya memiliki pengalaman sedikit saja tentang kehakiman di dunia luar Arabia. Waktu Khalifah Bani Abbas muncul, maka hukum yang disusun secara ilmiah buat pertama kali dicoba dalam praktek. Dalam permulaan masa itulah, dalam abad kedua dan ketiga hijrah, penggolongan tadi akhirnya ditertibkan secara sistem.

Oleh karena kerajaan Bani Abbas di Irak, maka sewajarnya mazhab yang mereka pilih ialah mazhab yang berlaku di Irak. Pendirinya yang tersohor ialah Abu Hanifah (m. 767 M). Walaupun Abu Hanifah sendiri menolak menerima tawaran pekerjaan dalam bidang kehakiman, dua orang muridnya Abu Yusuf dan Muhammad al-Syaibani menjabat pangkat yang tinggi di bidang kehakiman, dan dalam karangan-karangan, mereka mengatur dan mengembangkan ajaran-ajarannya. Mazhab tadi dinamakan (menurut namanya) Mazhab Hanafi, yang tumbuh dari mazhab-mazhab sunah dan perguruan hukum Iraki yang telah ada sebelumnya. Mazhab Hanafi itu menyesuaikan diri dengan pertumbuhan hadis-hadis Nabawi, tetapi dengan kukuh memegang unsur penting dari ra'i, mempergunakan kecerdasan akal (ra'i = opinio).

Mazhab Madinah tumbuh dari "praktek" di Madinah, didukung oleh penemuan-penemuan ahli fiqih yang ternama di zaman lampau. Juaranya ialah Malik ibn Anas (m. 795 M.) yang mengumpulkan hadis-hadis yang menjadi dasar putusan-putusan waktu ia menjabat kadi di Madinah dalam sebuah dewan yang dinamakan al-Muwatta ('Jalan yang diratakan'). Mazhabnya dikenal mengikuti namanya mazhab Maliki.

Kurang dari satu generasi kemudian, al-Syafi'i (m. di Mesir 820 M.) murid dari Malik meletakkan dasar ilmu fiqih yang telah kami terangkan di muka dalam bab ini. Mazhab al-Syafi'i menggabungkan kepatuhan keras pada sunah Nabawi (yang dibedakan dari sunah Madinah) dengan perubahan-perubahan cara Hanafi dalam bentuk qiyas yakni penetapan dengan jalan mempergunakan hukum yang ada bagi soal yang sesuai.

Perbedaan dan perpencaran formal dalam pasal-pasal kecil tiga mazhab tersebut diatas dapat menumbuhkan persetujuan besar dalam masalah-masalah yang lebih penting. Dalam prakteknya ketiga mazhab mengakui sumber-sumber yang sama: Quran, sunah, ijmak; dan satu bentuk pendapat pikiran menggunakan hukum yang ada bagi soal yang sesuai. Janganlah mereka dibeda-bedakan sebagai "aliran" yang berlainan dari sunah, tetapi sebagai mazhab tersendiri, dalam istilah Arabnya berarti jalan (madzahib, mufradnya madzhab). Tiap-tiap sarjana atau mukmin biasa boleh mengikuti salah satu mazhab, akan tetapi lama kelamaan terdapat kecenderungan untuk membagi dunia Islam. Pada dewasa ini, mazhab Hanafi yang lebih berpengaruh di Asia Barat (kecuali Arabia), Mesir Bawah, dan Pakistan; mazhab Syafi'i di Indonesia; mazhab Maliki di Afrika Utara, Afrika Barat, dan Mesir Atas.

Di samping tiga mazhab tadi, masih ada beberapa mazhab lagi. Mazhab Siria al-Auza'i (m 774 M.) lenyap untuk memberi tempat bagi mazhab Maliki pada masa permulaan. Selama abad ketiga terbitlah pergerakan ahli sunah yang kuat terhadap bid'ah dalam pikiran mazhab-mazhab yang ada dan ilmu bahas kaum Muktazilah yang dipimpin oleh dua orang sarjana Baghdad, Ahmad ibn Hambal (m. 855 M.) dan Da'ud al-Zahiri (m 833 M.). Mazhab Zahiri rupanya tidak pernah mendapat penganut yang luas, meskipun mazhab tadi memiliki beberapa ahli fiqih yang luar biasa cerdiknya dalam abad-abad kemudian. Mazhab Hambali mendapat penganut yang kuat di Irak dan Siria sampai penaklukan oleh Dinasti Osman. Dalam abad kedelapan belas mazhab tadi dihidupkan pula (dibawah nama gerakan Wahhabi) di Arabia Tengah, dan sekarang merupakan mazhab yang paling berpengaruh hampir di seluruh Arabia Utara dan Arabia Tengah. Walaupun diakui juga oleh mazhab-mazhab lain, sikapnya terhadap mereka pada umumnya kurang menerima.

