|
KATA PERKENALAN
Oleh almarhum Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi
(Rektor Magnificus Universitas Al-Azhar)
SEJAK manusia berada di permukaan bumi ini, hasratnya
ingin mengetahui segala hukum dan kodrat alam yang terdapat
di sekitarnya, besar sekali. Makin dalam ia meneliti, makin
tampak kepadanya kebesaran alam itu, melebihi yang semula.
Kelemahan dirinya makin tampak pula dan keangkuhannyapun
makin berkurang.
Demikianlah, Nabi yang membawa Islam itupun sama pula
dengan alam itu. Sejak bumi ini menerima cahaya Nabi, para
ulama berusaha mencari segi-segi kemanusiaan yang besar
daripadanya, mencari nilai-nilai Asma Allah dalam
pemikirannya, dalam akhlaknya, dalam ilmunya. Dan kalaupun
mereka mampu mencapai pengetahuan itu seperlunya, namun
sampai kini pengetahuan yang sempurna belum juga mereka
capai. Perjuangan yang mereka hadapi masih panjang, jaraknya
masih jauh, jalannyapun tak berkesudahan.
Kenabian adalah anugerah Tuhan, tak dapat dicapai dengan
usaha. Akan tetapi ilmu dan kebijaksanaan Allah yang
berlaku, diberikan kepada orang yang bersedia menerimanya,
yang sanggup memikul segala bebannya. Allah lebih mengetahui
di mana risalah-Nya itu akan ditempatkan. Muhammad s.a.w.
sudah disiapkan membawa risalah (misi) itu ke seluruh dunia,
bagi si putih dan si hitam, bagi si lemah dan si kuat. Ia
disiapkan membawa risalah agama yang sempurna, dan dengan
itu menjadi penutup para nabi dan rasul, yang hanya
satu-satunya menjadi sinar petunjuk, sekalipun nanti langit
akan terbelah, bintang-bintang akan runtuh dan bumi inipun
akan berganti dengan bumi dan angkasa lain.
Kesucian para nabi dalam membawa risalah dan meneruskan
amanat wahyu itu, adalah masalah yang tak dapat dimasuki
oleh kaum cendekiawan. Bagi para nabi, sudah tak ada pilihan
lain. Mereka menerima risalah dan amanat, dan itu harus
disampaikan, sesudah mereka diberi cap dengan stempel
kenabian. Tugas menyampaikan amanat demikian itu sudah
menjadi konsekwensi wajar bagi seorang nabi, yang tak dapat
dielakkan. Akan tetapi, tidak selamanya wahyu itu menyertai
para nabi dalam tiap perbuatan dan kata-kata mereka. Mereka
juga tidak bebas dari kesalahan. Bedanya dengan manusia
biasa, Allah tidak membiarkan mereka hanyut dalam kesalahan
itu sesudah sekali terjadi, dan kadang mereka segera
mendapat teguran.
Muhammad s.a.w. telah mendapat perintah Tuhan guna
menyampaikan amanat itu, dengan tidak dijelaskan jalan yang
harus ditempuhnya, baik dalam cara menyampaikan risalah atau
dalam cara, mempertahankannya. Pelaksanaannya diserahkan
kepadanya, menurut kemampuan akalnya, pengetahuannya dan
kecerdasannya, sebagaimana biasa dilakukan oleh kaum
cerdik-pandai lainnya. Kemudian datang wahyu memberikan
penjelasan secara tegas tentang segala sesuatu yang mengenai
Zat Tuhan, ke-EsaanNya, Sifat-sifatNya serta cara-cara
beribadat. Tetapi tidak demikian tata-cara kemasyarakatan,
dalam keluarga, tentang desa dan kota, tentang negara, baik
yang berdiri sendiri atau yang terikat oleh negara-negara
lain.
Di samping itu masih banyak sekali bidang lain yang harus
diselidiki sehubungan dengan kebesaran Nabi s.a.w. sebelum
datangnya wahyu. Juga tidak kurang kebesaran itu yang harus
diselidiki sesudah datangnya wahyu. Ia menjadi utusan Tuhan
dan mengajak orang kepadaNya. Ia melindungi ajakannya
(dakwah) itu serta membela kebebasan para penganjurnya. Ia
menjadi pemimpin umat Islam, menjadi panglima perangnya; ia
menjadi mufti, menjadi hakim dan organisator seluruh
jaringan komunikasi dalam hubungan sesamanya dan
antar-bangsa. Dalam segala hal ia dapat menegakkan keadilan.
