BAGIAN KETIGABELAS: PERANG BADR1
(3/4)
Serentak pihak Muslimin menyerbu kedepan, masih dalam
jumlah yang lebih kecil dari jumlah Quraisy. Tetapi jiwa
mereka sudah penuh terisi oleh semangat dari Tuhan. Sudah
bukan mereka lagi yang membunuh musuh, sudah bukan mereka
lagi yang menawan tawanan perang. Hanya karena adanya
semangat dari Tuhan yang tertanam dalam jiwa mereka itu
kekuatan moril mereka bertambah, sehingga kekuatan materi
merekapun bertambah pula. Dalam hal ini firman Allah
turun:
"Ingat, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat:
'Aku bersama kamu.' Teguhkanlah pendirian orang-orang
beriman itu. Akan kutanamkan rasa gentar ke dalam hati
orang-orang kafir itu. Pukullah bagian atas leher mereka dan
pukul pula setiap ujung jari mereka." (Qur'an, 8: 12)
"Sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan
Allah juga yang telah membunuh mereka. Juga ketika kau
lemparkan, sebenarnya bukan engkau yang melakukan itu,
melainkan Tuhan juga." (Qur'an, 8: 17)
Tatkala Rasul melihat bahwa Tuhan telah melaksanakan
janjiNya dan setelah ternyata pula kemenangan berada di
pihak orang-orang Islam, ia kembali ke pondoknya.
Orang-orang Quraisy kabur. Oleh Muslimin mereka dikejar
terus. Yang tidak terbunuh dan tak berhasil melarikan diri,
ditawan.
Inilah perang Badr, yang kemudian telah memberikan tempat
yang stabil kepada umat Islam di seluruh tanah Arab, dan
yang merupakan suatu pendahuluan lahirnya persatuan seluruh
semenanjung di bawah naungan Islam, juga sebagai suatu
pendahuluan adanya persekemakmuran Islam yang terbentang
luas sekali. Ia telah menanamkan sebuah peradaban besar di
dunia, yang sampai sekarang masih dan akan terus mempunyai
pengaruh yang dalam di dalam jantung kehidupan dunia.
Bukan tidak mungkin orang akan merasa kagum sekali bila
mengetahui, bahwa, meskipun Muhammad sudah begitu
mengerahkan sahabat-sahabatnya dan mengharapkan terkikisnya
musuh Tuhan dan musuhnya itu, namun sejak semula terjadinya
pertempuran ia sudah minta kepada Muslimin untuk tidak
membunuh Banu Hasyim dan tidak membunuh orang-orang tertentu
dari kalangan pembesar-pembesar Quraisy, sekalipun pada
dasarnya mereka akan membunuh setiap orang dari pihak Islam
yang dapat mereka bunuh. Dan jangan pula orang mengira,
bahwa ia berbuat begitu karena ia mau membela keluarganya
atau siapa saja yang punya pertalian keluarga dengan dia.
Jiwa Muhammad jauh lebih besar daripada akan terpengaruh
oleh hal-hal serupa itu. Apa yang menjadi pertimbangannya
ialah, ia masih ingat Banu Hasyim dulu yang telah berusaha
melindunginya selama tigabelas tahun sejak mula masa
kerasulannya hingga masa hijrahnya, sampai-sampai Abbas
pamannya ikut menyertainya pada malam diadakan ikrar 'Aqaba.
Juga jasa orang lain yang masih kafir di kalangan Quraisy di
luar Banu Hasyim yang menuntut dibatalkannya piagam
pemboikotan, yang oleh Quraisy dia dan sahabat-sahabatnya
dipaksa tinggal di celah-celah gunung, setelah semua
hubungan oleh mereka itu diputuskan. Segala kebaikan yang
telah diberikan oleh mereka masing-masing oleh Muhammad
dianggap sebagai suatu jasa yang harus mendapat balasan
setimpal, harus mendapat balasan sepuluh kali lipat. Oleh
karena itu oleh Muslimin ia dianggap sebagai perantara bagi
mereka masing-masing selama terjadi pertempuran, meskipun di
kalangan Quraisy sendiri masih ada yang menolak pemberian
pengampunan itu seperti yang dilakukan oleh Abu'l-Bakhtari -
salah seorang yang ikut melaksanakan dicabutnya piagam. Ia
menolak dan terbunuh.
Dengan perasaan dongkol penduduk Mekah lari tunggang
langgang. Mereka sudah tak dapat mengangkat muka lagi. Bila
mata mereka tertumbuk pada salah seorang kawan sendiri,
karena rasa malunya ia segera membuang muka, mengingat nasib
buruk yang telah menimpa mereka semua.
