BAGIAN KETIGABELAS: PERANG BADR1
(4/4)
Contohnya lagi di kalangan para nabi seperti Isa tatkala
ia berkata:
"Kalaupun mereka Engkau siksa, mereka itu semua hambaMu;
dan kalau Engkau ampuni, Engkau Maha Kuasa dan Bijaksana."
(Qur'an, 5: 118)
Sedang Umar, dalam malaikat contohnya seperti Jibril,
diturunkan membawa kemurkaan dari Tuhan dan bencana terhadap
musuh-musuhNya. Di lingkungan para nabi ia seperti Nuh
tatkala berkata:
"Tuhan, jangan biarkan orang-orang yang ingkar itu punya
tempat-tinggal di muka bumi ini." (Qur'an, 71: 26)
Atau seperti Musa bila ia berkata:
"O Tuhan! Binasakanlah harta-benda mereka itu, dan
tutuplah hati mereka. Mereka takkan percaya sebelum siksa
yang pedih mereka rasakan." (Qur'an, 10: 88)
Kemudian katanya:
"Kamu semua mempunyai tanggungan. Jangan ada yang lolos
mereka itu, harus dengan ditebus atau dipenggal
lehernya."
Lalu mereka berunding lagi dengan sesamanya. Di antara
mereka itu ada seorang penyair, yaitu Abu 'Azza 'Amr b.
Abdullah b. 'Umair al-Jumahi. Melihat adanya pertentangan
pendapat itu cepat-cepat ia mau menyelamatkan diri.
"Muhammad," katanya, "Saya punya lima anak perempuan dan
mereka tidak punya apa-apa. Maka sedekahkan sajalah aku ini
kepada mereka. Aku berjanji dan memberikan jaminan, bahwa
aku tidak akan memerangi kau lagi, juga sama sekali aku
tidak akan memaki-maki kau lagi."
Orang ini mendapat jaminan Nabi dan dibebaskan tanpa
membayar uang tebusan. Hanya dialah satu-satunya tawanan
yang berhasil mendapat jaminan demikian. Tetapi kemudian ia
memungkiri janjinya, dan kembali ia setahun kemudian ikut
berperang di Uhud. Ia kena tawan lagi lalu terbunuh.
Pihak Muslimin, sesudah lama berunding akhirnya
memutuskan, bahwa mereka dapat mengabulkan cara penebusan
itu. Dengan dikabulkannya itu ayat ini turun.
"Tidak sepatutnya seorang nabi itu akan mempunyai
tawanan-tawanan perang, sebelum ia selesai berjuang di
dunia. Kamu menghendaki harta-benda dunia, sedang Allah
menghendaki akhirat. Allah Maha Kuasa dan Bijaksana."
(Qur'an, 8: 67)
Menanggapi masalah tawanan-tawanan Badr ini serta
terbunuhnya Nadzr dan 'Uqba ada beberapa orang Orientalis
yang masih bertanya-tanya: bukankah dengan demikian ini
sudah membuktikan bahwa agama baru ini sangat haus darah?
Kalau tidak tentu kedua orang itu tidak akan dibunuh.
Bukankah sesudah mendapat kemenangan dalam pertempuran akan
lebih terhormat bagi kaum Muslimin jika mengembalikan saja
para tawanan itu, dan mereka sudah cukup memperoleh rampasan
perang?
Maksudnya dengan pertanyaan ini ialah hendak
membangkitkan rasa simpati dalam hati orang yang selama itu
belum menjadi masalah, supaya seribu tahun kemudian sesudah
perang Badr dan peperangan-peperangan yang terjadi
berikutnya akan dijadikan alat untuk mendiskreditkan agama
ini serta pembawanya.
Tetapi ternyata pertanyaan semacam ini kemudian jadi
gugur sendiri apabila terbunuhnya Nadzr dan 'Uqba ini kita
bandingkan dengan apa yang terjadi dewasa ini dan akan
selalu terjadi, selama perabadan Barat, yang memakai jubah
Kristen itu masih tetap menguasai dunia. Terhadap apa yang
telah terjadi di negara-negara yang dikuasai oleh penjajah
secara paksa atas nama hendak memadamkan pemberontakan itu,
dapatkah peristiwa di atas tadi - sedikit saja - dijadikan
perbandingan? Dapatkah hal itu - sedikit saja - kita
bandingkan dengan penyembelihan yang terjadi dalam Perang
Dunia? Selanjutnya, dapatkah peristiwa itu kita bandingkan
pula - sedikit saja - dengan apa yang telah terjadi selama
Revolusi Perancis, dalam pelbagai revolusi yang pernah
terjadi dan akan selalu terjadi pada bangsa-bangsa Eropa
lainnya?
