BAGIAN KELIMA: DARI MASA KERASULAN SAMPAI
ISLAMNYA UMAR (2/4)
Ia minta waktu akan berunding dengan ayahnya lebih dulu.
Semalaman itu ia merasa gelisah. Tetapi besoknya ia memberi
tahukan kepada suami-isteri itu, bahwa ia akan mengikuti
mereka berdua, tidak perlu minta pendapat Abu Talib. "Tuhan
menjadikan saya tanpa saya perlu berunding dengan Abu Talib.
Apa gunanya saya harus berunding dengan dia untuk menyembah
Allah."
Jadi Ali adalah anak pertama yang menerima Islam.
Kemudian Zaid b. Haritha, bekas budak Nabi. Dengan demikian
Islam masih terbatas hanya dalam lingkungan keluarga
Muhammad: dia sendiri, isterinya, kemenakannya dan bekas
budaknya. Masih juga ia berpikir-pikir, bagaimana akan
mengajak kaum Quraisy itu. Tahu benar ia, betapa kerasnya
mereka itu dan betapa pula kuatnya mereka berpegang pada
berhala yang disembah-sembah nenek moyang mereka itu.
Pada waktu itu Abu Bakr b. Abi Quhafa
dari kabilah Taim adalah teman akrab Muhammad. Ia senang
sekali kepadanya, karena sudah diketahuinya benar ia sebagai
orang yang bersih, jujur dan dapat dipercaya. Oleh karena
itu orang dewasa pertama yang diajaknya menyembah Allah Yang
Esa dan meninggalkan penyembahan berhala, adalah dia. Juga
dia laki-laki pertama tempat dia membukakan isi hatinya akan
segala yang dilihat serta wahyu yang diterimanya. Abu Bakr
tidak ragu-ragu lagi memenuhi ajakan Muhammad dan beriman
pula akan ajakannya itu. Jiwa yang mana lagi yang memang
mendambakan kebenaran masih akan ragu-ragu meninggalkan
penyembahan berhala dan untuk kemudian menyembah Allah Yang
Esa! Jiwa yang mana lagi yang masih disebut jiwa besar di
samping menyembah Allah masih mau menyembah batu yang
bagaimanapun bentuknya! Jiwa yang mana lagi yang sudah
bersih masih akan ragu-ragu membersihkan pakaian dan
jiwanya, berderma kepada orang yang membutuhkan dan berbuat
kebaikan kepada anak piatu!
Keimanannya kepada Allah dan kepada RasulNya itu segera
diumumkan oleh Abu Bakr di kalangan teman-temannya. Ia
memang seorang pria yang rupawan. "Menjadi kesayangan
masyarakatnya dan amikal sekali. Dari kalangan Quraisy ia
termasuk orang Quraisy yang berketurunan tinggi dan yang
banyak mengetahui segala seluk-beluk bangsa itu, yang baik
dan yang jahat. Sebagai pedagang dan orang yang berakhlak
baik ia cukup terkenal. Kalangan masyarakatnya sendiri yang
terkemuka mengenalnya dalam satu bidang saja. Mereka
mengenalnya karena ilmunya, karena perdagangannya dan karena
pergaulannya yang baik."
Dari kalangan masyarakatnya yang
dipercayai oleh Abu Bakr diajaknya mereka kepada Islam.
Usman b. 'Affan, Abdurrahman b. 'Auf, Talha b. 'Ubaidillah,
Sa'd b. Abi Waqqash dan Zubair bin'l-'Awwam mengikutinya
pula menganut Islam. Kemudian menyusul pula Abu 'Ubaida
bin'l-Djarrah, dan banyak lagi yang lain dari penduduk
Mekah. Mereka yang sudah Islam itu lalu datang kepada Nabi
menyatakan Islamnya, yang selanjutnya menerima ajaran-ajaran
agama itu dari Nabi sendiri.
Mengetahui adanya permusuhan yang begitu bengis dari
pihak Quraisy terhadap segala sesuatu yang melanggar
paganisma, maka kaum Muslimin yang mula-mula masih
sembunyi-sembunyi. Apabila mereka akan melakukan salat,
mereka pergi ke celah-celah gunung di Mekah. Keadaan serupa
ini berjalan selama tiga tahun, sementara Islam tambah
meluas juga di kalangan penduduk Mekah. Wahyu yang datang
kepada Muhammad selama itu makin memperkuat iman kaum
Muslimin.
