Characters: 13035 Lines: 253 Words: 1703 Sentences: 134
Paragraphs: 112
PENGANTAR CETAKAN KEDUA (3/9)
QUR'AN TIDAK DIUBAH-UBAH
Ia percaya sekali kepada kaum Orientalis dan kepada
pendapat mereka. Memang ada segolongan Orientalis yang
beranggapan seperti yang dikutipnya itu. Tetapi anggapan
mereka ini menunjukkan, bahwa mereka terdorong oleh
maksud-maksud yang tak ada hubumgannya dengan ilmu
pengetahuan. Hal ini sudah bukan rahasia lagi. Sebagai
bukti, cukup apa yang mereka katakan, bahwa versi "Dan
membawa berita gembira dengan kedatangan seorang rasul
sesudahku, namanya Ahmad," yang tersebut dalam Surah
"Ash-Shaf" (61) ayat 6, adalah ditambahkan sesudah Nabi
wafat untuk dijadikan bukti atas kenabian Muhammad dan
Risalahnya dari Kitab-kitab Suci sebelum Qur'an.
Andaikata yang berpendapat demikian ini dari kalangan
Orientalis yang benar-benar jujur demi ilmu pengetahuan,
tentu tidak perlu mereka bersandar kepada argumen semacam
itu, yang bagi mereka juga berlaku bahwa Bible itu memang
kitab-kitab suci. Kalau mereka memang mau mencari ilmu untuk
ilmu, tentu akan mereka samakan Qur'an dengan kitab-kitab
suci sebelum itu, yakni menganggapnya sebagai kitab suci
juga dengan menyebutkan, bahwa kitab-kitab suci yang sudah
dikenal orang sebelumnya adalah wajar, tak perlu lagi
dibantah, atau menganggap kitab-kitab suci itu semua sama
juga dengan anggapannya terhadap Qur'an. Terhadap keduanya
itu pendapat merekapun tentu akan serupa, dengan menentukan
bahwa itu diadakan untuk maksud-maksud agama atau politik
tertentu juga. Andaikata memang ini pendapat mereka, maka
selesailah sudah logika demikian itu. Pendirian mereka
tentang adanya perubahan dalam Qur'an untuk maksud politik
dan agama tadi, dengan sendirinya jadi gugur pula.
Bagi kaum Muslimin tidak perlu lagi mencari bukti dari
kitab-kitab suci itu sesudah raja-raja mereka dan imperium
Kristen seperti juga bangsa-bangsa lain di dunia menerimanya
dan sesudah orang-orang Kristen sendiri beramai-ramai,
bahkan bangsa-bangsa secara keseluruhan, menganut agama
Islam. Inilah logika yang berlaku bagi penyelidikan yang
murni ilmiah.
Adapun adanya anggapan Taurat dan Injil itu kitab-kitab
suci dan menolak sifat demikian pada Qur'an, maka ini adalah
hal yang tak diterima oleh ilmu pengetahuan. Sedang pendapat
yang mengatakan adanya perubahan dalam Qur'an karena bukti
dari Taurat dan Injil, itu adalah omong-kosong, tidak pula
diterima oleh logika.
Dari kalangan Orientalis yang paling fanatik sekalipun,
sedikit sekali yang beranggapan seburuk itu. Sebaliknya
sebagian besar mereka sepakat, bahwa Qur'an yang kita baca
sekarang ini, itu jugalah Qur'an yang dibacakan oleh
Muhammad kepada kaum Muslimin semasa hidupnya, tanpa suatu
cacat atau perubahan apapun.- Mereka ingin sekali
menyebutkan hal ini, sekalipun - dalam bentuk kritik -
mereka kaitkan dengan cara pengumpulan Qur'an dan penyusunan
Surah-surah yang pembahasannya tentu di luar bidang studi
ini.
Kalangan Muslimin sendiri yang sudah mencurahkan
perhatiannya dalam seluk-beluk ilmu Qur'an telah menerima
bermacam-macam kritik dan sudah mereka tangkis pula. Adapun
yang mengenai masalah yang kita hadapi sekarang ini,
cukuplah kalau kita mengutip apa yang dikatakan kalangan
Orientalis sendiri dalam hal ini, kalau-kalau si Muslim
Mesir yang kita bicarakan artikelnya itu akan merasa puas,
demikian juga mereka yang masih berpikir semacam dia akan
turut merasa puas pula.
PENDAPAT MUIR
Sebenarnya apa yang diterangkan kaum Orientalis dalam hal
ini cukup banyak. Tapi coba kita ambil apa yang ditulis oleh
Sir William Muir dalam The Life of Mohammad supaya mereka
yang sangat berlebih-lebihan dalam memandang sejarah dan
dalam memandang diri mereka yang biasanya menerima begitu
saja apa yang dikatakan orang tentang pemalsuan dan
perubahan Qur'an itu, dapat melihat sendiri. Muir adalah
seorang penganut Kristen yang teguh dan yang juga berdakwah
untuk itu. Diapun ingin sekali tidak akan membiarkan setiap
kesempatan melakukan kritik terhadap Nabi dan Qur'an, dan
berusaha memperkuat kritiknya.
