BAGIAN KEDUA: MEKAH, KA'BAH DAN QURAISY
(3/4)
Seperti ayahnya, Abd'd-Dar juga telah memegang pimpinan
Ka'bah dan kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Akan
tetapi anak-anak Abd Manaf sebenarnya mempunyai kedudukan
yang lebih baik dan terpandang juga di kalangan
masyarakatnya. Oleh karena itu, anak-anak Abd Manaf, yaitu
Hasyim, Abd Syams, Muttalib dan Naufal sepakat akan
mengambil pimpinan yang ada di tangan sepupu-sepupu mereka
itu. Tetapi pihak Quraisy berselisih pendapat: yang satu
membela satu golongan yang lain membela golongan yang lain
lagi.
Keluarga Abd Manaf mengadakan Perjanjian Mutayyabun
dengan memasukkan tangan mereka ke dalam tib, (yaitu bahan
wangi-wangian) yang dibawa ke dalam Ka'bah. Mereka bersumpah
takkan melanggar janji. Demikian juga pihak Keluarga
Abd,d-Dar mengadakan pula Perjanjian Ahlaf: Antara kedua
golongan itu hampir saja pecah perang yang akan memusnakan
Quraisy, kalau tidak cepat-cepat diadakan perdamaian.
Keluarga Abd Manaf diberi bagian mengurus persoalan air dan
makanan, sedangkan kunci, panji dan pimpinan rapat di tangan
Keluarga Abd'd-Dar. Kedua belah pihak setuju, dan keadaan
itu berjalan tetap demikian, sampai pada waktu datangnya
Islam.
Hasyim termasuk pemuka masyarakat dan
orang yang berkecukupan. Dialah yang memegang urusan air dan
makanan. Dia mengajak masyarakatnya seperti yang dilakukan
oleh Qushayy kakeknya, yaitu supaya masing-masing
menafkahkan hartanya untuk memberi makanan kepada pengunjung
pada musim ziarah. Pengunjung Baitullah, tamu Tuhan inilah
yang paling berhak mendapat penghormatan. Kenyataannya
memang para tamu itu diberi makan sampai mereka pulang
kembali.
Peranan yang dipegang Hasyim tidak hanya itu saja, bahkan
jasanya sampai ke seluruh Mekah. Pernah terjadi musim
tandus, dia datang membawakan persediaan makanan, sehingga
kembali penduduk itu menghadapi hidupnya dengan wajah
berseri. Hasyim jugalah yang membuat ketentuan perjalanan
musim, musim dingin dan musim panas. Perjalanan musim dingin
ke Yaman, dan perjalanan musim panas ke Suria.
Dengan adanya semua kenyataan ini keadaan Mekah jadi
berkembang dan mempunyai kedudukan penting di seluruh
jazirah, sehingga ia dianggap sebagai ibukota yang sudah
diakui. Dengan perkembangan serupa itu tidak ragu-ragu lagi
anak-anak Abd Manaf membuat perjanjian perdamaian dengan
tetangga-tetangganya. Hasyim sendiri membuat perjanjian
sebagai tetangga baik dan bersahabat dengan Imperium Rumawi
dan dengan penguasa Ghassan. Pihak Rumawi mengijinkan
orang-orang Quraisy memasuki Suria dengan aman. Demikian
juga Abd Syams membuat pula perjanjian dagang dengan Najasyi
(Negus). Selanjutnya Naufal dan Muttalib juga membuat
persetujuan dengan Persia dan perjanjian dagang dengan pihak
Himyar di Yaman.
Mekah sekarang bertambah kuat dan bertambah makmur.
Demikian pandainya penduduk kota itu dalam perdagangan
sehingga tak ada pihak lain yang semasa yang dapat
menyainginya. Rombongan kafilah datang ke tempat itu dari
segenap penjuru dan berangkat lagi pada musim dingin dan
musim panas. Di sekitar tempat itu didirikan pasar-pasar
guna menjalankan perdagangan itu. Itu pula sebabnya mereka
jadi cekatan sekali dalam utang-piutang dan riba serta
segala sesuatu yang berhubungan dengan perdagangan. Tak ada
yang teringat akan menyaingi Hasyim yang kini sudah makin
lanjut usianya itu dalam kedudukannya sebagai penguasa
Mekah. Hanya kemudian terbayang oleh Umayya anak Abd Syams
-sepupunya - bahwa sudah tiba masanya kini ia akan bersaing.