Yang menambah pula dakwah itu berkembang sebenarnya
karena teladan yang diberikan Muhammad sangat baik sekali:
ia penuh bakti dan penuh kasih-sayang, sangat rendah hati
dan penuh kejantanan, tutur-katanya lemah-lembut dan selalu
berlaku adil; hak setiap orang masing-masing ditunaikan.
Pandangannya terhadap orang yang Iemah, terhadap piatu,
orang yang sengsara dan miskin adalah pandangan seorang bapa
yang penuh kasih, lemah-lembut dan mesra. Malam haripun,
dalam ia bertahajud, malam ia tidak cepat tidur, membaca
wahyu yang disampaikan kepadanya, renungannya selalu tentang
langit dan bumi, mencari pertanda dari segenap wujud ini,
permohonannya selalu dihadapkan hanya kepada Allah. Dia.
yang menyerapkan hidup semesta ini ke dalam dirinya dan
kedalam jantung kehidupannya sendiri, adalah suatu teladan
yang membuat mereka yang sudah beriman dan menyatakan diri
Islam itu, makin besar cintanya kepada Islam dan makin kukuh
pula imannya. Mereka sudah berketetapan hati meninggalkan
anutan nenek-moyang mereka dengan menanggung segala siksaan
kaum musyrik yang hatinya belum lagi disentuh iman.
Saudagar-saudagar dan kaum bangsawan Mekah yang sudah
mengenal arti kesucian, sudah menyadari arti kebenaran,
pengampunan dan arti rahmat, mereka beriman kepada ajaran
Muhammad. Semua kaum yang lemah, semua orang yang sengsara
dan semua orang yang tidak punya, beriman kepadanya. Ajaran
Muhammad sudah tersebar di Mekah, orang sudah
berbondong-bondong memasuki Islam, pria dan wanita.
Orang banyak bicara tentang Muhammad dan tentang
ajaran-ajarannya. Akan tetapi penduduk Mekah yang masih
berhati-hati, yang masih tertutup hatinya, pada mulanya
tidak menghiraukannya. Mereka menduga, bahwa kata-katanya
tidakkan lebih dan kata-kata pendeta atau ahli-ahli pikir
semacam Quss, Umayya, Waraqa dan yang lain. Orang pasti akan
kembali kepada kepercayaan nenek-moyangnya; yang akhirnya
akan menang ialah Hubal, Lat dan 'Uzza, begitu juga Isaf dan
Na'ila yang dibawai kurban. Mereka lupa bahwa iman yang
murni tak dapat dikalahkan, dan bahwa kebenaran pasti akan
mendapat kemenangan.
Tiga tahun kemudian sesudah kerasulannya,
perintah Allah datang supaya ia mengumumkan ajaran yang
masih disembunyikan itu, perintah Allah supaya disampaikan.
Ketika itu wahyu datang:
"Dan berilah peringatan kepada keluarga-keluargamu yang
dekat. Limpahkanlah kasih-sayang kepada orang-orang beriman
yang mengikut kau. Kalaupun mereka tidak mau juga mengikuti
kau, katakanlah, 'Aku lepas tangan dari segala perbuatan
kamu.'" (Qur'an 26: 214-216)
"Sampaikanlah apa yang sudah diperintahkan kepadamu, dan
tidak usah kauhiraukan orang-orang musyrik itu."(Qur'an 15:
94)
Muhammadpun mengundang makan keluarga-keluarga itu ke
rumahnya, dicobanya bicara dengan mereka dan mengajak mereka
kepada Allah. Tetapi Abu Talib, pamannya, lalu menyetop
pembicaraan itu. Ia mengajak orang-orang pergi meninggalkan
tempat. Keesokan harinya sekali lagi Muhammad mengundang
mereka.
Selesai makan, katanya kepada mereka: "Saya tidak melihat
ada seorang manusia di kalangan Arab ini dapat membawakan
sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari yang saya
bawakan kepada kamu sekalian ini. Kubawakan kepada kamu
dunia dan akhirat yang terbaik. Tuhan telah menyuruh aku
mengajak kamu sekalian. Siapa di antara kamu ini yang mau
mendukungku dalam hal ini?"
Mereka semua menolak, dan sudah bersiap-siap akan
meninggalkannya. Tetapi tiba-tiba Ali bangkit - ketika itu
ia masih anak-anak, belum lagi balig.
