|
BAGIAN KETUJUH: PERBUATAN-PERBUATAN QURAISY YANG
KEJI (2/3)
Bilamana kemudian ia kembali lagi kepada masyarakatnya
sendiri diajaknya mereka itu menerima Islam. Merekapun ada
yang segera menerima, tapi ada juga yang masih
lambat-lambat. Dalam pada itu, beberapa tahun berikutnya
sebagian besar mereka sudah pula menerima Islam. Setelah
pembebasan Mekah dan sesudah susunan politik dengan bentuk
tertentu sudah mulai terarah, merekapun menggabungkan diri
kepada Nabi.
Peristiwa Tufail ad-Dausi ini tidak lebih
adalah sebuah contoh saja dari sekian-banyak peristiwa. Yang
telah menerima ajakan Muhammad ini bukan terdiri dari hanya
penyembah-penyembah berhala saja. Sewaktu dia di Mekah dulu
pernah datang kepadanya duapuluh orang Nasrani, setelah
mereka mendengar berita itu. Lalu mereka menanyainya,
mendengarkan kata-katanya. Merekapun menerima,mereka beriman
dan mempercayainya. Inilah pula yang membuat Quraisy makin
geram, sehingga mereka juga dimaki-maki.
"Kamu utusan yang gagal. Kamu sekalian disuruh oleh
masyarakat seagamamu mencari berita tentang orang itu.
Sebelum kamu kenal benar-benar siapa dia agama kamu sudah
kamu tinggalkan dan lalu percaya saja apa yang
dikatakannya."
Tetapi kata-kata Quraisy itu tidak membuat utusan itu
mundur menjadi pengikut Muhammad, juga tidak lalu
meninggalkan Islam. Bahkan imannya kepada Allah lebih kuat
daripada ketika mereka masih dalam agama Nasrani. Mereka
sudah menyerahkan diri kepada Tuhan sebelum mereka
mendengarkan Muhammad.
Tetapi apa yang terjadi terhadap diri
Muhammad lebih hebat lagi dari itu. Orang Quraisy yang
paling keras memusuhinya sudah mulai bertanya-tanya kepada
diri sendiri: benarkah ia mengajak orang kepada agama yang
benar? Dan apa yang dijanjikan dan diperingatkan kepada
mereka, itu pula yang benar?
Abu Sufyan b. Harb, Abu Jahl b. Hisyam dan al-Akhnas b.
Syariq malam itu pergi ingin mendengarkan Muhammad ketika
sedang membaca Qur'an di rumahnya. Mereka masing-masing
mengambil tempat sendiri-sendiri untuk mendengarkan, dan
tempat satu sama lain tidak saling diketahui. Muhammad yang
biasa bangun tengah malam, malam itu juga ia sedang membaca
Qur'an dengan tenang dan damai. Dengan suaranya yang sedap
itu ayat-ayat suci bergema ke dalam telinga dan kalbu.
Tetapi sesudah fajar tiba, mereka yang mendengarkan itu
terpencar pulang ke rumah masing-masing. Di tengah jalan,
ketika mereka bertemu, masing-masing mau saling menyalahkan:
Jangan terulang lagi. Kalau kita dilihat oleh orang-orang
yang masih bodoh, ini akan melemahkan kedudukan kita dan
mereka akan berpihak kepada Muhammad.
Tetapi pada malam kedua, masing-masing mereka membawa
perasaan yang sama seperti pada malam kemarin. Tanpa dapat
menolak, seolah kakinya membawanya kembali ke tempat yang
semalam itu juga, untuk mendengarkan lagi Muhammad membaca
Qur'an. Hampir fajar, ketika mereka pulang, bertemu lagi
mereka satu sama lain dan saling menyalahkan pula. Tetapi
sikap mereka demikian itu tidak mengalangi mereka untuk
pergi lagi pada malam ketiga.
