|
BAGIAN KELIMA: DARI MASA KERASULAN SAMPAI
ISLAMNYA UMAR (1/4)
MUHAMMAD sedang tidur. Khadijah menatapnya dengan hati
penuh kasih dan harapan, kasih dan harapan terhadap orang
yang tadi mengajaknya bicara itu.
Setelah dilihatnya ia tidur nyenyak, nyenyak dan tenang
sekali, ditinggalkannya orang itu perlahan-lahan. Ia keluar,
dengan pikiran masih pada orang itu, orang yang pernah
menggoncangkan hatinya. Pikirannya pada hari esok, pada hari
yang akan memberikan harapan baik kepadanya. Harapannya,
suami itu akan menjadi nabi atas umat, yang kini tengah
hanyut dalam kesesatan. Ia akan membimbing mereka dengan
ajaran agama yang benar serta akan membawa mereka ke jalan
yang lurus. Tetapi, sungguhpun begitu, menghadapi masa yang
akan datang, ia merasa kuatir sekali, kuatir akan nasib
suami yang setia dan penuh kasih-sayang itu. Dibayangkannya
dalam hatinya apa yang telah diceritakan kepadanya itu.
Dibayangkannya itu malaikat yang begitu indah, yang
memperlihatkan diri di angkasa, setelah menyampaikan wahyu
Tuhan kepadanya dan yang kemudian memenuhi seluruh ruangan
itu. Selalu ia melihat malaikat itu kemana saja ia
mengalihkan muka. Khadijah masih mengulangi kata-kata yang
dibacakan dan sudah terpateri dalam dada Muhammad itu.
Semua itu dibentangkan kembali oleh Khadijah di depan
mata hatinya. Kadang terkembang senyum di bibir, karena
suatu harapan; kadang kecut juga rasanya, karena takut akan
nasib yang mungkin akan menimpa diri al-Amin kelak.
Tidak tahan ia tinggal seorang diri lama-lama. Pikirannya
berpindah-pindah dari harapan yang manis sedap kepada
kesangsian dan harap-harap cemas. Terpikir olehnya akan
mencurahkan segala isi hatinya itu kepada orang yang sudah
dikenalnya bijaksana dan akan dapat memberikan nasehat.
Untuk itu, kemudian ia pergi menjumpai saudara sepupunya
(anak paman), Waraqa b. Naufal. Seperti sudah disebutkan,
Waraqa adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah
mengenal Bible dan sudah pula menterjemahkannya sebagian ke
dalam bahasa Arab. Ia menceritakan apa yang pernah dilihat
dan didengar Muhammad dan menceritakan pula apa yang
dikatakan Muhammad kepadanya, dengan menyebutkan juga rasa
kasih dan harapan yang ada dalam dirinya. Waraqa menekur
sebentar, kemudian katanya: "Maha Kudus Ia, Maha Kudus. Demi
Dia yang memegang hidup Waraqa. Khadijah, percayalah, dia
telah menerima Namus Besar1 seperti yang pernah
diterima Musa. Dan sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan
kepadanya supaya tetap tabah."
Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur.
Dipandangnya suaminya itu dengan rasa kasih dan penuh
ikhlas, bercampur harap dan cemas. Dalam tidur yang demikian
itu, tiba-tiba ia menggigil, napasnya terasa sesak dengan
keringat yang sudah membasahi wajahnya. Ia terbangun,
manakala didengarnya malaikat datang membawakan wahyu
kepadanya:
"O orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan
peringatan. Dan agungkan Tuhanmu. Pakaianmupun bersihkan.
Dan hindarkan perbuatan dosa. Jangan kau memberi, karena
ingin menerima lebih banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan
hatimu." (Qur'an 74: 17)
Dipandangnya ia oleh Khadijah, dengan rasa kasih yang
lebih besar. Didekatinya ia perlahan-lahan seraya
dimintanya, supaya kembali ia tidur dan beristirahat.
"Waktu tidur dan istirahat sudah tak ada lagi, Khadijah,"
jawabnya. "Jibril membawa perintah supaya aku memberi
peringatan kepada umat manusia, mengajak mereka, dan supaya
mereka beribadat hanya kepada Allah. Tapi siapa yang akan
kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?"