"Rasulullah, saya akan membantumu," katanya. "Saya adalah
lawan siapa saja yang kautentang."
Banu Hasyim tersenyum, dan ada pula yang tertawa
terbahak-bahak. Mata mereka berpindah-pindah dari Abu Talib
kepada anaknya. Kemudian mereka semua pergi meninggalkannya
dengan ejekan.
Sesudah itu Muhammad kemudian mengalihkan seruannya dari
keluarga-keluarganya yang dekat kepada seluruh penduduk
Mekah. Suatu hari ia naik ke Shafa2 dengan
berseru: "Hai masyarakat Quraisy." Tetapi orang Quraisy itu
lalu membalas: "Muhammad bicara dari atas Shafa." Mereka
lalu datang berduyun-duyun sambil bertanya-tanya, "Ada
apa?"
"Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kuberitahukan kamu,
bahwa pada permukaan bukit ini ada pasukan berkuda.
Percayakah kamu?"
"Ya," jawab mereka. "Engkau tidak pernah disangsikan.
Belum pernah kami melihat engkau berdusta."
"Aku mengingatkan kamu sekalian, sebelum menghadapi siksa
yang sungguh berat," katanya, "Banu Abd'l-Muttalib, Banu Abd
Manaf, Banu Zuhra, Banu Taim, Banu Makhzum dan Banu Asad
Allah memerintahkan aku memberi peringatan kepada
keluarga-keluargaku terdekat. Baik untuk kehidupan dunia
atau akhirat. Tak ada sesuatu bahagian atau keuntungan yang
dapat kuberikan kepada kamu, selain kamu ucapkan: Tak ada
tuhan selain Allah."
Atau seperti dilaporkan: Abu Lahab - seorang laki-laki
berbadan gemuk dan cepat naik darah - kemudian berdiri
sambil meneriakkan: "Celaka kau hari ini. Untuk ini kau
kumpulkan kami?"
Muhammad tak dapat bicara. Dilihatnya pamannya itu.
Tetapi kemudian sesudah itu datang wahyu membawa firman
Tuhan:
"Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan celakalah ia. Tak
ada gunanya kekayaan dan usahanya itu. Api yang
menjilat-jilat akan menggulungnya" (Qur'an 102:1-8)
Kemarahan Abu Lahab dan sikap permusuhan kalangan Quraisy
yang lain tidak dapat merintangi tersebarnya dakwah Islam di
kalangan penduduk Mekah itu. Setiap hari niscaya akan ada
saja orang yang Islam - menyerahkan diri kepada Allah.
Lebih-lebih mereka yang tidak terpesona oleh pengaruh dunia
perdagangan untuk sekedar melepaskan renungan akan apa yang
telah diserukan kepada mereka. Mereka sudah melihat Muhammad
yang berkecukupan, baik dari harta Khadijah atau hartanya
sendiri. Tidak dipedulikannya harta itu, juga tidak akan
memperbanyaknya lagi. Ia mengajak orang hidup dalam
kasih-sayang, dengan lemah-lembut, dalam kemesraan dan
tasamuh (lapang dada, toleransi). Ya, bahkan dia yang
menerima wahyu menyebutkan, bahwa memupuk-mupuk kekayaan
adalah suatu kutukan terhadap jiwa.
"Kamu telah dilalaikan oleh perlombaan saling
memperbanyak. Sampai nanti kamu menuju kubur. Sekali lagi,
jangan! Akan kamu ketahui juga nanti. Jangan. Kalau kamu
mengetahui dengan meyakinkan. Niscaya akan kamu lihat
neraka. Kemudian, tentu akan kamu lihat itu dengan mata yang
meyakinkan. Hari itu kemudian baru kamu akan ditanyai
tentang kesenangan itu." (Qur'an 111: 1-3)
Apalagi yang lebih baik daripada yang dianjurkan Muhammad
itu! Bukankah ia menganjurkan kebebasan? Kebebasan mutlak
yang tak ada batasnya. Kebebasan yang sungguh bernilai bagi
setiap manusia Arab itu, sama dengan nilai hidupnya sendiri!