Ia mempersatukan bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok itu,
sesuai dengan yang dapat diterima akal sehat. Ia telah
memperlihatkan kemampuannya berpikir, ketenangannya serta
pandangannya yang jauh. Ia dapat memperlihatkan
kecerdasannya serta kemampuannya berpikir cepat dan tepat
dengan keteguhan hati terhadap setiap kata dan perbuatan. Ia
telah menjadi sumber ilmu dan pengetahuan. Ia menjadi
lambang kefasihan, yang menyebabkan para ahli dalam bidang
itu harus takluk dan menundukkan kepala, mengakui kebesaran
dan kedahsyatannya. Akhirnya ia melepaskan dunia fana ini
dengan rela hati atas pekerjaannya, yang juga sudah mendapat
kerelaan Allah dan kaum Muslimin pula.
Semua segi itu perlu sekali dijadikan bahan studi dan
perlu mendapat pengamatan yang lebih teliti. Supaya semua
segi itu dapat dilaksanakan dengan baik, tentu tidak dapat
dilakukan oleh hanya seorang saja. Bahkan satu segi sajapun
takkan dapat dicapai.
Sebagaimana terhadap sejarah hidup orang-orang besar
umumnya, orang biasanya suka menambahkan hal-hal yang tidak
semestinya, demikian juga terhadap sejarah hidup Muhammad
s.a.w. --baik karena didorong oleh rasa cinta dan maksud
baik, ataupun karena didorong oleh rasa dengki dan maksud
jahat. Hanya bedanya dari biografi orang-orang besar itu
ialah, bahwa di sini tidak sedikit yang disertai dengan
wahyu Ilahi dan jaminan akan terpeliharanya Qur'an Suci,
disamping tidak sedikit pula keterangan-keterangan dari
mereka yang hafal Qur'an daripada ahli-ahli hadis yang dapat
dipercaya. Atas landasan-landasan yang kuat itulah penulisan
sejarah harus didasarkan, dan dari situ pula para sarjana
harus mengambil sumber-sumber pemikiran dan penelitiannya.
Kemudian lalu membuat suatu analisa yang benar-benar ilmiah
sifatnya, dengan melihat suasana lingkungan dan milieu serta
kepercayaan-kepercayaan, susunan masyarakat dan
adat-istiadat dari segala seginya yang berbagai ragam
itu.
Dalam hal ini Dr. Haekal telah menyelesaikan karyanya,
Hayat Muhammad, tentang peri hidup Muhammad s.a.w.
Dengan senang hati sekali saya telah membaca sebagian buku
itu sebelum seluruhnya selesai dicetak. Di kalangan pembaca
berbahasa Arab Dr. Haekal sudah cukup dikenal dengan
karya-karyanya yang tidak sedikit jumlahnya, sehingga tidak
perlu lagi rasanya diperkenalkan. Dia adalah seorang sarjana
hukum dan ahli filsafat. Posisi dan sifat jabatannya
memungkinkan dia mengadakan hubungan dengan kebudayaan lama
dan kebudayaan modern. Dalam hal ini ia telah dapat
melaksanakan tugas itu sebaik-baiknya. Ia sering bertukar
pikiran dan berdiskusi mengenai masalah-masalah kepercayaan,
pandangan hidup, mengenai kaidah-kaidah sosial, politik dan
sebagainya. Dengan demikian ia berpikir lebih matang,
pengalaman dan pengetahuannyapun makin luas, pandangannya
juga cukup jauh pula. Ia dapat mempertahankan pendapatnya
itu dengan logika dan argumentasi yang kuat , dengan gayanya
yang khas dan sudah cukup dikenal.
Dengan intelegensia dan kemampuan semacam itulah Dr.
Haekal menulis bukunya itu. Dalam kata pengantarnya ia
menyebutkan:
"Sungguhpun begitu saya tidak beranggapan, bahwa
saya sudah sampai ke tujuan terakhir dalam menyelidiki
sejarah hidup Muhammad. Bahkan barangkali akan lebih
tepat bila saya katakan, bahwa saya baru dalam taraf
permulaan mengadakan penyelidikan dengan metoda ilmiah
yang baru dalam bahasa Arab ini.
