|
BAGIAN KELIMA: DARI MASA KERASULAN SAMPAI
ISLAMNYA UMAR (3/4)
Sikap dan kata-kata kemenakannya itu oleh Abu Talib
disampaikan kepada Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib.
Pembicaranya tentang Muhammad itu terpengaruh oleh suasana
yang dilihat dan dirasakannya ketika itu. Dimintanya supaya
Muhammad dilindungi dari tindakan Quraisy. Mereka semua
menerima usul ini, kecuali Abu Lahab. Terang-terangan ia
menyatakan permusuhannya. Ia menggabungkan diri pada pihak
lawan mereka. Permintaan mereka supaya ia dilindungi itu
sudah tentu karena terpengaruh oleh fanatisma golongan dan
permusuhan lama antara Banu Hasyim dan Banu Umayya. Tetapi
bukan fanatisma itu saya yang mendorong Quraisy bersikap
demikian. Ajarannya itu sungguh berbahaya bagi kepercayaan
yang biasa dilakukan oleh leluhur mereka. Kedudukan Muhammad
di tengah-tengah mereka, pendiriannya yang teguh serta
ajarannya pada kebaikan supaya orang hanya menyembah Zat
Yang Tunggal, yang pada waktu itu memang sudah meluas juga
di kalangan kabilah-kabilah Arab, bahwa agama Allah itu
bukanlah seperti yang ada pada mereka sekarang, membuat
mereka dapat membenarkan juga sikap kemenakan mereka itu,
Muhammad, dalam menyatakan pendiriannya, seperti yang pernah
dilakukan oleh Umayya b. Abi'sh-Shalt dan Waraqa b. Naufal
dan yang lain. Kalau Muhammad memang benar - dan ini yang
tidak dapat mereka pastikan - maka kebenaran itu akan tampak
juga dan merekapun akan merasakan pula kemegahannya.
Sebaliknya, kalau tidak atas dasar kebenaran, maka orangpun
akan meninggalkannya seperti yang sudah terjadi sebelum itu.
Akhirnya ajaran demikian ini tidak akan meninggalkan bekas
dalam mengeluarkan mereka dari tradisi yang ada dan dia
sendiripun akan diserahkan kepada musuh supaya dibunuh.
Terhadap gangguan Quraisy ia dapat
berlindung kepada goIongannya, seperti kepada Khadijah bila
ia mengalami kesedihan. Baginya - dengan imannya yang
sungguh-sungguh dan cinta-kasihnya yang besar - Khadijah
adalah lambang kejujuran yang dapat menghilangkan segala
kesedihan hatinya, yang dapat menguatkan kembali setiap ciri
kelemahan yang mungkin timbul karena siksaan musuh-musuhnya
yang begitu keras menentangnya serta melakukan penyiksaan
terus-menerus terhadap pengikut-pengikutnya.
Sebelum itu sebenarnya Quraisy memang tidak pernah
mengenal hidup tenteram. Bahkan setiap kabilah itu langsung
menyerbu kaum Muslimin yang ada di kalangan mereka: disiksa
dan dipaksa melepaskan agamanya; sehingga di antara mereka
ada yang mencampakkan budaknya, Bilal, ke atas pasir di
bawah terik matahari yang membakar, dadanya ditindih dengan
batu dan akan dibiarkan mati. Soalnya karena ia teguh
bertahan dalam Islam! Dalam kekerasan semacam itu Bilal
hanya berkata: "Ahad, Ahad, Hanya Yang Tunggal!" Ia memikul
semua siksaan itu demi agamanya.
Ketika pada suatu hari oleh Abu Bakr dilihatnya Bilal
mengalami siksaan begitu rupa, ia dibelinya lalu dibebaskan.
Tidak sedikit budak-budak yang mengalami kekerasan serupa
itu oleh Abu Bakr dibeli - diantaranya budak perempuan Umar
bin'l-Khattab, dibelinya dari Umar [sebelum masuk
Islam]. Ada pula seorang wanita yang disiksa sampai mati
karena ia tidak mau meninggalkan Islam kembali kepada
kepercayaan leluhurnya.
Kaum Muslimin di luar budak-budak itu, dipukuli dan
dihina dengan berbagai cara. Muhammad juga tidak terkecuali
mengalami gangguan-gangguan - meskipun sudah dilindungi oleh
Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib. Umm Jamil, isteri Abu
Jahl, melemparkan najis ke depan rumahnya. Tetapi cukup
Muhammad hanya membuangnya saja. Dan pada waktu sembayang,
Abu Jahl melemparinya dengan isi perut kambing yang sudah
disembelih untuk sesajen kepada berhala-berhala.