Ya! Bukankah orang mau melepaskan diri dari belenggu dengan
pengabdian yang bagaimanapun selain pengabdiannya kepada
Allah? Bukankah setiap belenggu itu harus dihancurkan? Tak
ada Hubal, tak ada Lat, 'Uzza. Tak ada api Majusi, matahari
orang Mesir, tak ada bintang penyembah bintang, tak ada
hawariyin (pengikut-pengikut Isa), tak ada seorang
manusiapun, atau malaikat ataupun jin yang akan menjadi
batas antara Allah dengan manusia. Di hadapan Allah, hanya
di hadapanNya Yang Tunggal tak bersekutu, manusia akan
dimintai pertanggung-jawabannya atas perbuatannya yang telah
dilakukan, yang baik dan yang buruk. Hanya perbuatan manusia
itu sajalah yang menjadi perantaranya. Hati kecilnya yang
akan menimbang semua perbuatan. Hanya itulah yang berkuasa
atas dirinya. Dengan itulah dipertanggungkan ketika setiap
jiwa mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya. Kebebasan
mana lagi yang lebih luas daripada yang diajarkan Muhammad
itu? Adakah Abu Lahab dan kawan-kawannya mengajarkan yang
semacam itu - sedikit sekalipun? Ataukah mereka mengajarkan
supaya manusia tetap dalam perhambaan, dalam perbudakan,
yang sudah ditimbuni oleh kepercayaan-kepercayaan khurafat
dan takhayul, yang sudah menutupi mereka dari segala cahaya
kebenaran?
Akan tetapi Abu Lahab, Abu Sufyan dan
bangsawan-bangsawan Quraisy terkemuka lainnya,
hartawan-hartawan yang gemar bersenang-senang, mulai
merasakan, bahwa ajaran Muhammad itu merupakan bahaya besar
bagi kedudukan mereka. Jadi yang mula-mula harus mereka
lakukan ialah menyerangnya dengan cara mendiskreditkannya,
dan mendustakan segala apa yang dinamakannya kenabian
itu.
Langkah pertama yang mereka lakukan dalam hal ini ialah
membujuk penyair-penyair mereka: Abu Sufyan bin'l-Harith,
'Amr bin'l-'Ash dan Abdullah ibn'z-Ziba'ra, supaya mengejek
dan menyerangnya. Dalam pada itu penyair-penyair Muslimin
juga tampil membalas serangan mereka tanpa Muhammad sendiri
yang harus melayani.
Sementara itu, selain penyair-penyair itu beberapa orang
tampil pula meminta kepada Muhammad beberapa mujizat yang
akan dapat membuktikan kerasulannya: mujizat-mujizat seperti
pada Musa dan Isa. Kenapa bukit-bukit Shafa dan Marwa itu
tidak disulapnya menjadi emas, dan kitab yang dibicarakannya
itu dalam bentuk tertulis diturunkan dari langit? Dan kenapa
Jibril yang banyak dibicarakan oleh Muhammad itu tidak
muncul di hadapan mereka? Kenapa dia tidak menghidupkan
orang-orang yang sudah mati, menghalau bukit-bukit yang
selama ini membuat Mekah terkurung karenanya? Kenapa ia
tidak memancarkan mata air yang lebih sedap dari air sumur
Zamzam, padahal ia tahu betapa besar hajat penduduk
negerinya itu akan air?
Tidak hanya sampai disitu saja kaum musyrikin itu mau
mengejeknya dalam soal-soal mujizat, malahan ejekan mereka
makin menjadi-jadi, dengan menanyakan: kenapa Tuhannya itu
tidak memberikan wahyu tentang harga barang-barang dagangan
supaya mereka dapat mengadakan spekulasi buat hari
depan?
