BAGIAN KEDUA: MEKAH, KA'BAH DAN QURAISY
(4/4)
Malam gelap gelita tatkala mereka memikirkan akan
meninggalkan kota itu dan di mana pula akan tinggal. Malam
itulah Abd'l-Muttalib pergi dengan beberapa orang Quraisy,
berkumpul sekeliling pintu Ka'bah. Dia bermohon, mereka pun
bermohon minta bantuan berhala-berhala terhadap agresor yang
akan menghancurkan Baitullah itu.
Ketika mereka sudah pergi dan seluruh Mekah sunyi dan
tiba waktunya bagi Abraha mengerahkan pasukannya
menghancurkan Ka'bah dan sesudah itu akan kembali ke Yaman,
ketika itu pula wabah cacar datang berkecamuk menimpa
pasukan Abraha dan membinasakan mereka. Serangan ini hebat
sekali, belum pernah dialami sebelumnya. Barangkali
kuman-kuman wabah itu yang datang dibawa angin dari jurusan
laut, dan. menular menimpa Abraha sendiri. Ia merasa
ketakutan sekali. Pasukannya diperintahkan pulang kembali ke
Yaman, dan mereka yang tadinya menjadi penunjuk jalan sudah
lari, dan ada pula yang mati. Bencana wabah ini makin hari
makin mengganas dan anggota-anggota pasukan yang mati sudah
tak terbilang lagi banyaknya.
Sampai juga Abraha ke Shan'a' tapi badannya sudah
dihinggapi penyakit. Tidak berselang lama kemudian diapun
mati seperti anggota pasukannya yang lain. Dan dengan
demikian orang Mekah mencatatnya sebagai Tahun Gajah. Dan
ini yang diabadikan dalam Qur'an:
"Tidakkah kau perhatikan, bagaimana Tuhanmu berbuat
terhadap pasukan orang-orang bergajah? Bukankah Dia gagalkan
rencana mereka? Dan dilepaskan di atas mereka
pasukan-pasukan burung. Melempari mereka dengan batu yang
keras membakar. Sehingga mereka seperti daun-daun kering
yang binasa berserakan. "(Qur'an 105: 1-4)
Peristiwa yang luarbiasa ini lebih memperkuat kedudukan
Mekah dalam arti agama, di samping itu telah memperkuat pula
kedudukannya dalam arti perdagangan. Juga menyebabkan
penduduknya lebih banyak memperhatikan dan memelihara
kedudukan yang tinggi dan istimewa itu serta
mempertahankannya dari segala usaha yang akan mengurangi
arti atau akan menyerang kota ini. Orang-orang Mekah lebih
bersemangat lagi mempertahankan kota mereka, mengingat
kehidupan yang mereka peroleh karenanya, hidup makmur dan
mewah sejauh yang dapat kita bayangkan kemewahan hidup
mereka di daerah padang-pasir ini, gersang dan tandus.
Kegemaran penduduk daerah ini yang luarbiasa ialah minum
nabidh (minuman keras). Dalam keadaan mabuk itu mereka
menemukan suatu kenikmatan yang tak ada taranya! Suatu
kenikmatan yang akan memudahkan mereka melampiaskan hawa
nafsu, akan menjadikan dayang-dayang dan budak-budak belian
yang diperjual-belikan sebagai barang dagangan itu lebih
memikat hati mereka. Yang demikian ini mendorong semangat
mereka mempertahankan kebebasan pribadi dan kebebasan kota
mereka serta kesadaran mempertahankan kemerdekaan dan
menangkis segala serangan yang mungkin datang dari musuh.
Yang paling enak bagi mereka bersenang-senang waktu malam
sambil minum-minum hanyalah di pusat kota sekeliling
bangunan Ka'bah.
Di tempat itu - di samping tiga ratus buah berhala atau
lebih, masing-masing kabilah dengan berhalanya -
pembesar-pembesar Quraisy dan pemuka-pemuka Mekah
duduk-duduk; masing-masing menceritakan hal-hal yang
berhubungan dengan keadaan pedalaman, dengan Yaman,
orang-orang Mundhir di Hira dan orang-orang Ghassan di
Suria, tentang datangnya kafilah serta lalu-lintas
orang-orang pedalaman.