Khadijah berusaha menenteramkan hatinya. Cepat-cepat ia
menceritakan apa yang didengarnya dari Waraqa tadi. Dengan
penuh gairah dan bersemangat sekali kemudian ia menyatakan
dirinya beriman atas kenabiannya itu. Sudah sewajarnya
apabila Khadijah cepat-cepat percaya kepadanya. Ia sudah
mengenalnya benar. Selama hidupnya laki-laki itu selalu
jujur, orang berjiwa besar ia dan selalu berbuat kebaikan
dengan penuh rasa kasih-sayang. Selama dalam tahannuth,
dilihatnya betapa besar kecenderungannya kepada kebenaran,
dan hanya kebenaran semata-mata. Ia mencari kebenaran itu
dengan persiapan jiwa, kalbu dan pikiran yang sudah begitu
tinggi, membubung melampaui jangkauan yang akan dapat
dibayangkan manusia, manusia yang menyembah patung dan
membawakan kurban-kurban ke sana; mereka yang menganggap
bahwa itu adalah tuhan yang dapat mendatangkan bencana dan
keuntungan. Mereka membayangkan, bahwa itu patut disembah
dan diagungkan. Wanita itu sudah melihatnya betapa benar ia
pada tahun-tahun masa tahannuth itu. Juga ia melihatnya
betapa benar keadaannya tatkala pertama kali ia kembali dari
gua Hira', sesudah kerasulannya. Ia bingung sekali.
Dimintanya oleh Khadijah, apabila malaikat itu nanti datang
supaya diberitahukan kepadanya.
Bilamana kemudian Muhammad melihat malaikat itu datang,
didudukannya ia oleh Khadijah di paha kirinya, kemudian di
paha kanan dan di pangkuannya. Malaikat itupun masih juga
dilihatnya. Khadijah menghalau dan mencampakkan tutup
mukanya. Waktu itu tiba-tiba Muhammad tidak lagi melihatnya.
Khadijah tidak ragu lagi bahwa itu adalah malaikat, bukan
setan.
Sesudah peristiwa itu, pada suatu hari Muhammad pergi
akan mengelilingi Ka'bah. Di tempat itu Waraqa b. Naufal
menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan keadaannya,
Waraqa berkata: "Demi Dia Yang memegang hidup Waraqa. Engkau
adalah Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar
seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau
akan didustakan orang, akan disiksa, akan diusir dan akan
diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup,
pasti aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan
yang sudah diketahuiNya pula." Lalu Waraqa mendekatkan
kepalanya dan mencium ubun-ubun Muhammad. Muhammadpun segera
merasakan adanya kejujuran dalam kata-kata Waraqa itu, dan
merasakan pula betapa beratnya beban yang harus menjadi
tanggungannya.
Sekarang ia jadi memikirkan, bagaimana akan mengajak
Quraisy supaya turut beriman; padahal ia tahu benar mereka
sangat kuat mempertahankan kebatilan itu. Mereka bersedia
berperang dan mati untuk itu. Ditambah lagi mereka masih
sekeluarga dan sanak famili yang dekat.
Sungguhpun begitu, tetapi mereka dalam kesesatan. Sedang
apa yang dianjurkannya kepada mereka, itulah yang benar. Ia
mengajak mereka, agar jiwa dan hati nurani mereka dapat
lebih tinggi sehingga dapat berhubungan dengan Allah Yang
telah menciptakan mereka dan menciptakan nenek-moyang
mereka; agar mereka beribadat hanya kepadaNya, dengan penuh
ikhlas, dengan jiwa yang bersih, untuk agama. Ia mengajak
mereka supaya mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan
perbuatan yang baik, dengan memberikan kepada orang
berdekatan, hak-hak mereka, begitu juga kepada orang yang
dalam perjalanan; agar mereka menjauhkan diri dari menyembah
batu-batu yang mereka buat jadi berhala yang menurut dugaan
mereka akan mengampuni segala dosa mereka dari perbuatan
angkara-murka yang mereka lakukan, dari menjalankan riba dan
memakan harta anak piatu. Penyembahan mereka demikian itu
membuat jiwa dan hati mereka lebih keras dan lebih membatu
dari patung-patung itu. Ia memperingatkan mereka agar mereka
mau melihat ciptaan Tuhan yang ada di langit dan di bumi;
supaya semua itu menjadi tamsil dalam jiwa mereka serta
kemudian menyadari betapa dahsyat dan agungnya semua itu.
Dengan kesadaran demikian mereka akan memahami kebesaran
undang-undang Ilahi yang berlaku di langit dan di bumi.
Selanjutnya, dengan ibadatnya itu akan memahami pula
kebesaran Al Khalik Pencipta alam semesta ini, Yang Tunggal,
tiada bersekutu. Dengan demikian mereka akan lebih tinggi,
akan lebih luhur Mereka akan diisi oleh rasa kasih-sayang
terhadap mereka yang belum mendapat petunjuk Tuhan, dan akan
berusaha ke arah itu. Mereka akan berlaku baik terhadap
semua anak piatu, terhadap semua orang yang malang dan
lemah. Ya! Ke arah itulah Tuhan memerintahkannya, supaya ia
mengajak mereka.
