BAGIAN KEDELAPAN: DARI PEMBATALAN PIAGAM SAMPAI
KEPADA ISRA'
Muhammad Husain Haekal (2/3)
Terasing seorang diri, ia pergi ke Ta'if,2
dengan tiada orang yang mengetahuinya. Ia pergi ingin
mendapatkan dukungan dan suaka dari Thaqif terhadap
masyarakatnya sendiri, dengan harapan merekapun akan dapat
menerima Islam. Tetapi ternyata mereka juga menolaknya
secara kejam sekali. Kalaupun sudah begitu, ia masih
mengharapkan mereka jangan memberitahukan kedatangannya
minta pertolongan itu, supaya jangan ia disoraki oleh
masyarakatnya sendiri. Tetapi permintaannya itupun tidak
didengar. Bahkan mereka menghasut orang-orang pandir agar
bersorak-sorai dan memakinya.
Ia pergi lagi dari sana, berlindung pada sebuah kebun
kepunyaan 'Utba dan Syaiba anak-anak Rabi'a. Orang-orang
yang pandir itu kembali pulang. Ia lalu duduk di bawah
naungan pohon anggur. Ketika itu keluarga Rabi'a sedang
memperhatikannya dan melihat pula kemalangan yang
dideritanya. Sesudah agak reda, ia mengangkat kepala
menengadah ke atas, ia hanyut dalam suatu doa yang berisi
pengaduan yang sangat mengharukan:
"Allahumma yang Allah, kepadaMu juga aku mengadukan
kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di
hadapan manusia. O Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Engkaulah yang melindungi si lemah, dan Engkaulah
Pelindungku. Kepada siapa hendak Kauserahkan daku? Kepada
orang yang jauhkah yang berwajah muram kepadaku, atau kepada
musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka
kepadaku, aku tidak peduli, sebab sungguh luas kenikmatan
yang Kaulimpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur
Wajah-Mu yang menyinari kegelapan, dan karenanya membawakan
kebaikan bagi dunia dan akhirat - daripada kemurkaanMu yang
akan Kautimpakan kepadaku. Engkaulah yang berhak menegur
hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya upaya selain dengan
Engkau juga."3
Dalam memperhatikan keadaan itu hati kedua orang anak
Rabi'a itu merasa tersentak. Mereka merasa iba dan kasihan
melihat nasib buruk yang dialaminya itu. Budak mereka,
seorang beragama Nasrani bernama 'Addas, diutus kepadanya
membawakan buah anggur dari kebun itu. Sambil meletakkan
tangan di atas buah-buahan itu Muhammad berkata:
"Bismillah!" Lalu buah itu dimakannya.
'Addas memandangnya keheranan.
"Kata-kata ini tak pernah diucapkan oleh penduduk negeri
ini," kata 'Addas.
Lalu Muhammad menanyakan negeri asal dan agama orang itu.
Setelah diketahui bahwa orang tersebut beragama Nasrani dari
Nineveh, katanya:
"Dari negeri orang baik-baik, Yunus anak Matta."
"Dari mana tuan kenal nama Yunus anak Matta!" tanya
'Addas.
"Dia saudaraku. Dia seorang nabi, dan aku juga Nabi,"
jawab Muhammad.
Saat itu 'Addas lalu membungkuk mencium kepala, tangan
dan kaki Muhammad. Sudah tentu kejadian ini menimbulkan
keheranan keluarga Rabi'a yang melihatnya. Sungguhpun begitu
mereka tidak sampai akan meninggalkan kepercayaan mereka.
Dan tatkala 'Addas sudah kembali mereka berkata:
"'Addas, jangan sampai orang itu memalingkan kau dari
agamamu, yang masih lebih baik daripada agamanya."
Gangguan orang yang pernah dialami Muhammad seolah dapat
meringankan perbuatan buruk yang dilakukan Thaqif itu,
meskipun mereka tetap kaku tidak mau mengikutinya. Keadaan
itu sudah diketahui pula oleh Quraisy sehingga gangguan
mereka kepada Muhammad makin menjadi-jadi. Tetapi hal ini
tidak mengurangi kemauan Muhammad menyampaikan dakwah Islam.
