|
1. KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN
(3/6)
Kalau tujuan puasa itu supaya tubuh tidak terlampau
memberatkan jiwa, sifat materialisma kita jangan terlalu
menekan sifat kemanusiaan kita, orang yang menahan diri dari
waktu fajar sampai malam, kemudian sesudah itu hanyut dalam
berpuas-puas dalam kesenangan, berarti ia sudah mengalihkan
tujuan tersebut. Tanpa puasa pun hanyut dalam memuaskan diri
itu sudah sangat merusak, apalagi kalau orang berpuasa,
sepanjang hari ia menahan diri dari segala makanan, minuman
dan segala kesenangan, dan bilamana sudah lewat waktunya ia
lalu menyerahkan diri kepada apa saja yang dikiranya di
waktu siang ia tak dapat menikmatinya! Kalau begitu Tuhan
jugalah yang menyaksikan, bahwa puasanya bukan untuk
membersihkan diri, mempertinggi sifat kemanusiaannya, juga
ia berpuasa bukan atas kehendak sendiri karena percaya,
bahwa puasa itu memberi faedah kedalam rohaninya, tapi ia
puasa karena menunaikan suatu kewajiban, tidak disadari oleh
pikirannya sendiri perlunya puasa itu. Ia melihatnya sebagai
suatu kekangan atas kebebasannya, begitu kebebasan itu
berakhir pada malam harinya, begitu hanyut ia kedalam
kesenangan, sebagai ganti puasa yang telah mengekangnya
tadi. Orang yang melakukan ini sama seperti orang yang tidak
mau mencuri, hanya karena undang-undang melarang pencurian,
bukan karena jiwanya sudah cukup tinggi untuk tidak
melakukan perbuatan itu dan mencegahnya atas kemauan sendiri
pula.
Sebenarnya tanggapan orang mengenai puasa sebagai suatu
tekanan atau pencegahan dan pembatasan atas kebebasan
manusia adalah suatu tanggapan yang salah samasekali, yang
akhirnya akan menempatkan fungsi puasa tidak punya arti dan
tidak punya tempat lagi. Puasa yang sebenarnya ialah
membersihkan jiwa. Orang berpuasa diharuskan oleh pikiran
kita yang timbul atas kehendak sendiri, supaya kebebasan
kemauan dan kebebasan berpikirnya dapat diperoleh kembali.
Apabila kedua kebebasan ini sudah diperolehnya kembali, ia
dapat mengangkat ke martabat yang lebih tinggi, setingkat
dengan iman yang sebenarnya kepada Allah. Inilah yang
dimaksud dengan firman Tuhan - setelah menyebutkan bahwa
puasa telah diwajibkan kepada orang-orang beriman seperti
sudah diwajibkan juga kepada orang-orang yang sebelum
mereka:
"Beberapa hari sudah ditentukan. Tetapi barangsiapa
diantara kamu ada yang sakit atau sedang dalam perjalanan,
maka dapat diperhitungkan pada kesempatan lain. Dan buat
orangorang yang sangat berat menjalankannya, hendaknya ia
membayar fid-yah dengan memberi makan kepada orang rniskin,
dan barangsiapa mau mengerjakan kebaikan atas kemauan
sendiri, itu lebih baik buat dia; dan bila kamu berpuasa,
itu lebih baik buat kamu, kalau kamu mengerti." (Qur'an, 2:
184)
Seolah tampak aneh apa yang saya katakan itu, bahwa
dengan puasa kita dapat memperoleh kembali kebebasan kemauan
dan kebebasan berpikir kalau yang kita maksudkan dengan
puasa dengan segala apa yang baik itu untuk kehidupan rohani
kita. Ini memang tampak aneh, karena dalam bayangan kita
bentuk kebebasan ini telah dirusak oleh pikiran modern,
bilamana batas-batas rohani dan mental itu dihancurkan,
kemudian batas-batas kebendaannya dipertahankan, yang oleh
seorang prajurit dapat dilaksanakan dengan pedang
undang-undang. Menurut pikiran modern, manusia tidak bebas
dalam hal ia melanda harta atau pribadi orang lain. Akan
tetapi ia bebas terhadap dirinya sendiri sekalipun hal ini
sudah melampaui batas-batas segala yang dapat diterima akal
atau dibenarkan oleh kaidah-kaidah moral. Sedang kenyataan
dalam hidup bukan yang demikian. Kenyataannya ialah manusia
