|
BAGIAN KEDUAPULUH ENAM: IBRAHIM DAN ISTERI
ISTERI NABI (2/3)
Dan katanya lagi, "Ketika saya sedang dalam suatu urusan
tiba-tiba isteri saya berkata: 'Coba kau berbuat begini atau
begitu. Jawab saya, 'Ada urusan apa engkau di sini, dan
perlu apa engkau dengan urusan yang kuinginkan.' Dia pun
membalas, 'Aneh sekali engkau, Umar. Engkau tidak mau
ditentang, padahal puterimu menentang Rasulullah s.a.w.
sehingga ia gusar sepanjang hari. Kata Umar selanjutnya:
"Kuambil mantelku, lalu aku keluar, pergi menemui Hafsha.
'Anakku,' kataku kepadanya. 'Engkau menentang Rasulullah
s.a.w. sampai ia merasa gusar sepanjang hari?! Hafsha
menjawabnya: 'Memang kami menentangnya.' 'Engkau harus
tahu,' kataku. 'Kuperingatkan engkau jangan teperdaya. Orang
telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dan mengira cinta
Rasulullah s.a.w. hanya karenanya.' Kemudian saya pergi
menemui Umm Salama, karena kami masih berkerabat. Hal ini
saya bicarakan dengan dia. Lalu kata Umm Salama kepadaku:
'Aneh sekali engkau ini, Umar! Engkau sudah ikut campur
dalam segala hal, sampai-sampai mau mencampuri urusan
Rasulullah s.a.w. dengan rumahtangganya!' Kata Umar lagi:
'Kata-katanya mempengaruhi saya sehingga tidak jadi saya
melakukan apa yang sudah saya rencanakan. Lalu saya pun
pergi."
Muslim dalam Shahih-nya melaporkan, bahwa Abu Bakr pernah
meminta ijin kepada Nabi akan menemuinya dan setelah
diijinkan iapun masuk, kemudian datang Umar meminta ijin dan
masuk pula setelah diberi ijin. Dijumpainya Nabi sedang
duduk dalam keadaan masygul di tengah-tengah para isterinya
yang juga sedang masygul dan diam. Ketika itu Umar berkata:
"Saya akan mengatakan sesuatu yang akan membuat Nabi s.a.w.
tertawa. Lalu katanya: 'Rasulullah, kalau tuan melihat Bint
Kharija3
yang meminta belanja kepada saya maka saya bangun dan saya
tinju lehernya. Maka Rasulullah pun tertawa seraya katanya:
'Mereka itu sekarang di sekelilingku meminta belanja! Ketika
itu Abu Bakr lalu menghampiri Aisyah dan ditinjunya
lehernya, demikian juga Umar lalu menghampiri Hafsha dan
meninjunya, sambil masing-masing berkata: 'Kalian minta yang
tidak ada pada Rasulullah s.a.w.! Mereka pun menjawab: 'Demi
Allah kami samasekali tidak minta kepada Rasullullah s.a.w.
sesuatu yang tidak dipunyainya."
Sebenarnya Abu Bakr dan Umar waktu itu menemui Nabi,
karena Nabi a.s. tidak tampak keluar waktu sembahyang.
Karena itu kaum Muslimin bertanya-tanya apa gerangan yang
mengalanginya. Dalam peristiwa Abu Bakr dan Umar dengan
Aisyah dan Hafsha inilah datang firman Tuhan:
"Wahai Nabi! Katakan kepada isteri-isterimu: 'Kalau kamu
menghendaki kehidupan dan perhiasan dunia, marilah kemari,
akan kuberikan semua itu dan akan kuceraikan kamu dengan
cara yang baik. Tetapi kalau kamu menghendaki Allah dan
Rasul serta kehidupan akhirat, maka Allah telah menyediakan
pahala yang besar untuk orang-orang yang berbuat kebaikan
dari kalangan kamu." (Qur'an, 33: 28-29)
Kemudian isteri-isteri Nabi
saling mengadakan sepakat. Biasanya lepas salat asar Nabi
mengunjungi isteri-isterinya. Ketika itu ia sedang
berkunjung kepada Hafsha menurut satu sumber - atau kepada
Zainab bt. Jahsy menurut sumber yang lain - dan lama tidak
keluar, lebih dari biasanya. Hal ini telah menimbulkan rasa
iri hati pada isteri-isterinya yang lain. Aisyah mengatakan:
'Lalu aku dan Hafsha bersepakat, bahwa bilamana Nabi s.a.w.