Sampai sore itu pihak Muslimin masih tinggal di Badr.
Kemudian mayat-mayat Quraisy itu mereka kumpulkan dan
setelah dibuatkan sebuah perigi besar mereka semua
dikuburkan. Malam harinya Muhammad dan sahabat-sahabatnya
sibuk di garis depan menyelesaikan barang-barang rampasan
perang serta berjaga-jaga terhadap orang-orang tawanan.
Tatkala malam sudah gelap Muhammad mulai merenungkan
pertolongan yang diberikan Tuhan kepada Muslimin yang dengan
jumlah yang begitu kecil telah dapat menghancurkan kaum
musyrik yang tidak mempunyai perisai kekuatan iman selain
membanggakan jumlah besarnya saja. Dalam ia merenungkan hal
ini, pada waktu larut malam itu sahabat-sahabatnya mendengar
ia berkata:
"Wahai penghuni perigi! Wahai 'Utba b. Rabi'a! Syaiba b.
Rabi'a! Umayya b. Khalaf! Wahai Abu Jahl b. Hisyam! ..." -
Seterusnya ia menyebutkan nama orang-orang yang dalam perigi
itu satu satu. "Wahai penghuni perigi! Adakah yang
dijanjikan tuhanmu itu benar-benar ada. Aku telah bertemu
dengan apa yang telah dijanjikan Tuhanku."
"Rasulullah, kenapa bicara dengan orang-orang yang sudah
bangar?" kata kaum Muslimim kemudian bertanya.
"Apa yang saya katakan mereka lebih mendengar daripada
kamu," jawab Rasul. "Tetapi mereka tidak dapat
menjawab."
Ketika itu Rasulullah melihat ke dalam wajah Abu Hudhaifa
ibn 'Utba. Ia tampak sedih dan mukanya berubah.
"Barangkali ada sesuatu dalam hatimu mengenai ayahmu, Abu
Hudhaifa"? tanyanya.
"Sekali-kali tidak, Rasulullah," jawab Abu Hudhaifa.
"Tentang ayah, saya tidak sangsi lagi, juga tentang
kematiannya. Hanya saja yang saya ketahui pikirannya baik,
bijaksana dan berjasa. Jadi saya harapkan sekali ia akan
mendapat petunjuk menjadi seorang Islam. Tetapi sesudah saya
lihat apa yang teriadi, dan teringat pula hidupnya dulu
dalam kekafiran, sesudah makin jauh apa yang saya harapkan
dari dia, itulah yang membuat saya sedih."
Tetapi Rasulullah menyebutkan yang baik tentang dia serta
mendoakan kebaikan baginya.
Keesokan harinya pagi-pagi, bila Muslimin sudah siap-siap
akan berangkat pulang menuju Medinah, mulailah timbul
pertanyaan sekitar masalah harta rampasan, buat siapa
seharusnya. Kata mereka yang melakukan serangan: kami yang
mengumpulkannya; jadi itu buat kami. Lalu kata yang mengejar
musuh sampai pada waktu mereka mengalami kehancuran kalau
tidak karena kami, kamu tidak akan mendapatkannya. Dan kata
mereka yang mengawal Muhammad karena kuatir akan diserang
musuh dari belakang: kamu sekalian tak ada yang lebih berhak
dari kami. Sebenarnya kami dapat memerangi musuh dan
mengambil harta mereka, ketika tak ada suatu pihakpun yang
akan melindungi mereka. Tetapi kami kuatir adanya serangan
musuh kepada Rasulullah. Oleh karena itu kami lalu
menjaganya.
Tetapi kemudian Muhammad menyuruh mengembalikan semua
harta rampasan yang ada ditangan mereka itu, dan dimintanya
supaya dibawa agar ia dapat memberikan pendapat atau akan
ada ketentuan Tuhan yang akan menjadi keputusan.
Muhammad mengutus Abdullah b. Rawaha dan Zaid b. Haritha
ke Medinah guna menyampaikan berita gembira kepada penduduk
tentang kemenangan yang telah dicapai kaum Muslimin. Sedang
dia sendiri dengan sahabat-sahabatnya berangkat pula menuju
Medinah dengan membawa tawanan dan rampasan perang yang
telah diperolehnya dari kaum musyrik, dan diserahkan
pimpinannya kepada Abdullah b. Ka'b.