Ketika bicara tentang Qur'an dan akurasinya yang sampai
kepada kita, Sir William Muir menyebutkan:
"Wahyu Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca
beberapa ayat merupakan bagian pokok dari sembahyang
sehari-hari yang bersifat umum atau khusus. Melakukan
pembacaan ini adalah wajib dan sunah, yang dalam arti agama
adalah perbuatan baik yang akan mendapat pahala bagi yang
melakukannya. Inilah sunah pertama yang sudah merupakan
konsensus. Dan itu pula yang telah diberitakan oleh wahyu.
Oleh karena itu yang hafal Qur'an di kalangan Muslimin yang
mula-mula itu banyak sekali, kalau bukan semuanya.
Sampai-sampai di antara mereka pada awal masa kekuasaan
Islam itu ada yang dapat membaca sampai pada ciri-cirinya
yang khas. Tradisi Arab telah membantu pula mempermudah
pekerjaan ini. Kecintaan mereka luar biasa besarnya. Oleh
karena untuk memburu segala yang datang dari para penyairnya
tidak mudah dicapai, maka seperti dalam mencatat segala
sesuatu yang berhubungan dengan nasab keturunan dan
kabilah-kabilah mereka, sudah biasa pula mereka mencatat
sajak-sajak itu dalam lembaran hati mereka sendiri. Oleh
karena itu daya ingat (memori) mereka tumbuh dengan subur.
Kemudian pada masa itu mereka menerima Qur'an dengan
persiapan dan dengan jiwa yang hidup. Begitu kuatnya daya
ingat sahabat-sahabat Nabi, disertai pula dengan kemauan
yang luar biasa hendak nnenghafal Qur'an, sehingga mereka,
bersama-sama dengan Nabi dapat mengulang kembali dengan
ketelitian yang meyakinkan sekali segala yang diketahui dari
pada Nabi sampai pada waktu mereka membacanya itu."
"Sungguhpun dengan tenaga yang sudah menjadi ciri khas
daya ingatnya itu, kita juga bebas untuk tidak melepaskan
kepercayaan kita bahwa kumpulan itu adalah satu-satunya
sumber. Tetapi ada alasan kita yang akan membuat kita yakin,
bahwa sahabat-sahabat Nabi menulis beberapa macam naskah
selama masa hidupnya dari berbagai macam bagian dalam
Qur'an. Dengan naskah-naskah inilah hampir seluruhnya Qur'an
itu ditulis. Pada umumnya tulis-menulis di Mekah sudah
dikenal orang jauh sebelum masa kerasulan Muhammad. Tidak
hanya seorang saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan
kitab-kitab dan surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang
dapat mengajarkan tulis-menulis di Mekah sudah dikenal orang
jauh sebelum masa kerasulan Muhammad. Tidak hanya seorang
saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan
surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang dapat mengajarkan
tulis-menulis kepada kaum Anshar di Medinah, sebagai
imbalannya mereka dibebaskan. Meskipun penduduk Medinah
dalam pendidikan tidak sepandai penduduk Mekah, namun banyak
juga di antara mereka yang pandai tulis-menulis sejak
sebelum Islam. Dengan adanya kepandaian menulis ini, mudah
saja kita mengambil kesimpulan tanpa salah, bahwa ayat-ayat
yang dihafal menurut ingatan yang sangat teliti itu, itu
juga yang dituliskan dengan ketelitian yang sama pula."
"Kemudian kitapun mengetahui, bahwa Muhammad telah
mengutus seorang sahabat atau lebih kepada kabilah-kabilah
yang sudah menganut Islam, supaya mengajarkan Qur'an dan
mendalami agama. Sering pula kita membaca, bahwa ada
utusan-utusan yang pergi membawa perintah tertulis mengenai
masalah-masalah agama itu. Sudah tentu mereka membawa apa
yang diturunkan oleh wahyu, khususnya yang berhubungan
dengan upacara-upacara dan peraturan-peraturan Islam serta
apa yang harus dibaca selama melakukan ibadat."
PENULISAN QUR'AN PADA ZAMAN NABI
"Qur'an sendiripun menentukan adanya itu dalam bentuk
tulisan. Begitu juga buku-buku sejarah sudah menentukan
demikian, ketika menerangkan tentang Islamnya Umar, tentang
adanya sebuah naskah Surat ke-20 [Surah Taha] milik
saudaranya yang perempuan dan keluarganya. Umar masuk Islam
tiga atau empat tahun sebelum Hijrah. Kalau pada masa
permulaan Islam wahyu itu ditulis dan saling dipertukarkan,
tatkala jumlah kaum Muslimin masih sedikit dan mengalami
pelbagai macam siksaan, maka sudah dapat dipastikan sekali,
bahwa naskah-naskah tertulis itu sudah banyak jumlahnya dan
sudah banyak pula beredar, ketika Nabi sudah mencapai puncak
kekuasaannya dan kitab itu sudah menjadi undang-undang
seluruh bangsa Arab."