Kejadian demikian itu sampai kepada mereka dalam bentuk
cerita, dari suatu kabilah kepada kabilah yang lain. Setiap
kabilah mempunyai "pemancar" dan "pesawat radio" yang
menerima berita-berita kemudian disiarkan kembali.
Masing-masing membawa cerita yang ada hubungannya dengan
berita-berita orang pedalaman, kisah-kisah tetangga dan
handai-tolan sambil minum-minum nabidh. Dan sesudah mereka
bermalam suntuk di Ka'bah mereka menyiapkan diri untuk hal
yang sama guna lebih memuaskan kehendak hawa-nafsu. Dengan
mata batu permata berhala-berhala itu menjenguk melihat
kepada mereka yang sedang berdagang itu, dan mereka merasa
mendapat perlindungan, karena Ka'bah itu dijadikan Rumah
Suci dan Mekah menjadi kota aman sentosa. Demikian juga
berhala-berhala mendapat jaminan mereka, bahwa tak
seorangpun Ahli Kitab akan memasuki Mekah kecuali tenaga
kerja yang takkan bicara tentang agama atau kitabnya.
Itulah sebabnya di sana tak ada koloni-koloni Yahudi
seperti di Jathrib atau Nasrani seperti di Najran. Bahkan
:Ka'bah yang dijadikan tempat paganisma yang paling suci
ketika itu mereka lindungi dari semua yang akan menghinanya,
dan merekapun berlindung ke sana dari segala serangan.
Begitulah seterusnya Mekah itu bebas berdiri sendiri,
seperti kabilah-kabilah Arab yang bebas pula berdiri
sendiri-sendiri. Mereka tidak mau kalau kebebasannya itu
diganti, dan mereka tidak pedulikan cara hidup lain selain
kebebasannya ini di bawah perlindungan berhala-berhala.
Masing-masing kabilah tidak pula terganggu, dan tidak pula
terpikir oleh mereka akan mengadakan suatu kesatuan bangsa
yang kuat, seperti yang dilakukan oleh Rumawi dan Persia
dalam meluaskan kekuasaan dan melakukan peperangan.
Oleh karena itu tetaplah kabilah-kabilah itu semua tidak
mempunyai sesuatu bentuk apapun selain cara-cara hidup
pedalaman, tempat mereka mencari padang rumput untuk ternak,
kemudian hidup di tengah-tengah itu dengan cara hidup yang
kasar, tertarik oleh segala kebebasan, kemerdekaan,
kebanggaan dan kepahlawanan.
Pada dasarnya tempat-tempat tinggal di Mekah mengelilingi
lingkungan Ka'bah. Jauh dekatnya rumah-rumah itu dari Ka'bah
tergantung dari penting dan tingginya kedudukan sesuatu
keluarga atau suku. Kaum Quraisy adalah yang terdekat
letaknya dan paling banyak berhubungan dengan Rumah Suci
itu. Merekalah yang memegang kuncinya dan kepengurusan air
Zamzam, juga segala gelar-gelar kebangsawanan menurut
paganisma ada pada mereka, yang sampai menimbulkan perang
karenanya, menyebabkan adanya persekutuan, atau
perjanjian-perjanjian perdamaian antar kabilah, yang tetap
tersimpan di dalam Ka'bah, supaya dapat disaksikan oleh sang
berhala untuk kemudian menurunkan murkanya bagi mereka yang
melanggar.
Di belakang rumah-rumah Quraisy itu menyusul pula
rumah0rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya,
diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada
tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum
gelandangan. Termasuk umat Kristen dan Yahudi di Mekah,
seperti kita sebutkan tadi - adalah juga budak.
Tempat-tempat tinggal mereka jauh dari Ka'bah malah sudah
berbatasan dengan sahara. Oleh karena itu percakapan mereka
tentang kisah-kisah agama, baik Kristen atau Yahudi, tidak
sampai mendekati telinga pemuka-pemuka Quraisy dan penduduk
Mekah umumnya. Letak mereka yang lebih jauh itu benar-benar
membuat mereka lebih rapat lagi menutup telinga. Mereka
tidak mau menyibukkan diri dengan itu. Dalam perjalanan
mereka melalui biara-biara dan tempat-tempat para rahib
sudah biasa mereka mendengar cerita serupa itu.
