BAGIAN KEDUA: MEKAH, KA'BAH DAN QURAISY
(2/4)
Cerita ini diambil dari sejarah yang hampir merupakan
konsensus dalam garis besarnya tentang kepergian Ibrahim dan
Ismail ke Mekah, meskipun terdapat perbedaan dalam detail.
Dan yang memajukan kritik atas peristiwa secara mendetail
itu berpendapat, bahwa Hajar dan Ismail telah pergi ke
lembah yang sekarang terletak Mekah itu dan bahwa di tempat
itu terdapat mata air yang ditempati oleh kabilah Jurhum.
Hajar disambut dengan senang hati oleh mereka ketika ia
datang bersama Ibrahim dan anaknya ke tempat itu. Sesudah
Ismail besar ia kawin dengan wanita Jurhum dan mempunyai
beberapa orang anak. Dari percampuran perkawinan antara
Ismail dengan unsur-unsur Ibrani-Mesir di satu pihak dan
unsur Arab di pihak lain, menyebabkan keturunannya itu
membawa sifat-sifat Arab, Ibrani dan Mesir. Mengenai sumber
yang mengatakan tentang Hajar yang kebingungan setelah
melihat air yang habis menyerap serta tentang usahanya
berlari tujuh kali dari Shafa dan Marwa dan tentang sumur
Zamzam dan bagaimana air menyembur, oleh mereka masih
diragukan.
Sebaliknya William Muir menyangsikan kepergian Ibrahim
dan Ismail itu ke Hijaz dan ia menolak dasar cerita itu.
Dikatakannya, bahwa itu adalah Israiliat (Yudaica) yang
dibuat-buat orang Yahudi beberapa generasi sebelum Islam,
guna mengikat hubungan dengan orang Arab yang sama-sama
sebapa dengan lbrahim, kalau Ishaq itu yang menjadi
nenek-moyang orang Yahudi. Jadi apabila saudaranya, Ismail
itu moyang orang Arab, maka mereka adalah saudara sepupu
yang akan menjadi kewajiban orang Arab pula menerima baik
emigran orang-orang Yahudi ke tengah-tengah mereka, dan akan
memudahkan perdagangan orang Yahudi di seluruh jazirah Arab.
Pengarang Inggris ini mendasarkan pendapatnya pada cara-cara
peribadatan di negeri-negeri Arab yang tak ada hubungannya
dengan agama Ibrahim, sebab mereka sudah benar-benar hanyut
dalam paganisma, sedang agama Ibrahim agama murni.
Kita tidak melihat bahwa argumentasi demikian itu sudah
cukup kuat untuk menghilangkan kenyataan sejarah. Jauh
beberapa abad sesudah meninggalnya Ibrahim dan Ismail
paganisma Arab tidak menunjukkan bahwa mereka memang sudah
demikian tatkala Ibrahim datang ke Hijaz dan tatkala ia dan
Ismail bersama-sama membangun Ka'bah. Andaikata waktu itu
paganisma sudah ada, tentu itu akan memperkuat pendapat Sir
William Muir. Masyarakat Ibrahim sendiri waktu itu menyembah
berhala dan ia berusaha mengajak mereka ke jalan yang benar,
tapi tidak berhasil. Apabila ia mengajak masyarakat Arab
seperti mengajak masyarakatnya sendiri, lalu tidak berhasil,
dan orang-orang Arab itu tetap menyembah berhala, tentu hal
itu tidak sesuai dengan kepergian Ibrahim dan Ismail ke
Mekah. Keterangan sejarah itu secara logika bahkan lebih
kuat. Ibrahim yang telah keluar dari Irak karena mau
menghindar dari keluarganya, ia pergi ke Palestina dan
Mesir, adalah orang yang mudah bepergian dan biasa
mengarungi sahara. Sedang jalan antara Palestina dan Mekah
sejak dahulu kala sudah merupakan lalu-lintas terbuka bagi
para kafilah. Dengan demikian tidak pula pada tempatnya
orang meragukan kenyataan sejarah yang dalam garis besamya
sudah menjadi konsensus itu.
Sir William Muir dan mereka yang menunjang pendapatnya
itu mengatakan tentang kemungkinan adanya segolongan
anak-anak Ibrahim dan Ismail sesudah itu yang pindah dari
Palestina ke negeri-negeri Arab serta adanya pertalian
mereka dalam arti hubungan darah. Kita tidak mengerti, kalau
kemungkinan mengenai anak-anak Ibrahim dan Ismail ini bagi
mereka dapat diterima, sedang kemungkinan mengenai kedua
orang itu sendiri tidak! Bagaimana akan dikatakan belum
dapat dipastikan padahal peristiwa sejarah sudah
memperkuatnya. Bagaimana pula takkan terjadi padahal
sumbernya sudah tak dapat diragukan lagi dan sudah
disebutkan dalam Quran dan dibicarakan juga dalam
kitab-kitab suci lainnya!