budak kebiasaannya. Ia sudah biasa makan di waktu pagi;
waktu tengah hari, waktu sore. Kalau dikatakan kepadanya:
makan pagi dan sore sajalah, maka ini akan dianggapnya suatu
pelanggaran atas kebebasannya. Padahal itu adalah
pelanggaran atas perbudakan kebiasaannya, kalau benar
ungkapan demikian ini. Orang yang sudah biasa merokok sampai
kebatas ia diperbudak oleh kebiasaan merokoknya itu, lalu
dikatakan kepadanya: sehari ini kamu jangan merokok, maka
ini dianggapnya suatu pelanggaran atas kebebasannya. Padahal
sebenarnya itu tidak lebih adalah pelanggaran atas
perbudakan kebiasaannya. Ada lagi orang yang sudah biasa
minum kopi atau teh atau minuman lain apa saja dalam
waktu-waktu tertentu lalu dikatakan kepadanya: gantilah
waktu-waktu itu dengan waktu yang lain, maka pelanggaran
atas perbudakan kebiasaannya itu dianggapnya sebagai
pelanggaran atas kebebasannya. Budak kebiasaan serupa ini
merusak kemauan, merusak arti yang sebenarnya dari kebebasan
dalam bentuknya yang sesungguhnya.
Disamping itu, ini juga merusak cara berpikir sehat,
sebab dengan demikian berarti ia telah ditunjukkan oleh
pengaruh hajat jasmani dari segi kebendaannya, yang sudah
dibentuk oleh kebiasaan itu. Oleh karena itu banyak orang
yang telah melakukan puasa dengan cara yang bermacam-macam,
yang secara tekun dilakukannya dalam waktu-waktu tertentu
setiap minggu atau setiap bulan. Tetapi Tuhan menghendaki
yang lebih mudah buat manusia dengan diwajibkan kepada
mereka berpuasa selama beberapa hari yang sudah ditentukan,
supaya dalam pada itu semua sama, dengan diberikan pula
kesempatan fid-yah. Mereka masing-masing yang telah
dibebaskan karena dalam keadaan sakit atau sedang dalam
perjalanan dapat mengganti puasanya itu pada kesempatan
lain.
Kewajiban berpuasa selama hari-hari yang sudah ditentukan
untuk memperkuat arti persaudaraan dan persamaan di hadapan
Tuhan, sungguh suatu latihan rohani yang luarbiasa. Semua
orang, selama menahan diri sejak fajar hingga malam hari
mereka telah melaksanakan persamaan itu antara sesama
mereka, sama halnya seperti dalam sembahyang jamaah. Dengan
persaudaraan demikian selama itu mereka merasakan adanya
suatu perasaan yang mengurangi rasa kelebihan mereka dalam
mengecap kenikmatan rejeki yang diberikan Tuhan kepadanya.
Dengan demikian puasa berarti memperkuat arti kebebasan,
persaudaraan dan persamaan dalam jiwa manusia seperti halnya
dengan sembahyang.
Kalau kita menyambut puasa dengan kemauan sendiri dengan
penuh kesadaran bahwa perintah Tuhan tak mungkin
bertentangan dengan cara-cara berpikir yang sehat, yang
telah dapat memahami tujuan hidup dalam bentuknya yang
paling tinggi, tahulah kita arti puasa yang dapat
membebaskan kita dari budak kebiasaan itu, yang juga sebagai
latihan dalam menghadapi kemauan dan arti kebebasan kita
sendiri. Disamping itu kita pun sudah diingatkan, bahwa apa
yang telah ditentukan manusia terhadap dirinya sendiri -
dengan kehendak Tuhan - mengenai batas-batas rohani dan
mentalnya sehubungan dengan kebebasan yang dimilikinya untuk
melepaskan diri dari beberapa kebiasaan dan nafsunya, ialah
cara yang paling baik untuk mencapai martabat iman yang
paling tinggi itu. Apabila taklid dalam iman belum dapat
disebut iman, melainkan baru Islam yang tanpa iman, maka
taklid dalam puasa juga belum dapat disebut puasa. Oleh
karena itu orang yang bertaklid menganggap puasanya suatu
kekangan dan membatasi kebebasannya - sebaliknya daripada
dapat memahami arti pembebasan dari belenggu kebiasaan serta
konsumsi rohani dan mental yang sangat besar itu.
