BAGIAN KEDUAPULUH: PERJANJIAN HUDAIBIYA
(2/3)
Mendengar itu ia mengeluarkan sebuah anak panah dari
tabungnya lalu diberikannya kepada seseorang supaya dibawa
turun kedalam salah sebuah sumur yang banyak tersebar di
tempat itu. Bila anakpanah itu ditancapkan ke dalam pasir
pada dasar sumur ketika itu airpun memancar. Orang baru
merasa puas dan merekapun turun.
Mereka turun dari kendaraan. Akan tetapi pihak Quraisy di
Mekah selalu mengintai. Lebih baik mereka mati daripada
membiarkan Muhammad memasuki wilayah mereka dengan cara
kekerasan sekalipun. Adakah agaknya mereka sudah mengadakan
persiapan dan perlengkapan perang guna menghadapi Quraisy,
kemudian Tuhan yang akan menentukan nasib mereka
masing-masing dan Tuhan juga yang akan memutuskan
persoalannya jika sudah mesti terjadi?!
Kearah inilah mereka sebagian berpikir dan pada
kemungkinan ini pula pihak Quraisy itu berpikir. Sekiranya
hal ini memang teriadi dan yang mendapat kemenangan pihak
Muslimin, tentu tamatlah riwayat Quraisy itu di mata orang,
untuk selama-lainanya- Posisi Quraisy jadi terancam kalau
begitu, jabatan menjaga Ka'bah dan mengurus air para
pengunjung dan segala macam upacara keagamaan yang
dibanggakan kepada masyarakat Arab itu, akan hilang dari
tangan mereka. Jadi apa yang harus mereka lakukan kalau
begitu? Kedua kelompok itu masing-masing sekarang sedang
memikirkan langkah berikutnya. Adapun Muhammad sendiri ia
tetap berpegang pada langkah yang sudah digariskannya sejak
semula, mengadakan persiapan untuk 'umrah, yaitu suatu
langkah perdamaian dan menghindari adanya pertempuran;
kecuali jika pihak Quraisy menyerangnya atau
mengkhianatinya; tak ada jalan lain iapun harus menghunus
pedang.
"Sebaliknya Quraisy, mereka masih maju-mundur. Kemudian
terpikir oleh mereka akan mengutus beberapa orang terkemuka
dari kalangan mereka; dan satu segi untuk menjajagi
kekuatannya dan dari segi lain untuk merintangi jangan
sampai masuk Mekah. Dalam hal ini yang datang menemuinya
ialah Budail b. Warqa' dalam suatu rombongan yang terdiri
dari suku Khuza'a. Oleh mereka ditanyakan, gerangan apa yang
mendorongnya datang. Setelah dalam pembicaraan itu mereka
merasa puas, bahwa ia datang bukan untuk berperang,
melainkan hendak berziarah dan hendak memuliakan Rumah Suci,
merekapun pulang kembali kepada Quraisy. Mereka juga ingin
meyakinkan Quraisy, supaya orang itu dan sahabat-sahabatnya
dibiarkan saja mengunjungi Rumah Suci. Akan tetapi mereka
malah dituduh dan tidak diterima baik oleh Quraisy.
Dikatakannya kepada mereka: Kalau kedatangannya tidak
menghendaki perang, pasti ia takkan masuk kemari secara
paksa dan kitapun takkan menjadi bahan pembicaraan
orang.
Kemudian Quraisy mengutus orang lain yang
sudah mengetahui keadaan mereka dari orang yang sudah diutus
sebelumnya. Ia tidak akan serampangan supaya jangan dituduh
pula oleh Quraisy. Dalam maksudnya hendak memerangi Muhammad
itu Quraisy banyak menyandarkan diri kepada sekutunya dari
golongan Ahabisy5. Terpikir oleh Quraisy pemimpin
mereka ini yang hendak di utus, kalau-kalau bila sudah
diketahui bahwa Muhammad tidak juga mau mengerti dan tidak
ada saling pengertian dengan dia Quraisy akan merasa lebih
mendapat dukungan dan akan lebih kuat mereka menghadapi
Muhammad. Untuk itu maka berangkatlah Hulais pemimpin
Ahabisy itu menuju ke perkemahan Muslimin.