Setelah kemudian mereka menyadari, bahwa dalam menghadapi
dakwah Muhammad itu mereka merasa lemah, berjanjilah mereka
untuk tidak saling mengulangi lagi perbuatan mereka demikian
itu. Apa yang sudah mereka dengar dari Muhammad itu, dalam
jiwa mereka tertanam suatu kesan, sehingga mereka satu sama
lain saling menanyakan pendapat mengenai yang sudah mereka
dengar itu. Dalam hati mereka timbul rasa takut. Mereka
kuatir akan jadi lemah, mengingat masing-masing adalah
pemimpin masyarakat, sehingga dikuatirkan masyarakatnyapun
akan jadi lemah pula dan menjadi pengikut Muhammad juga.
Gerangan apa keberatan mereka menjadi pengikut-pengikut
Muhammad? Padahal ia tidak mengharapkan harta dari mereka,
tidak ingin menjadi pemimpin mereka, menjadi raja mereka
atau penguasa di atas mereka? Disamping itu dia adalah
laki-laki yang sungguh rendah hati, sangat mencintai
masyarakatnya, setia kepada mereka dan ingin sekali
membimbing mereka. Sangat halus perasaannya, sehingga kalau
akan merugikan orang miskin atau yang lemahpun ia merasa
takut. Setiap ia mengalami penderitaan, hatinya baru merasa
tenang bila ia sudah merasa mendapat pengampunan. Bukankah
tatkala suatu hari ia sedang dengan al-Walid bin'l-Mughira,
salah seorang pemimpin Quraisy yang diharapkan keislamannya,
tiba-tiba lewat Ibn Umm Maktum yang buta, dan minta
diajarkan Qur'an kepadanya. Begitu mendesak ia, sehingga
Muhammad merasa kesal karenanya, mengingat ia sedang sibuk
menghadapi Walid. Ditinggalkannya orang buta itu dengan muka
masam.
Tetapi setelah ia kembali seorang diri hati kecilnya
memperhitungkan perbuatannya tadi itu sambil bertanya-tanya
kepada dirinya sendiri: Salahkah aku? Tiba-tiba datang wahyu
dengan ayat-ayat berikut: "Bermasam dan membuang muka ia.
Tatkala si buta mendatanginya. Dan apa yang memberitahukan
kau, barangkali ia orang yang bersih? Atau ia dapat menerima
teguran dan teguran itu berguna baginya. Tetapi kepada orang
yang serba cukup itu. Engkau menghadapkan diri. Padahal itu
bukan urusanmu kalau dia tidak bersih hati. Tetapi orang
yang bersungguh-sungguh datang kepadamu. Dengan rasa penuh
takut. Kau abaikan dia. Tidak. Itu adalah sebuah peringatan.
Barangsiapa yang sudi, biarlah memperhatikan peringatan itu.
Dalam kitab-kitab yang dimuliakan. Dijunjung tinggi dan
disucikan. Yang ditulis dengan tangan. Orang-orang
terhormat, orang-orang yang bersih." (Qur'an: 80: 1-16)
Kalau memang itu soalnya, apalagi yang mengalangi Quraisy
menjadi pengikutnya dan mendukung dakwahnya? Terutama
sesudah hati mereka jadi lembut, sesudah mereka melupakan
masa masa silam dengan bertahan pada warisan lapuk yang
membuat jiwa mereka jadi beku, dan sesudah mereka melihat
bahwa ajaran Muhammad itu sempurna, dan penuh keagungan?