Memang sudah tak dapat disangkal bahwa apa yang dialami
Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu adalah suatu revolusi
yang dahsyat dan Muhammad yang diutus Tuhan, berhadapan
dengan paganisma dan orang-orang musyrik sebagai
penyembahnya. Suatu revolusi, yang pada mulanya berkecamuk
di Mekah, dan yang oleh karenanya, berbagai macam siksaan
dan penderitaan dialami oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya
selama tigabelas tahun terus-menerus. Kemudian kaum Muslimin
pindah ke Medinah. Di tempat ini mereka nengumpulkan tenaga
dan kekuatan. Sementara itu benih-benih revolusi masih terus
tumbuh dalam hati mereka, juga dalam hati semua orang
Quraisy.
Pindahnya Muslimin ke Medinah, perjanjian mereka dengan
orang-orang Yahudi setempat, terjadinya
benterokan-benterokan sebelum peristiwa Badr, lalu Perang
Badr itu sendiri - semua itu adalah suatu siasat revolusi,
bukan prinsip. Kebijaksanaan yang telah ditentukan oleh
pemimpin revolusi dan sahabat-sahabatnya itu akan disusul
pula oleh adanya ketentuan prinsip-prinsip yang luhur, yang
telah dibawa oleh Rasul. Jadi, siasat revolusi itu lain dan
prinsip-prinsip revolusi lain lagi. Juga kondisi yang
terjadi berikutnya kadang sama sekali berbeda dari tujuan
pokok kondisi itu. Dalam hal Islam telah menjadikan rasa
persaudaraan sebagai dasar peradaban Islam, maka untuk
mencapai sukses jalan itu harus ditempuh, sekalipun untuk
itu harus berlaku suatu kekerasan kalau memang sudah tak
dapat dihindarkan lagi.
Tindakan kaum Muslimin terhadap tawanan-tawanan perang
Badr adalah suatu teladan yang baik dan penuh kasih-sayang,
dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam beberapa revolusi
yang oleh pencetusnya diagungkan dengan arti keadilan dan
kasih-sayang. Dan inipun merupakan satu bagian saja di
samping penyembelihan-penyembelihan yang banyak terjadi atas
nama Kristus, seperti penyembelihan Saint Bartholomew (Saint
Barthelemy), suatu peristiwa penyembelihan yang dapat
dianggap sebagai suatu aib besar dalam sejarah Kristen, yang
dalam sejarah Islam contoh semacam itu samasekali tidak
pernah ada. Penyembelihan ini diatur pada waktu malam.
Orang-orang Katolik di Paris membantai orang-orang Protestan
dengan jalan tipu-muslihat dan penghkianatan, suatu gambaran
tipu-muslihat dan penghianatan yang sungguh rendah dan
kotor.
Jadi kalau dua orang saja dari lima puluh tawanan Badr
itu yang dibunuh oleh Muslimin, karena mereka selama tiga
belas tahun memang begitu kejam terhadap kaum Muslimin, yang
sampai menderita pelbagai macam siksaan selama di Mekah,
itupun karena adanya sikap kasihan yang berlebih-lebihan dan
dianggap sebagai suatu keuntungan yang terlalu pagi seperti
disebutkan dalam ayat:
"Tidak sepatutnya seorang nabi itu akan mempunyai
tawanan-tawanan perang, sebelum ia selesai berjuang di
dunia. Kamu menghendaki kekayaan duniawi, sedang Allah
menghendaki akhirat. Allah Maha Kuasa dan Bijaksana."
(Qur'an, 8: 67)
Sementara orang-orang Islam sedang bersukaria karena
dengan anugerah Tuhan mereka mendapat kemenangan berikut
harta rampasan, Haisuman b. Abdullah al-Khuza'i secara
tergesa-gesa sekali berangkat pula menuju Mekah. Dia menjadi
orang yamg pertama masuk di Mekah dan memberitahukan
penduduk mengenai hancurnya pasukan Quraisy serta bencana
yang telah menimpa pembesar-pembesar, pemimpin-pemimpin dan
bangsawan-bangsawan mereka. Pada mulanya Mekah terkejut
sekali, dan tidak mempercayai berita itu. Betapa takkan
terkejut mendengar berita kehancuran itu serta terbunuhnya
pemimpin-pemimpin dan bangsawan-bangsawan mereka! Tetapi
tampaknya Haisuman memang tidak mengigau, diyakinkannya
sekali apa yang dikatakannya. Dari pihak Quraisy dia sendiri
memang yang merasa paling terpukul dengan bencana itu.