Mungkin pembaca akan terkejut bila saya katakan, bahwa
antara dakwah Muhammad dengan metoda ilmiah modern
mempunyai persamaan yang besar sekali. Metoda ilmiah ini
ialah mengharuskan kita --apabila kita hendak mengadakan
suatu penyelidikan-- terlebih dulu kita membebaskan diri
dari segala prasangka, pandangan hidup dan kepercayaan
yang sudah ada pada diri kita, yang berhubungan dengan
penyelidikan itu. Di situlah kita memulai dengan
mengadakan observasi dan eksperimen, mengadakan
perbandingan yang sistematis, kemudian baru dengan
silogisma yang sudah didasarkan kepada premisa-premisa
tadi. Apabila semua itu sudah dapat disimpulkan, maka
kesimpulan demikian itu pun dengan sendirinya masih perlu
dibahas dan diselidiki lagi. Tetapi bagaimanapun juga ini
sudah merupakan suatu data ilmiah selama penyelidikan
tersebut belum memperlihatkan kekeliruan. Metoda ilmiah
demikian ini ialah yang terbaik yang pernah --dicapai
umat manusia demi kemerdekaan berpikir. Metoda dan
dasar-dasar dakwah demikian inilah yang menjadi pegangan
Muhammad".
Bahwa metoda demikian ini adalah metoda Qur'an, hal itu
sudah tidak perlu diragukan lagi. Bagi Qur'an rasio harus
menjadi juru penengah, sedang yang harus menjadi dasar ilmu
ialah pembuktiannya. Qur'an mencela sikap meniru-niru buta
dan mereka-reka yang hanya didasarkan pada prasangka. "Dan
bahwa prasangka itu tidak berguna sedikit pun terhadap
kebenaran"1 Mengkultuskan suatu kebiasaan, yang
hanya karena dilakukan oleh nenek moyang, juga dicela.
Qur'an mengharuskan orang berdakwah itu dengan pikiran yang
bijaksana. Kekuatan mujizat Muhammad s.a.w. hanyalah dalam
Qur'an, dan mujizat ini sungguh rasionil adanya.
Sajak Bushiri2 berikut ini memang indah
sekali:
- Tidak sampai kita dicoba
- Yang akan meletihkan akal karenanya
- Sebab sayangnya kepada kita
- Kita pun tak ragu, kita pun tak sangsi.
Kalau cara pembahasan demikian ini merupakan suatu cara
yang baru, memang suatu hal yang tak dapat dielakkan. Dr.
Haekal sudah bergaul dengan ulama dan sarjana-sarjana lain
dalam hal ini. Dan memang ini pula cara Qur'an seperti sudah
dikatakannya tadi. Dan memang itu pula yang pernah ditempuh
sarjana-sarjana Islam dahulu. Coba kita lihat misalnya
buku-buku ilmu kalam (teologi spekulatif); mereka
menentukan, bahwa kewajiban kita pertama ialah mengenal
Tuhan (ma'rifatullah). Yang lain berkata: Tidak. Yang
pertama harus ditempuh ialah syak (skepsis). Lalu tak ada
jalan lain untuk mencapai ma'rifat (connaissance) itu
kecuali dengan pembuktian. Dan kalaupun itu dapat
digolongkan ke dalam pengertian syllogisma namun
premisa-premisanya harus sudah pasti dan dapat dirasakan,
dan secara intuitif akhirnya dapat pula dipahami berdasarkan
pengalaman yang sempurna dan dapat dipastikan
sungguh-sungguh, seperti sudah biasa dikenal dalam logika.
Setiap kesalahan yang dapat menyusup ke dalam
premisa-premisa itu atau ke dalam bentuk penyusunannya,
dapat merusak pembuktian tersebut.
Yang menempuh jalan demikian ini ialah Imam Ghazali.
Dalam salah satu bukunya ia mengatakan, bahwa terlebih dulu
ia membebaskan diri dari segala macam konsepsi. Kemudian
baru ia berpikir dan menimbang kembali, menyusun kembali
lalu membuat beberapa perbandingan. Dikemukakannya beberapa
argumentasi, diujinya dan dianalisa. Dari semua itu kemudian
ia memperoleh petunjuk, bahwa Islam dan tuntunan yang
diberikan menurut konsepsi Islam adalah benar. Imam Ghazali
melakukan ini guna menghindarkan hal-hal yang bersifat
taklid. Ia ingin membina keimanannya itu atas dasar iman
yang pasti, yang berlandaskan argumen dan pembuktian, yakni
iman yang kebenarannya sudah menjadi pegangan kaum Muslimin
tanpa ada khilafiah.