Kepada kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah, itu ia
memperkenalkan diri, mengajak mereka mengenal arti
kebenaran. Diberitahukannya kepada mereka, bahwa ia adalah
Nabi yang diutus, dan dimintanya mereka mempercayainya.
Namun sungguhpun begitu, Abu Lahab pamannya tidak
membiarkannya, bahkan dibuntutinya ke mana ia pergi.
Dihasutnya orang supaya jangan mau mendengarkan.
Muhammad sendiri tidak cukup hanya memperkenalkan diri
kepada kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah di Mekah saja,
bahkan ia mendatangi Banu Kinda4 ke rumah-rumah
mereka, mendatangi Banu Kalb,5 juga ke
rumah-rumah mereka, Banu Hanifa6 dan Banu 'Amir
bin Sha'sha'a.7 Tapi tak seorangpun dari mereka
yang mau mendengarkan. Banu Hanifa bahkan menolak dengan
cara yang buruk sekali. Sedang Banu 'Amir menunjukkan
ambisinya, bahwa kalau Muhammad mendapat kemenangan, maka
sebagai penggantinya, segala persoalan nanti harus berada di
tangan mereka. Tetapi setelah dijawab, bahwa masalah itu
berada di tangan Tuhan, merekapun lalu membuang muka dan
menolaknya seperti yang lain-lain.
Adakah kegigihan kabilah-kabilah yang mengadakan oposisi
terhadap Muhammad itu karena sebab-sebab yang sama seperti
yang dilakukan oleh Quraisy? Kita sudah melihat, bahwa Banu
'Amir ini mempunyai ambisi ingin memegang kekuasaan bila
bersama-sama mereka nanti ia mendapat kemenangan. Sebaliknya
kabilah Thaqif pandangannya lain lagi. Ta'if di samping
sebagai tempat musim panas bagi penduduk Mekah karena
udaranya yang sejuk dan buah anggurnya yang manis-manis,
juga kota ini merupakan pusat tempat penyembahan Lat. Ke
tempat itu orang berziarah dan menyembah berhala. Kalau
Thaqif ini sampai menjadi pengikut Muhammad, maka kedudukan
Lat akan hilang. Permusuhan mereka dengan Quraisypun akan
timbul, yang sudah tentu akibatnya akan mempengaruhi
perekonomian mereka pada musim dingin. Begitu juga halnya
dengan yang lain, setiap kabilah mempunyai penyakit sendiri
yang disebabkan oleh keadaan perekonomian setempat. Dalam
menentang Islam itu, pengaruh ini lebih besar terhadap
mereka daripada pengaruh kepercayaan mereka dan kepercayaan
nenek-moyang mereka, termasuk penyembahan
berhala-berhala.
Makin besar oposisi yang dilakukan kabilah-kabilah itu,
Muhammad makin mau menyendiri. Makin gigih pihak Quraisy
melakukan gangguan kepada sahabat-sahabatnya, makin pula ia
merasakan pedihnya.
Masa berkabung terhadap Khadijah itupun
sudah pula berlalu. Terpikir olehnya akan beristeri,
kalau-kalau isterinya itu kelak akan dapat juga
menghiburnya, dapat mengobati luka dalam hatinya, seperti
dilakukan Khadijah dulu. Tetapi dalam hal ini ia melihat
pertaliannya dengan orang-orang Islam yang mula-mula itu
harus makin dekat dan perlu dipererat lagi. Itu sebabnya ia
segera melamar puteri Abu Bakr, Aisyah. Oleh karena waktu
itu ia masih gadis kecil yang baru berusia tujuh tahun, maka
yang sudah dilangsungkan baru akad nikah, sedang perkawinan
berlangsung dua tahun kemudian, ketika usianya mencapai
sembilan tahun.
