|
BAGIAN KEEMPAT: DARI PERKAWINAN SAMPAI MASA
KERASULANNYA (2/2)
Kehidupan Muhammad dalam usia demikian itu ternyata
tenteram adanya. Kalau tidak karena kehilangan kedua anaknya
itu tentu itulah hidup yang sungguh nikmat dirasakan bersama
Khadijah, yang setia dan penuh kasih, hidup sebagai
ayah-bunda yang bahagia dan rela. Oleh karena itu wajar
sekali apabila Muhammad membiarkan dirinya berjalan sesuai
dengan bawaannya, bawaan berpikir dan bermenung, dengan
mendengarkan percakapan masyarakatnya tentang
berhala-berhala, serta apa pula yang dikatakan orang-orang
Nasrani dan Yahudi tentang diri mereka itu. Ia berpikir dan
merenungkan. Di kalangan masyarakatnya dialah orang yang
paling banyak berpikir dan merenung. Jiwa yang kuat dan
berbakat ini, jiwa yang sudah mempunyai persiapan kelak akan
menyampaikan risalah Tuhan kepada umat manusia, serta
mengantarkannya kepada kehidupan rohani yang hakiki, jiwa
demikian tidak mungkin berdiam diri saja melihat manusia
yang sudah hanyut ke dalam lembah kesesatan. Sudah
seharusnya ia mencari petunjuk dalam alam semesta ini,
sehingga Tuhan nanti menentukannya sebagai orang yang akan
menerima risalahNya. Begitu besar dan kuatnya kecenderungan
rohani yang ada padanya, ia tidak ingin menjadikan dirinya
sebangsa dukun atau ingin menempatkan diri sebagai ahli
pikir seperti , dilakukan oleh Waraqa b. Naufal dan
sebangsanya. Yang dicarinya hanyalah kebenaran semata.
Pikirannya penuh untuk itu, banyak sekali ia bermenung.
Pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam hatinya itu
sedikit sekali dinyatakan kepada orang lain.
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab
masa itu bahwa golongan berpikir mereka selama beberapa
waktu tiap tahun menjauhkan diri dari keramaian orang,
berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka
dengan bertapa dan berdoa, mengharapkan diberi rejeki dan
pengetahuan. Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka
namakan tahannuf dan tahannuth.6
Di tempat ini rupanya Muhammad mendapat tempat yang
paling baik guna mendalami pikiran dan renungan yang
berkecamuk dalam dirinya. Juga di tempat ini ia mendapatkan
ketenangan dalam dinnya serta obat penawar hasrat hati yang
ingin menyendiri, ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya
yang selalu makin besar, ingin mencapai ma'rifat serta
mengetahui rahasia alam semesta.
Di puncak Gunung Hira, - sejauh dua
farsakh7 sebelah utara Mekah -terletak sebuah gua
yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannuth.
Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun ia pergi ke sana dan
berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan bekal sedikit yang
dibawanya. Ia tekun dalam renungan dan ibadat, jauh dari
segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia mencari
Kebenaran, dan hanya kebenaran semata.
Demikian kuatnya ia merenung mencari hakikat kebenaran
itu, sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan, lupa segala
yang ada dalam hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya
dalam kehidupan manusia sekitarnya, bukanlah suatu
kebenaran. Di situ ia mengungkapkan dalam kesadaran batinnya
segala yang disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan
segala prasangka yang pernah dikejar-kejar orang.