Debat mereka itu berkepanjangan. Tetapi wahyu yang datang
kepada Muhammad menjawab debat mereka
"Katakanlah: 'Aku tak berkuasa membawa kebaikan atau
menolak bahaya untuk diriku sendiri, kalau tidak dengan
kehendak Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib-gaib,
niscaya kuperbanyak amal kebaikan itu dan bahayapun tidak
menyentuhku. Tapi aku hanya memberi peringatan dan membawa
berita gembira bagi mereka yang beriman." (Qur'an 7:
188)
Ya, Muhammad hanya mengingatkan dan membawa berita
gembira. Bagaimana mereka akan menuntutnya dengan hal-hal
yang tak masuk akal. Sedang dia tidak mengharapkan dari
mereka kecuali yang masuk akal, bahkan yang diminta dan
diharuskan oleh akal? ! Bagaimana mereka menuntutnya dengan
hal-hal yang bertentangan dengan kodrat jiwa yang tinggi
padahal yang diharapkannya dari mereka agar mereka mau
menerima suara yang sesuai dengan kodrat jiwa yang tinggi
itu?! Bagaimana pula mereka masih menuntutnya dengan
beberapa mujizat, padahal kitab yang diwahyukan kepadanya
itu dan yang menunjukkan jalan yang benar itu adalah mujizat
dari segala mujizat? Kenapa mereka masih menuntut supaya
kerasulannya itu diperkuat lagi dengan keanehan-keanehan
yang tak masuk akal, yang sesudah itu nanti merekapun akan
ragu-ragu lagi, akan mengikutinyakah mereka atau tidak?
Dan ini, yang mereka katakan tuhan-tuhan mereka itu,
tidak lebih adalah batu-batu atau kayu yang disangga atau
berhala-berhala yang tegak di tengah-tengah padang pasir,
yang tidak dapat membawa kebaikan ataupun menolak bahaya.
Sungguhpun begitu mereka menyembahnya juga, tanpa menuntut
pembuktian sifat-sifat ketuhanannya. Dan kalaupun itu yang
dituntut, pasti ia akan tetap batu atau kayu, tanpa hidup,
tanpa gerak; untuk dirinyapun ia tak dapat menolak bahaya
atau membawa kebaikan. Dan jika ada yang datang
menghancurkannya iapun takkan dapat mempertahankan diri.
Muhammadpun sudah terang-terangan
menyebut berhala-berhala mereka, yang sebelum itu tidak
pernah disebut-sebutnya. Ia mencelanya, yang juga sebelum
itu tidak pernah dilakukan demikian. Hal ini menjadi soal
besar bagi Quraisy dan dirasakan menusuk hati mereka.
Tentang laki-laki itu, serta apa yang dihadapinya dari
mereka dan dihadapi mereka dari dia, sekarang mulai
sungguh-sungguh menjadi perhatian mereka. Sampai sebegitu
jauh mereka baru sampai memperolok kata-katanya. Apabila
mereka duduk-duduk di Dar'n Nadwa,3 atau
disekitar Ka'bah dengan berhala-berhala yang ada, membuallah
mereka dengan sikap tidak lebih dari senyuman mengejek dan
berolok-olok. Akan tetapi, jika yang dihina dan diejek itu
sekarang dewa-dewa mereka yang mereka sembah dan disembah
nenek-moyang mereka, termasuk Hubal, Lat, 'Uzza dan semua
berhala, maka tidak lagi soalnya soal olok-olok dan
cemoohan, melainkan sudah menjadi soal yang serius dan
menentukan. Atau, andaikata orang itu sampai dapat menghasut
penduduk Mekah melawan mereka dan meninggalkan
berhala-berhala mereka, hasil apa yang akan diperolehnya
dari perdagangan Mekah itu? Dan bagaimana pula kedudukan
mereka dalam arti agama?
Abu Talib pamannya belum lagi menganut Islam. Tetapi
tetap ia sebagai pelindung dan penjaga kemenakannya itu. Ia
sudah menyatakan kesediaannya akan membelanya. Atas dasar
itu pemuka-pemuka bangsawan Quraisy - dengan diketahui oleh
Abu Sufyan b. Harb - pergi menemui Abu Talib.
"Abu Talib," kata mereka, "kemenakanmu itu sudah memaki
berhala-berhala kita, mencela agama kita, tidak menghargai
harapan-harapan kita dan menganggap sesat nenek-moyang kita.
Soalnya sekarang, harus kauhentikan dia; kalau tidak biarlah
kami sendiri yang akan menghadapinya. Oleh karena engkau
juga seperti kami tidak sejalan, maka cukuplah engkau dari
pihak kami menghadapi dia."
Akan tetapi Abu Talib menjawab mereka dengan baik sekali.
Sementara itu Muhammad juga tetap gigih menjalankan tugas
dakwahnya dan dakwa itupun mendapat pengikut bertambah
banyak.