Ditanggungnya gangguan demikian itu dan ia pergi kepada
Fatimah, puterinya, supaya mencucikan dan membersihkannya
kembali. Ditambah lagi, di samping semua itu, kaum Muslimin
harus menerima kata-kata biadab dan keji kemana saja mereka
pergi.
Cukup lama hal serupa itu berjalan. Tetapi kaum Muslimin
tambah teguh terhadap agama mereka. Dengan dada terbuka
mereka menerima siksaan dan kekerasan itu - demi akidah dan
iman mereka.
Perioda yang telah dilalui dalam hidup Muhammad a.s. ini
adalah perioda yang paling dahsyat yang pernah dialami oleh
sejarah umat manusia. Baik Muhammad atau mereka yang menjadi
pengikutnya, bukanlah orang-orang yang menuntut harta
kekayaan, kedudukan atau kekuasaan, melainkan orang-orang
yang menuntut kebenaran serta keyakinannya akan kebenaran
itu. Muhammad adalah orang yang mengharapkan bimbingan bagi
mereka yang mengalami penderitaan, dan membebaskan mereka
dari belenggu paganisma yang rendah, yang menyusup kedalam
jiwa manusia sampai ke lembah kehinaan yang sangat
memalukan.
Demi tujuan rohani yang luhur itulah - tidak untuk tujuan
yang lain - ia mengalami siksaan. Penyair-penyair memakinya,
orang-orang Quraisy berkomplot hendak membunuhnya di Ka'bah.
Rumahnya dilempari batu, keluarga dan pengikut-pengikutnya
diancam. Tetapi dengan semua itu malah ia makin tabah, makin
gigih meneruskan dakwah. Jiwa kaum mukmin yang mengikutinya
itu sudah padat oleh ucapannya: "Demi Allah, kalaupun mereka
meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan
di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan
tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah
yang akan membuktikan kemenangan itu; di tanganku atau aku
binasa karenanya."
Segala pengorbanan yang besar-besar itu tak ada artinya
bagi mereka, mautpun sudah tak berarti lagi demi kebenaran,
dan membimbing Quraisy ke arah itu. Kadang orang heran, iman
sudah begitu mempersonakan jiwa penduduk Mekah pada waktu
agama ini belum lengkap, pada waktu ayat-ayat Qur'an yang
turun masih sedikit. Kadang juga orang mengira, bahwa
pribadi Muhammad, sifatnya yang lemah-lembut, keindahan
akhlaknya serta kejujurannya yang sudah cukup dikenal, di
samping kemauan yang keras dan pendiriannya yang teguh,
adalah sebab dari semua itu. Sudah tentu ini juga ada
pengaruhnya. Akan tetapi ada sebab-sebab lain yang juga
patut diperhatikan yang tidak sedikit pula ikut memegang
peranan.
Muhammad tinggal dalam suatu daerah yang merdeka
mirip-mirip sebuah republik Dari segi keturunan ia menempati
puncak yang tinggi. Hartapun sudah cukup seperti yang
dikehendakinya. Ia dari Keluarga Hasyim pula, juru kunci
Ka'bah dan penguasa urusan air. Gelar-gelar keagamaan yang
tinggi-tinggi ada pada mereka. Jadi dalam keadaan itu ia
tidak lagi membutuhkan harta kekayaan, pangkat atau sesuatu
kedudukan politik atau agama. Dalam hal ini ia berbeda pula
dengan para rasul dan nabi-nabi sebelumnya. Musa yang
dilahirkan di Mesir bertemu dengan Firaun yang oleh penduduk
sudah dituhankan, dan Firaun juga yang berkata: "Aku adalah
tuhanmu yang tertinggi," yang dibantu pula oleh
pemuka-pemuka agama melakukan tekanan kepada orang dengan
pelbagai macam kekejaman, pemerasan dan pemaksaan. Revolusi
yang dilakukan Musa atas perintah Tuhan adalah revolusi
dalam struktur politik dan agama sekaligus. Bukankah
keinginannya supaya Firaun dan orang yang menimba air dengan
syaduf dari sungai Nil itu dihadapan Tuhan sama sederajat?
Jadi dimana ketuhanan Firaun itu dan dimana pula ketentuan
yang berlaku! Harus dihancurkan semua itu dan revolusi
itupun terlebih dulu harus bersifat politik.