Tetapi dia tidak berdaya, dan kedudukan itu tetap dipegang
Hasyim. Sementara itu Umayya telah meninggalkan Mekah dan
selama sepuluh tahun tinggal di Suria.
Pada suatu ketika dalam perjalanan pulang dari Suria,
ketika Hasyim melalui Jathrib dilihatnya seorang wanita
baik-baik dan terpandang, muncul di tengah-tengah orang yang
sedang mengadakan perdagangan dengan dia. Wanita itu ialah
Salma anak 'Amr dari kabilah Khazraj. Hasyim merasa
tertarik. Ditanyakannya, adakah ia sedang dalam ikatan
dengan laki-laki lain? Setelah diketahui bahwa dia seorang
janda dan tidak mau kawin lagi kecuali bila ia memegang
kebebasan sendiri, Hasyim lalu melamarnya. Dan wanita itupun
menerima, karena dia mengetahui kedudukan Hasyim di
tengah-tengah masyarakatnya.
Beberapa waktu lamanya ia tinggal di Mekah dengan
suaminya. Kemudian ia kembali ke Jathrib. Di kota ini ia
melahirkan seorang anak yang diberi nama Syaiba.
Beberapa tahun kemudian dalam suatu perjalanan musim
panas ke Ghazza (Gaza). Hasyim meninggal dunia. Kedudukannya
digantikan oleh adiknya, Muttalib. Sebenarnya Muttalib ini
masih adik Abd Syams. Tetapi dia sangat dihormati oleh
masyarakatnya. Karena sikapnya yang suka menenggang dan
murah hati oleh Quraisy ia dijuluki Al-Faidz', ("Yang
melimpah"). Dengan keadaan Muttalib yang demikian itu di
tengah-tengah masyarakatnya, sudah tentu segalanya akan
berjalan tenteram sebagaimana mestinya.
Pada suatu hari terpikir oleh Muttalib akan kemenakannya,
anak Hasyim itu. Ia pergi ke Jathrib. Dan karena anak itu
sudah besar, dimintanya kepada Salma supaya anaknya itu
diserahkan kepadanya. Oleh Muttalib dibawanya pemuda itu ke
atas untanya dan dengan begitu ia memasuki Mekah.
Orang-orang Quraisy menduga bahwa yang dibawa itu budaknya.
Oleh karena itu mereka lalu memanggilnya: Abd'l Muttalib
(Budak Muttalib). "Hai," kata Muttalib. "Dia kemenakanku
anak Hasyim yang kubawa dari Jathrib." Tetapi sebutan itu
sudah melekat pada pemuda tersebut. Orang sudah memanggilnya
demikian dan nama Syaiba yang diberikan ketika dilahirkan
sudah dilupakan orang.
Pada mulanya Muttalib ingin sekali mengembalikan harta
Hasyim untuk kemenakannya. Tetapi Naufal menolak, lalu
menguasainya. Sesudah Abd'l-Muttalib mempunyai kekuatan ia
meminta bantuan kepada saudara-saudara ibunya di Jathrib
terhadap tindakan saudara ayahnya itu dengan maksud supaya
miliknya dikembalikan kepadanya. Untuk memberikan bantuan
itu pihak Khazraj di Jathrib mengirimkan delapan puluh orang
pasukan perang. Dengan demikian Naufal terpaksa
mengembalikan harta itu.
Sekarang Abd'l-Muttalib sudah menempati kedudukan Hasyim.
Sesudah pamannya Muttalib, dialah yang mengurus pembagian
air dan persediaan makanan. Dalam mengurus dua jabatan ini
terutama urusan air - ia menemui kesulitan yang tidak
sedikit. Sampai saat itu anaknya hanyalah seorang, yaitu
Harith. Sedang persediaan air untuk tamu - sejak terserapnya
sumur Zamzam didatangkan dari beberapa sumur yang
terpencar-pencar sekitar Mekah, yang kemudian diletakkan di
sebuah kolam di dekat Ka'bah. Anak yang banyak itu akan
merupakan bantuan besar dan memudahkan pekerjaan serupa ini
serta pengawasannya sekaligus. Sebaliknya, kalau
Abd'l-Muttalib harus memikul jabatan penyediaan air dan
makanan sedang anak hanya Harith satu-satunya, tentu hal ini
akan terasa berat sekali. Ini jugalah yang lama menjadi
pikiran.