Tatkala Nabi melihatnya ia datang, dimintanya supaya
ternak kurban itu dilepaskan didepan matanya, supaya dapat
melihat dengan mata kepala sendiri adanya suatu bukti yang
sudah jelas, bahwa orang-orang yang oleh Quraisy hendak
diperangi itu tidak lain adalah orang-orang yang datang
hendak berziarah ke Rumah Suci. Hulais dapat menyaksikan
sendiri adanya ternak kurban yang tujuhpuluh ekor itu,
mengalir dari tengah wadi dengan bulu yang sudah rontok.
Terharu sekali ia melihat pemandangan itu. Dalam hatinya
timbul rasa keagamaannya. Ia yakin bahwa dalam hal ini pihak
Quraisylah yang berlaku kejam terhadap mereka, yang datang
bukan ingin berperang atau mencari permusuhan.
Sekarang ia kembali kepada Quraisy tanpa menemui Muhammad
lagi. Diceritakannya kepada mereka apa yang telah
dilihatnya. Tetapi begitu mendengar ceritanya itu, Quraisy
naik pitam.
"Duduklah," kata mereka kepada Hulais. "Engkau ini Arab
badui yang tidak tahu apa-apa."
Mendengar itu Hulais juga jadi marah. Diingatkannya bahwa
persekutuannya dengan Quraisy itu bukan untuk merintangi
orang dari Rumah Suci, siapa saja yang datang berziarah, dan
tidak semestinya mereka akan mencegah Muhammad dan beberapa
orang Ahabisy yang datang dengan dia ke Mekah. Takut akan
akibat kemarahannya itu, Quraisy mencoba membujuknya kembali
dan memintanya supaya menunda sampai dapat mereka pikirkan
lebih lanjut.
Kemudian terpikir oleh mereka hendak
mengutus orang yang bijaksana dan dapat mereka yakinkan
kebijaksanaannya. Hal ini mereka bicarakan kepada 'Urwa ibn
Mas'ud ath-Thaqafi. Menanggapi pendapatnya mengenai sikap
mereka yang keras dan memperlakukan tidak layak terhadap
kepada utusan yang sebelumnya, mereka meminta maaf kepada
'Urwa. Setelah mereka minta maaf dan sekaligus menegaskan
bahwa mereka sangat menaruh kepercayaan kepadanya dan yakin
sekali akan kebijaksanaan dan pandangannya yang baik, ia pun
berangkat menemui Muhammad dan dikatakannya bahwa Mekah juga
tanah tumpah darahnya yang harus dipertahankan. Kalau ini
sampai dirusak, yang akan diderita oleh penduduk yang
tinggal di tempat itu, yang terdiri dari rakyat jelata yang
campur-aduk, kemudian dia ditinggalkan oleh rakyat jelata
itu, maka yang akan mengalami kecemaran yang cukup parah
adalah Quraisy, suatu hal yang oleh Muhammad juga tidak
diinginkan, sekalipun antara dia dengan Quraisy terjadi
perang terbuka.
Ketika itu Abu Bakr berkata kepada 'Urwa dengan membantah
keras, bahwa orang akan meninggalkan Rasullullah. 'Urwa
mengajaknya berbicara sambil memegang janggut Muhammad.
Sedang Mughira bin Syu'ba yang berdiri di arah kepala Rasul
memukul tangan 'Urwa setiap ia memegang janggut Muhammad
meskipun ia sadar bahwa sebelum ia masuk Islam, 'Urwa pernah
menebuskan tigabelas diat atas beberapa orang yang telah
dibunuh oleh Mughira.
Sekarang 'Urwa pulang kembali setelah ia mendapat
keterangan dari Muhammad sama seperti yang juga diberikan
kepada mereka yang datang sebelumnya, bahwa kedatangannya
bukan hendak berperang, melainkan hendak mengagungkan Rumah
Suci, menunaikan kewajiban kepada Tuhan.
"Saudara-saudara," katanya setelah ia berada kembali di
tengah-tengah masyarakat Quraisy. "Saya sudah pernah bertemu
dengan Kisra, dengan Kaisar dan dengan Negus di kerajaan
mereka masing-masing. Tetapi belum pernah saya melihat
seorang raja dengan rakyatnya seperti Muhammad dengan
sahabat-sahabatnya itu. Begitu ia hendak mengambil wudu,
sahabat-sahabatnya sudah lebih dulu bergegas. Begitu mereka
melihat ada rambutnya yang jatuh, cepat-cepat pula mereka
mengambilnya. Mereka takkan menyerahkannya bagaimanapun
juga. Pikirkanlah kembali baik-baik."
