|
2. ORIENTALIS DAN KEBUDAYAAN ISLAM (2/6)
Ilmu ini tidak seharusnya akan menghentikan orang dari
memikirkan hari kemudian mereka serta berusaha sekuat tenaga
mengikuti jalan yang benar dan menghindarkan diri dari jalan
yang sesat. Ilmu Allah itu buat mereka masih gaib. Tetapi
akhirnya mereka akan sampai juga kepada kebenaran sekalipun
agak lambat. Tuhan telah menetapkan sifat kasih sayang itu
dalam DiriNya. Ia selalu menerima taubat hamba-Nya yang mau
bertaubat dan sudah banyak dosa yang diampuniNya. Selama
rahmat Tuhan itu meliputi segalanya, manusia tidak perlu
berputus asa akan memperoleh jalan yang benar, asal ia mau
merenungkan dan memikirkan alam semesta ini. Orang tidak
perlu berputus asa dari rahmat Tuhan kalau renungannya itu
akhirnya akan mengantarkannya ke jalan Allah. Manusia yang
celaka ialah yang tidak mengakui sifat manusianya, dan
merasa dirinya sudah terlampau besar untuk memikirkan dan
merenungkan hal-hal yang akan mengantarkan dirinya kepada
petunjuk Tuhan. Mereka itulah orang-orang yang hendak
menentang Tuhan, bukan mengharapkan beroleh rahmat Tuhan.
Jantung mereka oleh Tuhan sudah ditutup, mereka yang akan
menjadi penghuni neraka, yang akan mendapat tempat yang
paling celaka.
Apakah Orientalis-orientalis itu sudah melihat arti
jabariah Islam yang begitu tinggi, begitu luas jangkauannya?
Apakah mereka melihat bahwa anggapan mereka itu memang
sangat lemah, yang menduga bahwa jabariah Islam itu menyuruh
orang berpeluk lutut tanpa usaha atau mau menerima hidup
hina atau mau menyerah begitu saja? Disamping semua itu
ajaran ini selalu memberikan harapan, bahwa pintu rahmat dan
taubat selalu terbuka bagi barangsiapa yang mau bertaubat.
Apa yang mereka duga bahwa ajaran ini menyuruh tiap Muslim
menganggap setiap keuntungan dan malapetaka yang menimpa
dirinya sebagai takdir yang sudah ditentukan Tuhan dan oleh
karenanya ia harus diam saja, menerima segala bencana dan
kehinaan itu dengan sabar, maka semua itu jauh dari
kenyataan yang sebenarnya dari ajaran jabariah ini, yang
mengajar orang supaya selalu berjuang dan berusaha untuk
memperoleh kerelaan Allah, untuk selalu berhati teguh
sebelum tawakal kepada Allah. Apabila orang belum berhasil
mendapat sukses sekarang, hendaknya terus ia berusaha
kalau-kalau besok ia berhasil. Harapannya yang selalu pada
Tuhan agar langkahnya mendapat bimbingan ke arah yang benar,
agar mendapat pengampunan dari segala dosa, adalah pendorong
yang paling utama untuk berpikir dan berusaha terus-menerus
dalam mencapai tujuan menurut kehendak Allah. KepadaNya ia
menyembah dan kepadaNya pula ia meminta pertolongan. Tempat
orang mengharapkan petunjuk batin, dan ke sana pula
segalanya akan kembali.
Sungguh besar kekuatan yang dibangkitkan oleh ajaran yang
tinggi ini kedalam jiwa manusia! Sungguh luas jangkauan
harapan yang dibukakan itu. Kita terbimbing kepada kebaikan
selama apa yang kita kerjakan memang karena Allah. Kalau
kita sampai disesatkan oleh setan, taubat kita pun akan
diterima selama pikiran kita dapat mengalahkan nafsu kita
dan membawa kita kembali ke jalan yang lurus. Jalan lurus
ini ialah undang-undang Tuhan dalam ciptaanNya,
undang-undang yang akan menjadi penyuluh kita dengan segenap
hati dan pikiran kita, serta dengan permenungan kita akan
segala yang diciptakan Tuhan. Dan kita pun mulai berusaha
mengenal semua rahasia alam itu.
Akan tetapi, apabila sesudah itu masih ada orang yang
sesat dan mempersekutukan Tuhan, masih ada orang yang mau
melakukan kerusakan di muka bumi ini, masih ada yang mau
menutup mata dari segala arti persaudaraan, maka itu adalah
contoh yang diberikan Tuhan kepada manusia guna
memperlihatkan kekuasaan Tuhan sehingga yang demikian itu
kelak menjadi suatu teladan buat mereka. Inilah keadilan dan
rahmat Tuhan kepada seluruh umat manusia. Orang tidak akan
mencegah atau membatasi melakukan semua itu. Tetapi hukuman
yang akan diterimanya sesuai dengan perbuatan yang telah
dilakukannya.