datang kepada salah seorang dari kami hendaklah berkata
bahwa aku mencium bau maghafir.4
Apa kau makan maghafir?" [Maghafir ialah sesuatu yang
manis rasanya, berbau tidak sedap. Sedang Nabi tidak
menyukai segala yang berbau tidak enak]. Ketika ia
mendatangi salah seorang dari mereka ini, hal itu oleh yang
seorang ditanyakan kepadanya.
"Saya hanya minum madu di rumah Zainab bt. Jahsy, dan
tidak akan saya ulang lagi," katanya.
Menurut laporan Sauda, yang juga sudah mengadakan
persepakatan yang serupa dengan Aisyah, menceritakan, bahwa
setelah Nabi berada di dekatnya, ditanyanya: "Kau makan
maghafir?"
"Tidak," jawabnya.
"Ini bau apa?"
"Hafsha menyugui aku minuman dari madu."
"Yang lebahnya mengisap 'urfut?"
Dan bila ia mendatangi Aisyah dikatakannya seperti yang
dikatakan oleh Sauda. Juga Shafia ketika dijumpainya
mengatakan seperti apa yang dikatakan mereka juga. Sejak itu
ia lalu mengharamkan madu untuk dirinya.
Setelah melihat kenyataan ini Sauda berkata: "Maha suci
Tuhan! Madu telah jadi haram buat kita!"
Ditatapnya ia oleh Aisyah dengan pandangan mata penuh
arti seraya katanya: Diam!
Nabi yang telah memberi kedudukan kepada
isteri-isterinya, sedang sebelum itu, seperti wanita-wanita
Arab lainnya, mereka tidak pernah mendapat penghargaan
orang, sudah wajar sekali apabila sikap mereka kini mau
berlebih-lebihan dalam menggunakan kebebasan, suatu hal yang
tidak pernah dialami oleh sesama kaum wanita, sampai-sampai
ada di antara mereka itu yang menentang Nabi dan membuat
Nabi gusar sepanjang hari. Ia sudah berusaha hendak
menghindarkan diri dari mereka, meninggalkan mereka, supaya
sikap kasih-sayang kepada mereka itu tidak sampai membuat
tingkah laku mereka tambah melampaui batas, dan sampai ada
dari mereka yang mengeluarkan rasa cemburunya dengan cara
yang tidak layak. Setelah Maria melahirkan Ibrahim, rasa iri
hati pada isteri-isteri Nabi itu sudah melampaui sopan
santun, sehingga ketika terjadi percakapan antara dia dengan
Aisyah, Aisyah menolak menyatakan adanya persamaan rupa
Ibrahim dengan Nabi itu, dan hampir-hampir pula menuduh
Maria yang bukan-bukan, yang oleh Nabi dikenal bersih.
Pernah terjadi ketika pada suatu hari
Hafsha pergi mengunjungi ayahnya dan bercakap-cakap di sana,
Maria datang kepada Nabi tatkala ia sedang di rumah Hafsha
dan agak lama. Bila kemudian Hafsha kembali pulang dan
mengetahui ada Maria di rumahnya, ia menunggu keluarnya
Maria dengan rasa cemburu yang sudah meluap. Makin lama ia
menunggu, cemburunya pun makin menjadi. Bilamana kemudian
Maria keluar, Hafsha masuk menjumpai Nabi.
"Saya sudah melihat siapa yang dengan kau tadi," kata
Hafsha. "Engkau sungguh telah menghinaku. Engkau tidak akan
berbuat begitu kalau tidak kedudukanku yang rendah dalam
pandanganmu."