Pembicaraan seperti yang kita kemukakan
itu berjalan lama juga. Terpikir oleh Muhammad, mungkin
utusan-utusan Quraisy itu tidak berani menyampaikan
pendapatnya yang akan dapat meyakinkan pihak Quraisy. Oleh
karena itu dari pihaknya ia lalu mengutus orang menyampaikan
pendapatnya itu. Akan tetapi disini unta utusan itu oleh
mereka ditikam. Bahkan utusan itu hendak mereka bunuh kalau
tidak pihak Ahabisy segera mencegah dan utusan itu
dilepaskan. Ini menunjukkan, bahwa dengan tingkah-lakunya
itu pihak Mekah memang sudah dikuasai oleh jiwa kebencian
dan permusuhan, yang membuat pihak Muslimin gelisah tidak
sabar lagi, sampai-sampai ada diantaranya yang sudah
berpikir sampai ke soal perang.
Sementara mereka sedang berusaha hendak mencapai
persetujuan dengan jalan saling tukar-menukar utusan,
beberapa orang yang tidak bertanggungjawab dari pihak
Quraisy malam-malam keluar dan mereka ini melempari kemah
Nabi dengan batu. Jumlah mereka ini pada suatu ketika sampai
empatpuluh atau limapuluh orang, dengan maksud hendak
menyerang sahabat-sahabat Nabi. Tetapi mereka ini tertangkap
basah lalu di bawa kepada Nabi. Tahukah kita apa yang
dilakukannya? Mereka itu dimaafkan semua dan dilepaskan,
sebagai suatu tanda ia ingin menempuh jalan damai serta
ingin menghormati bulan suci, jangan ada pertumpahan darah
di Hudaibiya, yang juga termasuk daerah suci Mekah.
Mengetahui hal ini pihak Quraisy terkejut sekali. Segala
bukti yang hendak dituduhkan bahwa Muhammad bermaksud
memerangi mereka, jadi gugur samasekali. Mereka yakin kini
bahwa semua tindakan permusuhan dari pihak mereka terhadap
Muhammad, oleh pihak Arab hanya akan dipandang sebagai suatu
pengkhianatan kotor saja. Jadi berhak sekalilah Muhammad
mempertahankan diri dengan segala kekuatan yang ada.
Kemudian Nabi 'alaihissalam sekali lagi berusaha hendak
menguji kesabaran Quraisy dengan mengirimkan seorang utusan
yang akan mengadakan perundingan dengan mereka. Umar
bin'l-Khattab dipanggil dan dimintainya menyampaikan maksud
kedatangannya itu kepada pemuka-pemuka Quraisy.
"Rasulullah," kata Umar. "Saya kuatir Quraisy akan
mengadakan tindakan terhadap saya, mengingat di Mekah tidak
ada pihak Banu 'Adi b. Ka'b yang akan melindungi saya.
Quraisy sudah cukup mengetahui bagaimana permusuhan saya dan
tindakan tegas saya terhadap mereka. Saya ingin menyarankan
orang yang lebih baik dalam hal ini daripada saya yaitu
Usman b. 'Affan."
Nabipun segera memanggil Usman b. 'Affan
-menantunya- dan diutusnya kepada Abu Sufyan dan
pemuka-pemuka Quraisy lainnya. Bila Usman berangkat membawa
pesan itu, ketika memasuki Mekah terlebih dulu ia menemui
Aban b. Sa'id yang kemudian memberikan jiwar (perlindungan)
selama ia bertugas membawa tugas itu sampai selesainya.
Sekarang Usman berangkat menemui pemimpin-pemimpin Quraisy
itu dan menyampaikan pesannya. Tetapi kata mereka
kepadanya:
"Usman, kalau engkau mau bertawaf di Ka'bah,
bertawaflah."
"Saya tidak akan melakukan ini sebelum Rasulullah
bertawaf," jawab Usman. "Kedatangan kami kemari hanya akan
berziarah ke Rumah Suci, akan memuliakannya, kami ingin
menunaikan kewajiban ibadah di tempat ini. Kami telah datang
membawa binatang korban, setelah disembelih kamipun akan
kembali pulang dengan aman."
Quraisy menjawab, bahwa mereka sudah bersumpah tahun ini
Muhammad tidak boleh masuk Mekah dengan kekerasan.