Juga dalam buku-buku ilmu kalam tidak sedikit kita jumpai
kisah abstraksi (pembebasan diri dari segala kepercayaan dan
konsepsi) yang sudah biasa dikenal dalam rukun iman itu,
kemudian dibahas dan ditinjaunya kembali. Abstraksi adalah
cara yang sudah lama ada, juga dengan cara-cara eksperimen
dan penyelidikan sudah lama ada. Eksperimen dan penyelidikan
yang sempurna ialah hasil daripada suatu observasi. Semua
itu bagi kita bukan barang baru. Akan tetapi cara-cara lama
ini, baik dalam teori maupun praktek, yang subur di Timur
hanyalah cara-cara taklid dengan mengabaikan peranan rasio.
Sesudah kemudian oleh orang Barat dikeluarkan kembali dalam
bentuk yang lebih matang sehingga dapat dimanfaatkan --baik
dalam teori ataupun praktek-- kitapun lalu kembali mengambil
dari sana. Demikian juga dalam ilmu pengetahuan kita
menganggapnya sebagai sesuatu yang baru pula.
Ketentuan ilmiah dalam cara penyelidikan demikian ini
sudah cukup dikenal, baik yang lama maupun yang modern.
Untuk sekedar mengetahui memang mudah, tapi melaksanakannya
itulah yang sulit. Orang tidak banyak berselisih pendapat
mengenai pengetahuan tentang hukum, misalnya. Tetapi dalam
melaksanakan ketentuan hukum itu, pendapat orang jauh sekali
berbeda-beda.
Membebaskan diri dari konsepsi, observasi dan eksperimen,
induksi dan deduksi, adalah kata-kata yang mudah. Akan
tetapi bagi orang yang sudah begitu jauh hanyut dalam beban
warisan yang sudah mendarah daging, dalam beban lingkungan,
dalam rumah tangga, dalam desa, kota, negara atau dalam
sekolah, tekanan-tekanan kepercayaan yang sudah ada,
temperamen, kesehatan, penyakit serta segala macam nafsu,
bagaimanakah akan dengan mudah melaksanakannya? Di sinilah
terletak penyakit itu, dahulu dan sekarang. Itu pula sebab
timbulnya bermacam-macam aliran dan berubah-ubahnya
pendapat, berpindah-pindah dari daerah ke daerah lain, dari
bangsa kepada bangsa lain. Seperti juga kaum wanita yang
berganti mode, filsafat dan peradaban pun berganti corak,
generasi demi generasi. Dan jarang sekali ada sesuatu yang
tak lapuk di hujan tak lekang di panas. Bahkan perubahan itu
berjalan sesuai dengan kaidah-kadiah ilmu pengetahuan yang
sejak berabad-abad tidak pernah diragukan. Terhadap teori
relativitas misalnya, para sarjanapun goyah dan cepat-cepat
merombaknya. Pendapat-pendapat tentang patologi, tentang
terapi, tentang gizi, semua ini masih dalam proses yang
berubah-ubah. Demikian juga apabila kita perhatikan pelbagai
macam produk otak manusia tidak pernah stabil sebelum
disertai pembuktian dengan syarat-syarat yang cukup.
Akan tetapi apa artinya semua ini meskipun sudah
dilengkapi dengan segala pembuktian, bila dibandingkan
dengan yang lain, yang sudah penuh dengan segala macam
prasangka dan angan-angan, yang sudah sarat oleh
pikiran-pikiran yang sakit atau di bawah tekanan politik.
Hal inilah yang diketengahkan oleh para ulama dan sarjana
yang gemar mengadakan pertentangan dengan pihak lain, dengan
melahirkan aliran-aliran dan pendapat-pendapat demikian itu!
Kekacauan pikiran ini mungkin akan mengurangi semangat ulama
atau sarjana-sarjana yang hanya mendewa-dewakan akal semata.
Dan pada waktunya akan mengalihkan pandangan mereka kepada
kebenaran dan keimanan, yakni wahyu yang sebenarnya, yaitu
Qur'an Suci dan Sunah yang sahih.
Baiklah, sekarang kita kembali kepada Dr. Haekal dan
bukunya ini.