Sementara itu ia kawin pula dengan Sauda, seorang janda
yang suaminya pernah ikut mengungsi ke Abisinia dan kemudian
meninggal setelah kembali ke Mekah. Saya rasa pembacapun
akan dapat menangkap arti kedua ikatan ini. Arti pertalian
perkawinan dan semenda yang dilakukan oleh Muhammad itu,
nanti akan lebih jelas.
Pada masa itulah Isra' dan Mi'raj
terjadi. Malam itu Muhammad sedang berada di rumah saudara
sepupunya, Hindun puteri Abu Talib yang mendapat nama
panggilan Umm Hani'. Ketika itu Hindun mengatakan:
"Malam itu Rasulullah bermalam di rumah saya. Selesai
salat akhir malam, ia tidur dan kamipun tidur. Pada waktu
sebelum fajar Rasulullah sudah membangunkan kami. Sesudah
melakukan ibadat pagi bersama-sama kami, ia berkata: 'Umm
Hani', saya sudah salat akhir malam bersama kamu sekalian
seperti yang kaulihat di lembah ini. Kemudian saya ke
Bait'l-Maqdis (Yerusalem) dan bersembahyang di sana.
Sekarang saya sembahyang siang bersama-sama kamu seperti
kaulihat."
Kataku: "Rasulullah, janganlah menceritakan ini kepada
orang lain. Orang akan mendustakan dan mengganggumu
lagi!"
"Tapi harus saya ceritakan kepada mereka," jawabnya.
Orang yang mengatakan, bahwa Isra' dan Mi'raj Muhammad
'alaihissalam dengan ruh itu berpegang kepada keterangan Umm
Hani' ini, dan juga kepada yang pernah dikatakan oleh
Aisyah: "Jasad Rasulullah s.a.w. tidak hilang, tetapi Allah
menjadikan isra'8 itu dengan ruhnya." Juga
Mu'awiya b. Abi Sufyan ketika ditanya tentang isra' Rasul
menyatakan: Itu adalah mimpi yang benar dari Tuhan. Di
samping semua itu orang berpegang kepada firman Tuhan:
"Tidak lain mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu adalah
sebagai ujian bagi manusia." (Qur'an, 17:60)
Sebaliknya orang yang berpendapat, bahwa isra' dari Mekah
ke Bait'l-Maqdis itu dengan jasad, landasannya ialah apa
yang pernah dikatakan oleh Muhammad, bahwa dalam isra' itu
ia berada di pedalaman, seperti yang akan disebutkan
ceritanya nanti. Sedang mi'raj ke langit adalah dengan ruh.
Disamping mereka itu ada lagi pendapat bahwa isra' dan
mi'raj itu keduanya dengan jasad. Polemik sekitar perbedaan
pendapat ini di kalangan ahli-ahli iImu kalam banyak sekali
dan ribuan pula tulisan-tulisan sudah dikemukakan orang.
Sekitar arti isra' ini kami sendiri sudah mempunyai pendapat
yang ingin kami kemukakan juga. Kita belum mengetahui, sudah
adakah orang yang mengemukakannya sebelum kita, atau belum.
Tetapi, sebelum pendapat ini kita kemukakan - dan supaya
dapat kita kemukakan - perlu sekali kita menyampaikan kisah
isra, dan mi'raj ini seperti yang terdapat dalam buku-buku
sejarah hidup Nabi.
Dengan indah sekali Dermenghem melukiskan kisah ini yang
disarikannya dari pelbagai buku sejarah hidup Nabi, yang
terjemahannya sebagai berikut:
"Pada tengah malam yang sunyi dan hening, burung-burung
malampun diam membisu, binatang-binatang buas sudah berdiam
diri, gemercik air dan siulan angin juga sudah tak terdengar
lagi, ketika itu Muhammad terbangun oleh suara yang
memanggilnya: "Hai orang yang sedang tidur, bangunlah!" Dan
bila ia bangun, dihadapannya sudah berdiri Malaikat Jibril
dengan wajah yang putih berseri dan berkilauan seperti
salju, melepaskan rambutnya yang pirang terurai, dengan
mengenakan pakaian berumbaikan mutiara dan emas. Dan dari
sekelilingnya sayap-sayap yang beraneka warna bergeleparan.