Hanya saja apa yang sudah mulai diperkatakan orang
tentang akan datangnya seorang nabi di tengah-tengah orang
Arab waktu itu, sudah cukup menimbulkan heboh. Abu Sufyan
pernah marah kepada Umayya bin Abi'sh-Shalt karena arang ini
sering mengulang-ulang cerita para rahib tentang hal serupa
itu. Dan barangkali sesuai dengan kedudukan Abu Sufyan juga
ketika itu ketika ia berkata kepada kawannya itu: Para rahib
itu suka membawa cerita semacam itu karena mereka tidak
mengerti soal agama mereka sendiri. Mereka memerlukan sekali
adanya seorang nabi yang akan memberi petunjuk kepada
mereka. Tetapi kita yang sudah punya berhala-berhala, yang
akan mendekatkan kita kepada Tuhan, tidak memerlukan lagi
hal serupa itu. Kita harus menentang semua pembicaraan
semacam itu.
Dapat saja ia bicara begitu. Dia, yang begitu fanatik
kepada Mekah dan kehidupan paganismanya, tak pernah
membayangkan bahwa saatnya sudah di ambang pintu, bahwa
kenabian Muhammad a.s. sudah dekat dan bahwa dari tanah Arab
pagan yang beraneka ragam itu cahaya Tauhid dan sinar
kebenaran akan memancar ke seluruh dunia.
Abdullah bin Abd'l-Muttalib sebenarnya
adalah pemuda yang berwajah tampan dan menarik. Menarik
perhatian gadis-gadis dan wanita-wanita Mekah. Lebih-lebih
lagi yang menarik perhatian mereka ialah kisah penebusan,
dan kisah seratus ekor unta yang tidak mau diterima oleh
Hubal kurang dari itu. Tetapi takdir sudah menentukan
Abdullah akan menjadi seorang ayah yang paling mulia yang
pernah dikenal sejarah. Demikian juga Aminah bint Wahb akan
menjadi ibu bagi anak Abdullah itu. Ia kawin dengan wanita
itu dan selang beberapa bulan kemudian iapun meninggal. Tak
ada lagi penebusan berupa apapun yang akan melepaskan dia
dari maut. Tinggal lagi Aminah kemudian akan melahirkan
Muhammad dan akan mati semasa yang dilahirkan itu masih
bayi.
Pada gambar berikut ini silsilah keturunan Nabi yang
menerangkan perkiraan tahun-tahun kelahiran mereka
masing-masing.
Qushayy
(lahir 400M)
|
+----------------------+----------------------+
| | |
'Abd'l-'Uzza 'Abd Manaf 'Abd'd-Dar
| (lahir 430M)
| |
| +----------+-----------+----------+
Asad | | | |
| Muttalib Hasyim Naufal 'Abd Syams
| (lahir 464M) |
Khuwailid | Umayya
| 'Abd'l-Muttalib |
+----+----+ (lahir 497M) Harb
| | | |
'Awwam Khadijah | Abu Sufyan
| | |
Zubair | Mu'awiya
|
+--------+----------+-------+--+-----------+----------+
| | | | | |
Hamzah 'Abbas 'Abdullah Abu Lahab Abu Talib Harith
(lahir 545M) |
| +----------+----------+
| | | |
MUHAMMAD 'Aqil 'Ali Ja'far
(lahir 570M) | |
| +---+---+
| | |
Muslim Hasan Husain
|
Catatan kaki:
- Kaum Sabian yang dimaksudkan di sini bukan yang
dimaksudkan dalam Qur'an (2: 62), yaitu sekta Nasrani
yang berpegang pada Taurat dan Injil yang belum mengalami
perubahan, melainkan orang-orang Harran yang disebut oleh
Ibn Taimia sebagai pusat golongan ini dan sebagai tempat
kelahiran Ibrahim atau tempat ia pindah dan Irak
(Mesopotamia). Di tempat ini terdapat kuil-kuil tempat
menyembah bintang-bintang. Kepercayaan mereka ini sebelum
datangnya agama Nasrani. Setelah datang Agama Nasrani,
kepercayaan mereka menjadi campur-baur dan dikenal
sebagai pseudo-Sabian. (Dikutip oleh al-Qasimi dalam
Mahasin't-Ta'wil, jilid 2 hal. 154-147). Juga mereka
tidak sama dengan kaum Sabaean yang berasal dari Saba di
Arab Selatan (A)
|