Akan tetapi, itu jantung yang sudah begitu keras, jiwa
yang sudah begitu kaku, sudah jadi kering dalam menyembah
berhala seperti yang dilakukan oleh nenek-moyang mereka
dahulu. Di tempat itu mereka berdagang, dan membuat Mekah
menjadi pusat kunjungan penyembah berhala! Akan mereka
tinggalkankah agama nenek-moyang mereka dan mereka lepaskan
kedudukan kota mereka yang berarti suatu bahaya bilamana
sudah tak ada lagi orang yang akan menyembah berhala? Lalu
bagaimana pula akan membersihkan jiwa serupa itu dan
melepaskan diri dari noda hawa-nafsu, hawa-nafsu yang akan
menjerumuskan mereka, sampai kepada nafsu kebinatangannya,
padahal dia sudah memperingatkan manusia supaya mengatasi
nafsunya, menempatkan diri di atas berhala-berhala itu?
Kalau mereka sudah tidak mau percaya kepadanya, apalagi yang
harus ia lakukan? Inilah yang menjadi masalah besar itu.
Ia sedang menantikan bimbingan wahyu dalam
menghadapi masalahnya itu, menantikan adanya penyuluh yang
akan menerangi jalannya. Tetapi, wahyu itu sekarang
terputus! Jibrilpun tidak datang lagi kepadanya. Tempat di
sekitarnya jadi sunyi, bisu. Ia merasa terasing dari orang,
dan dari dirinya. Kembali ia merasa dalam ketakutan seperti
sebelum turunnya wahyu. Konon Khadijah pernah mengatakan
kepadanya: "Mungkin Tuhan tidak menyukai engkau."
Ia masih dalam ketakutan. Perasaan ini juga yang
mendorongnya lagi akan pergi ke bukit-bukit dan menyendiri
lagi dalam gua Hira'. Ia ingin membubung tinggi dengan
seluruh jiwanya, menghadapkan diri kepada Tuhan, akan
menanyakan: Kenapa ia lalu ditinggalkan sesudah dipilihNya?
Kecemasan Khadijahpun tidak pula kurang rasanya.
Ia mengharap mati benar-benar kalau tidak karena
merasakan adanya perintah yang telah diberikan kepadanya.
Kembali lagi ia kepada dirinya, kemudian kepada Tuhannya.
Konon katanya: Pernah terpikir olehnya akan membuang diri
dari atas Hira' atau dari atas puncak gunung Abu Qubais. Apa
gunanya lagi hidup kalau harapannya yang besar ini jadi
kering lalu berakhir?
Sementara ia sedang dalam kekuatiran demikian itu -
sesudah sekian lama terhenti - tiba-tiba datang wahyu
membawa firman Tuhan:
"Demi pagi cerah yang gemilang. Dan demi malam bila
senyap kelam. Tuhanmu tidak meninggalkan kau, juga tidak
merasa benci. Dan sungguh, hari kemudian itu lebih baik buat
kau daripada yang sekarang. Dan akan segera ada pemberian
dari Tuhan kepadamu. Maka engkaupun akan bersenang hati.
Bukankah Ia mendapati kau seorang piatu, lalu diberiNya
tempat berlindung? Dan Ia mendapati kau tak tahu jalan, lalu
diberiNya kau petunjuk? Karena itu, terhadap anak piatu,
jangan kau bersikap bengis. Dan tentang orang yang meminta,
jangan kau tolak. Dan tentang kurnia Tuhanmu, hendaklah kau
sebarkan."(Qur'an, 93: 1-11)
Maha Mulia Allah. Betapa damainya itu dalam jiwa. Betapa
gembira dalam hati! Rasa cemas dan takut dalam diri Muhammad
semuanya hilang sudah. Terbayang senyum di wajahnya.
Bibirnyapun mengucapkan kata-kata syukur, kata-kata kudus
dan penuh khidmat. Tidak lagi Khadijah merasa takut, bahwa
Tuhan sudah tidak menyukai Muhammad dan iapun tidak lagi
merasa takut dan gelisah. Bahkan Tuhan telah melindungi
mereka berdua dengan rahmatNya. Segala rasa takut dan
keraguan-raguan hilang sama sekali dari hatinya. Tak ada
lagi bunuh diri.