Quraisy segera berkomplot menghadapi Muhammad itu. Sekali
lagi mereka pergi menemui Abu Talib. Sekali ini disertai
'Umara bin'l-Walid bin'l-Mughira, seorang pemuda yang montok
dan rupawan, yang akan diberikan kepadanya sebagai anak
angkat, dan sebagai gantinya supaya Muhammad diserahkan
kepada mereka. Tetapi inipun ditolak. Muhammad terus juga
berdakwah, dan Quraisypun terus juga berkomplot.
Untuk ketiga kalinya mereka mendatangi lagi Abu
Talib.
"Abu Talib'" kata mereka, "Engkau sebagai orang yang
terhormat, terpandang di kalangan kami. Kami telah minta
supaya menghentikan kemenakanmu itu, tapi tidak juga
kaulakukan. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang
memaki nenek-moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan
kita dan mencela berhala-berhala kita - sebelum kausuruh dia
diam atau sama-sama kita lawan dia hingga salah satu pihak
nanti binasa."
Berat sekali bagi Abu Talib akan berpisah atau bermusuhan
dengan masyarakatnya. Juga tak sampai hati ia menyerahkan
atau membuat kemenakannya itu kecewa. Gerangan apa yang
harus dilakukannya?
Dimintanya Muhammad datang dan diceritakannya maksud
seruan Quraisy. Lalu katanya: "Jagalah aku, begitu juga
dirimu. Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat
kupikul."
Muhammad menekur sejenak, menekur berhadapan dengan
sebuah sejarah alam wujud ini, sejarah yang sedang tertegun
tak tahu hendak ke mana tujuannya. Dalam kata-kata yang
kemudian menguntai dari bibir laki-laki itu adalah suatu
keputusan bagi dunia: adakah dunia ini akan dalam kesesatan
selalu dan terus dijerumuskan, lalu datang Majusi menekan
Kristen yang sudah gagal dan kacau, dan dengan demikian
paganisma dengan kebatilannya itu akan mengangkat kepala
yang sudah rapuk dan busuk? Atau ia harus memancarkan terus
sinar kebenaran itu, memproklamirkan kata-kata Tauhid,
membebaskan pikiran manusia dari belenggu perbudakan,
membebaskannya dari rantai ilusi dan mengangkatnya
kemartabat yang lebih tinggi, sehingga jiwa manusia itu
dapat mencapai hubungan dengan Zat Maha Tinggi?
Pamannya, ini pamannya seolah sudah tak
berdaya lagi membela dan memeliharanya. Ia sudah mau
meninggalkan dan melepaskannya. Sedang kaum Muslimin masih
lemah, mereka tak berdaya akan berperang, tidak dapat mereka
melawan Quraisy yang punya kekuasaan, punya harta, punya
persiapan dan jumlah rmanusia. Sebaliknya dia tidak punya
apa-apa selain kebenaran. Dan atas nama kebenaran sebagai
pembelanya ia mengajak orang. Tak punya apa-apa ia selain
imannya kepada kebenaran itu sebagai perlengkapan.
Terserahlah apa jadinya! Hari kemudian itu baginya lebih
baik daripada yang sekarang. Ia akan meneruskan misinya,
akan mengajak orang seperti yang diperintahkan Tuhan
kepadanya. Lebih baik mati ia membawa iman kebenaran yang
telah diwahyukan kepadanya daripada menyerah atau
ragu-ragu.
Karena itu, dengan jiwa yang penuh kekuatan dan kemauan,
ia menoleh kepada pamannya seraya berkata:
"Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari
di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku,
dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh
tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah yang akan
membuktikan kemenangan itu ditanganku, atau aku binasa
karenanya."
Ya, demikian besarnya kebenaran itu, demikian dahsyatnya
iman itu! Gemetar orang tua ini mendengar jawaban Muhammad,
tertegun ia. Ternyata ia berdiri dihadapan tenaga kudus dan
kemauan yang begitu tinggi, di atas segala kemampuan tenaga
hidup yang ada.
Muhammad berdiri. Airmatanya terasa menyumbat karena
sikap pamannya yang tiba-tiba itu, sekalipun tak terlintas
kesangsian dalam hatinya sedikitpun akan jalan yang
ditempuhnya itu.
Seketika lamanya Abu Talib masih dalam keadaan terpesona.
Ia masih dalam kebingungan antara tekanan masyarakatnya
dengan sikap kemanakannya itu. Tetapi kemudian dimintanya
Muhammad datang lagi, yang lalu katanya: "Anakku, katakanlah
sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau bagaimanapun
juga!"
|