|
1. KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN
(5/6)
Jadi pembinaan sistem watak dan moral atas dasar
untung-rugi ini sewaktu-waktu akan menjerumuskannya kedalam
bahaya. Sebaliknya, apabila pembinaannya itu didasarkan atas
sistem rohani seperti dirumuskan oleh Qur'an, ini akan
menjamin tetap bertahan, takkan terpengaruh oleh sesuatu
kelemahan. Niat yang menjadi pangkal bertolaknya perbuatan
ialah dasar perbuatan itu dan sekaligus harus menjadi
kriteriumnya pula. Orang yang membeli undian untuk
Pembanguman sebuah rumahsakit, ia tidak membelinya dengan
niat hendak beramal, melainkan karena mengharapkan
keuntungan. Orang yang memberi karena ada orang yang datang
meminta secara mendesak dan ia memberi karena ingin
melepaskan diri, tidak sama dengan orang yang memberi karena
kemauan sendiri, yaitu memberi kepada mereka yang tidak
meminta secara mendesak, mereka yang oleh orang yang tidak
mengetahui dikira orang-orang yang berkecukupan karena
mereka memang tidak mau meminta-minta itu. Orang yang
berkata sebenarnya kepada hakim karena takut akan sanksi
hukum terhadap seorang saksi palsu, tidak sama dengan orang
yang berkata sebenarnya karena ia memang yakin akan arti
kebenaran itu. Juga moral yang landasannya perhitungan
untung rugi kekuatannya tidak akan sama dengan moral yang
sudah diyakini benar bahwa itu bertalian dengan kehormatan
dirinya sebagai manusia, bertalian dengan keimanannya kepada
Allah. Dalam hatinya sudah tertanam landasan rohani yang
dasarnya keimanan kepada Allah itu.
Qur'an tetap menekankan, bahwa pikiran
yang rasionil harus tetap bersih, jangan dimasuki oleh
sesuatu yang akan mempengaruhi lukisan iman dan watak yang
indah itu. Oleh karenanya minuman keras dan judi itu
dipandang kotor sebagai perbuatan setan. Kalaupun ada
manfaatnya buat orang, namun dosanya lebih besar dari
manfaatnya. Dengan demikian harus dijauhi. Perjudian akan
mengalihkan perhatian si penjudi dari persoalan lain,
waktunya akan habis dan hiburan ini akan membuatnya lupa
dari segala kewajiban moral yang baik. Sedang minuman keras
akan menghilangkan pikiran dan harta - untuk meminjam
katakata Umar bin'l-Khattab, ketika ia berharap Tuhan akan
memberikan penjelasan mengenai hal ini. Sudah wajar sekali
pikiran yang rasionil itu akan jadi sesat kalau ia hilang
atau berubah, dan kesesatan itu akan lebih mudah mendorong
orang melakukan perbuatan rendah, sebaliknya daripada akan
menjauhkan diri dari kejahatan.
Sistem moral yang dibawa Qur'an untuk 'negara utama' itu
bukan dengan tujuan supaya jiwa manusia samasekali jauh dari
kenikmatan hidup yang diberikan Tuhan, sehingga karenanya ia
akan hanyut ke dalam hidup pertapaan dalam merenungkan alam,
dan menyiksa diri dalam menuntut ilmu untuk itu. Sistem
moral ini tidak rela membiarkan manusia menyerahkan diri
kepada kesenangan supaya jangan ia tenggelam kedalam jurang
kemewahan dan karenanya ia akan melupakan segalanya. Bahkan
moral ini hendak membuat manusia menjadi umat pertengahan,
mengarahkan mereka kepada lembaga budi yang lebih murni,
lembaga yang mengenal alam dan segala isinya ini.
Qur'an bicara tentang ciptaan Tuhan yang
ada dalam alam ini dengan suatu pengarahan yang hendak
mengantarkan kita sejauh mungkin dapat kita ketahui. Ia
bicara tentang bulan hari Pertama, tentang matahari dan
bulan, tentang siang dan malam, tentang bumi dan apa yang
dihasilkan bumi, tentang langit dan bintang-bintang yang
menghiasinya, tentang samudera, dengan kapal yang berlayar
supaya kita dapat menikmati karunia Tuhan, tentang binatang
untuk beban dan ternak, tentang ilmu dan segala cabangnya
yang terdapat dalam alam ini. Qur'an bicara tentang semua
ini, dan menyuruh kita merenungkan dan mempelajarinya,
supaya kita menikmati segala peninggalan dan hasilnya itu
sebagai tanda kita bersyukur kepada Allah. Apabila Qur'an
telah mengajarkan etika Qur'an kepada manusia, menganjurkan
mereka supaya berusaha terus untuk mengetahui segala yang
ada dalam alam ini, sudah sepatutnya pula bila dari
pengamatan mereka dengan jalan akal pikiran itu, mereka akan
sampai ke tujuan sejauh yang dapat ditangkap oleh akal
pikirannya itu. Sudah sepatutnya pula mereka membangun
sistem ekonominya itu atas dasar yang sempurna.