Oleh karena itu, dari semula ajaran Musa itu sudah
mendapat perlawanan hebat dari Firaun. Dengan demikian,
supaya orang menerima seruannya itu, ia diperkuat oleh
mujizat-mujizat. Ia melemparkan tongkatnya, dan tongkat itu
menjadi seekor ular yang bergerak-gerak, menelan semua hasil
pekerjaan tukang tukang sihir Firaun itu. Itupun tidak
memberi hasil apa-apa buat Musa. Terpaksa ia meninggalkan
Mesir tanah airnya. Dalam hijrahnya itupun diperkuat pula ia
dengan sebuah mujizat yaitu terbelahnya jalan di
tengah-tengah air lautan itu.
Juga Isa, yang dilahirkan di Nazareth di bilangan
Palestina, yang pada waktu itu merupakan wilayah Rumawi yang
berada di bawah kekuasaan kaisar-kaisar dengan segala
kekejamannya sebagai pihak penjajah dan kekuasaan dewa-dewa
Rumawi, mengajak orang supaya sabar menghadapi kekejaman itu
dan bertobat bagi yang menyesal dan macam-macam perasaan
belaskasih lagi, yang oleh pihak penguasa justru dianggap
pemberontakan terhadap kekuasaan mereka. Maka Isa juga
diperkuat dengan mujizat-mujizat: menghidupkan orang mati
dan menyembuhkan orang sakit; dan yang lain diperkuat oleh
Ruh Kudus. Memang benar, bahwa inti ajaran-ajaran mereka itu
pada dasarnya bertemu dengan inti ajaran-ajaran Muhammad
juga, lepas dari detail yang bukan tempatnya untuk
dijelaskan di sini. Akan tetapi motif yang berbagai macam
ini, dan yang terutama motif politik, adalah yang menjadi
tujuannya juga.
Sebaliknya Muhammad, keadaannya seperti yang kita
sebutkan di atas, sifat ajarannya adalah intelektual dan
spiritual. Dasarnya adalah mengajak kepada kebenaran,
kebaikan dan keindahan. Suatu ajakan yang berdiri sendiri
dari mula sampai akhir. Karena jauhnya dari segala
pertentangan politik, struktur republik yang sudah ada di
Mekah itu tidak pernah mengalami sesuatu kekacauan.
Mungkin pembaca akan terkejut bila saya katakan, bahwa
antara dakwah Muhammad dengan metoda ilmiah modern mempunyai
persamaan yang besar sekali. Metoda ilmiah ini ialah
mengharuskan kita - apabila kita hendak mengadakan suatu
penyelidikan - terlebih dulu membebaskan diri dari segala
prasangka, pandangan hidup dan kepercayaan yang sudah ada
pada diri kita yang berhubungan dengan penyelidikan itu. Di
situlah kita memulai dengan mengadakan observasi dan
eksperimen, mengadakan perbandingan yang sistematis,
kemudian baru dengan silogisma yang sudah didasarkan kepada
premisa-premisa tadi. Apabila semua itu sudah dapat
disimpulkan, maka kesimpulan demikian itu dengan sendirinya
masih perlu dibahas dan diselidiki lagi. Tetapi bagaimanapun
juga ini sudah merupakan suatu data ilmiah selama
penyelidikan tersebut belum memperlihatkan kekeliruan.
Metoda ilmiah demikian ini ialah yang terbaik yang pernah
dicapai umat manusia demi kemerdekaan berpikir. Metoda dan
dasar-dasar dakwah demikian inilah pula yang menjadi
pegangan Muhammad.
Bagaimana pula mereka yang menjadi pengikutnya itu puas
dan beriman sungguh-sungguh akan ajarannya? Segala
kepercayaan lama terkikis habis dari jiwa mereka, dan
sekarang mereka mulai memikirkan masa depan mereka.
Waktu itu setiap kabilah Arab mempunyai berhala
sendiri-sendiri. Mana pula gerangan berhala yang benar dan
mana yang sesat? Di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri
sekitarnya ketika itu memang sudah ada penganut-penganut
Sabian dan Majusi penyembah api, juga ada yang menyembah
matahari. Mana diantara mereka itu yang benar dan mana pula
yang sesat?