Tetapi! Benarkah masa yang sudah bertahun-tahun itu
membuat orang lupa akan kebekuan jiwanya, akan sikapnya yang
konservatif terhadap masa lampau yang sudah lapuk? Ini dapat
terjadi pada orang-orang istimewa, yang dalam hatinya selalu
terdapat kerinduan pada yang sempurna. Dalam hidup mereka,
mereka masih mau mempelajari adanya kebenaran yang
sebelumnya sudah mereka percayai untuk kemudian membuang
segala kepalsuan yang masih melekat, betapapun tingginya
tingkat kebudayaan orang itu. Hati dan pikiran mereka sudah
seperti kuali tempat melebur logam yang selalu mendidih,
menerima setiap pendapat baru yang dilemparkan kedalamnya,
lalu dilebur dan disaring. Mana yang bernoda dibuang, dan
tinggal yang baik, yang benar dan yang indah. Mereka itu
mencari kebenaran tentang apa saja, di mana saja dan dari
siapa saja. Oleh karena pada setiap bangsa, setiap zaman,
mereka ini merupakan inti yang terpilih, maka jumlah mereka
selalu sedikit. Mereka selalu mendapat perlawanan, yang
datangnya terutama dari orang-orang kaya, orang orang
berkedudukan dan orang-orang berkuasa. Mereka takut setiap
corak pembaruan itu akan menelan harta mereka, akan
menghilangkan kedudukan dan kekuasaan mereka. Selain dengan
cara hidup mereka yang demikian itu, kenyataan lain yang
sudah begitu jelas tidak mereka kenal. Semua itu bagi mereka
adalah benar apabila ia dapat menambah kekuatan mereka, dan
tidak benar apabila ia dapat menimbulkan kesangsian, sedikit
sekalipun. Pemilik harta menganggap, bahwa moral itu benar
adanya bilamana ia dapat memberikan tambahan ke dalam
hartanya, dan tidak benar bilamana ia merintanginya. Agama
adalah benar, bilamana ia dapat membukakan jalan buat
hawa-nafsunya, dan tidak benar kalau ia menjadi penghalang
hawa-nafsu itu. Yang memiliki kedudukan, yang memiliki
kekuasaan dalam hal ini sama saja seperti pemilik harta
itu.
Dalam perlawanan mereka terhadap segala pembaharuan yang
mereka takuti itu, mereka menghasut orang awam yang
rejekinya tergantung kepada mereka, supaya memusuhi
penganjur pembaharuan itu. Mereka minta bantuan awam supaya
menyucikan bangunan-bangunan kuno yang sudah dimakan kutu
setelah minggat ruh yang ada di dalamnya. Benteng-benteng
itu mereka jadikan kuil-kuil dari batu, untuk menimbulkan
kesan kepada awam yang tak bersalah itu, bahwa ruh suci yang
mereka bungkus dengan kain putih, masih dalam keagungannya
dalam kurungan kuil-kuil itu. Pada umumnya awam itu membela
mereka, sebab, yang penting ia melihat pencariannya. Baginya
tidak mudah akan dapat memahami, bahwa kebenaran itu tidak
akan tahan tinggal terkurung dalam tembok-tembok kuil
betapapun indah dan agungnya tempat itu, dan bahwa sifat
kebenaran itu akan selalu bebas menyerbu dan mengisi jiwa
orang. Baginya tidak beda jiwa seorang tuan atau jiwa
seorang budak. Juga tak ada sebuah peraturan betapapun
kerasnya yang dapat merintangi hal itu.
Bagaimana orang dapat mengharapkan dari mereka, mereka
yang pernah datang sembunyi-sembunyi mendengarkan pembacaan
Qur'an itu, akan mau beriman kepadanya, karena ia menegur
mereka yang banyak melakukan pelanggaran itu, karena ia
tidak membeda-bedakan si buta miskin dengan orang yang
hartanya berlimpah-limpah, kecuali dari kebersihan jiwanya.
Kepada seluruh umat manusia diserukannya, bahwa: "Yang
paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang
paling dapat menjaga diri (yang paling takwa)." (Qur' an,
49: 13)
Kalaupun Abu Sufyan dan kawan-kawannya
masih bertahan dengan kepercayaan leluhur mereka, bukanlah
hal itu karena dilandasi oleh iman atau kebenaran yang ada,
tapi karena mereka sudah terlalu mencintai pada cara lama
yang mereka adakan itu. Kemudian nasib membantu mereka pula.
Mereka bertahan hanya karena kedudukan dan harta yang sudah
berlimpah-limpah, dan untuk itu pula mereka bertempur
mati-matian.