BILA BERSELISIH KEMBALI KEPADA
NABI
"Demikian halnya Qur'an itu semasa hidup Nabi, dan
demikian juga halnya kemudian sesudah Nabi wafat; tetap
tercantum dalam kalbu kaum mukmin. Berbagai macam bagiannya
sudah tercatat belaka dalam naskah-naskah yang makin hari
makin bertambah jumlahnya itu. Kedua sumber itu sudah
seharusnya benar-benar cocok. Pada waktu itu pun Qur'an
sudah sangat dilindungi sekali, meskipun pada masa Nabi
masih hidup, dengan keyakinan yang luarbiasa bahwa itu
adalah kalam Allah. Oleh karena itu setiap ada perselisihan
mengenai isinya, untuk menghindarkan adanya perselisihan
demikian itu, selalu dibawa kepada Nabi sendiri. Dalam hal
ini ada beberapa contoh pada kita: 'Amr bin Mas'ud dan Ubayy
bin Ka'b membawa hal itu kepada Nabi. Sesudah Nabi wafat,
bila ada perselisihan, selalu kembali kepada teks yang sudah
tertulis dan kepada ingatan sahabat-sahabat Nabi yang
terdekat serta penulis-penulis wahyu."
PENGUMPULAN QUR'AN LANGKAH
PERTAMA
"Sesudah selesai menghadapi peristiwa Musailima - dalam
perang Ridda - penyembelihan Yamama telah menyebabkan kaum
Muslimin banyak yang mati, di antaranya tidak sedikit mereka
yang telah menghafal Qur'an dengan baik. Ketika itu Umar
merasa kuatir akan nasib Qur'an dan teksnya itu; mungkin
nanti akan menimbulkan keragu-raguan orang bila mereka yang
telah menyimpannya dalam ingatan itu, mengalami suatu hal
lalu meninggal semua. Waktu itulah ia pergi menemui Khalifah
Abu Bakr dengan mengatakan: "Saya kuatir sekali pembunuhan
terhadap mereka yang sudah hafal Qur'an itu akan terjadi
lagi di medan pertempuran lain selain Yamama dan akan banyak
lagi dari mereka yang akan hilang. Menurut hemat saya,
cepat-cepatlah kita bertindak dengan memerintahkan
pengumpulan Qur'an."
"Abu Bakr segera menyetujui pendapat itu. Dengan maksud
tersebut ia berkata kepada Zaid bin Thabit, salah seorang
Sekretaris Nabi yang besar: "Engkau pemuda yang cerdas dan
saya tidak meragukan kau. Engkau adalah penulis wahyu pada
Rasulullah s.a.w. dan kau mengikuti Qur'an itu; maka
sekarang kumpulkanlah."
"Oleh karena pekerjaan ini terasa tiba-tiba sekali di
luar dugaan, mula-mula Zaid gelisah sekali. Ia masih
meragukan gunanya melakukan hal itu dan tidak pula menyuruh
orang lain melakukannya. Akan tetapi akhirnya ia mengalah
juga pada kehendak Abu Bakr dan Umar yang begitu mendesak.
Dia mulai berusaha sungguh-sungguh mengumpulkan surah-surah
dan bagian-bagiannya dari segenap penjuru, sampai dapat juga
ia mengumpulkan yang tadinya di atas daun-daunan, di atas
batu putih, dan yang dihafal orang. Setengahnya ada yang
menambahkan, bahwa dia juga mengumpulkannya dari yang ada
pada lembaran-lembaran, tulang-tulang bahu dan rusuk unta
dan kambing. Usaha Zaid ini mendapat sukses."
"Ia melakukan itu selama dua atau tiga tahun
terus-menerus, mengumpulkan semua bahan-bahan serta menyusun
kembali seperti yang ada sekarang ini, atau seperti yang
dilakukan Zaid sendiri membaca Qur'an itu di depan Muhammad,
demikian orang mengatakan. Sesudah naskah pertama lengkap
adanya, oleh Umar itu dipercayakan penyimpanannya kepada
Hafsha, puterinya dan isteri Nabi. Kitab yang sudah dihimpun
oleh Zaid ini tetap berlaku selama khilafat Umar, sebagai
teks yang otentik dan sah.
"Tetapi kemudian terjadi perselisihan mengenai cara
membaca, yang timbul baik karena perbedaan naskah Zaid yang
tadi atau karena perubahan yang dimasukkan ke dalam
naskah-naskah itu yang disalin dari naskah Zaid. Dunia Islam
cemas sekali melihat hal ini. Wahyu yang didatangkan dari
langit itu "satu," lalu dimanakah sekarang kesatuannya?
Hudhaifa yang pernah berjuang di Armenia dan di Azerbaijan,
juga melihat adanya perbedaan Qur'an orang Suria dengan
orang Irak."
|