Pembicaraan itu jadi lama, dan lama pula Usman menghilang
dari Muslimin. Desas-desus segera timbul di kalangan mereka
bahwa pihak Quraisy telah membunuhnya secara gelap dan
dengan tipu-muslihat. Boleh jadi sementara itu
pemimpin-pemimpin Quraisy dan Usman sedang sama-sama mencari
suatu rumusan jalan tengah antara sumpah mereka supaya
Muhammad jangan datang ke Mekah tahun ini dengan kekerasan,
dengan keinginan pihak Muslimin yang akan bertawaf di Ka'bah
serta menunaikan kewajiban kepada Tuhan. Boleh jadi juga
mereka sudah akrab kepada Usman dan dalam pada itu mereka
sama-sama mencari suatu cara yang akan mengatur hubungan
mereka dengan Muhammad dan hubungan Muhammad dengan
mereka.
Akan tetapi bagaimanapun juga pihak Muslimin di Hudaibiya
sudah gelisah sekali memikirkan keadaan Usman. Terbayang
oleh mereka kelicikan Quraisy serta tindakan mereka membunuh
Usman dalam bulan suci. Semua agama orang Arab tidak
membenarkan seorang musuh membunuh musuhnya yang lain di
sekitar Ka'bah atau di sekitar Mekah yang suci. Terbayang
pula oleh mereka kelicikan Quraisy itu terhadap orang yang
datang mengunjungi mereka membawa pesan perdamaian dan tidak
saling menyerang. Oleh karena itu mereka lalu meletakkan
tangan mereka di atas empu pedang masing-masing, suatu tanda
mengancam, tanda kekerasan dan kemarahan. Juga Nabi 'a.s,
sudah merasa kuatir bahwa Quraisy telah mengkhianati dan
membunuh Usman dalam bulan suci itu. Lalu katanya:
"Kita tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kita
dapat menghadapi mereka."
Dipanggilnya sahabat-sahabatnya sambil ia
berdiri di bawah sebatang pohon dalam lembah itu. Mereka
semua berikrar (berjanji setia) kepadanya untuk tidak akan
beranjak sampai mati sekalipun. Mereka semua berikrar
kepadanya dengan iman yang teguh, dengan kemauan yang keras.
Semangat mereka sudah berkobar-kobar hendak mengadakan
pembalasan terhadap pengkhianatan dan pembunuhan itu. Mereka
menyatakan ikrar kepadanya (yang kemudian dikenal dengan
nama) Bai'at'r Ridzwan (Ikrar Ridzwan). Untuk itulah firman
Tuhan ini turun:
"Allah sudah rela sekali terhadap orang-orang beriman
tatkala mereka berikrar kepadamu di bawah pohon. Tuhan telah
mengetahui isi hati mereka, lalu di turunkanNya kepada
mereka rasa ketenangan dan memberi balasan kemenangan kepada
mereka dalam waktu dekat ini." (Qur'an, 48: 18)
Selesai Muslimin mengadakan ikrar itu Nabi 'a.s.
menepukkan sebelah tangannya pada yang sebelah lagi sebagai
tanda ikrar buat Usman seolah ia juga turut hadir dalam
Ikrar Ridzwan itu. Dengan ikrar ini pedang-pedang yang masih
tersalut dalam sarungnya itu seolah sudah turut guncang.
Tampaknya bagi Muslimin perang itu pasti pecah.
Masing-masing mereka tinggal menunggu saat kemenangan atau
gugur sebagai syahid dengan rela hati.
Sementara mereka dalam keadaan serupa itu tiba-tiba
tersiar pula berita bahwa Usman tidak terbunuh. Dan tidak
lama kemudian disusul pula dengan kedatangan Usman sendiri
ke tengah-tengah mereka itu. Tetapi, sungguhpun begitu Ikrar
Ridzwan ini tetap berlaku, seperti halnya dengan Ikrar
'Aqaba Kedua, sebagai tanda dalam sejarah umat Islam. Nabi
sendiri senang sekali menyebutnya, sebab disini terlihat
adanya pertalian yang erat sekali antara dia dengan
sahabat-sahabatnya, juga memperlihatkan betapa benar
keberanian mereka itu, bersedia terjun menghadapi maut,
tanpa takut-takut lagi. Barangsiapa berani menghadapi maut,
maut itu takut kepadanya. Dia malah akan hidup dan
memperoleh kemenangan.