Setelah ternyata berita kejadian tersebut memang benar,
seolah-olah mereka tersungkur jatuh pingsan. Abu Lahab jatuh
demam, dan tujuh hari kemudian iapun meninggal. Sekarang
orang-orang mengadakan perundingan, apa yang harus mereka
lakukan. Kemudian dicapai kata sepakat untuk tidak
menyatakan duka-cita atas kematian mereka, sebab apabila
nanti ini terdengar oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya,
mereka akan diejek. Juga tidak akan mengrim orang untuk
menebus para tawanan itu, supaya jangan sampai Muhammad dan
sahabat-sahabatnya nanti memperketat mereka dan meminta
tebusan yang terlampau tinggi.
Haripun berjalan juga. Orang-orang Quraisy sedang menahan
hati mengalami cobaan itu sambil menunggu kesempatan sampai
dapat tawanan-tawanan mereka itu nanti tertebus.
Hari itu yang datang adalah Mikraz b. Hafz, hendak
menebus Suhail b. 'Amr. Rupanya Umar bin'l-Khattab keberatan
kalau orang itu bebas tanpa mendapat sesuatu gangguan. Maka
lalu ia berkata:
"Rasulullah. Ijinkan saya mencabut dua gigi seri Suhail
b. 'Amr ini, supaya lidahnya menjulur keluar dan tidak lagi
berpidato mencercamu di mana-mana."
Tapi ini dijawab oleh Nabi dengan suatu jawaban yang
sungguh agung:
"Aku tidak akan memperlakukannya secara kasar, supaya
Tuhan tidak memperlakukan aku demikian, sekalipun aku
seorang nabi."
Zainab puteri Nabi juga lalu mengirimkan tebusan hendak
membebaskan suaminya, Abu'l-'Ash b. Rabi'. Diantara yang
dipakai penebus itu ialah sebentuk kalung pemberian Khadijah
ketika dulu ia akan dikawinkan dengan Abu'l-'Ash.
Melihat kalung itu, Nabi merasa sangat terharu sekali
"Kalau tuan-tuan hendak melepaskan seorang tawanan dan
mengembalikan barang tebusannya kepada sipemilik, silakan
saja," kata Nabi.
Kemudian ia mendapat kata sepakat dengan Abu'l-'Ash untuk
menceraikan Zainab, yang menurut hukum Islam mereka sudah
bercerai. Dalam pada itu Muhammad mengutus Zaid b. Haritha
dan seorang sahabat lagi guna menjemput Zainab dan
membawanya ke Medinah.
Akan tetapi sesudah sekian lama Abu'l-'Ash dibebaskan
sebagai tawanan, ia berangkat ke Syam membawa barang
dagangan Quraisy. Sesampainya di dekat Medinah, ia bertemu
dengan satuan Muslimin. Barang-barang bawaannya mereka
ambil. Ia meneruskan perjalanan dalam gelap malam itu hingga
ke tempat Zainab. Ia minta perlindungan dari Zainab dan
Zainabpun melindunginya pula. Ketika itu barang-barang
dagangannya dikembalikan oleh Muslimin kepadanya dan dengan
aman ia kembali ke Mekah. Setelah barang-barang tersebut
dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing dari kalangan
Quraisy, ia berkata:
"Masyarakat Quraisy! masih adakah dari kamu yang belum
mengambil barangnya?"
"Tidak ada," jawab mereka. "Mudah-mudahan Tuhan membalas
kebaikanmu. Engkau ternyata orang yang jujur dan murah
hati."
"Saya naik saksi," katanya lagi kemudian, "bahwa tak ada
tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan
RasulNya. Sebenarnya saya dapat saja masuk Islam di kotanya
itu, tapi saya kuatir tuan-tuan akan menduga, bahwa saya
hanya ingin makan harta tuan-tuan ini. Setelah semua ini
saya kembalikan kepada tuan-tuan dan tugas saya selesai,
maka sekarang saya masuk Islam."
Kemudian ia kembali ke Medinah. Zainab juga oleh Nabi
dikembalikan lagi kepadanya.
Dalam pada itu pihak Quraisy terus saja menebus
tawanannya. Nilai tebusan waktu itu berkisar antara seribu
sampai empat ribu dirham untuk tiap orang. Kecuali yang
tidak punya apa-apa dengan kemurahan hati Muhammad
membebaskannya.