Sistem ekonomi yang dibangun atas dasar
moral dan rohani seperti yang sudah kita sebutkan itu, sudah
seharusnya akan mengantarkan manusia ke dalam hidup bahagia,
dan menghapus segala penderitaan dari muka bumi ini.
Prinsip-prinsip agung yang oleh Qur'an ditekankan sekali
supaya ditanamkan kedalam jiwa seperti di tempat akidah dan
iman itu, akan membuat orang tidak sudi melihat masih adanya
penderitaan di muka bumi ini, atau masih adanya kekurangan
yang dapat diberantas tapi tidak dilakukan. Bagi orang yang
sudah mendapat ajaran ini yang pertama sekali akan
ditolaknya ialah riba yang menjadi dasar kehidupan ekonomi
dewasa ini, dan yang menjadi sumber pendieritaan seluruh
umat manusia. Oleh karena itu Qur'an secara tegas sekali
mengharamkan, seperti dalam firman Tuhan:
"Mereka yang memakan riba tidak akan
dapat berdiri, kalau pun berdiri hanya akan seperti orang
yang sudah kemasukan setan karena penyakit gila." (Qur'an 2:
275)
"Setiap riba yang kamu lakukan untuk menambah harta orang
lain dalam pandangan Allah tidak akan dapat bertambah.
Tetapi zakat yang kamu lakukan demi keridaan Allah, mereka
itu yang akan mendapat balasan berlipat ganda." (Qur'an 30:
39)
Diharamkannya riba adalah norma dasar untuk kebudayaan
yang akan dapat menjamin kebahagiaan dunia. Bahaya riba
dalam bentuknya yang paling kecil ialah ikut sertanya orang
yang tidak bekerja dalam suatu hasil usaha orang lain hanya
karena ia sudah meminjamkan uang kepadanya, dengan alasan
lagi bahwa dengan meminjamkan itu ia sudah membantu orang
lain memperoleh hasil keuntungan itu. Sebaliknya kalau ini
tidak dilakukan si peminjam tidak akan dapat berusaha dan
dengan sendirinya takkan dapat memungut keuntungan. Kalau
hanya ini saja satu-satunya bentuk riba itu, ini pun takkan
dapat dijadikan alasan. Kalau orang yang meminjamkan uang
itu mampu menjalankan sendiri, ia tidak akan meminjamkannya
kepada orang lain, dan kalau uang itu tetap ditangannya
sendiri tidak dijalankan dalam usaha, maka uang itu pun
tidak akan mendatangkan keuntungan. Sebaliknya, sedikit demi
sedikit uangnya itu akan habis dimakan pemiliknya sendiri.
Jika ia akan meminta bantuan orang lain menjalankan uangnya
dengan bagi hasil menurut keuntungan yang akan diperoleh,
tentu caranya bukan dengan jalan dipinjamkan sebagai modal
dengan laba tertentu, melainkan dengan cara si pemilik uang
itu ikut serta dengan orang yang menjalankan uangnya atas
dasar bagi untung. Kalau si pengusaha beruntung, maka si
pemilik modal itu pun akan mendapat bagian keuntungan; kalau
rugi, dia pun akan turut memikul kerugiannya. Sebaliknya
kalau kepada pemilik modal itu akan ditentukan suatu laba,
meskipun yang mengusahakan tidak mendapat keuntungan
apa-apa, maka itu adalah suatu eksploitasi illegal, suatu
pemerasan yang tidak sah.
Dan tidak akan dapat terjadi bahwa harta itu dapat
diperlakukan seperti yang lain-lain, dapat dipersewakan
seperti menyewakan tanah atau menyewakan hewan, dan bahwa
laba uang tunai harus sesuai dengan hasil sewa barang-barang
yang lain itu. Uang yang dapat dipakai untuk pengeluaran dan
dapat juga dipakai untuk produksi, yang bisa dimanfaatkan
untuk kebaikan dan juga dapat menimbulkan kejahatan (dosa),
dengan harta bergerak dan tidak bergerak lainnya, besar
sekali perbedaannya. Orang yang menyewa tanah, rumah, hewan
atau barang apa pun, tentu karena ingin dimanfaatkan, yang
berarti akan sangat berguna buat dia, kecuali jika dia
memang orang bodoh atau orang edan, yang segala
gerak-geriknya sudah tidak lagi diperhitungkan orang.