Mereka berangkat. Sesudah menyeberangi selat Shafra',
pada sebuah bukit pasir Muhammad berhenti. Di tempat ini
rampasan perang yang sudah ditentukan Allah bagi Muslimin
itu dibagi rata. Beberapa ahli sejarah mengatakan, bahwa
pembagian kepada mereka itu sesudah dikurangi seperlimanya
sesuai dengan firman Allah:
"Dan hendaklah kamu ketahui, bahwa rampasan perang yang
kamu peroleh, seperlimanya untuk Tuhan, untuk Rasul, untuk
para kerabat dan anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang yang terlantar dalam perjalanan, kalau kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan pada apa yang Kami
turunkan kepada hamba Kami pada hari yang menentukan itu,
hari, ketika dua golongan itu saling berhadapan. Dan atas
segala sesuatu Allah Maha Kuasa." (Qur'an, 8: 41)
Sebahagian besar penulis-penulis sejarah Nabi
berpendapat, terutama angkatan lamanya - bahwa ayat tersebut
turun sesudah peristiwa Badr dan sesudah rampasan perang
dibagi, dan bahwa Muhammad membaginya secara merata di
kalangan Muslimin, dan bahwa untuk kuda disamakannya dengan
apa yang ada pada penunggangnya, bagian mereka yang gugur di
Badr diberikan kepada ahli warisnya, mereka yang tinggal di
Medinah dan tidak ikut ke Badr karena bertugas mengurus
keperluan Muslimin, dan mereka yang dikerahkan berangkat ke
Badr tapi tertinggal di belakang karena sesuatu alasan yang
dapat diterima oleh Rasul, juga mendapat bagian. Dengan
demikian rampasan perang itu dibagi secara adil. Yang ikut
bersama dalam perang dan mendapat kemenangan bukan hanya
yang bertempur saja, melainkan yang ikut bersama-sama dalam
perang dan mendapat kemenangan itu ialah siapa saja yang
ikut bekerja kearah itu, baik yang di garis depan atau yang
jauh dari sana.
Sementara kaum Muslimin dalam perjalanan ke Medinah itu,
dua orang tawanan telah mati terbunuh, yakni seorang bernama
Nadzr bin'l-Harith dan yang seorang lagi bernama 'Uqba b.
Abi Mu'ait. Sampai pada waktu itu baik Muhammad atau
sahabat-sahabatnya belum lagi membuat suatu peraturan
tertentu dalam menghadapi para tawanan itu yang akan
mengharuskan mereka dibunuh, ditebus atau dijadikan budak.
Tetapi Nadzr dan 'Uqba ini keduanya merupakan bahaya yang
selalu mengancam Muslimin selama di Mekah dulu. Setiap ada
kesempatan kedua orang ini selalu mengganggu mereka.
Terbunuhnya Nadzr ini ialah tatkala mereka sampai di
Uthail para tawanan itu diperlihatkan kepada Nabi a.s.
Ditatapnya Nadzr ini dengan pandangan mata yang demikian
rupa, sehingga tawanan ini gemetar seraya berkata kepada
seseorang yang berada di sampingnya:
"Muhammad pasti akan membunuh aku," katanya. "Ia
menatapku dengan pandangan mata yang mengandung maut."
"Ini hanya karena kau merasa takut saja," jawab orang
yang di sebelahnya.
Sekarang Nadzr berkata kepada Mushiab b. 'Umair - orang
yang paling banyak punya rasa belas-kasihan di tempat
itu.
"Katakan kepada temanmu itu supaya aku dipandang sebagai
salah seorang sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan pasti
dia akan membunuh aku."
"Tetapi dulu kau mengatakan begini dan begitu tentang
Kitabullah dan tentang diri Nabi," kata Mushiab. "Dulu kau
menyiksa sahabat-sahabatnya."
"Sekiranya engkau yang ditawan oleh Quraisy, kau takkan
dibunuh selama aku masih hidup," kata Nadzr lagi.
"Engkau tak dapat dipercaya," kata Mush'ab. "Dan lagi aku
tidak seperti engkau. Janji Islam dengan kau sudah
terputus."
Sebenarnya Nadzr adalah tawanan Miqdad, yang dalam hal
ini ia ingin memperoleh tebusan yang cukup besar dan
keluarganya. Mendengar percakapan tentang akan dibunuhnya
itu ia segera berkata:
"Nadzr tawananku," teriaknya.
"Pukul lehernya," kata Nabi a.s. "Ya Allah. Semoga Miqdad
mendapat karuniaMu."
Dengan pukulan pedang kemudian ia dibunuh oleh Ali b. Abi
Talib.
Pada waktu mereka dalam perjalanan ke 'Irq'z-Zubya
diperintahkan oleh Nabi supaya 'Uqba b. Abi Mu'ait juga
dibunuh.
"Muhammad," katanya, "siapa yang akan mengurus
anak-anak?"