Akan tetapi, buat apa manusia berpikir, buat apa bekerja,
kalau maut itu memang selalu mengintai mereka! Bila ajal
sudah sampai sesaat pun tak dapat diundurkan atau dimajukan.
Buat apa manusia berpikir dan buat apa pula bekerja kalau
orang yang bahagia sudah ditentukan lebih dulu akan jadi
bahagia, dan yang sengsara akan jadi sengsara?
Ini adalah pertanyaan ulangan sengaja jawabannya kita
kemukakan supaya dapat kita lihat masalah ketentuan ajal ini
dari segi lain: Apa yang sudah ditentukan Tuhan lebih dulu
ialah undang-undang alam sejak sebelum alam itu diciptakan
dan sebelum difirmankan kepadanya 'Jadilah'! maka ia pun
jadi.' Dalam melukiskan ini tak ada yang lebih tepat dari
firman Allah ini "Tuhan kamu telah menetapkan sifat kasih
sayang itu dalam DiriNya." Ini berarti bahwa kasih sayang
itu sudah menjadi sifat Tuhan dan menjadi salah satu
undang-undangNya dalam alam semesta. Tak ada suatu kewajiban
yang diharuskan terhadap DiriNya. Kewajiban memang tidak
seharusnya ada atas Yang Maha Kuasa. Dalam hal ini Allah
berfirman:
"Kami tiada akan menjatuhkan siksaan sebelum Kami
mengutus seorang rasul."
Apabila ada suatu golongan yang sesat dan kepada mereka
Tuhan tidak mengutus seorang rasul, maka undang-undang Tuhan
disini berlaku - tiada seorang dari mereka akan dijatuhi
siksaan. Buat setiap orang yang beriman, tanda-tanda
kebesaran Tuhan dalam alam ini sudah wajar sekali, bahwa
Tuhanlah yang menciptakan alam. Apabila Tuhan sudah mengutus
seorang rasul kepada suatu golongan, kemudian berlaku hukum
alam dan kehendak Tuhan atas golongan itu, yaitu bahwa
setelah diberi petunjuk ada orang dari golongan tersebut
yang masih tetap mempertahankan kesesatannya, maka orang
yang telah menganiaya dirinya sendiri itu akan menjadi
contoh buat orang lain.
Sungguh naive sekali untuk mengatakan
bahwa orang yang telah sesat ini diperlakukan tidak adil
karena telah dijatuhi hukuman atas kesesatannya, padahal
kesesatan demikian memang sudah termaktub lebih dulu
(ditentukan) terhadap dirinya. Kita mengatakan naive untuk
tidak mengatakan merendahkan Tuhan, sebab jalan pikiran yang
paling tepat akan mengatakan kepada kita, bahwa barangsiapa
yang sesat, ia telah menganiaya dirinya, bukan Tuhan yang
menganiayanya.
Untuk menjelaskan ini cukup kiranya kita mengambil contoh
seorang ayah yang penuh kasih sayang mendekatkan api kepada
anaknya yang masih bayi. Kalau sianak memegangnya,
dijauhkannya api itu seraya memberi isyarat, bahwa api itu
panas. Kemudian secara berulang-ulang api itu didekatkannya
lagi kepada sibayi, tidak apa juga kalau jari bayi itu
sampai terbakar sedikit supaya dialami sendiri dalam
kenyataan apa yang sudah diperingatkan kepadanya itu dan
supaya selalu diingat selama hidupnya. Tetapi bilamana
sesudah dewasa ia masih mau memegang api atau menceburkan
diri ke dalam api, maka apa yang sudah menimpanya itulah
ganjarannya, dan jangan ayahnya yang disalahkan, jangan ada
yang minta supaya sang ayah mengalanginya dari perbuatan
itu. Begitu juga misalnya seorang ayah yang sudah memberi
petunjuk tentang bahaya judi atau minuman keras kepada
anaknya. Maka bilamana sianak itu kelak sudah dewasa dan dia
melanggar juga apa yang sudah dilarang oleh ayahnya lalu
karenanya ia mendapat bencana, maka bukanlah sang ayah yang
kejam menganiayanya, sekalipun ia akan mampu mencegah dari
berbuat demikian. Sang ayah sama sekali bukan kejam kalau
membiarkan sianak sampai melanggar apa yang sudah menjadi
larangan, dan ini merupakan contoh buat keluarga dan
saudara-saudaranya yang lain. Begitu juga keluarga dan
saudara-saudara yang sampai ratusan atau ribuan jumlahnya
dalam sebuah kota yang memang banyak godaannya karena
pengaruh keadaan. Sudah cukup baik dan adil sekali kiranya
kalau konsekwensi yang tak dapat dihindarkan menimpa mereka
sebagai ganjaran terhadap perbuatan mereka sendiri. Itu akan
dapat memperbaiki keadaan anggota masyarakat yang lain,
meskipun apa yang telah menimpa anak-anak negeri yang aniaya
itu sangat disesalkan. Inilah contoh keadilan yang paling
sederhana dan berimbang sehubungan dengan masyarakat manusia
kita ini, seperti yang sudah kita lukiskan tadi. Apalagi
bila kita membayangkan dan membandingkan dengan alam
semesta, dengan makhluk-makhluk yang berjuta-juta banyaknya
dalam luasan ruang dan waktu yang tak terbatas! Apa yang
sudah menimpa individu dan masyarakat - karena perbuatannya
sendiri - dalam bentuk yang sudah tidak mampu lagi khayal
kita membayangkannya, semua itu baru merupakan contoh
keadilan atau keseimbangan dalam bentuknya yang sangat
sederhana.