Orang-orang Arab masih selalu ingat kepada
sumur Zamzam yang telah dicetuskan oleh Mudzadz bin Amr
beberapa abad yang lalu. Menjadi harapan mereka selalu
andaikata sumur itu masih tetap ada. Dan sesuai dengan
kedudukannya Abd'l-Muttalib pun tentu lebih banyak lagi
memikirkan dam mengharapkan hal itu. Demikian kerasnya
keinginan itu hingga terbawa dalam tidurnya seolah ada suara
gaib menyuruhnya menggali kembali sumur yang pernah
menyembur di kaki Ismail neneknya dulu itu. Demikian
mendesaknya suara itu dengan menunjukkan sekali letak sumur
itu. Dan diapun memang gigih sekali ingin mencari letak
Zamzam tersebut, sampai achirnya diketemukannya juga, yaitu
terletak antara dua patung: Isaf dan Na'ila.
Ia terus mengadakan penggalian, dibantu oleh anaknya,
Harith. Waktu itu tiba-tiba air membersit dan dua pangkal
pelana emas dan pedang Mudzadz mulai tampak. Sementara itu
orang-orang lalu mau mencampuri Abd'l-Muttalib dalam urusan
sumur itu serta apa yang terdapat di dalamnya. Akan tetapi
Abd'l-Muttalib berkata: "Tidak! Tetapi marilah kita
mengadakan pembagian, antara aku dengan kamu sekalian. Kita
mengadu nasib dengan permainan qid-h (anak panah). Dua anak
panah buat Ka'bah, dua buat aku dan dua buat kamu. Kalau
anak panah itu keluar, ia mendapat bagian, kalau tidak, dia
tidak mendapat apa-apa."
Usul ini disetujui. Lalu anak-anak panah itu diberikan
kepada juru qid-h yang biasa melakukan itu di tempat Hubal
di tengah-tengah Ka'bah. Anak panah Quraisy ternyata tidak
keluar. Sekarang pedang-pedang itu buat Abd'l-Muttalib dan
dua buah pangkal pelana emas buat Ka'bah. Pedang-pedang itu
oleh Abd'l-Muttalib dipasang di pintu Ka'bah, sedang kedua
pelana emas dijadikan perhiasan dalam Rumah Suci itu. Abd'l
Muttalib meneruskan tugasnya mengurus air untuk keperluan
tamu, sesudah sumur Zamzam dapat berjalan lancar.
Karena tidak banyak anak, Abd'l-Muttalib di tengah-tengah
masyarakatnya sendiri itu merasa kekurangan tenaga yang akan
dapat membantunya. Ia bernadar; kalau sampai beroleh sepuluh
anak laki-laki kemudian sesudah besar-besar tidak beroleh
anak lagi seperti ketika ia menggali sumur Zamzam dulu,
salah seorang di antaranya akan disembelih di Ka'bah sebagai
kurban untuk Tuhan. Tepat juga anaknya yang laki-laki
akhirnya mencapai sepuluh orang dan takdirpun menentukan
pula sesudah itu tidak beroleh anak lagi.
Dipanggilnya semua anak-anaknya dengan maksud supaya
dapat memenuhi nadarnya. Semua patuh. Sebagai konsekwensi
kepatuhannya itu setiap anak menuliskan namanya
masing-masing di atas qid-h (anak panah). Kemudian semua itu
diambilnya oleh Abd'l-Muttalib dan dibawanya kepada juru
qid-h di tempat berhala Hubal di tengah-tengah Ka'bah.
Apabila sedang menghadapi kebingungan yang
luarbiasa, orang-orang Arab masa itu lalu minta pertolongan
juru qid-h supaya memintakan kepada Maha Dewa Patung itu
dengan jalan (mengadu nasib) melalui qid-h. Abdullah bin
Abd'l-Muttalib adalah anaknya yang bungsu dan yang sangat
dicintai.