Sebaliknya yang mengenai uang modal, yang biasanya
dipinjam untuk tujuan-tujuan perdagangan yang
sebaik-baiknya. Perdagangan itu senantiasa dihadapkan kepada
soal untung atau rugi. Sedang mengenai sewa-menyewa
barang-barang bergerak dan tidak bergerak untuk dijalankan
dalam usaha, sedikit sekali yang mengalami kerugian, kecuali
dalam keadaan yang abnormal, yang tidak masuk dalam keadaan
biasa. Apabila keadaan abnormal ini yang terjadi, maka
kekuasaan hukum segera pula campur tangan antara si pemilik
dengan si penyewa - seperti yang sering terjadi dalam semua
negara di dunia - untuk menghilangkan ketidak adilan
terhadap si penyewa serta menolongnya dari tindakan si
pemilik yang hanya akan memungut laba dari usahanya itu.
Sebaliknya, dengan menentukan bunga uang tunai, dengan
lebih-kurang 7% atau 9%, maka ini tidak akan mengubah, bahwa
si peminjam dapat terancam oleh kerugian modal, disamping
kerugian usahanya sendiri. Apabila disamping itu dia masih
juga lagi dituntut dengan bunga, maka inilah yang disebut
kejahatan (dosa). Akibat ini akan menimbulkan permusuhan,
sebaliknya daripada persaudaraan; akan menimbulkan
kebencian, bukan cinta kasih. Inilah sumber kesengsaraan dan
segala krisis yang diderita umat manusia dewasa ini.
Kalau memang inilah bahaya riba dalam
bentuknya yang paling kecil, dan begitu pula akibat-akibat
yang timbul, apalagi dengan bentuk lain tatkala si pemberi
pinjaman itu sudah lebih mendekati binatang buas daripada
manusia, atau sipeminjam itu sudah sangat membutuhkan uang
di luar keperluan penanaman modal atau produksi. Adakalanya
ia sangat membutuhkan uang untuk keperluan nafkah yang
konsumtif, untuk keperluan makannya atau makan keluarganya.
Ketika itulah perhatiannya hanya pada yang lebih mudah saja
dulu, sebelum ia dapat memegang sesuatu pekerjaan yang dapat
menjamin keperluan hidupnya dan kemudian dapat membayar
kembali utangnya. Ini sudah merupakan satu tugas
perikemanusiaan sebagai langkah pertama. Dan ini pula yang
dirumuskan oleh Qur'an. Bukankah dalam keadaan serupa ini
pemberian pinjaman dengan riba sudah merupakan suatu
kejahatan yang sama dengan pembunuhan? Yang lebih parah lagi
dari kejahatan ini ialah adanya segala macam tipu-muslihat
dengan jalan riba itu untuk merampas harta orang-orang yang
lemah, orang-orang yang tidak pandai menjaga hartanya. Tipu
muslihat ini tidak kurang pula jahatnya dari pencurian yang
rendah. Dan setiap pelaku ke arah ini harus dihukum seperti
pencuri atau lebih keras lagi.
Riba adalah salah satu faktor yang turut
menjerumuskan dunia ke dalam bencana penjajahan, dengan
segala macam penderitaan yang ditimbulkan oleh penjajahan
itu. Sebagian besar masalah penjaJahan itu dimulai oleh
sekelompok tukang-tukang riba - secara perseorangan atau
dalam bentuk badan-badan usaha - yang mendatangi beberapa
negara dengan memberikan pinjaman kepada penduduk. Kemudian
mereka menyusup masuk lebih dalam lagi sampai mereka dapat
menguasai sumber-sumber kekayaan. Bilamana kelak anak negeri
sudah menyadari kembali dan hendak mempertahankan diri dan
harta mereka, orang-orang asing itu cepat-cepat meminta
bantuan negaranya. Negara ini pun kemudian masuk atas nama
hendak melindungi rakyatmya. Kemudian ia menyusup juga masuk
lebih dalam lagi, lalu berkuasa sebagai penjajah. Sekarang
mereka sebagai yang dipertuan. Kemerdekaan orang lain
dirampas. Sebagian besar sumber-sumber kskayaan negeri itu
mereka kuasai. Dengan demikian kekayaan mereka jadi hilang,
penderitaan mulai mencekam seluruh kawasan itu dan bayangan
kesengsaraan sudah pula merayap-rayap kedalam hati mereka.
Pikiran mereka jadi kacau, moral jadi lemah, iman mereka pun
mulai goyah. Martabat mereka jadi turun dari taraf manusia
yang sebenarnya ke taraf yang lebih hina, yang bagi orang
yang beriman kepada Allah tidak akan sudi hidup demikian,
sebab, hanya kepada Allah semata orang merendahkan diri dan
harus mengabdi.