"Api," jawabnya.
Lalu iapun dibunuh oleh Ali b. Abi Talib atau oleh 'Ashim
b. Thabit, sumbernya berlain-lain.
Sehari sebelum Nabi dan Muslimin sampai
di Medinah kedua utusannya Zaid b. Haritha dan Abdullah b.
Rawaha sudah lebih dulu sampai. Mereka masing-masing
memasuki kota dari jurusan yang berlain-lainan. Dan atas
unta yang dikendarainya itu Abdullah mengumumkan dan
memberikan kabar gembira kepada Anshar tentang kemenangan
Rasulullah dan sahabat-sahabat, sambil menyebutkan
siapa-siapa dan pihak musyrik yang terbunuh. Begitu juga
Zaid b. Haritha melakukan hal yang sama sambil ia menunggang
Al-Qashwa', unta kendaraan Nabi. Kaum Muslimin bergembira
ria. Mereka berkumpul, dan mereka yang masih berada dalam
rumah pun keluar beramai-ramai dan berangkat menyambut
berita kemenangan besar ini.
Sebaliknya orang-orang musyrik dan orang-orang Yahudi
merasa terpukul sekali dengan berita itu. Mereka berusaha
akan meyakinkan diri mereka sendiri dan meyakinkan
orang-orang Islam yang tinggal di Medinah, bahwa berita itu
tidak benar.
"Muhammad sudah terbunuh dan teman-temannya sudah
ditaklukkan," tenak mereka. "Ini untanya seperti sudah
sama-sama kita kenal. Kalau dia yang menang, niscaya unta
ini masih di sana. Apa yang dikatakan Zaid hanya mengigau
saja dia, karena sudah gugup dan ketakutan."
Tetapi pihak Muslimin setelah mendapat kepastian benar
dari kedua utusan itu dan yakin sekali akan kebenaran berita
itu, sebenarnya mereka malah makin gembira, kalau tidak lalu
terjadi suatu penstiwa yang mengurangi rasa kegembiraan
mereka itu, yakni penstiwa kematian Ruqayya puteri Nabi.
Tatkala ditinggalkan pergi ke Badr ia dalam keadaan sakit,
dan suaminya, Usman b. 'Affan, juga ditinggalkan supaya
merawatnya.
Apabila kemudian temyata bahwa Muhammad yang menang,
mereka merasa sangat terkejut. Posisi mereka terhadap
Muslimin jadi lebih rendah dan hina sekali, sampai-sampai
ada salah seorang pembesar Yahudi yang mengatakan:
"Bari kita sekarang lebih baik berkalang tanah daripada
tinggal di atas bumi ini sesudah kaum bangsawan,
pemimpinpemimpin dan pemuka-pemuka Arab serta penduduk tanah
suci itu mendapat bencana."
Kaum Muslimin memasuki Medinah sehari sebelum
tawanan-tawanan perang sampai. Setelah mereka dibawa dan
Sauda bt. Zam'a isteri Nabi baru saja pulang
melawati11 orang mati pada kabilah Banu 'Afra',
tempat asalnya, dilihatnya Abu Yazid Suhail b. 'Amr, salah
seorang tawanan, yang kedua belah tangannya diikat dengan
tali ke tengkuk, ia tak dapat menahan diri. Dihampirinya
orang itu seraya katanya:
"Oh Abu Yazid! Kamu sudah menyerahkan diri. Lebih baik
mati sajalah dengan terhormat!."
"Sauda!" Muhammad memanggilnya dan dalam rumah. "Kau
membangkitkan semangatnya melawan Allah dan RasulNya!"
"Rasulullah," katanya. "Demi Allah Yang telah mengutusmu
dengan segala kebenaran. Saya sudah tak dapat menahan diri
ketika melihat Abu Yazid dengan tangannya terikat di tengkuk
sehingga saya berkata begitu."
Sesudah itu kemudian Muhammad memisah-misahkan para
tawanan itu di antara sahabat-sahabatnya, sambil berkata
kepada mereka:
"Perlakukanlah mereka sebaik-baiknya."
Hal ini kemudian menjadi pikiran baginya, apa yang harus
dilakukannya terhadap mereka itu. Dibunuh saja atau harus
meminta tebusan dari mereka? Mereka itu orang-orang yang
keras dalam perang, orang yang kuat bertempur. Hati mereka
penuh rasa dengki dan dendam setelah mereka mengalami
kehancuran di Badr, serta akibatnya yang telah membawa
keaiban sebagai tawanan perang. Apabila ia mau menerima
tebusan, ini berarti mereka akan berkomplot dan akan kembali
memeranginya lagi; kalau dibunuh saja mereka itu, akan
menimbulkan sesuatu dalam hati keluarga-keluarga Quraisy,
yang bila dapat ditebus barangkali akan jadi tenang.