Baiklah kita kesampingkan dulu semua ini, kita hapuskan
jejaknya dari jiwa kita. Kita bebaskan dulu diri kita dari
segala konsepsi dan kepercayaan lama. Baiklah kita
renungkan. Merenungkan dan meninjau pada dasarnya sama. Yang
pasti ialah bahwa seluruh alam ini satu sama lain saling
berhubungan. Manusia, puak-puak dan bangsa-bangsa saling
berhubungan. Manusia berhubungan juga dengan hewan dan
dengan benda, bumi kita berhubungan dengan matahari, dengan
bulan dan tata-surya lainnya. Dan semua itupun berhubungan
pula dengan undang-undang yang sudah tali-temali, tak dapat
ditukar-tukar atau diubah-ubah lagi. Matahari tidak
seharusnya akan mengejar bulan, malampun takkan dapat
mendahului siang. Andaikata di antara isi alam ini ada yang
berubah atau berganti, niscaya akan berganti pulalah segala
yang ada dalam alam ini. Andaikata matahari tidak lagi
menyinari dan memanasi bumi, menurut undang-undang yang
sudah berjalan sejak jutaan tahun yang lalu, niscaya bumi
dan langit ini sudah akan berubah pula. Dan oleh karena yang
demikian ini tidak terjadi, maka atas semua itu sudah tentu
ada zat yang menguasainya. Dari situ ia tumbuh, dengan itu
ia berkembang dan ke situ pula ia kembali. Hanya kepada Zat
ini sajalah semata manusia menyerah. Demikian juga, segala
yang ada dalam alam ini menyerah semata kepada Zat ini,
persis seperti manusia. Baik manusia, alam, ruang dan waktu
adalah suatu kesatuan. Maka Zat itulah inti dan sumbernya.
Jadi, hanya kepada Zat itu sajalah semata ibadat dilakukan.
Hanya kepada Zat itu sajalah jantung dan jiwa manusia
dihadapkan. Ke dalam alam itu juga kita harus melihat dan
merenungkan undang-undang alam yang kekal abadi itu. Jadi
segala yang disembah manusia selain Allah berupa
berhala-berhala, raja-raja, firaun-firaun, api dan matahari,
hanyalah suatu ilusi batil saja, tidak sesuai dengan
martabat dan kehormatan manusia, tidak sesuai dengan akal
pikiran manusia serta dengan kemampuan yang ada dalam
dirinya; yang dapat membuat kesimpulan atas undang-undang
Tuhan terhadap ciptaanNya itu, dengan jalan
merenungkannya.
Inilah rasanya esensi ajaran Muhammad seperti yang
diketahui kaum Muslimin yang mula-mula itu. Ajaran yang
disampaikan wahyu kepada mereka melalui Muhammad itu adalah
puncak dari bahasa sastra yang telah menjadi mujizat dan
akan terus berlaku demikian. Terpadunya kebenaran dan cara
melukiskannya dengan keindahan yang luarbiasa itu kini
tampak di hadapan mereka. Di sini jiwa dan kalbu mereka
meningkat lebih tinggi, berhubungan dengan Zat Yang Maha
Mulia. Lalu datang Muhammad menuntun mereka bahwa kebaikan
itulah jalan yang akan sampai ke tujuan. Mereka akan
mendapat balasan atas kebaikan itu bilamana mereka sudah
menunaikan kewajiban dalam hidup dengan tekun. Setiap orang
akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya.
"Barangsiapa berbuat kebaikan seberat atompun akan
dilihatnya; dan barangsiapa berbuat kejahatan seberat
atompun akan dilihatnya pula." (Qur'an 99: 7-8)
Dalam menjunjung pikiran manusia ke tempat yang lebih
tinggi kiranya tak ada yang lebih tinggi dari ini! Juga
menghancurkan belenggu yang senantiasa mengikatnya itu!
Terserah kepada manusia. Ia mau memahami ini, mau beriman
dan mengerjakannya untuk mencapai puncak ketinggian martabat
manusia itu! Demi mencapai tujuan, segala pengorbanan terasa
ringan bagi orang yang sudah beriman itu.
Karena posisi Muhammad dan pengikut-pengikutnya yang
begitu agung, Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib tambah ketat
menjaganya dari setiap gangguan. Pada suatu hari Abu Jahl
bertemu dengan Muhammad, ia mengganggunya, memaki-makinya
dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas dialamatkan
kepada agama ini. Tetapi Muhammad tidak melayaninya.