Akidah-akidah dan takrif-takrif formal dari mazhab-mazhab tadi sebagian besar tetap tidak berubah sepanjang abad-abad yang menyusul, sehingga tidak ada gunanya menyelidiki sampai ke pangkal asalnya dan membicarakan jumlah kitab-kitab fiqih yang dikarangnya demikian banyak. Berhubung dengan pandangan yang agak luas bahwa Hukum Islam (atau Hukum Quran sebagaimana disebutkan biasanya) telah beku, sejak "Pintu Ijtihad" ditutup dalam abad ketiga, penting juga membuat catatan perkembangan yang kemudian.

Oleh karena perumusan syariat seluruhnya bebas dari kekuasaan keduniawian, tidak mungkin ada masalah campur tangan khalifah-khalifah atau sultan-sultan dengan peraturan dan keputusan. Penguasa pemerintahannya diharuskan mengakui syariat, dan menyelenggarakan tata usahanya dengan mengangkat kadi di semua bagian daerahnya. Hanya sedikit yang boleh dinamakan perundang-undangan oleh negara hingga munculnya kerajaan Dinasti Osman, namun dari dahulu pembesar keduniawian mencampuri hingga batas tertentu dalam penatausahaan kehakiman dengan mengadakan mahkamah untuk "membetulkan kezakman" (mazalim). Dalam mahkamah itu yang dipakai ialah semacam hukum syariat yang telah diubah secara sembarangan, dengan atau tanpa kerja sama dengan kadi resmi.

Dalam mahkamah agama dan kadang-kadang dalam mahkamah mazalim adalah suatu tata cara umum menyerahkan ringkasan sembarang masalah penting kepada seorang ahli fiqih yang berwenang untuk memperoleh pendapatnya. Orang yang diminta pandangan dan nasihatnya dinamakan mufti, dan jawabnya diberikan dalam bentuk fatwa ialah pernyataan tentang masalah hukum. Biasanya mufti-mufti tersebut menegakkan kebebasannya terhadap kuasa keduniawian, tetapi dalam kerajaan Dinasti Osman mereka dimasukkan dalam golongan-golongan pegawai negeri, dan diberi pangkat di bawah kadi. Kepala mufti dari Istambul yang bergelar Syekh al-Islam merupakan pembesar keagamaan tertinggi dalam kerajaan Dinasti Osman.

Himpunan-himpunan fatwa ahli fiqih yang ternama merupakan sumber penting tentang pelajaran kelaziman kehakiman dan perkembangannya daripada buku-buku pelajaran mazhab-mazhab yang telah ditetapkan bentuknya. Dalam fatwa-fatwa tadi tercermin perjuangan yang lama dilakukan beberapa abad (dan yang masih berjalan) antara syariat dan hukum adat setempat dalam beberapa negara Islam, dan tekanan-tekanan tanpa henti pada para pemimpin agama untuk mencakup adat istiadat setempat hingga tahap syariat.

Kendatipun syariat telah berkurang kewibawaannya, syariat selamanya masih tetap memiliki kuasa sebagai idam-idaman dan mahkamah apel yang terakhir; karena kesatuannya dan terurainya, maka ia merupakan kekuatan yang menyatukan, yang utama dalam kebudayaan Islam. Ketiadaan sifat pelenturan menolong mendatangkan hasil tadi dengan mencegah berpencarnya dan kehancurannya menjadi sistem-sistem setempat belaka. Syariat menyerap hampir seluruh segi kehidupan sosial dan cabang kesusasteraan Islam. Tidak melebih-lebihkan untuk melihat syariat, --mengikuti kata-kata seorang sarjana modern dalam pokok ini yang paling mendalam-- "ikhtiar roh Islam yang sebenarnya, pernyataan tegas pikiran Islam, inti sari pokok agama Islam".5

Catatan kaki: 

1 Sebenarnya ulama, jamak dari alim, yang memiliki Ilmu (pengetahuan keagamaan).

2 Santilanna: Instituzioni de Diritto musulmana. I, 32.

3 Santillana. Diritto. 1, 5

4 Muamalat: tindakan-tindakan perdagangan dan hukum.

5 G. Bergatrasser. Gundzuge des Islamischen Rechts. Diterbitkan oleh Joseph Schacht. Halaman 1.

(sebelum, sesudah)


Islam dalam Lintasan Sejarah
oleh Sir Hamilton Alexander Rosskeen Gibb
Penerbit Bhratara Karya Aksara - Jakarta 1983


Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team