Ibrahim dan Ismail lalu mengangkat sendi-sendi Rumah Suci
itu dan "Bahwa rumah pertama dibuat untuk manusia beribadat
ialah yang di Mekah itu, sudah diberi berkah dan bimbingan
bagi semesta alam. Disitulah terdapat keterangan-keterangan
yang jelas sebagai Maqam (tempat) Ibrahim; barangsiapa
memasukinya menjadi aman." (Qur'an, 3: 96-97)
"Dan ingatlah, Kami jadikan Rumah itu tempat berkumpul
bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah Maqam
Ibrahim itu tempat bersembahyang, dan kami serahkan kepada
Ibrahim dan Ismail menyucikan RumahKu bagõ mereka
yang bertawaf, mereka yang tinggal menetap dan mereka yang
ruku' dan sujud. Dan ingatlah tatkala Ibrahim berkata:
'Tuhanku, jadikan tempat ini Kota yang aman dan berikanlah
buah-buahan kepada penduduknya, mereka yang beriman kepada
Allah dan Hari Kemudian.' Ia berkata: 'Dan bagi barangsiapa
yang menolak iman akan Kuberi juga kesenangan sementara,
kemudian Kutarik ia ke dalam siksa api, tujuan yang paling
celaka,. Dan ingatlah tatkala Ibrahim dan Ismail mengangkat
sendi-sendi Rumah Suci itu (mereka berdoa): 'Tuhan,
terimalah ini dari kami. Sesungguhnyalah Engkau Maha
mendengar, Maha mengetahui." (Qur,an, 2: 125-127)
Bagaimana Ibrahim mendirikan Rumah itu sebagai tempat
tujuan dan tempat yang aman, untuk mengantarkan manusia
supaya beriman hanya kepada Allah Yang Tunggal lalu kemudian
menjadi tempat berhala dan pusat penyembahannya? Dan
bagaimana pula cara-cara peribadatan itu dilakukan sesudah
lbrahim dan Ismail, dan dalam bentuk bagaimana pula
dilakukan? Dan sejak kapan cara-cara itu berubah lalu
dikuasi oleh paganisma? Hal ini tidak diceritakan kepada
kita oleh sejarah yang kita kenal. Semua itu baru merupakan
dugaan-dugaan yang sudah dianggap sebagai suatu kenyataan.
Kaum Sabian1 yang menyembah bintang mempunyai
pengaruh besar di tanah Arab. Pada mulanya mereka - menurut
beberapa keterangan - tidak menyembah bintang itu sendiri,
melainkan hanya menyembah Allah dan mereka mengagungkan
bintang-bintang itu sebagai ciptaan dan manifestasi
kebesaranNya. Oleh karena lebih banyak yang tidak dapat
memahami arti ketuhanan yang lebih tinggi, maka diartikannya
bintang-bintang itu sebagai tuhan. Beberapa macam batu
gunung dikhayalkan sebagai benda yang jatuh dan langit,
berasal dan beberapa macam bintang. Dari situ mula-mula
manifestasi tuhan itu diartikan dan dikuduskan, kemudian
batu-batu itu yang disembah, kemudian penyembahan itu
dianggap begitu agung, sehingga tidak cukup bagi seorang
orang Arab hanya menyembah hajar aswad (batu hitam) yang di
dalam Ka'bah, bahkan dalam setiap perjalanan ia mengambil
batu apa saja dan Ka'bah untuk disembah dan dimintai
persetujuannya: akan tinggal ataukah akan melakukan
perjalanan. Mereka melakukan cara-cara peribadatan yang
berlaku bagi bintang-bintang atau bagi pencipta
bintang-bintang itu. Dengan cara-cara demikian menjadi
kuatlah kepercayaan paganisma itu, patung-patung dikuduskan
dan dibawanya sesajen-sesajen untuk itu sebagai kurban.
Ini adalah suatu gambaran tentang perkembangan agama itu
di tanah Arab sejak Ibrahim membangun rumah sebagai tempat
beribadat kepada Tuhan, sebagaimana dilukiskan oleh beberapa
ahli sejarah dan bagaimana pula hal itu kemudian berbalik
dan menjadi pusat berhala. Herodotus, bapa sejarah,
menerangkan tentang penyembahan Lat itu di negeri Arab.