Di samping kecenderungan ini juga karena rasa dengki dan
persaingan yang keras membuat Quraisy tidak mau menjadi
pengikut Nabi. Sebelum kedatangan Muhammad, Umayya b.
Abi'sh-Shalt memang termasuk salah seorang yang pernah
bicara tentang seorang nabi yang akan tampil di
tengah-tengah masyarakat Arab itu, dan dia sendiri berhasrat
sekali ingin jadi nabi. Perasaan dengki itu rasa membakar
jantungnya tatkala ternyata kemudian wahyu tidak datang
kepadanya. Jadi dia tidak mau menjadi pengikut orang yang
dianggapnya saingannya. Apalagi, karena (sebagai penyair)
sajak-sajaknya penuh berisi pikiran, sehingga pernah suatu
hari Nabi .a.s. menyatakan ketika sajaknya dibacakan di
hadapannya: "Umayya, sajaknya sudah beriman, tapi hatinya
ingkar."
Atau seperti kata al-Walid bin'l-Mughira: "Wahyu
didatangkan kepada Muhammad, bukan kepadaku, padahal aku
kepala dan pemimpin Quraisy. Juga tidak kepada Abu Mas'ud
'Amr b. 'Umair ath-Thaqafi sebagai pemimpin Thaqif. Kami
adalah pembesar-pembesar dua kota."
Untuk itulah firman Tuhan memberi isyarat: "Dan mereka
berkata: 'Kenapa Qur'an ini tidak diturunkan kepada orang
besar dari dua kota itu?' Adakah mereka membagi-bagikan
kurnia Tuhanmu? Kamilah yang membagikan penghidupan mereka
itu, dalam hidup dunia ini." (Qur'an 43: 13-32)
Setelah Abu Sufyan, Abu Jahl dan Akhnas selama tiga malam
berturut-turut mendengarkan pembacaan Qur'an, seperti dalam
cerita di atas, Akhnas lalu pergi menemui Abu Jahl di
rumahnya. "Abu'l-Hakam,2 bagaimana pendapatmu
tentang yang kita dengar dari Muhammad?" tanyanya kepada Abu
Jahl.
"Apa yang kaudengar?" kata Abu Jahl. "Kami sudah saling
memperebutkan kehormatan itu dengan Keluarga 'Abd Manaf.
Mereka memberi makan, kamipun memberi makan, mereka
menanggung kamipun begitu, mereka memberi kami juga memberi
sehingga kami dapat sejajar dan sama tangkas dalam
perlumbaan itu. Tiba-tiba kata mereka: "Di kalangan kami ada
seorang nabi yang menerima "wahyu dari langit." Kapan kita
akan menjumpai yang semacam itu? Tidak! Kami sama sekali
tidak akan percaya dan tidak akan membenarkannya."
Jadi yang dalam sekali berpengaruh dalam
jiwa orang-orang badui itu ialah rasa dengki, saling
bersaing dan saling bertentangan. Dalam hal ini salah sekali
bila orang mencoba mau menutup mata atau tidak menilainya
sebagaimana mestinya. Cukup kalau kita sebutkan saja adanya
kekuasaan nafsu yang begitu besar dalam jiwa tiap orang.
Untuk dapat mengatasi pengaruh ini memang diperlukan suatu
latihan yang cukup panjang, latihan jiwa dengan mengutamakan
hukum akal diatas dorongan nafsu, jiwa dan pikiran kita
harus cukup tinggi sehingga dapat ia melihat bahwa kebenaran
yang datang dari lawan bahkan dari musuh itu, itu jugalah
kebenaran yang datang dari kawan karibnya. Ia harus yakin,
bahwa dengan kebenaran yang dimilikinya itu kekayaannya
sudah lebih besar dari harta karun, dari kebesaran Iskandar
(Agung) dan dari kerajaan seorang kaisar. Tidak banyak orang
yang dapat mencapai tingkat ini kalau tidak karena Tuhan
sudah membukakan hatinya untuk kebenaran itu.
|