Rasanya tidak ringan nasib yang menimpa Quraisy itu, juga
mereka tidak mau menghentikan permusuhan dengan Muhammad
atau melupakan kekalahan yang mereka alami. Bahkan sesudah
itu kemudian wanita-wanita Quraisy itu ramai-ramai selama
sebulan penuh menangisi mayat mereka. Rambut kepala mereka
sendiri mereka gunting. Kendaraan atau kuda orang yang sudah
mati itu dibawa, lalu mereka menangis mengelilinginya.
Dalam hal ini tak ada yang ketinggalan, kecuali Hindun
bt. 'Utba, isteri Abu Sufyan. Ketika pada suatu hari ia
didatangi oleh wanita-wanita dengan mengatakan: "Kau tidak
menangisi ayahmu, saudaramu, pamanmu dan keluargamu?"
Ia menjawab:
"Aku menangisi mereka? Supaya kalau nanti didengar oleh
Muhammad dan teman-temannya mereka menyoraki kita? Dan
wanita-wanita Khazraj juga akan menyoraki kita? Tidak! Aku
mesti menuntut balas kepada Muhammad dan teman-temannya!
Haram kita memakai minyak sebelum dapat kita memerangi
Muhammad. Sungguh, kalau aku dapat mengetahui, bahwa
kesedihan itu bisa hilang dari hatiku, tentu aku menangis.
Tetapi ini baru akan hilang kalau mangsaku yang membunuh
orang-orang yang kucintai itu sudah kulihat dengan mata
kepalaku sendiri!"
Memang, ia tidak lagi memakai minyak atau mendekati
tempat-tidur Abu Sufyan. Ia terus mengerahkan orang sampai
pada waktu pecah perang Uhud. Sedang Abu Sufyan, sesudah
peristiwa Badr, ia bernazar tidak akan bersuci kepala dengan
air sebelum ia memerangi Muhammad.
Catatan kaki:
- Pada umumnya istilah ghazwa dan sarinya, dibedakan
dengan pengertian, bahwa ghazwa (jamak ghazawat), pasukan
yang bergerak bersama-sama dengan Nabi, sedang sariya
(jamak saraya) pasukan yang bergerak tanpa Nabi ikut
serta. Kata ghazwa pada umumnya diterjemahkan dengan
perang. Dalam terjemahan ini dipergunakan tiga
pengertian: perang ekspedisi dan razzia atau pembersihan.
Buku yang lebih khusus membicarakan strategi perang
antara lain: Mayor Muh. Abd'l-Fattah Ibrahim, Muhammad
al-Qa'id, Cairo 1945/1964; Muhammad Hamidullah, The
Battlefields of the Prophet Muhammad, Working, England,
1952, 1953; Jenderal Mahmud Syait Khattab
Ar-Rasul'l-Qa'id, Cairo, 1964. Badr adalah sebuah desa di
barat daya Medinah, sebuah pangkalan air terkenal yang
terletak antara Medinah dan Mekah, tak seberapa jauh dari
pantai Laut Merah (A).
- Al-Haura, sebuah distrik di sebelah Mesir pada akhir
perbatasan dengan Hijaz di Laut Merah, yang merupakan
pelabuhan kapal-kapal Mesir ke Medinah. Cf. Jenderal
Mahmud Syeit Khattab, ar-Rasul'l-Qa'id, hal. 90 (A).
- Julukan Umayya b. Khalaf (A).
- Ihda't-ta'ifatain, harfiah, salah satu dari dua
kelompok. Dua kelompok ialah kafilah Quraisy yang datang
dari Suria membawa harta dagangan yang besar, terdiri
dari 40 orang tak bersenjata di bawah pimpinan Abu
Sufyan. 2) Angkatan bersenjata Quraisy terdiri dan 1000
orang dengan perenjataan lengkap datang dan Mekah di
bawah pimpinan Abu Jahl. (A).
- 'Udwa 'tepi wadi' (LA). Al-'udwat'l-qashwa 'tepi wadi
yang lebih dekat ke arah Mekah' sebaliknya daripada
'al-'udwat'd-dunya' 'tepi wadi yang lebih dekat ke arah
Medinah' (L4) (A)
- Qur'an, 8: 7. (Lihat juga catatan bahwa halaman 268)
(A).
- Aslinya "Ya Nabiullah" (A).
- Maksudnya 'Amr bin'l-Hadzami yang tewas dalam
bentrokan dengan satuan Abdullah b. Jahsy (A).
- "Demi Allah" (A).
- Suatu pernyataan Tauhid (A).
- Manaha harfiah berarti 'tempat wanita-wanita
menangisi mayat' (LA). (A).
|