Kalau adanya kekejaman itu kita alamatkan
kepada sang ayah, karena dia membiarkan anaknya yang sesat
itu harus menerima ganjaran kesesatannya, pada hal kesesatan
itu memang sudah termaktub atas dirinya, maka juga beralasan
sekali kekejaman demikian itu kita alamatkan kepada diri
kita sebab kita telah membunuh seekor kutu yang sangat
mengganggu, dikuatirkan akan membawa penularan kepada kita,
yang ada kalanya akan menimbulkan bencana kepada masyarakat
kalau ini sampai menular kepada orang lain. Atau karena kita
membuang batu dari dalam kandung empedu atau ginjal kita
sebab takut mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan, atau
kita memotong salah satu bagian anggota tubuh kita karena
dikuatirkan bagian yang rusak itu akan menjalar ke seluruh
badan dan akibatnya akan fatal sekali. Kalau semua itu tidak
kita lakukan, karena memang sudah termaktub atas diri kita,
kemudian kita menderita atau sampai mati karenanya, maka
yang harus disalahkan akibat bencana itu hanyalah diri kita
sendiri, sebab Tuhan sudah membukakan pintu penderitaan buat
kita, sama halnya dengan pintu taubat yang terbuka buat
orang yang berdosa. Hanya orang-orang bodoh sajalah yang
rela menerima penderitaan demikian itu dengan anggapan bahwa
itu memang sudah termaktub atas dirinya. Ini karena
kedunguan dan ketololan mereka saja.
Sementara kita melihat kutu yang dibunuh, batu yang
dibuang dan dicabutnya anggota tubuh yang sakit sungguh adil
sekali - meskipun dalam hukum alam sudah termaktub, bahwa
kutu akan mengganggu dan akan membawa penularan penyakit
kepada manusia, batu dan anggota tubuh yang sakit akan
mendesak bagian tubuh yang lain sehingga dapat membinasakan
- dengan melihat semua ini bagaimana kita tidak akan
menganggapnya suatu kebodohan yang naive sekali, yang tak
dapat diterima akal selain pikiran egoistis yang sempit,
yang melihat keadilan itu hanya dari segi kita yang
subyektif saja, dan tidak menghubungkannya kepada seluruh
masyarakat insani, atau lebih dari itu, menghubungkannya
kepada alam semesta?!
Apa artinya kutu, batu dan manusia dibandingkan dengan
alam ini? Bahkan apa artinya seluruh umat manusia
dibandingkan dengan alam? Dengan khayal kita yang sempit,
kita berusaha hendak membayangkan batas-batas alam yang
luas, dengan ruang dan waktu, dengan awal dan akhir, dan
dengan segala kata-kata yang semacam itu. Sudah tak ada
jalan lain lagi buat kita akan dapat membayangkan bentuk
alam ini selain itu, karena memang sangat terbatas sekali,
sesuai dengan pengetahuan yang ada pada kita, yang juga
terbatas, dan masih sedikit sekali. Dan yang sedikit ini
sudah cukup memperlihatkan kepada kita bahwa undang-undang
Tuhan dalam alam ialah undang-undang yang teratur dan
seimbang, yang tak berubah-ubah dan bertukar-tukar. Kita
sampai mengetahui undang-undang ini karena Tuhan
menganugerahkan kepada kita pendengaran, penglihatan dan
jantung, supaya kita melihat segala keindahan ciptaanNya
ini, dapat memahami alam sesuai dengan undang-undangNya itu.