Demikian juga Diodorus Siculus mcnyebutkan tentang rumah di
Mekah yang diagungkan itu. Ini menunjukkan tentang paganisma
yang sudah begitu tua di jazirah Arab dan bahwa agama yang
dibawa Ibrahim di sana bertahan tidak begitu lama.
Dalam abad-abad itu sudah datang pula para nabi yang
mengajak kabilah-kabilah jazirah itu supaya menyembah Allah
semata-mata. Tetapi mereka menolak dan tetap bertahan pada
paganisma. Datang Hud mengajak kaum 'Ad yang tinggal di
sebelah utara Hadzramaut supaya menyembah hanya kepada
Allah; tapi hanya sebagian kecil saja yang ikut. Sedang yang
sebagian besar malah menyombongkan diri dan berkata: "O Hud,
kau datang tidak membawa keterangan yang jelas, dan kami
tidak akan meninggalkan tuhan-tuhan kami hanya karena
perkataanmu itu. Kami tidak percaya kepadamu." (Qur'an, 11:
53) Bertahun-tahun lamanya Hud mengajak mereka. Hasilnya
malah mereka bertambah buas dan congkak. Demikian juga Saleh
datang mengajak kaum Thamud supaya beriman. Mereka ini
tinggal di Hijr yang terletak antara Hijaz dengan Syam di
Wadi'l-Qura ke arah timur daya dari Mad-yan (Midian) dekat
Teluk 'Aqaba. Sama saja, hasil ajakan Saleh itu tidak lebih
seperti ajakan Hud juga. Kemudian datang Syu'aib kepada
bangsa Mad-yan yang terletak di Hijaz, mengajak supaya
mereka menyembah Allah. Juga tidak didengar Merekapun
mengalami kehancuran seperti yang terjadi terhadap golongan
'Ad dan Thamud.
Selain para nabi itu juga Qur'an telah menceritakan
tentang ajakan mereka supaya menyembah Allah yang Esa. Sikap
golongan itu begitu sombong. Mereka tetap bersikeras hendak
menyembah berhala dan bermohon kepada berhala-berhala dalam
Ka'bah itu. Mereka berziarah ke tempat itu setiap tahun;
mereka datang dari segenap pelosok jazirah Arab. Dalam hal
ini turun firman Tuhan: "Dan Kami tidak akan mengadakan
siksaan sebelum Kami mengutus seorang rasul."(Qur'an 17:
15)
Sejak didirikannya Mekah di tempat itu sudah ada
jabatan-jabatan penting seperti yang dipegang oleh Qushayy
bin Kilab pada pertengahan abad kelima Masehi. Pada waktu
itu para pemuka Mekah berkumpul. Jabatan-jabatan hijaba,
siqaya, rifada, nadwa, liwa' dan qiyada dipegang semua oleh
Qushay. Hijaba ialah penjaga pintu Ka'bah atau yang memegang
kuncinya. Siqaya ialah menyediakan air tawar - yang sangat
sulit waktu itu bagi mereka yang datang berziarah serta
menyediakan minuman keras yang dibuat dari kurma. Rifada
ialah memberi makan kepada mereka semua. Nadwa ialah
pimpinan rapat pada tiap tahun musim. Liwa' ialah panji yang
dipancangkan pada tombak lalu ditancapkan sebagai lambang
tentara yang sedang menghadapi musuh, dan qiyada ialah
pimpinan pasukan bila menuju perang. Jabatan-jabatan
demikian itu di Mekah sangat terpandang. Dalam masalah
ibadat seolah pandangan orang-orang Arab semua tertuju ke
Ka'bah itu.
Saya kira semua itu datangnya bukan sekaligus ketika
rumah itu dibangun, melainkan satu demi satu, pada satu
pihak tak ada hubungannya satu sama lain dengan Ka'bah serta
kedudukannya dalam arti agama, di pihak lain sedikit banyak
memang ada juga hubungannya.
Tatkala Ka'bah dibangun menurut gambaran
yang ada dalam khayal kita - tidak lebih Mekah hanya terdiri
dari kabilah-kabilah Amalekit dan Jurhum. Sesudah Ismail
menetap di sana dan bersama-sama dengan ayahnya memasang
sendi-sendi rumah itu, barulah Mekah mengalami perkembangan.