Ditinggalkannya ia tanpa diajak bicara. Hamzah, pamannya dan
saudaranya sesusu, yang masih berpegang pada kepercayaan
Quraisy, adalah seorang laki-laki yang kuat dan ditakuti. Ia
mempunyai kegemaran berburu. Bila ia kembali dan berburu,
terlebih dulu mengelilingi Ka'bah sebelum langsung pulang ke
rumahnya.
Hari itulah, bilamana ia datang dan mengetahui bahwa
kemenakannya itu mendapat gangguan Abu Jahl, ia meluap
marah. Ia pergi ke Ka'bah, tidak lagi ia memberi salam
kepada yang hadir di tempat itu seperti biasanya, melainkan
terus masuk kedalam mesjid menemui Abu Jahl. Setelah
dijumpainya, diangkatnya busurnya lalu dipukulkannya
keras-keras di kepalanya. Beberapa orang dan Banu Makhzum
mencoba mau membela Abu Jahl. Tapi tidak jadi. Kuatir mereka
akan timbul bencana dan membahayakan sekali, dengan mengakui
bahwa ia memang mencaci maki Muhammad dengan tidak
semena-mena.
Sesudah itulah kemudian Hamzah menyatakan masuk Islam. Ia
berjanji kepada Muhammad akan membelanya dan akan berkurban
di jalan Allah sampai akhir hayatnya.
Pihak Quraisy merasa sesak dada melihat Muhammad dan
kawan-kawannya makin hari makin kuat. Di samping itu,
gangguan dan siksaan yang dialamatkan kepada mereka, tidak
dapat mengurangi iman mereka dan menyatakannya terus-terang,
tidak dapat menghalangi mereka melakukan kewajiban agama.
Terpikir oleh Quraisy akan membebaskan diri dari Muhammad,
dengan cara seperti yang mereka bayangkan, memberikan segala
keinginannya. Mereka rupanya lupa bahwa keagungan dakwah
Islam, kemurnian esensi ajaran rohaninya yang begitu tinggi,
berada di atas segala pertentangan ambisi politik. 'Utba b.
Rabi'a, seorang bangsawan Arab terkemuka, mencoba membujuk
Quraisy ketika mereka dalam tempat pertemuan dengan
mengatakan bahwa ia akan bicara dengan Muhammad dan akan
menawarkan kepadanya hal-hal yang barangkali mau
menerimanya. Mereka mau memberikan apa saja kehendaknya,
asal ia dapat dibungkam.
Ketika itulah 'Utba bicara dengan Muhammad.
"Anakku," katanya, "seperti kau ketahui, dari segi
keturunan, engkau mempunyai tempat di kalangan kami. Engkau
telah membawa soal besar ketengah-tengah masyarakatmu,
sehingga mereka cerai-berai karenanya. Sekarang,
dengarkanlah, kami akan menawarkan beberapa masalah,
kalau-kalau sebagian dapat kauterima Kalau dalam hal ini
yang kauinginkan adalah harta, kamipun siap mengumpulkan
harta kami, sehingga hartamu akan menjadi yang terbanyak di
antara kami. Kalau kau menghendaki pangkat, kami angkat
engkau diatas kami semua; kami takkan memutuskan suatu
perkara tanpa ada persetujuanmu. Kalau kedudukan raja yang
kauinginkan, kami nobatkan kau sebagai raja kami. Jika
engkau dihinggapi penyakit saraf4 yang tak dapat
kautolak sendiri, akan kami usahakan pengobatannya dengan
harta-benda kami sampai kau sembuh."
Selesai ia bicara, Muhammad membacakan Surah as-Sajda (41
= Ha Mim). 'Utba diam mendengarkan kata-kata yang begitu
indah itu. Dilihatnya sekarang yang berdiri di hadapannya
itu bukanlah seorang laki-laki yang didorong oleh ambisi
harta, ingin kedudukan atau kerajaan, juga bukan orang yang
sakit, melainkan orang yang mau menunjukkan kebenaran,
mengajak orang kepada kebaikan. Ia mempertahankan sesuatu
dengan cara yang baik, dengan kata-kata penuh mujizat.
Selesai Muhammad membacakan itu 'Utba pergi kembali
kepada Quraisy. Apa yang dilihat dan didengarnya itu sangat
mempesonakan dirinya. Ia terpesona karena kebesaran orang
itu. Penjelasannya sangat menarik sekali.
Persoalannya 'Utba ini tidak menyenangkan pihak Quraisy,
juga pendapatnya supaya Muhammad dibiarkan saja, tidak
menggembirakan mereka, sebaliknya kalau mengikutinya, maka
kebanggaannya buat mereka.