Muhammad segera menyadari bahwa rasa cemburulah yang
telah mendorong Hafsha menyatakan apa yang telah
disaksikannya itu serta membicarakannya kembali dengan
Aisyah atau isteri-isterinya yang lain. Dengan maksud hendak
menyenangkan perasaan Hafsha, ia bermaksud hendak bersumpah
mengharamkan Maria buat dirinya kalau Hafsha tidak akan
menceritakan apa yang telah disaksikannya itu. Hafsha
berjanji akan melaksanakan. Tetapi rasa cemburu sudah begitu
berkecamuk dalam hati, sehingga dia tidak lagi sanggup
menyimpan apa yang ada dalam hatinya, dan ia pun
menceritakan lagi hal itu kepada Aisyah. Aisyah memberi
kesan kepada Nabi bahwa Hafsha tidak lagi dapat menyimpan
rahasia. Barangkali masalahnya tidak hanya terhenti pada
Hafsha dan pada Aisyah saja dari kalangan isteri Nabi.
Barangkali mereka semua - yang sudah melihat bagaimana Nabi
mengangkat kedudukan Maria - telah pula mengikuti Hafsha dan
Aisyah ketika kedua mereka ini berterang-terang kepada Nabi
sehubungan dengan Maria ini, meskipun cerita demikian
sebenarnya tidak lebih daripada suatu kejadian biasa antara
seorang suami dengan isterinya, atau antara seorang
laki-laki dengan hamba sahaya yang sudah dihalalkan. Dan
tidak perlu diributkan seperti yang dilakukan oleh kedua
puteri Abu Bakr dan Umar itu, yang dari pihak mereka sendiri
berusaha hendak membalas karena kecenderungan Nabi kepada
Maria. Kita sudah melihat adanya semacam ketegangan dalam
saat-saat tertentu antara Nabi dengan para isterinya karena
soal belanja, karena soal madu Zainab, atau karena
sebab-sebab lain, yang menunjukkan bahwa mereka melihat Nabi
lebih mencintai Aisyah atau lebih mencintai Maria
Begitu memuncaknya keadaan mereka, sehingga pada suatu
hari mereka mengutus Zainab bt. Jahsy kepada Nabi di rumah
Aisyah dan dengan terang-terangan mengatakan bahwa ia
berlaku tidak adil terhadap para isterinya, dan karena
cintanya kepada Aisyah ia telah merugikan yang lain.
Bukankah setiap isteri mendapat bagian masing-masing sehari
semalam? Kemudian juga Sauda; karena melihat Nabi
menjauhinya dan tidak bermuka manis kepadanya, maka supaya
Rasul merasa senang, ia telah mengorbankan waktu siang dan
malamnya itu untuk Aisyah. Dalam berterusterang itu Zainab
tidak hanya terbatas dengan mengatakan Nabi bersikap tidak
adil di antara para isteri, bahkan juga ia telah mencerca
Aisyah yang ketika itu sedang duduk-duduk, sehingga membuat
Aisyah bersiap hendak membalasnya kalau tidak karena adanya
isyarat dari Nabi, yang membuat dia jadi tenang kembali.
Akan tetapi Zainab begitu bersikeras menyerangnya dan
mencerca Aisyah melampaui batas, sehingga tak ada jalan lain
buat Nabi kecuali membiarkan Aisyah membela diri. Ketika itu
Aisyah membalas bicara dan membuat Zainab jadi terdiam.
Dengan demikian Nabi merasa senang dan kagum sekali terhadap
puteri Abu Bakr itu.
Pada waktu-waktu tertentu pertentangan isteri-isteri Nabi
itu sudah begitu memuncak, sebab dia dianggap lebih
mencintai yang seorang daripada yang lain, sehingga
karenanya Nabi bermaksud hendak menceraikan mereka itu
sebagian, kalau tidak karena mereka lalu memberikan
kebebasan kepadanya mengenai siapa saja yang lebih
disukainya. Setelah Maria melahirkan Ibrahim, rasa iri hati
pada mereka makin menjadi-jadi, lebih-lebih pada Aisyah.