Ia menyerahkan masalah ini ketangan sahabat-sahabat kaum
Muslimin. Diajaknya mereka bermusyawarah dan pilihan
terserah kepada mereka. Kalangan Muslimin sendiri melihat
tawanan-tawanan ini ternyata masih ingin hidup dan akan
bersedia membayar tebusan dengan harga tinggi.
"Lebih baik kita mengirim orang kepada Abu Bakr," kata
mereka. "Dari kerabat kita ia orang Quraisy yang pertama,
dan yang paling lembut dan banyak punya rasa belas-kasihan.
Kita tidak melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari
dia."
Lalu mereka mengutus orang menemui Abu Bakr.
"Abu Bakr," kata mereka. "Di antara kita ada yang masih
pernah ayah, saudara, paman atau mamak kita serta saudara
sepupu kita. Orang yang jauh dari kitapun masih kerabat
kita. Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya bermurah hati
kepada kami atau menerima penebusan kami."
Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha. Tetapi
mereka kuatir Umar ibn'l-Khattab akan mempersulit urusan
mereka ini. Maka mereka mengutus beberapa orang lagi
kepadanya, dengan menyatakan seperti yang dikatakan kepada
Abu Bakr. Tetapi Umar menatap mereka penuh curiga. Kemudian
kedua sahabat besar Muhammad ini berangkat menemuinya. Abu
Bakr berusaha melunakkan dan meredakan kemarahannya.
"Rasulullah," katanya. "Demi ayah dan ibuku. Mereka itu
masih keluarga kita; ada ayah, ada anak atau paman, ada
sepupu atau saudara-saudara. Orang yang jauh dari kitapun
masih kerabat kita. Bermurah hatilah kita kepada mereka itu.
Semoga Tuhan memberi kemurahan kepada kita. Atau kita
terimalah tebusan dari mereka, semoga Tuhan akan
menyelamatkan mereka dari api neraka. Maka apa yang kita
ambil dari mereka akan memperkuat kaum Muslimin juga. Semoga
Allah kelak membalikkan hati mereka."
Muhammad diam, tidak menjawab. Kemudian ia berdiri dan
pergi menyendiri. Oleh Umar ia didekati dan duduk di
sebelahnya.
"Rasulullah," katanya. "Mereka itu musuh-musuh Tuhan.
Mendustakan tuan, memerangi tuan dan mengusir tuan. Penggal
sajalah leher mereka. Mereka inilah kepala-kepala orang
kafir, pemuka-pemuka orang yang sesat. Orang-orang musyrik
itu adalah orang-orang yang sudah dihinakan Tuhan."
Juga Muhammad tidak menjawab.
Sekarang Abu Bakr kembali ke tempat duduknya semula.
Begitu lemah-lembut ia bersikap sambil mengharapkan sikap
yang lebih lunak. Disebutnya adanya pertalian famili dan
kerabat, dan kalau para tawanan itu masih hidup,
diharapkannya akan mendapat petunjuk Tuhan. Sedang Umar
kembali memperlihatkan sikapnya yang adil dan keras. Baginya
lemah-lembut atau kasihan tidak ada.
Selesai Abu Bakr dan Umar bicara, Muhammad berdiri. Ia
kembali ke kamarnya. Ia tinggal sejenak di sana. Kemudian ia
kembali keluar. Orang ramai segera melibatkan diri dalam
persoalan ini. Satu pihak mendukung pendapat Abu Bakr, yang
lain memihak kepada Umar. Nabi mengajak mereka berunding,
apa yang harus dilakukannya. Lalu dibuatnya suatu
perumpamaan tentang Abu Bakr dan Umar. Abu Bakr adalah
seperti Mikail, diturunkan Tuhan dengan membawa sifat pemaaf
kepada hambaNya. Dan dari kalangan nabi-nabi seperti
Ibrahim. Ia sangat lemah-lembut terhadap masyarakatnya. Oleh
masyarakatnya sendiri ia dibawa dan dicampakkan ke dalam
api. Tapi tidak lebih ia hanya berkata:
"Cih! Kenapa kamu menyembah sesuatu selain Allah?
Tidakkah kamu berakal?" (Qur'an, 21: 67)
Atau seperti katanya:
"Yang ikut aku, dia itulah yang di pihakku. Tapi terhadap
yang membangkang kepadaku, Engkau Maha Pengampun dan
Penyayang." (Qur'an. 14: 36) ke bagian
4/4)
|