Yang ada sekarang ialah hidup dan ajakan kepada Allah,
dan hanya kepada Allah semata. Hanya kepada Allah Yang Maha
Besar menundukkan kepala. Segala yang ada di langit dan di
bumi bersujud belaka kepadaNya. Hanya Dialah Yang Hak, dan
yang selain itu batil adanya. Hanya kepadaNya hati manusia
dihadapkan, seluruh hidup kesana juga bergantung dan
kepadaNya pula ruh akan kembali. "Sungguh, hari kemudian itu
lebih baik buat kau daripada yang sekarang."
Ya, hari kemudian tempat berkumpulnya jiwa dengan segala
bentuknya yang penuh, yang tidak lagi kenal ruang dan waktu,
dan semua cara hidup pertama yang rendah ini akan terlupakan
adanya. Hari kemudian yang akan disinari cahaya pagi,
berkilauan, dan malam yang gelap dan kelam. Bintang-bintang
di langit, bumi dan gunung-gunung, semua akan dihubungi oleh
jiwa yang pasrah menyerah. Kehidupan inilah yang akan
menjadi tujuan. Inilah kebenaran yang sesungguhnya. Di luar
itu hanya bayangan belaka, yang tiada berguna. Kebenaran
inilah yang cahayanya disinari oleh jiwa Muhammad, dan yang
baru akan dipantulkan kembali guna memikirkan bagaimana
mengajak orang ingat kepada Tuhan. Dan guna mengajak orang
kepada Tuhan, ia harus membersihkan pakaiannya serta
menjauhi perbuatan mungkar. Ia harus tabah menghadapi segala
gangguan demi menjaga dakwah kepada Kebenaran. Ia harus
menuntun umat kepada ilmu yang belum mereka ketahui; jangan
menolak orang meminta, jangan berlaku bengis terhadap anak
piatu. Cukuplah Tuhan telah memilihnya sebagai pengemban
amanat. Maka katakanlah itu. Cukup sudah, bahwa Tuhan telah
menemukannya sebagai seorang piatu, lalu dilindungiNya di
bawah asuhan kakeknya Abd'l-Muttalib, dan pamannya, Abu
Talib. Ia yang hidup miskin, telah diberi kekayaan dengan
amanat Tuhan kepadanya. Dipermudah pula dengan Khadijah
sebagai kawan semasa mudanya, kawan semasa dalam tahannuth,
kawan semasa kerasulannya, kawan yang penuh cinta kasih,
yang memberi nasehat dengan rasa kasih-sayangnya. Tuhan
telah mendapatinya tak tahu jalan, lalu diberiNya petunjuk
berupa risalah. Cukuplah semua itu. Hendaklah ia mengajak
orang kepada Kebenaran, berusaha sedapat mungkin.
Begitulah ketentuan Tuhan terhadap seorang nabi yang
telah dipilihNya. Ia tidak ditinggalkanNya, juga tidak
dibenciNya.
Tuhan telah mengajarkan Nabi bersembahyang, maka iapun
bersembahyang, begitu juga Khadijah ikut pula sembahyang.
Selain puteri-puterinya, tinggal bersama keluarga itu Ali
bin Abi Talib sebagai anak muda yang belum balig. Pada waktu
itu suku Quraisy sedang mengalami suatu krisis yang
luarbiasa. Abu Talib adalah keluarga yang banyak anaknya.
Muhammad sekali berkata kepada Abbas, pamannya - yang pada
masa itu adalah yang paling mampu di antara Keluarga Hasyim:
"Abu Talib saudaramu anaknya banyak. Seperti kaulihat,
banyak orang yang mengalami krisis. Baiklah kita ringankan
dia dari anak-anaknya itu. Aku akan mengambilnya seorang
kaupun seorang untuk kemudian kita asuh."
Karena itu Abbas lalu mengasuh Ja'far dan Muhammad
mengasuh Ali, yang tetap tinggal bersama sampai pada masa
kerasulannya.
Tatkala Muhammad dan Khadijah sedang sembahyang,
tiba-tiba Ali menyeruak masuk. Dilihatnya kedua orang itu
sedang ruku' dan sujud serta membaca beberapa ayat Qur'an
yang sampai pada waktu itu sudah diwahyukan kepadanya. Anak
ifu tertegun berdiri: "Kepada siapa kalian sujud?" tanyanya
setelah sembahyang selesai.
"Kami sujud kepada Allah," jawab Muhammad, "Yang
mengutusku menjadi nabi dan memerintahkan aku mengajak
manusia menyembah Allah"
Lalu Muhammadpun mengajak sepupunya itu beribadat kepada
Allah semata tiada bersekutu serta menerima agama yang
dibawa nabi utusanNya dengan meninggalkan berhala-berhala
semacam Lat dan 'Uzza. Muhammad lalu membacakan beberapa
ayat Qur'an. Ali sangat terpesona karena ayat-ayat itu
luarbiasa indahnya.
|