Maka kita pun mengagungkan kemuliaan Tuhan, kita berbuat
baik menurut yang diperintahkanNya. Dan berbuat baik atas
dasar iman, buat mereka yang mengerti ialah suatu
manifestasi ibadat yang paling tinggi kepada Tuhan.
Maut ialah akhir hidup dan permulaan
hidup. Oleh karena itu yang merasa takut mati hanya mereka
yang menolak adanya hidup akhirat dan merasa takut pada
kehidupan akhirat karena perbuatan mereka yang buruk selama
dalam dunia. Mereka tidak ingin mati mengingat adanya
perbuatan tangan mereka sendiri. Akan tetapi mereka yang
memang sudah bersedia mati, ialah orang-orang yang
benar-benar beriman dan mereka yang berbuat kebaikan selama
hidup di dunia. Seperti dalam firman Allah:
"Dia Yang telah menciptakan Mati dan Hidup untuk menguji
kamu siapa diantara kamu yang lebih baik perbuatannya. Dia
Maha Kuasa, Maha Pengampun." (Qur'an, 67: 2)
Dan firmanNya lagi yang ditujukan kepada Nabi:
"Kami tidak pernah menjadikan manusia sebelum engkau itu
kekal selamanya. Kalau engkau mati, apakah mereka akan hidup
kekal? Setiap jiwa akan merasakan mati dan kamu akan Kami
uji dengan yang buruk dan yang baik sebagai suatu cobaan,
dan kamu kelak pun akan kembali kepada Kami." (Qur'an, 21:
34 - 35)
"Perumpamaan mereka yang dibebani membawa Kitab Taurat,
kemudian tidak mereka bawa, sama seperti keledai yang
membawa kitab-kitab besar. Buruk sekali perumpamaan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Tuhan itu; dan Tuhan
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Katakanlah: 'Wahai orang-orang yang menganut agama Yahudi,
kalau kamu mendakwakan bahwa kamu sahabat-sahabat Tuhan
diluar orang lain, nyatakanlah keinginanmu akan mati itu
-jika benar-benar kamu jujur. Tetapi kamu tidak akan pernah
menyatakan keinginanmu itu, karena perbuatan tangan mereka
sendiri yang telah mereka lakukan. Tuhan Maha Mengetahui
akan orang-orang yang zalim itu." (Qur'an, 62 :5 - 7)
"Dialah Yang telah mengambil jiwamu pada malam hari dan
Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang harinya.
Kemudian kamu dibangkitkan kembali supaya waktu tertentu
dapat dipenuhi. Sesudah itu kepadaNya juga tempat kamu
kembali. Kemudian kepadamu diberitahukanNya apa yang telah
kamu kerjakan." (Qur'an, 6: 60)
Inilah beberapa ayat yang sudah jelas sekali menolak apa
yang dikatakan orang bahwa jabariah Islam itu mengajar orang
bertopang dagu dan enggan berusaha. Tuhan menciptakan maut
dan hidup untuk menguji manusia, siapa daripada mereka yang
melakukan perbuatan baik. Perbuatan dalam dunia dan
balasannya sesudah mati. Mereka yang tidak berusaha, tidak
berjuang di muka bumi ini, tidak mencari nafkah sebagai
karunia Tuhan; kalau mereka tidak mau menafkahkan harta
mereka; kalau mereka tidak mau mengutamakan sahabatnya
meskipun mereka sendiri dalam kekurangan, mereka telah
melanggar perintah Tuhan.
Sebaliknya, bilamana semua itu mereka lakukan dengan
baik, perbuatan mereka akan diterima baik oleh Allah dan
pada hari kemudian mendapat pahala dan balasan yang baik.
Tuhan akan menguji kita dalam hidup kita ini dengan yang
baik dan yang buruk sebagai suatu cobaan. Dengan otak kita,
kita juga yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk. Barangsiapa berbuat baik seberat atom pun akan
dilihatnya, barangsiapa berbuat keburukan seberat atom juga
akan dilihatnya. Kalau apa yang sudah menimpa kita itu bukan
karena sudah ditentukan Tuhan terhadap diri kita, niscaya
itu akan membuat kita lebih tekun melakukan kebaikan untuk
melihat hasil yang baik pula. Sesudah itu sama saja buat
kita: adakah Tuhan akan menjadikan kita manusia yang kuat,
yang masih giat bekerja, atau akan dikembalikan ke usia yang
sudah pikun, yang sudah tidak dapat kita ketahui lagi apa
yang dulunya sudah pernah kita ketahui. Kriterium atau
ukuran hidup seseorang bukanlah dari jumlah tahun yang sudah
ditempuhnya, melainkan dari perbuatan-perbuatan baik apa
yang sudah dilakukannya selama itu, dan yang akan menjadi
peninggalannya. Mereka yang sudah meninggal di jalan Tuhan
(dalam berbuat kebaikan), dalam pandangan Tuhan mereka
hidup, di tengah-tengah kita juga kenangan mereka tetap
hidup. Berapa banyak nama-nama yang tetap kekal selama
berabad-abad karena orang-osrang itu telah mengabdikan diri
dan segala daya upayanya untuk kebaikan, mereka itu berada
di tengah-tengah kita yang masih hidup, sungguh pun mereka
telah berpulang sejak ratusan tahun yang lalu.