Beberapa ahli ilmu kalam mengatakan, bahwa dengan
memperhatikan astronomi dan anatomi jelas sekali menunjukkan
sempurnanya kodrat Ilahi tentang susunan alam ini. Dan
sayapun memperkuat pendapat ini, bahwa ilmu pengetahuan dan
penemuan mengenai ketentuan-ketentuan serta segenap rahasia
alam semesta inipun akan menjadi pendukung agama, akan
memperdekat pikiran manusia menempuh jalan pengertian yang
tadinya masih kabur, yang tadinya masih di luar jangkauan
otaknya. Akhirnya akan dapat memahami, sejalan seperti yang
difirmankan Tuhan: "Akan segera Kami perlihatkan bukti-bukti
Kami dalam segenap penjuru alam dan dalam diri mereka
sendiri, sehingga ternyata bagi mereka bahwa inilah
Kebenaran itu. Belum cukupkah, bahwa Tuhanmu menjadi Saksi
atas segalanya?3
Soal-soal elektro dan segala yang dihasilkannya seperti
penemuan-penemuan lainnya, membantu otak kita memahami
adanya perubahan benda kepada tenaga dan tenaga kepada
benda. Demikian juga spiritualisma telah banyak menerangkan
hal-hal yang tadinya masih dipersengketakan; ternyata ini
membantu memahami adanya pembebasan ruh dan kemungkinan
terpisahnya ruh itu serta memahami kecepatan yang dimiliki
ruh itu menempuh jarak yang jauh. Dr. Haekal telah
memanfaatkan hal ini dalam mengartikan kisah Isra dengan
cara yang agak baru. Rasanya akan terlalu panjang saya
bicara bila harus menguraikan faedah yang akan kita peroleh
dari buku Dr. Haekal ini. Cukuplah kalau saya sebutkan
secara keseluruhan saja. Orang akan melihat sendiri
keindahannya, akan menikmati sendiri hasil pikirannya yang
didasarkan kepada bahan-bahan yang otentik itu, didasarkan
kepada pemikiran yang logis, yang didukung oleh bawaan
sewajarnya. Orang akan melihat bahwa Dr. Haekal sungguh
jujur dalam mencari kebenaran, keyakinan memenuhi kalbunya
akan hidayah dan nur yang dibawa dalam wahyu Muhammad, akan
keindahan, kebesaran, suri-teladan dan kemuliaan yang
terdapat dalam biografi Nabi s.a.w. Ia sudah yakin
seyakin-yakinnya, bahwa agama yang dibawa Muhammad inilah
yang akan mengangkat umat manusia dari sarang kebalauan dan
kebingungan, yang akan mengangkat mereka dari kegelapan
materi, dan menyinari mata hati mereka dengan cahaya iman,
mengantarkan mereka kepada Nur Ilahi. Mereka akan menyadari
betapa luas rahmat Tuhan yang meliputi segalanya itu, betapa
besar keagunganNya, seluruh langit dan bumi memuliakanNya
dan segala yang ada memuliakanNya; betapa besar
kekuasaanNya, segala yang ada menjadi kecil di
hadapanNya.
Seperti dikatakannya: "Dengan melihat lebih jauh dari itu
saya berpendapat, penyelidikan demikian sudah seharusnya
akan mengantarkan umat manusia ke jalan peradaban yang
selama ini dicarinya. Apabila pihak Nasrani di Barat merasa
dirinya terlampau besar akan mendapatkan cahaya baru itu
dari Islam dan dari Rasul, lalu menantikan cahaya itu akan
datang dari teosofi India dan dari pelbagai macam aliran di
Timur Jauh lainnya, maka orang-orang di Timurpun, baik umat
Islam, Yahudi atau Kristen, layak sekali bertindak
mengadakan penyelidikan berharga ini, dengan sikap yang
bersih dan jujur, yakni satu-satunya cara yang akan mencapai
kebenaran.
Cara pemikiran Islam yang pada dasarnya adalah pemikiran
ilmiah menurut metoda modern dalam hubungan manusia dengan
lingkungan hidup sekitarnya, yang dari segi ini realistik
sekali, berubah menjadi pemikiran yang subyektif ketika
masalahnya menjadi hubungan manusia dengan alam semesta dan
Pencipta alam".
Dan katanya lagi: "Akan tetapi adanya gejala-gejala akan
lenyapnya paganisma yang sekarang menguasai dunia kita,
mengemudikan kebudayaan yang berkuasa sekarang (the ruling
culture), tampak jelas sekali bagi setiap orang yang mau
mengikuti jalannya sejarah dan peristiwa-peristiwa dunia.
Apabila secara khusus dipelajari sungguh-sungguh sejarah
hidup Muhamnad itu sebagai Nabi serta ajaran-ajarannya,
masanya serta revolusi rohani yang terbesar ke seluruh
dunia, barangkali gejala-gejala ini akan makin jelas di
depan mata dunia, bahwa masalah-masalah rohani ini timbul
dari pengaruh sebagai peninggalannya."