Apabila dengan jalan latihan rohani ini
manusia telah sampai kepada arti hukum dan rahasia-rahasia
alam dan mengetahui pula dimana tempatnya dan tempat anak
manusia ini, cintanya kepada sesama anak manusia akan lebih
besar lagi, dan semua anak manusia saling cinta dalam Tuhan.
Mereka akan saling tolong-menolong untuk kebaikan dan rasa
takwa - menjaga diri dari kejahatan. Yang kuat mengasihi
yang lemah, yang kaya mengulurkan tangan kepada yang tidak
punya. Ini adalah zakat, dan selebihnya sedekah. Dalam
sekian banyak ayat Qur'an selalu mengaitkan zakat dengan
salat. Kita sudah membaca firman Tuhan:
"Tetapi kebaikan itu ialah orang yang sudah beriman
kepada Allah, kepada hari kemudian, malaikat, Kitab dan para
nabi; mengeluarkan harta yang dicintainya itu kepada
kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang yang melepaskan perbudakan, mengerjakan salat dan
mengeluarkan zakat." (Qur'an, 2: 177)
"Kamu kerjakanlah sembahyang dan keluarkan pula zakat
serta tundukkan kepala (ruku') bersama orang-orang yang
menundukkan kepala." (Qur'an, 2: 43)
"Beruntunglah orang-orang yang sudah beriman. Mereka yang
dengan khusyu' mengerjakan sembahyang. Mereka yang
menjauhkan diri dan percakapan yang tiada berguna. Dan
mereka yang mengeluarkan zakat." (Qur'an, 23: 1-4)
Ayat-ayat yang mengaitkan zakat dengan salat itu banyak
sekali.
Apa yang disebutkan dalam Qur'an tentang zakat dan
sedekah cukup menyeluruh dan kuat sekali. Dalam melakukan
perbuatan baik, sedekah itu terletak pada tempat pertama,
orang yang melakukannya akan mendapat pahala yang amat
sempurna. Bahkan ia terletak disamping iman kepada Allah,
sehingga kita merasa seolah itu sudah hampir sebanding.
Tuhan berfirman:
"Tangkaplah orang itu dan belenggukanlah. Kemudian
campakkan kedalam api menyala. Sesudah itu belitkan dengan
rantai yang panjangnya tujuhpuluh hasta. Dahulu ia sungguh
tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Juga tidak
mendorong orang memberi makan orang miskin." (Qur'an, 69:
30-34)
"... Dan sampaikan berita gembira kepada mereka yang
taat. Yaitu mereka, yang apabila disebutkan nama Tuhan
hatinya merasa takut karena taatnya, dan mereka yang tabah
hati terhadap apa yang menimpa mereka serta mereka yang
mengerjakan salat dan menafkahkan sebagian rejeki yang
diberikan Tuhan kepada mereka."' (Qur'an, 22: 34-35)
"Mereka yang menafkahkan hartanya - baik di waktu malam
atau di waktu siang, dengan sembunyi atau terang-terangan,
mereka akan mendapat pahala dari Tuhan. Tidak usah mereka
takut, juga jangan bersedih hati" (Qur'an, 2: 274)
Qur'an tidak hanya menyebutkan masalah-masalah sedekah
serta pahalanya yang akan diberikan Tuhan yang sama seperti
pahala orang beriman dan mengerjakan sembahyang, bahkan adab
sedekah itu telah dilembagakan pula dengan suatu tatacara
yang sungguh baik sekali.
"Bilamana kamu memperlihatkan sedekah itu, itu memang
baik sekali. Tetapi kalau pun kamu sembunyikan memberikannya
kepada orang fakir, maka itu pun lebih baik lagi buat kamu."