Ia tidak berharap kebenaran yang dicarinya itu akan
terdapat dalam kisah-kisah lama atau dalam tulisan-tulisan
para pendeta, melainkan dalam alam sekitarnya: dalam luasan
langit dan bintang-bintang, dalam bulan dan matahari, dalam
padang pasir di kala panas membakar di bawah sinar matahari
yang berkilauan. Atau di kala langit yang jernih dan indah,
bermandikan cahaya bulan dan bintang yang sedap dan lembut,
atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala yang ada
di balik itu, yang ada hubungannya dengan wujud ini, serta
diliputi seluruh kesatuan wujud. Dalam alam itulah ia
mencari Hakekat Tertinggi. Dalam usaha mencapai itu, pada
saat-saat ia menyendiri demikian jiwanya membubung tinggi
akan mencapai hubungan dengan alam semesta ini, menembusi
tabir yang menyimpan semua rahasia. Ia tidak memerlukan
permenungan yang panjang guna mengetahui bahwa apa yang oleh
masyarakatnya dipraktekkan dalam soal-soal hidup dan apa
yang disajikan sebagai kurban-kurban untuk tuhan-tuhan
mereka itu, tidak membawa kebenaran samasekali.
Berhala-berhala yang tidak berguna, tidak menciptakan dan
tidak pula mendatangkan rejeki, tak dapat memberi
perlindungan kepada siapapun yang ditimpa bahaya. Hubal, Lat
dan 'Uzza, dan semua patung-patung dan berhala-berhala yang
terpancang di dalam dan di sekitar Ka'bah, tak pernah
menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau akan mendatangkan
suatu kebaikan bagi Mekah.
Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan di
mana kebenaran dalam alam semesta yang luas ini, luas dengan
buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan
bintang-bintangnya? Adakah barangkali dalam bintang yang
berkelip-kelip, yang memancarkan cahaya dan kehangatan
kepada manusia, dari sana pula hujan diturunkan, sehingga
karenanya manusia dan semua makhluk yang ada di muka bumi
ini hidup dari air, dari cahaya dan kehangatan udara? Tidak!
Bintang-bintang itu tidak lain adalah benda-benda langit
seperti bumi ini juga. Atau barangkali di balik benda-benda
itu terdapat eter yang tak terbatas, tak berkesudahan?
Tetapi apa eter itu? Apa hidup yamg kita alami sekarang,
dan besok akan berkesudahan? Apa asalnya, dan apa sumbernya?
Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan dijadikan pula kita
di dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah
mempunyai ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan
tidak mungkin bila dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang
dialami manusia, kebaikan atau keburukan, datang atas
kehendak manusia sendiri, ataukah itu sudah bawaannya
sendiri pula sehingga tak kuasa ia memilih yang lain?
Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu, itu
juga yang dipikirkan Muhammad selama ia mengasingkan diri
dan bertekun dalam Gua Hira'. Ia ingin melihat Kebenaran itu
dan melihat hidup itu seluruhnya. Pemikirannya itu memenuhi
jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh
wujudnya. Siang dan malam hal ini menderanya terus menerus.
Bilamana bulan Ramadan sudah berlalu dan ia kembali kepada
Khadijah, pengaruh pikiran yang masih membekas padanya
membuat Khadijah menanyakannya selalu, karena diapun ingin
lega hatinya bila sudah diketahuinya ia dalam sehat dan
afiat.
Dalam melakukan ibadat selama dalam tahannuth itu adakah
Muhammad menganut sesuatu syariat tertentu? Dalam hal ini
ulama-ulama berlainan pendapat. Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir
menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka
mengenai syariat yang digunakannya melakukan ibadat itu: Ada
yang mengatakan menurut syariat Nuh, ada yang mengatakan
menurut Ibrahim, yang lain berkata menurut syariat Musa, ada
yang mengatakan menurut Isa dan ada pula yang mengatakan,
yang lebih dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu
syariat dan diamalkannya. Barangkali pendapat yang terakhir
ini lebih tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai
dengan dasar renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan
Muhammad.
Tahun telah berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan
Ramadan. Ia pergi ke Hira', ia kembali bermenung, sedikit
demi sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh.
Sesudah beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran
Tertinggi itu dalam tidurnya bertemu dengan mimpi hakiki
yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini dicarinya
Bersamaan dengan itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia,
hidup tipu-daya dengan segala macam kemewahan yang tiada
berguna.