Setelah juru qid-h mengocok anak panah yang sudah
dicantumi nama-nama semua anak-anak yang akan menjadi
pilihan dewa Hubal untuk kemudian disembelih oleh sang ayah,
maka yang keluar adalah nama Abdullah. Dituntunnya anak muda
itu oleh Abd'l-Muttalib dan dibawanya untuk disembelih
ditempat yang biasa orang-orang Arab melakukan itu di dekat
Zamzam yang terletak antara berhala Isaf dengan Na'ila.
Tetapi saat itu juga orang-orang Quraisy
serentak sepakat melarangnya supaya jangan berbuat, dan atas
pembatalan itu supaya memohon ampun kepada Hubal. Sekalipun
mereka begitu mendesak, namun Abd'l-Muttalib masih ragu-ragu
juga. Ditanyakannya kepada mereka apa yang harus diperbuat
supaya sang berhala itu berkenan. Mughira bin Abdullah dari
suku Makhzum berkata: "Kalau penebusannya dapat dilakukan
dengan harta kita, kita tebuslah."
Setelah antara mereka diadakan perundingan, mereka
sepakat akan pergi menemui seorang dukun di Jathrib yang
sudah biasa memberikan pendapat dalam hal semacam ini. Dalam
pertemuan mereka dengan dukun wanita itu kepada mereka
dimintanya supaya menangguhkan sampai besok.
"Berapa tebusan yang ada pada kalian?" tanya sang
dukun.
"Sepuluh ekor unta."
"Kembalilah ke negeri kamu sekalian," kata dukun itu.
"Sediakanlah tebusan sepuluh ekor unta. Kemudian keduanya
itu diundi dengan anak panah. Kalau yang keluar itu atas
nama anak kamu, ditambahlah jumlah unta itu sampai dewa
berkenan."
Merekapun menyetujui.
Setelah yang demikian ini dilakukan ternyata anak panah
itu keluar atas nama Abdullah juga. Ditambahnya jumlah unta
itu sampai mencapai jumlah seratus ekor. Ketika itulah anak
panah keluar atas nama unta itu. Sementara itu orang-orang
Quraisy berkata kepada Abd'l-Muttalib - yang sedang berdoa
kepada tuhannya: "Tuhan sudah berkenan."
"Tidak," kata Abd'l-Muttalib. "Harus kulakukan sampai
tiga kali." Tetapi sampai tiga kali dikocok anak panah
itupun tetap keluar atas nama unta itu juga. Barulah
Abd'l-Muttalib merasa puas setelah ternyata sang dewa
berkenan. Disembelihnya unta itu dan dibiarkannya begitu
tanpa dijamah manusia atau binatang.
Dengan begitu itulah buku-buku biografi melukiskan.
Digambarkannya beberapa macam adat-istiadat orang Arab,
kepercayaan serta cara-cara mereka melakukan upacara
kepercayaan itu. Hal ini menunjukkan sekaligus betapa
mulianya kedudukan Mekah dengan Rumah Sucinya itu di
tengah-tengah tanah Arab. At-Tabari menceritakan -
sehubungan dengan kisah penebusan ini - bahwa pernah ada
seorang wanita Islam bernadar bahwa bila maksudnya
terlaksana dalam melakukan sesuatu, ia akan menyembelih
anaknya. Ternyata kemudian maksudnya terkabul. Ia pergi
kepada Abdullah bin Umar. Orang ini tidak memberikan
pendapat. Kemudian ia pergi kepada Abdullah bin Abbas yang
ternyata memberikan fatwa supaya ia menyembelih seratus ekor
unta, seperti halnya dengan penebusan Abdullah anak
Abd'l-Muttalib. Tetapi Marwan - penguasa Medinah ketika itu
- merasa heran sekali setelah mengetahui hal itu. "Nadar
tidak berlaku dalam suatu perbuatan dosa," katanya.
Kedudukan Mekah dengan status Rumah Sucinya itu
menyebabkan beberapa daerah lain yang jauh-jauh juga membuat
rumah-rumah ibadat sendiri-sendiri, dengan maksud
mengalihkan perhatian orang dari Mekah dan Rumah Sucinya. Di
Hira pihak Ghassan mendirikan rumah suci, Abraha al-Asyram
membangun rumah suci di Yaman. Tetapi bagi orang Arab itu
tak dapat menggantikan Rumah Suci yang di Mekah, juga tak
dapat memalingkan mereka dari Kota Suci itu. Bahkan sampai
demikian rupa Abraha menghiasi rumah sucinya yang di Yaman,
dengan membawa perlengkapan yang paling mewah yang kira-kira
akan menarik orang-orang Arab - bahkan orang-orang Mekah
sendiri - ke tempat itu.