"Apabila sudah tiba waktunya, mereka takkan dapat
mengundurkan atau memajukannya barang sedikit pun juga."
Inilah yang benar. Hanya ini yang sesuai dengan hukum
alam. Manusia sudah mempunyai batas waktu yang takkan dapat
dilampauinya. Sama halnya dengan matahari dan bulan, sudah
mempunyai waktu-waktu gerhana yang tidak berubah-ubah, tak
dapat dimajukan atau diundurkan. Waktu yang sudah ditentukan
ini lebih mendorong orang untuk berusaha dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang baik. Ia akan berusaha sekuat
tenaga.
Ia tidak tahu kapan ia akan menemui ajalnya. Bilamana
ajal itu sampai maka balasannya apa yang sudah
dikerjakannya. Di hadapan kita setiap hari sudah ada
buktinya bahwa ajal itu takdir yang tak dapat dielakkan. Ada
orang yang mati dengan tiba-tiba dan orang tidak tahu apa
sakitnya. Ada orang yang sakit, yang sudah sekian puluh
tahun menderita dan merintih melawan penyakitnya itu sampai
ia tua serta sudah tak bertenaga lagi. Dari kalangan
kedokteran dewasa ini ada yang berpendapat bahwa manusia itu
dilahirkan dalam proses pembentukannya sudah ada benih yang
menentukan hidupnya. Jarak waktu yang akan ditempuh oleh
benih itu untuk mencapai tujuannya yang terakhir dapat pula
diketahui asal saja benihnya sendiri dapat kita ketahui.
Tetapi untuk mengetahui benih ini bukan soal yang begitu
mudah. Adakalanya ia dalam bentuk fisik, tersembunyi dalam
salah satu bagian dalam tubuh - bagian yang penting atau
tidak penting - adakalanya dalam bentuk psychis dalam
pikiran kita, bertalian dengan lapisan-lapisan otak yang
akan mendorong pihak yang bersangkutan hidup berpetualang
dan mau menghadapi bahaya, atau sebagai pemberani. Allah
mengetahui belaka semua itu. Dia yang mengetahui saat
kematian setiap manusia itu akan tiba, menurut hukum alam,
tanpa dapat diubah dan ditukar-tukar.
Sebagai tanda kasih sayang Tuhan, Ia tidak akan menjatuhkan
siksaan sebelum mengutus seorang rasul yang akan memberikan
bimbingan kepada manusia dalam mencapai Kebenaran serta
menjelaskan pula jalan kebaikan yang harus ditempuhnya.
Sekiranya Tuhan akan menghukum manusia karena perbuatan
mereka yang salah, niscaya takkan ada makhluk hidup di muka
bumi ini yang akan ketinggalan. Tuhan menunda mereka sampai
pada waktu tertentu sampai mereka dapat mendengarkan dan mau
menerima ajakan para rasul itu dan tidak sampai benar mereka
terpesona oleh godaan hidup duniawi. Tuhan tidak mengutus
para rasul itu dari kalangan raja-raja, orang-orang kaya,
orang-orang berpangkat atau dari kalangan orang cerdik
pandai. Mereka diutus dari kalangan rakyat jelata. Nabi
Ibrahim tukang kayu, ayahnya pun tukang kayu. Nabi Isa juga
tukang kayu di Nazareth. Juga tidak sedikit dari nabi-nabi
itu yang tadinya penggembala kambing, termasuk Nabi penutup
Muhammad 'alaihissalam. Tuhan mengutus para rasul dari
rakyat jelata itu untuk memperlihatkan bahwa Kebenaran itu
bukan menjadi milik orang-orang kaya atau orang-orang kuat
melainkan milik orang yang mencari Kebenaran demi kebenaran
semata. Kebenaran yang azali, yang abadi, ialah orang yang
baru sempurna imannya apabila ia sudah dapat mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.
|