Ketika itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat
dari jalan yang benar, dan hidup kerohanian mereka telah
rusak karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta
kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula
sesatnya. Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum
Yahudi dan kaum Nasrani tak dapat menolong mereka dari
kesesatan itu. Apa yang disebutkan mereka itu masing masing
memang benar; tapi masih mengandung bermacam-macam takhayul
dan pelbagai macam cara paganisma, yang tidak mungkin
sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak yang
sederhana, tidak mengenal segala macam spekulasi perdebatan
kosong, yang menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli
Kitab itu. Dan Kebenaran itu ialah Allah, Khalik seluruh
alam, tak ada tuhan selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah
Pemelihara semesta alam. Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim.
Kebenaran itu ialah bahwa manusia dinilai berdasarkan
perbuatannya. "Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat
atompun akan dilihatNya. Dan barangsiapa mengerjakan
kejahatan seberat atompun akan dilihatNya pula." (Qur'an,
99:7-8) Dan bahwa surga itu benar adanya dan nerakapun benar
adanya. Mereka yang menyembah tuhan selain Allah mereka
itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan kediaman yang
paling durhaka.
Muhammad sudah menjelang usia empatpuluh
tahun. Pergi ia ke Hira' melakukan tahannuth. Jiwanya sudah
penuh iman atas segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi
hakiki itu. Ia telah membebaskan diri dari segala kebatilan.
Tuhan telah mendidiknya, dan didikannya baik sekali. Dengan
sepenuh kalbu ia menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada
Kebenaran yang Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada
Allah dengan seluruh jiwanya agar dapat memberikan hidayah
dan bimbingan kepada masyarakatnya yang sedang hanyut dalam
lembah kesesatan.
Dalam hasratnya menghadapkan diri itu ia bangun tengah
malam, kalbu dan kesadarannya dinyalakan. Lama sekali ia
berpuasa, dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia
turun dari gua itu, melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu
ia kembali ke tempatnya berkhalwat, hendak menguji apa
gerangan yang berkecamuk dalam perasaannya itu, apa gerangan
yang terlihat dalam mimpi itu? Hal serupa itu berjalan
selama enam bulan, sampai-sampai ia merasa kuatir akan
membawa akibat lain terhadap dirinya. Oleh karena itu ia
menyatakan rasa kekuatirannya itu kepada Khadijah dan
menceritakan apa yang telah dilihatnya. Ia kuatir
kalau-kalau itu adalah gangguan jin.
Tetapi isteri yang setia itu dapat menenteramkan hatinya.
dikatakannya bahwa dia adalah al-Amin, tidak mungkin jin
akan mendekatinya, sekalipun memang tidak terlintas dalam
pikiran isteri atau dalam pikiran suami itu, bahwa Allah
telah mempersiapkan pilihanNya itu dengan memberikan latihan
rohani sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat,
berita yang dahsyat, yaitu saat datangnya wahyu pertama.
Dengan itu ia dipersiapkan untuk membawakan pesan dan
risalah yang besar.
Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur
dalam gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai
lembaran seraya berkata kepadanya: "Bacalah!" Dengan
terkejut Muhammad menjawab: "Saya tak dapat membaca". Ia
merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan
lagi seraya katanya lagi: "Bacalah!" Masih dalam ketakutan
akan dicekik lagi Muhammad menjawab: "Apa yang akan saya
baca." Seterusnya malaikat itu berkata: "Bacalah! Dengan
nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang
mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang
belum diketahuinya ..." (Qur'an 96:1-5)
Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi,
setelah kata-kata itu terpateri dalam
kalbunya.8
Tetapi kemudian ia terbangun ketakutan, sambil
bertanya-tanya kepada dirinya: Gerangan apakah yang
dilihatnya?! Ataukah kesurupan yang ditakutinya itu kini
telah menimpanya?! Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak
melihat apa-apa. Ia diam sebentar, gemetar ketakutan. Kuatir
ia akan apa yang terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat
itu. Semuanya serba membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan
apa yang telah dilihatnya itu.
Cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil
bertanya-tanya dalam hatinya: siapa gerangan yang
menyuruhnya membaca itu?! Yang pernah dilihatnya sampai saat
itu sementara dia dalam tahannuth, ialah mimpi hakiki yang
memancar dari sela-sela renungannya, memenuhi dadanya,
membuat jalan yang di hadapannya jadi terang-benderang,
menunjukkan kepadanya, di mana kebenaran itu. Tirai gelap
yang selama itu menjerumuskan masyarakat Quraisy ke dalam
lembah paganisma dan penyembahan berhala, jadi terbuka.
Sinar terang-benderang yang memancar di hadapannya dan
kebenaran yang telah menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah
Yang Tunggal Maha Esa. Tetapi siapakah yang telah memberi
peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menicptakan
manusia dan bahwa Dia Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan
kepada manusia dengan pena, mengajarkan apa yang belum
diketahuinya?
Ia memasuki pegunungan itu masih dalam ketakutan, masih
bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara
memanggilnya. Dahsyat sekali terasa. Ia melihat ke permukaan
langit. Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk
manusia. Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan
sehingga tertegun ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari
yang dilihatnya itu. Tetapi dia masih juga melihatnya di
seluruh ufuk langit. Sebentar melangkah maju ia, sebentar
mundur, tapi rupa malaikat yang sangat indah itu tidak juga
lalu dari depannya. Seketika lamanya ia dalam keadaan
demikian. Dalam pada itu Khadijah telah mengutus orang
mencarinya ke dalam gua tapi tidak menjumpainya.
Setelah rupa malaikat itu menghilang Muhammad pulang
sudah berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya
berdenyut, hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya
Khadijah sambil ia berkata: "Selimuti aku!" Ia segera
diselimuti. Tubuhnya menggigil seperti dalam demam. Setelah
rasa ketakutan itu berangsur reda dipandangnya isterinya
dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan.
"Khadijah, kenapa aku?" katanya. Kemudian diceritakannya
apa yang telah dilihatnya, dan dinyatakannya rasa
kekuatirannya akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan
jadi seperti juru nujum saja.
Seperti juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam
suasana ketakutannya akan kesurupan Khadijah yang penuh rasa
kasih-sayang, adalah tempat ia melimpahkan rasa damai dan
tenteram kedalam hati yang besar itu, hati yang sedang dalam
kekuatiran dan dalam gelisah. Ia tidak memperlihatkan rasa
kuatir atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan
pandangan penuh hormat, seraya berkata:
"O putera pamanku.9 Bergembiralah, dan
tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup
Khadijah,10 aku berharap kiranya engkau akan
menjadi Nabi atas umat ini. Samasekali Allah takkan
mencemoohkan kau; sebab engkaulah yang mempererat tali
kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul
beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka
yang dalam kesulitan atas jalan yang benar."
Muhammad sudah merasa tenang kembali. Dipandangnya
Khadijah dengan mata penuh terimakasih dan rasa kasih.
Sekujur badannya sekarang terasa sangat letih dan perlu
sekali ia tidur. Ia pun tidur, tidur untuk kemudian bangun
kembali membawa suatu kehidupan rohani yang kuat, yang
luarbiasa kuatnya. Suatu kellidupan yang sungguh dahsyat dan
mempesonakan. Tetapi kehidupan yang penuh pengorbanan, yang
tulus-ikhlas semata untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk
perikemanusiaan. Itulah Risalah Tuhan yang akan diteruskan
dan disampaikan kepada umat manusia dengan cara yang lebih
baik, sehingga sempurnalah cahaya Allah, sekalipun oleh
orang-orang kafir tidak disukai.