Akan tetapi setelah ternyata bahwa tujuan
orang-orang Arab itu hanya Rumah Purba itu juga, dan
orang-orang Yaman sendiripun meninggalkan rumah yang
dibangunnya itu serta menganggap ziarah mereka tidak sah
kalau tidak ke Mekah, maka sekarang tak ada jalan lain bagi
penguasa Negus itu kecuali ia harus menghancurkan rumah
Ibrahim dan Ismail itu. Dengan pasukan yang besar
didatangkan dari Abisinia dia sudah mempersiapkan perang dan
dia sendiri di depan sekali di atas seekor gajah besar.
Tatkala pihak Arab mendengar hal itu, besar sekali
kekuatirannya akan akibat yang mungkin ditimbulkan
karenanya. Suatu hal yang luarbiasa bagi mereka, kedatangan
seorang laki-laki Abisinia akan menghancurkan rumah suci
mereka dan tempat berhala-berhala mereka. Seorang laki-laki
bernama Dhu-Nafar - salah seorang bangsawan dan terpandang
di Yaman - tampil ke depan mengerahkan masyarakatnya dan
orang Arab lainnya yang bersedia berjuang melawan Abraha
serta maksudnya yang hendak menghancurkan Baitullah. Tetapi
dia tak dapat menghalangi Abraha. Malah dia sendiri terpukul
dan menjadi tawanan. Nasib yang demikian itu juga yang
menimpa Nufail bin Habib al-Khath'ami ketika ia mengerahkan
masyarakatnya dari kabilah Syahran dan Nahis, malah dia
sendiri yang tertawan, yang kemudian menjadi anggota
pasukannya dan menjadi penunjuk jalan. Ketika Abraha sampai
di Ta'if penduduk tempat itu mengatakan, bahwa rumah suci
mereka bukanlah rumah suci yang dimaksudkan Abraha. Itu
adalah rumah Lat. Kemudian ia diantar oleh orang-orang yang
bersedia menunjukkan jalan ke Mekah. Bila Abraha sudah
mendekati Mekah dikirimnya pasukan berkuda sebagai kurir.
Dari Tihama mereka dapat membawa harta benda Quraisy dan
yang lain-lain, di antaranya seratus ekor unta kepunyaan
Abd'l-Muttalib bin Hasyim. Pada mulanya orang-orang Quraisy
bermaksud mengadakan perlawanan. Tapi kemudian berpendapat,
bahwa mereka takkan mampu. Sementara itu Abraha sudah
mengirimkan salah seorang pengikutnya sebagai utusan bernama
Hunata dan Himyar untuk menemui pemimpin Mekah. Ia diantar
menghadap Abd'l-Muttalib bin Hasyim, dan kepadanya ia
menyampaikan pesan Abraha, bahwa kedatangannya bukan akan
berperang melainkan akan menghancurkan Baitullah. Kalau
Mekah tidak mengadakan perlawanan tidak perlu ada
pertumpahan darah.
Begitu Abd'l-Muttalib mendengar, bahwa mereka tidak
bermaksud berperang, ia pergi ke markas pasukan Abraha
bersama Hunata, bersama anak-anaknya dan beberapa pemuka
Mekah lainnya. Kedatangan delegasi Abd'l-Muttalib ini
disambut baik oleh Abraha, dengan menjanjikan akan
mengembalikan unta Abd'l-Muttalib. Akan tetapi segala
pembicaraan mengenai Ka'bah serta supaya menarik kembali
maksudnya yang hendak menghancurkan tempat suci itu
ditolaknya belaka. Juga tawaran delegasi Mekah yang akan
mengalah sampai sepertiga harta Tihama baginya, ditolak.
Abd'l-Muttalib dan rombongan kembali ke Mekah.
Dinasehatkannya supaya orang meninggalkan tempat itu dan
pergi ke lereng-lereng bukit, menghindari Abraha dan
pasukannya yang akan memasuki kota suci dan menghancurkan
Rumah Purba itu.
|