Dalam menghadapi kegigihan sikap mereka yang iri hati ini
Muhammad - yang sudah mengangkat derajat mereka begitu
tinggi - masih tetap lemah-lembut. Muhammad tidak punya
waktu yang senggang untuk melayani sikap kegigihan serupa
itu dan membiarkan dirinya dipermainkan oleh sang isteri.
Mereka harus mendapat pelajaran dengan sikap yang tegas dan
keras. Persoalan pada isteri-isteri itu harus dapat
dikembalikan ke tempat semula. Dia harus kembali dalam
ketenangannya berpikir, dalam menjalankan dakwah ajarannya,
seperti yang sudah ditentukan Tuhan kepadanya itu. Dapat
juga pelajaran itu berupa tindakan meninggalkan mereka atau
mengancam mereka dengan perceraian. Kalau mereka mau kembali
sadar, baiklah; kalau tidak, berikanlah bagiannya dan
ceraikan mereka dengan cara yang baik.
Selama sebulan penuh akhirnya
Nabi memisahkan diri dari mereka. Tiada orang yang diajaknya
bicara mengenai mereka, juga orang pun tak ada yang berani
memulai membicarakan masalah mereka itu. Dan selama sebulan
itu ia memusatkan pikirannya pada apa yang harus
dilakukannya, apa yang harus dilakukan oleh kaum Muslimin
dalam menjalankan dakwah Islam, serta menyebarkan agama itu
keluar jazirah.
Dalam pada itu Abu Bakr dan Umar serta bapa-bapa mertua
Nabi yang lain merasa gelisah sekali melihat nasib
Umm'l-Mukminin (Ibu-ibu Orang-orang Beriman) serta apa yang
akan terjadi karena kemarahan Rasulullah, dan karena
kemarahan Rasul itu akan berakibat pula adanya kemurkaan
Tuhan dan para malaikat. Bahkan sudah ada orang berkata,
bahwa Nabi telah menceraikan Hafsha puteri Umar setelah ia
membocorkan apa yang dijanjikannya akan dirahasiakan.
Desas-desus pun beredar di kalangan Muslimin bahwa Nabi
sudah menceraikan isteri-isterinya. Dalam pada itu
isteri-isteri pun gelisah pula, menyesal, yang karena
terdorong oleh rasa cemburu, sampai begitu jauh mereka
menyakiti hati suami yang tadinya sangat lemah-lembut kepada
mereka. Bagi mereka dia adalah saudara, bapa, anak dan
segala yang ada dalam hidup dan di balik hidup ini.
Sekarang Muhammad sudah menghabiskan sebagian waktunya
dalam sebuah bilik kecil. Dan selama ia dalam bilik itu
pelayannya Rabah duduk menunggu di ambang pintu. Jalan masuk
ke tempat itu melalui tangga dari batang kurma yang kasar
sekali.
Sudah sebulan lamanya ia dalam bilik itu sesuai dengan
niatnya hendak meninggalkan para isterinya itu samasekali.
Ketika itu kaum Muslimin sedang berada dalam mesjid dalam
keadaan menekur. Mereka berkata: Rasulullah s.a.w. telah
menceraikan isteri-isterinya. Jelas sekali kesedihan yang
mendalam itu membayang pada wajah mereka. Ketika itu Umar
yang berada di tengah-tengah mereka lalu berdiri. Ia hendak
pergi ke tempat Nabi dalam biliknya itu. Dipanggilnya Rabah
si pelayan supaya dimintakan ijin ia hendak menemui
Rasulullah. Ia melihat kepada Rabah dengan mengharapkan
jawaban. Tapi rupanya Rabah tidak berkata apa-apa, yang
berarti bahwa Nabi belum mengijinkan. Sekali lagi Umar
mengulangi permintaan itu. Juga sekali lagi Rabah tidak
memberikan jawaban. Sekali ini Umar berkata lagi dengan
suara lebih keras.
|