Untuk beberapa waktu yang cukup lama kemudian ia menjadi
sebuah kota atau yang menyerupai kota. Kita katakan
menyerupai kota, karena Mekah dengan penduduknya waktu itu
masih membawa sifat sisa-sisa keterbelakangan dalam arti
yang sangat bersahaja. Beberapa penulis sejarah tidak
keberatan dalam menyebutkan, bahwa Mekah itu masih
terbelakang sebelum semua urusan berada di tangan Qushayy
pada pertengahan abad kelima Masehi itu. Sukar bagi kita
akan dapat membayangkan suatu daerah seperti Mekah dengan
Rumah Purbanya yang dianggap suci itu akan tetap berada
dalam suasana hidup pengembaraan. Padahal sejarah
membuktikan bahwa persoalan Rumah Suci itu berada di tangan
Ismail dalam lingkungan keluarga Jurhum selama beberapa
generasi kemudian. Mereka tinggal di sekitar tempat itu, di
samping Mekah masa itu memang tempat pertemuan
kafilah-kafilah dalam perjalanan ke Yaman, Hira, Syam dan
Najd. Juga hubungannya dengan Laut Merah yang tidak jauh
dari tempat itu merupakan hubungan langsung dengan
perdagangan dunia. Sukar akan dapat dibayangkan adanya suatu
daerah dalam keadaan demikian itu akan tetap tanpa ada
pendekatan dari dunia lain dari segi peradabannya. Beralasan
sekali dugaan kita, bahwa Mekah, yang sudah didoakan oleh
Ibrahim dan ditetapkan Allah akan menjadi suatu daerah yang
aman sentosa, sudah mengenal hidup stabil selama beberapa
generasi sebelum Qushayy.
Meskipun sudah dikalahkan oleh Amalekit, Mekah masih di
tangan Jurhum sampai pada masa Mudzadz bin 'Amr ibn Harith.
Selama dalam masa generasi ini perdagangan Mekah mengalami
perkembangan yang pesat sekali di bawah kekuasaan
orang-orang yang biasa hidup mewah, sehingga mereka lupa
bahwa mereka berada di tanah tandus dan bahwa mereka perlu
selalu berusaha dan selalu waspada. Demikian lalainya mereka
itu sehingga Zamzam menjadi kering dan pihak kabilah Khuza'a
merasa perlu memikirkan akan turut terjun memegang pimpinan
di tanah suci itu.
Peringatan Mudzadz kepada masyarakatnya tentang akibat
hidup berfoya-foya, tidak berhasil. Ia yakin sekali bahwa
hal ini akan menghanyutkan mereka semua. Kemudian ia
berusaha menggali Zamzam lebih dalam lagi. Diambilnya dua
buah pangkal pelana emas dari dalam Ka'bah beserta harta
yang dibawa orang sebagai sesajen ke dalam Rumah Suci itu.
Dimasukkannya semua itu ke dalam dasar sumur, sedang pasir
yang masih ada di dalamnya dikeluarkan, dengan harapan pada
suatu waktu ia akan menemukannya kembali. Ia keluar dengan
anak-anak Ismail dari Mekah. Kekuasaan sesudah itu dipegang
oleh Khuza'a. Demikian seterusnya turun-temurun sampai
kepada Qushayy bin Kilab, nenek (kakek) Nabi Muhammad yang
kelima.
Fatimah bint Sa'd bin Sahl kawin dengan Kilab dan
mempunyai anak bernama Zuhra dan Qushayy. Kilab meninggal
dunia ketika Qushayy masih bayi. Kemudian Fatimah kawin lagi
dengan Rabi'a bin Haram. Kemudian mereka pergi ke Syam dan
di sana Fatimah melahirkan Darraj. Qushayy semakin besar
juga dan ia hanya mengenal Rabi'a sebagai ayahnya.
Lambat-laun antara Qushayy dengan pihak kabilah Rabi'a
terjadi permusuhan. Ia dihina dan dikatakan berada di bawah
perlindungan mereka, padahal bukan dari pihak mereka Qushayy
mengadukan penghinaan itu kepada ibunya.
"Ayahmu lebih mulia dari mereka," kata ibunya kepada
Qushayy. "Engkau anak Kilab bin Murra, dan keluargamu di
Mekah menempati Rumah Suci."
Qushayy lalu pergi ke Mekah, dan menetap di sana. Karena
pandangannya yang baik dan mempunyai kesungguhan,
orang-orang di Mekah sangat menghormatinya. Pada waktu itu
pengawasan Rumah Suci di tangan Hulail bin Hubsyia - orang
yang berpandangan tajam dari kabilah Khuza'a. Tatkala
Qushayy melamar puterinya, Hubba, ternyata lamarannya
diterima baik dan kawinlah mereka. Qushayy terus maju dalam
usaha dan perdagangannya, yang membuat ia jadi kaya, harta
dan anak-anaknya pun banyak pula. Di kalangan masyarakatnya
ia makin terpandang. Hulail meninggal dengan meninggalkan
wasiat supaya kunci Rumah Suci di tangan Hubba puterinya.