Usman kembali. Apa yang di katakan
Quraisy disampaikannya kepada Muhammad. Mereka sudah tidak
ragu-ragu lagi bahwa kedatangannya dengan sahabat-sahabatnya
itu hanya akan menunaikan ibadah haji. Mereka juga menyadari
bahwa mereka tidak melarang siapa saja dari kalangan Arab
yang akan datang berziarah dan melakukan umrah dalam
bulan-bulan suci itu. Akan tetapi mereka sudah lebih dulu
berangkat di bawah panji Khalid bin'l-Walid dengan tujuan
akan memerangi dan mencegahnya masuk ke Mekah. Dan memang
sudah terjadi benterokan-benterokan antara anak buah mereka
dengan anak buah Muhammad. Kalau sesudah peristiwa itu
mereka membiarkannya masuk ke Mekah, kalangan Arab akan
bicara bahwa mereka sudah kalah menyerah kepadanya.
Kedudukan dan kewibawaan mereka di mata orangsrang Arab itu
akan jatuh. Oleh karena itu dengan maksud menjaga kewibawaan
dan kedudukan mereka, untuk tahun ini mereka tetap bertahan
pada pendirian dan sikap mereka itu. Baiklah ia juga
memikirkan seperti mereka. Dia dan mereka, dengan sikapnya
masing-masing. Begini ini pendiriannya dan begitu jalan
keluar dari pendirian dan sikap masing-masing itu. Sebab
kalau tidak, mau tidak mau tentu hanya jalan perang yang
dapat ditempuh. Tetapi sebenarnya dalam bulan-bulan suci
mereka tidak mau; dari satu segi mereka menghormati kesucian
agama, dan dari segi lain, bila bulan suci ini sekarang
tidak dihormati dan terjadi peperangan, maka untuk hari
depan orang-orang Arab itu sudah merasa tidak aman lagi
datang ke Mekah atau ke pasaran kota itu, sebab kuatir
bulan-bulan suci itu akan dilanggar lagi. Ini suatu
perkosaan terhadap perdagangan Mekah dan mata pencarian
penduduk kota itu.
Pembicaraan diteruskan.
Perundingan-perundingan antara kedua belah pihak sudah
dimulai lagi. Pihak Quraisy mengutus Suhail b. 'Amr dengan
pesan:
"Datangilah Muhammad dan adakan persetujuan dengan dia.
Dalam persetujuan itu untuk tahun ini ia harus pulang.
Jangan sampai ada kalangan Arab mengatakan, bahwa dia telah
berhasil memasuki tempat ini dengan kekerasan."
Sesampainya Suhail ke tempat Rasul, perundingan
perdamaian dan syarat-syaratnya secara panjang lebar segera
pula dibicarakan. Sekali-sekali pembicaraan itu hampir saja
terputus, yang kemudian dilanjutkan lagi, mengingat bahwa
kedua belah pihak sama-sama ingin mencapai hasil. Pihak
Muslimin di sekeliling Nabi juga turut mendengarkan
pembicaraan- itu.
Ada beberapa orang dari mereka ini yang sudah tidak sabar
lagi melihat Suhail yang begitu ketat dalam beberapa
masalah, sedang Nabi menerimanya dengan cukup memberikan
kelonggaran. Kalau tidak karena kepercayaan Muslimin yang
mutlak kepada Nabi, kalau tidak karena iman mereka yang
teguh kepadanya, niscaya hasil persetujuan itu tidak akan
mereka terima. Akan mereka hadapi dengan perang supaya dapat
masuk ke Mekah atau sebaliknya.
Sampai pada akhir perundingan itu Umar
bin'l-Khattab pergi menemui Abu Bakr dan terjadi percakapan
berikut ini:
Umar: "Abu Bakr, bukankah dia Rasulullah?"
Abu Bakr: "Ya, memang!"
Umar: "Bukankah kita ini Muslimin?"
Abu Bakr: "Ya, memang!"
Umar: "Kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama
kita?"
Abu Bakr: "Umar, duduklah di tempatmu. Aku bersaksi,
bahwa dia Rasulullah."
Setelah itu Umar kembali menemui Muhammad. Diulangnya
pembicaraan itu kepada Muhammad dengan perasaan geram dan
kesal. Tetapi hal ini tidak mengubah kesabaran dan keteguhan
hati Nabi. Paling banyak yang dikatakannya pada akhir
pembicaraannya dengan Umar itu ialah:
"Saya hamba Allah dan RasulNya. Saya takkan melanggar
perintahNya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya."
|