Juga penjajahan itu sumber peperangan, sumber penderitaan
besar yang sangat menekan kehidupan seluruh umat manusia
dewasa ini. Selama ada riba, selama ada penjajahan, jangan
diharap manusia akan dapat kembali ke masa persaudaraan dan
saling cinta antara sesamanya. Harapan akan kembali ke masa
serupa itu tidak akan ada, kecuali jika kebudayaan atas
dasar yang dibawa oleh Islam dan diwahyukan dalam Qur'an itu
dapat dibangun kembali.
Didalam Qur'an ada konsepsi sosialisma
yang belum lagi dibahas orang. Sosialisma ini tidak
didasarkan kepada perang modal dan perjuangan kelas, seperti
yang terdapat sekarang dalam sosialisma Barat, melainkan
dasarnya ialah karakter dan moral yang tinggi yang akan
menjamin adanya persaudaraan kelas, adanya kerja-sama dan
saling bantu atas dasar kebaikan dan kebaktian, bukan
kejahatan dan saling permusuhan. Tidak sulit orang akan
melihat landasan sosialisma atas dasar persaudaraan ini,
seperti yang sudah ditentukan oleh Qur'an mengenai zakat dan
sedekah misalnya. Orang dapat menilai, bahwa ini bukanlah
sosialisma dengan dominasi suatu kelas atas kelas yang lain,
atau kekuasaan suatu golongan atas golongan yang lain.
Kebudayaan yang dilukiskan oleh Qur'an tidak mengenal adanya
dominasi atau sikap berkuasa, melainkan atas dasar
persaudaraan yang sungguh-sungguh yang didorong oleh
keyakinan yang kuat akan persaudaraan itu; suatu keyakinan
yang membuat orang dengan mengingat karunia Tuhan itu mau
memberi untuk si miskin, orang melarat, orany yang
membutuhkan dan segala yang diperlukannya akan makanan,
tempat tinggal, obat-obatan, pengajaran dan pendidikan.
Mereka memberikan itu atas dasar keikhlasan dan kejujuran.
Dengan demikian penderitaan dapat dihilangkan, karunia Tuhan
dan kebahagiaan dapat merata kepada umat manusia.
Sosialisma Islam ini tidak sampai
menghapuskan hak milik secara mutlak, seperti halnya dengan
sosialisma Barat. Kenyataan sudah membuktikan - bolsyevisma
di Rusia dan negara-negara sosialis lainnya - bahwa
menghapuskan hak milik itu suatu hal yang tidak mungkin.
Sungguhpun begitu, namun perusahaan-perusahaan negara harus
tetap menjadi milik bersama untuk kepentingan semua orang.
Mengenai ketentuan perusahaan-perusahaan negara itu terserah
kepada negara. Oleh karena itu mengenai ketentuan ini sejak
abad-abad permulaan dalam sejarah Islam sudah terdapat
perbedaan pendapat. Dari kalangan sahabat-sahabat Nabi
sendiri ada yang terlampau keras menjalankan ketentuan
sosialisma ini, sehingga segala yang diciptakan Tuhan
dijadikan milik bersama dan untuk kepentingan umum. Mereka
memandang tanah dan segala yang terkandung, sama dengan air
dan udara, tidak boleh menjadi milik pribadi. Yang boleh
dimiliki hanya hasilnya, yang disesuaikan dengan usaha dan
perjuangan masing-masing. Ada juga yang tidak berpendapat
demikian. Mereka menyatakan bahwa tanah boleh dimiliki dan
dianggap sebagai barang-barang yang boleh dipertukarkan.
Akan tetapi persetujuan yang sudah
dicapai di kalangan mereka ialah sama dengan yang berlaku di
Eropa sekarang, yaitu menentukan bahwa setiap orang harus
mencurahkan segala kemampuannya untuk kepentingan
masyarakat, dan masyarakat harus pula berusaha, untuk
kepentingan pribadi dalam mengatasi segala keperluannya.
Setiap Muslim berhak menerima kebutuhannya serta kebutuhan
orang yang menjadi tanggungannya dari baitulmal
(perbendaharaan negara) Muslimin, selama ia belum mendapat
pekerjaan yang akan menjamin keperluan hidupnya, atau selama
pekerjaan yang dipegangnya itu tidak mencukupi keperluannya
dan keperluan keluarganya.
Selama norma-norma etik di dalam Qur'an seperti yang
sudah kita sebutkan itu dijalankan, maka tidak akan ada
orang yang mau berdusta; tidak akan ada orang yang mau
mengatakan, bahwa ia penganggur, padahal yang sebenarnya dia
tidak mau bekerja, tidak akan ada orang yang mau menyatakan,
bahwa penghasilan dari pekerjaannya tidak mencukupi, padahal
sebenarnya sudah lebih dari cukup. Khalifah-khalifah pada
masa permulaan Islam dahulu sudah mewajibkan diri
menyelidiki sendiri keadaan umat Islam untuk kemudian dapat
mengatasi segala keperluan orang yang memang berada dalam
kebutuhan.
|