Catatan kaki:
- Berdasarkan pada sebagian besar ahli genekologi,
bahwa putera-putera Nabi s.a.w. dari Khadijah dua orang:
al-Qasim dan Abdullah, yang diberi julukan at-Tahir dan
at-Tayyib. Ada juga yang mengatakan tiga, ada pula yang
mengatakan empat orang.
- Mungkin nama ini sudah diarabkan (A)
- Bangunan itu terdiri dari empat sudut dikenal dengan
nama-nama sudut utara, ar-rukn'l-iraqi (Irak), sudut
selatan, ar-rukn'l-yamani, sudut barat, ar-rukn'l-syami
dan sudut timur, ar-rukn'l-aswad (A)
- Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat adalah berhala-berhala
sembahan Arab pagan. Konon kabarnya Hubal berhala
terbesar yang tinggal dalam Ka'bah, dibuat dari batu akik
dalam bentuk manusia (lihat halaman 21-22). Keterangan
tentang tuhan-tuhan wanita Lat. 'Uzza dan Manat
berbeda-beda mengenai bentuknya. Katanya Lat dalam bentuk
manusia juga, 'Uzza berhala kaum Thaqif. 'Uzza pada
mulanya adalah pohon suci, terletak di antara Mekah
dengan Ta'if. Manat merupakan batu putih, berhala kaum
Hudhail dan Khuza'a. Ketiga-tiganya itu berbentuk wanita.
(A)
- Usman b. 'Affan, Khalifah ketiga. Setelah Ruqayya
diceraikan oleh 'Utba diambil isteri oleh Usman b.
'Affan. Setelah Umm Kulthum dewasa kawin dengan 'Utaiba,
lalu diceraikan pula. Sesudah dalam tahun ke-2 H. Ruqayya
wafat, Usman kawin dcngan Umm Kulthum. Ia meninggal dalam
tahun ke-9 H. di Medinah (A).
- Tahannuf atau tahannafa, mungkin asal katanya seakar
dengan hanif, yang berarti 'cenderung kepada kebenaran'
'meninggalkan berhala dan beribadat kepada Allah' (LA)
atau sebaliknya dari perbuatan syirik. (Bandingkan
Qur'an, 2: 135; 10: 105). Tahannuth atau tahannatha,
beribadat dan menjauhi dosa; mendekatkan diri kepada
Tuhan' (N). 'Beribadat dan menjauhi berhala, seperti
tahannatha (LA). Dalam terjemahan selanjutnya kedua kata
ini tidak diterjemahkan (A).
- Bahasa Persia, parsang, ukuran panjang dahulu kala,
kira-kira 3.5 mil atau hampir 6 km. (A).
- Demikian buku-buku sejarah yang mula-mula
menceritakan. Ibn Ishaq juga ke sana dasarnya. Demikian
juga yang datang kemudian banyak yang menceritakan
begitu. Hanya saja sebagian mereka berpendapat bahwa
permulaan wahyu itu datang ia dalam keadaan jaga dan di
waktu siang, dengan menyebutkan sebuah keterangan melalui
Jibril yang menenteramkan hati Muhammad ketika dilihatnya
dalam ketakutan. Ibn Kathir dalam Tarikh-nya menyebutkan
sumber yang dibawa oleh al-Hafiz Abu Na'im al-Ashbahani
dalam bukunya Dala'il'n-Nubawa dari 'Alqama bin Qais,
bahwa "Yang mula-mula didatangkan kepada para nabi itu
mereka dalam keadaan tidur (dengan maksud) supaya hati
mereka tenteram. Sesudah itu kemudian wahyu turun. Dan
ditambahkan: "Ini yang dikatakan 'Alqama ibn Qais
sendiri, suatu keterangan yang baik, diperkuat oleh yang
datang sebelum dan sesudahnya."
- Suatu kebiasaan orang Arab memanggil orang yang
dianggap seturunan. Muhammad dan Khadijah dari nenek
moyang yang sama, yakni Qushayy (A).
- Suatu pernyataan sumpah yang biasa diucapkan pada
masa itu, maksudnya "Demi Allah" (A)
|