Maka kembali lagilah mereka memusuhi Muhammad dan
sahabat-sahabatnya dengan menimpakan bermacam-macam bencana,
yang selama ini dalam kedudukannya itu ia berada dalam
perlindungan golongannya dan dalam penjagaan Abu Talib, Banu
Hasyim dan Banu al-Muttalib.
Gangguan terhadap kaum Muslimin makin
menjadi-jadi, sampai-sampai ada yang dibunuh, disiksa dan
semacamnya. Waktu itu Muhammad menyarankan supaya mereka
terpencar-pencar. Ketika mereka bertanya kepadanya kemana
mereka akan pergi, mereka diberi nasehat supaya pergi ke
Abisinia yang rakyatnya menganut agama Kristen. "Tempat itu
diperintah seorang raja dan tak ada orang yang dianiaya
disitu. Itu bumi jujur; sampai nanti Allah membukakan jalan
buat kita semua."
Sebagian kaum Muslimin ketika itu lalu berangkat ke
Abisinia guna menghindari fitnah dan tetap berlindung kepada
Tuhan dengan mempertahankan agama. Mereka berangkat dengan
melakukan dua kali hijrah. Yang pertama terdiri dari sebelas
orang pria dan empat wanita. Dengan sembunyi-sembunyi mereka
keluar dari Mekah mencari perlindungan. Kemudian mereka
mendapat tempat yang baik di bawah Najasyi.5
Bilamana kemudian tersiar berita bahwa kaum Muslimin di
Mekah sudah selamat dari gangguan Quraisy, merekapun lalu
kembali pulang, seperti yang akan diceritakan nanti. Tetapi
setelah ternyata kemudian mereka mengalami kekerasan lagi
dari Quraisy melebihi yang sudah-sudah, kembali lagi mereka
ke Abisinia. Sekali ini terdiri dari delapanpuluh orang pria
tanpa kaum isteri dan anak-anak. Mereka tinggal di Abisinia
sampai sesudah hijrah Nabi ke Yathrib.
Hijrah ke Abisinia ini adalah hijrah pertama dalam
Islam.6
Sudah pada tempatnya bagi setiap penulis sejarah Muhammad
akan bertanya: Adakah tujuan hijrah yang dilakukan kaum
Muslimin atas saran dan anjurannya itu karena akan melarikan
diri dari orang-orang kafir Mekah beserta gangguan yang
mereka lakukan, ataukah karena suatu tujuan politik Islam,
yang di balik itu dimaksudkan oleh Muhammad dengan tujuan
yang lebih luhur? Sudah pada tempatnya pula apabila penulis
sejarah Muhammad itu akan bertanya tentang hal ini, setelah
terbukti dari sejarah Nabi berbangsa Arab ini dalam seluruh
fase kehidupannya, bahwa dia seorang politikus yang
berpandangan jauh, seorang pembawa risalah dan moral jiwa
yang begitu luhur, sublim dan agung yang tak ada taranya.
Dan yang menjadi alasan dalam hal ini ialah apa yang
disebutkan dalam sejarah, bahwa penduduk Mekah tidak suka
hati ada kaum Muslimin yang pergi ke Abisinia. Bahkan mereka
kemudian mengutus dua orang menemui Najasyi. Mereka membawa
hadiah-hadiah berharga guna meyakinkan raja supaya dapat
mengembalikan kaum Muslimin itu ke tanah air mereka. Pada
waktu itu penduduk Abisinia dan penguasanya adalah
orang-orang Nasrani. Dari segi agama orang-orang Quraisy
tidak kuatir bahwa mereka akan ikut Muhammad.
Disebabkan oleh rasa kegelisahan terhadap peristiwa
itukah maka mereka lalu mengutus orang, meminta supaya kaum
Muslimin itu dikembalikan? Mereka menganggap, bahwa
perlindungan Najasyi terhadap mereka setelah mendengar
keterangan mereka itu akan membawa pengaruh juga kepada
penduduk jazirah Arab sehingga mereka akan mau menerima
agama Muhammad dan mau menjadi pengikutnya. Ataukah mereka
kuatir, kalau kaum Muslimin menetap di Abisinia, mereka akan
bertambah kuat, sehingga bila kelak mereka pulang kembali
membantu Muhammad, mereka kembali dengan kekuatan, harta dan
tenaga?
|