(Qur'an, 2: 271)
"Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik
daripada sedekah yang disertai hal-hal yang tidak
menyenangkan hati Allah Maha Kaya dan Maha Penyantun.
Orang-orang beriman, janganlah kamu hapuskan nilai sedekahmu
itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti hati orang."
(Qur'an, 2: 263-264)
Firman Tuhan itu memberikan pula penjelasan kepada siapa
sedekah itu harus diberikan:
Sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus zakat, orang-orang yang perlu dilunakkan
hatinya, untuk melepaskan perbudakan, orang-orang yang
dibebani utang, untuk jalan Allah dan mereka yang sedang
dalam perjalanan. Inilah yang telah diwajibkan oleh Allah,
dan Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana." (Qur'an, 9:
60)
Zakat dan sedekah itu salah satu
kewajiban dalam Islam, termasuk salah satu rukun Islam.
Tetapi apakah kewajiban ini termasuk ibadat, ataukah masuk
bagian akhlak? Tentu ini termasuk ibadat. Semua orang
beriman bersaudara, dan iman seseorang belum lagi sempurna
sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya
sendiri. Dengan berpegang pada Nur Ilahi antara sesama
mereka, orang-orang beriman saling cinta-mencintai.
Kewajiban zakat dan sedekah terikat oleh persaudaraan ini,
bukan oleh akhlak dan disiplinnya serta oleh hubungan
antar-manusia dengan segala tata-tertibnya. Segala yang
terikat oleh persaudaraan, terikat juga oleh iman kepada
Allah, dan segala yang terikat oleh iman kepada Allah ialah
ibadah. Itu sebabnya maka zakat menjadi salah satu rukun
Islam yang lima, dan karena itu pula setelah Nabi wafat Abu
Bakr menuntut supaya Muslimin menunaikan zakatnya. Setelah
dilihatnya ada sebagian orang yang mau membangkang,
Pengganti Muhammad itu melihat pembangkangan ini sebagai
suatu kelemahan dalam iman mereka; mereka lebih mengutamakan
harta daripada iman, mereka hendak meninggalkan disiplin
rohani yang telah ditentukan Qur'an itu. Dengan demikian ini
merupakan kemurtadan dari Islam. Karena 'perang ridda' itu
jugalah Abu Bakr berhasil mengukuhkan kembali sejarah Islam
itu selengkapnya, dan yang tetap menjadi kebanggaan
sepanjang sejarah.
Dengan fungsi zakat dan sedekah sebagai
kewajiban yang bertalian dengan iman dalam disiplin rohanl
ia dianggap sebagai salah satu unsur yang harus membentuk
kebudayaan dunia. Inilah hikmah yang paling tinggi yang akan
mengantarkan manusia mencapai kebahagiaannya. Harta dan
segala keserakahan orang memupuk-mupuk harta merupakan sebab
timbulnya superioritas (rasa keunggulan) seorang kepada yang
lain. Sampai sekarang ia masih merupakan sebab timbulnya
penderitaan dunia ini dan sumber pemberontakan dan
peperangan selalu. Sampai sekarang mammonisma - penyembahan
harta - masih tetap merupakan sebab timbulnya dekadensi
moral yang selalu menimpa dunia dan dunia tetap bergelimang
dibawah bencana itu. Memupuk-mupuk harta dan keserakahan
akan harta itulah yang telah menghilangkan rasa persaudaraan
umat manusia, dan membuat manusia satu sama lain saling
bermusuhan. Sekiranya pandangan mereka itu lebih sehat
dengan pikiran yang lebih luhur, tentu akan mereka lihat
bahwa persaudaraan itu lebih kuat menanamkan kebahagiaan
daripada harta, mereka akan melihat juga bahwa memberikan
harta kepada yang membutuhkan akan lebih terhormat pada
Tuhan dan pada manusia daripada orang harus tunduk kepada
harta itu. Kalau benar-benar mereka beriman kepada Allah
tentu mereka akan saling bersaudara, dan manifestasi
persaudaraan ini ialah pertolongan kepada orang yang sedang
dalam penderitaan, membantu orang yang membutuhkannya dan
dapat pula menghapuskan kemiskinan yang akan menjerumuskan
manusia kedalam penderitaan itu.
|