Dan keyakinan ini diperkuat oleh kenyataan, bahwa apa
yang sekarang dapat dilihat dari perhatian pihak Barat
terhadap penyelidikan peninggalan-peninggalan Timur serta
perhatian para sarjana mengadakan studi tentang Islam dari
segala seginya, tentang umat Islam masa kini dan masa lampau
serta kesadaran sebahagian mereka terhadap diri Nabi s.a.w.,
ditambah pula oleh pengalaman yang memperkuat, bahwa
kebenaran pasti akan menang, --semua itu menunjukkan bahwa
Islam akan mengembangkan panjinya ke segenap penjuru dunia,
dan orang yang kini sangat keras memusuhinya, dia juga nanti
yang akan menjadi orang paling bersemangat membelanya, dan
mereka yang tadinya masih asing itu akan menjadi kawan
seperjuangan pula. Sebagaimana pada mulanya Islam
mendapatkan pembelaan dari orang-orang asing (dari luar)
lingkungan masyarakat tempat kelahirannya, juga akhirnya
orang-orang asing (luar) dari bahasa dan tanah airnya itu
yang akan membelanya. Islam telah dimulai secara asing dan
akan kembali asing seperti pada mulanya. Maka bahagialah
orang-orang yang asing itu!
Apabila Nabi s.a.w. adalah Nabi penutup dan takkan ada
lagi di dunia ini seorang penunjuk dan pembimbing lain
sesudah dia, dan agamanyapun agama yang sempurna sebagaimana
ditegaskan oleh wahyu, maka tidak mungkin keadaannya akan
berhenti sampai di situ saja seperti selama ini. Cahayanya
pasti akan pudar oleh yang lain, sama halnya seperti
bintang-bintang yang jadi pudar oleh sinar matahari.
Dr. Haekal yang merangkaikan peristiwa-peristiwa itu satu
sama lain memang tepat sekali. Bukunya inipun ternyata
disusun dalam komposisi dan gaya yang teratur dan kuat.
Diterangkannya alasan-alasan, maksud dan pertimbangannya
dengan keterangan yang jelas dan kuat sekali, membuat
pembaca merasa puas dan lega, merasa ada gairah dalam
membaca, merasa sejuk hatinya karena dapat diyakinkan. Ia
akan terpengaruh, akan dipaksanya terus membaca dan takkan
melepaskannya sebelum selesai.
Dalam buku ini terdapat beberapa penyelidikan berharga di
luar penulisan biografi, tetapi yang ada hubungannya dengan
soal itu yang terbawa oleh adanya penguraian lebih luas
dalam memberikan keterangan itu.
Saya sudahi pengantar saya ini dengan ucapan Rasulullah
--salam baginya dan bagi keluarganya yang suci serta
sahabat-sahabatnya: "Aku berlindung kepada Nur WajahMu, yang
telah menyinari kegelapan, dan karenanya membawakan kebaikan
bagi dunia dan akhirat - daripada kemurkaanMu yang akan
Kautimpakan kepadaku, atau kebencianMu yang akan Kauturunkan
kepadaku. KeridaanMu juga yang kuminta. Tak ada suatu daya
upaya kalau tidak dengan Allah."
15 Pebruari 1935.
MUHAMMAD NIUSTAFA AL-MARAGHI
Catatan kaki:
- Qur'an, 53: 28.
- Syarafuddin Muhammad al-Bushiri penyair Arab berasal
Barbar di Afrika Utara, lahir di Mesir sekital 1212. Ia
terkenal sekali hanya karena antologinya Al-Burda
("Mantel"). Ia pernah tinggal lama di Darussalam
(Yerusalam) kemudian di Hijaz. Puisi-puisinya yang
masyhur itu ditulis di Mekah. Pada mulanya ia menderita
penyakit lumpuh. Dalam tidurnya penyair ini konon
bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad yang datang
kepadanya dan menyelimutinya dengan mantelnya. Bushiri
terkejut bangun dan melompat, sehingga ketika itu juga ia
sembuh dari kelumpuhannya. Lalu ia menulis puisinya yang
luar biasa itu, lembut dan mengharukan, sebagai dedikasi
dan eulogi kepada Nabi Muhammad. Bushiri meninggal
sekitar tahun 1294 di Iskandaria. Al-Burda terjemahan
bahasa Inggris The Scarf dilakukan oleh Faizullah Bahi
(1893) dan dalam bahasa Indonesia oleh Dr. Moh. Tolchah
Mansoer. SH (A).
- Qur'an, 41: 53
|