Tetapi Hubba menolak dan kunci itu dipegang oleh Abu
Ghibsyan dari kabilah Khuza'a. Tetapi Abu Ghibsyan ini
seorang pemabuk. Ketika pada suatu hari ia kehabisan minuman
keras kunci itu dijualnya kepada Qushayy dengan cara
menukarnya dengan minuman keras.
Khuza'a sudah memperhitungkan betapa kedudukannya nanti
bila pimpinan Ka'bah itu berada di tangan Qushayy sebagai
orang yang banyak hartanya dan orang yang mulai berpengaruh
di kalangan Quraisy. Mereka merasa keberatan bilamana
masalah pimpinan Rumah Suci berada di tangan pihak lain
selain mereka sendiri. Pada waktu Qushayy meminta bantuan
Quraisy, beberapa kabilah memang sudah berpendapat bahwa
dialah penduduk yang paling kuat dan sangat dihargai di
Mekah. Mereka mendukung Qushayy dan berhasil mengeluarkan
Khuza'a dari Mekah. Sekarang seluruh pimpinan Rumah Suci itu
sudah di tangan Qushayy dan dia diakui sebagai pemimpin
mereka.
Seperti sudah kita kemukakan, beberapa
orang berpendapat, bahwa sampai pada waktu pimpinan Mekah
berada di tangan Qushayy, bangunan apapun belum ada di
tempat itu, selain Ka bah. Alasannya ialah, karena baik
Khuza'a atau Jurhum tidak ingin melihat ada bangunan lain di
sekitar Rumah Tuhan itu, juga karena pada malam hari mereka
tidak pernah tinggal di tempat itu, melainkan pergi ke
tempat-tempat terbuka. Ditambahkan pula bahwa setelah
Qushayy memegang pimpinan Mekah ia mengumpulkan Quraisy dan
menyuruh mereka membangun di tempat itu. Dengan dipelopori
oleh Qushayy sendiri dibangunnya Dar'n-Nadwa sebagai tempat
pertemuan pembesar-pembesar Mekah yang dipimpin oleh Qushayy
sendiri. Di tempat ini mereka bermusyawarah mengenai
masalah-masalah negeri itu. Menurut kebiasaan mereka, setiap
persoalan yang mereka hadapi selalu diselesaikan dengan
persetujuan bersama. Baik wanita atau laki-laki yang akan
melangsungkan perkawinan harus di tempat ini pula.
Dengan perintah Qushayy orang-orang Quraisy lalu
membangun tempat-tempat tinggal mereka di sekitar Ka'bah
itu, dengan meluangkan tempat yang cukup luas untuk
mengadakan tawaf sekitar Rumah itu dan pada setiap dua rumah
disediakan jalan yang menembus ke tempat tawaf tersebut.
Anak Qushayy yang tertua ialah Abd'd-Dar. Akan tetapi Abd
Manaf adiknya, sudah lebih dulu tampil ke depan umum dan
sudah mendapat tempat pula.
Sesudah usianya makin lanjut,
kekuatannyapun sudah berkurang dan sudah tidak kuat lagi ia
mengurus Mekah sebagaimana mestinya, kunci Rumah itupun
diserahkannya kepada Abd'd-Dar, demikian juga soal air
minum, panji dan persediaan makanan. Setiap tahun Quraisy
memberikan sumbangan dari harta mereka yang diserahkannya
kepada Qushayy guna membuatkan makanan pada musim ziarah.
Makanan ini kemudian diberikan kepada mereka yang datang
tidak dalam kecukupan. Qushayy adalah orang yang pertama
mewajibkan kepada Quraisy menyiapkan persediaan makanan.
Dikumpulkannya mereka itu dan ia sangat merasa bangga
terhadap mereka ketika bersama-sama mereka berhasil
mengeluarkan Khuza'a dari Mekah. Ketika mewajibkan itu ia
berkata kepada mereka:
"Saudara-saudara Quraisy! Kamu sekalian adalah tetangga
Tuhan, keluarga RumahNya dan Tempat yang Suci. Mereka yang
datang berziarah adalah tamu Tuhan dan pengunjung RumahNya.
Mereka itulah para tamu yang paling patut dihormati. Pada
musim ziarah itu sediakanlah makanan dan minuman sampai
mereka pulang kembali."
|