Tangannya memegang seekor hewan yang ajaib, yaitu buraq yang
bersayap seperti sayap garuda. Hewan itu membungkuk di
hadapan Rasul, dan Rasulpun naik.
"Maka meluncurlah buraq itu seperti anak panah membubung
di atas pegunungan Mekah, di atas pasir-pasir sahara menuju
arah ke utara. Dalam perjalanan itu ia ditemani oleh
malaikat. Lalu berhenti di gunung Sinai di tempat Tuhan
berbicara dengan Musa. Kemudian berhenti lagi di Bethlehem
tempat Isa dilahirkan. Sesudah itu kemudian meluncur di
udara.
"Sementara itu ada suara-suara misterius mencoba
menghentikan Nabi, orang yang begitu ikhlas menjalankan
risalahnya. Ia melihat, bahwa hanya Tuhanlah yang dapat
menghentikan hewan itu di mana saja dikehendakiNya.
"Seterusnya mereka sampai ke Bait'l-Maqdis. Muhammad
mengikatkan hewan kendaraannya itu. Di puing-puing kuil
Sulaiman ia bersembahyang bersama-sama Ibrahim, Musa dan
Isa. Kemudian dibawakan tangga, yang lalu dipancangkan
diatas batu Ya'qub. Dengan tangga itu Muhammad cepat-cepat
naik ke langit.
"Langit pertama terbuat dari perak murni dengan
bintang-bintang yang digantungkan dengan rantai-rantai emas.
Tiap langit itu dijaga oleh malaikat, supaya jangan ada
setan-setan yang bisa naik ke atas atau akan ada jin yang
akan mendengarkan rahasia-rahasia langit. Di langit inilah
Muhammad memberi hormat kepada Adam. Di tempat ini pula
semua makhluk memuja dan memuji Tuhan. Pada keenam langit
berikutnya Muhammad bertemu dengan Nuh, Harun, Musa,
Ibrahim, Daud, Sulaiman, Idris, Yahya dan Isa. Juga di
tempat itu ia melihat Malaikat maut Izrail, yang karena
besarnya jarak antara kedua matanya adalah sejauh tujuh ribu
hari perjalanan. Dan karena kekuasaanNya, maka yang berada
di bawah perintahnya adalah seratus ribu kelompok. Ia sedang
mencatat nama-nama mereka yang lahir dan mereka yang mati,
dalam sebuah buku besar. Ia melihat juga Malaikat Airmata,
yang menangis karena dosa-dosa orang, Malaikat Dendam yang
berwajah tembaga yang menguasai anasir api dan sedang duduk
di atas singgasana dari nyala api. Dan dilihatnya juga ada
malaikat yang besar luar biasa, separo dari api dan separo
lagi dari salju, dikelilingi oleh malaikat-malaikat yang
merupakan kelompok yang tiada hentinya menyebut-nyebut nama
Tuhan: O Tuhan, Engkau telah menyatukan salju dengan api,
telah menyatukan semua hambaMu setia menurut ketentuan
Mu.
"Langit ketujuh adalah tempat orang-orang yang adil,
dengan malaikat yang lebih besar dari bumi ini seluruhnya.
Ia mempunyai tujuhpuluh ribu kepala, tiap kepala tujuhpuluh
ribu mulut, tiap mulut tujuhpuluh ribu lidah, tiap lidah
dapat berbicara dalam tujuh puluh ribu bahasa, tiap bahasa
dengan tujuhpuluh ribu dialek. Semua itu memuja dan memuji
serta mengkuduskan Tuhan.
"Sementara ia sedang merenungkan makhluk-makhluk ajaib
itu, tiba-tiba ia membubung lagi sampai di Sidrat'l-Muntaha
yang terletak di sebelah kanan 'Arsy, menaungi berjuta-juta
ruh malaikat. Sesudah melangkah, tidak sampai sekejap
matapun ia sudah menyeberangi lautan-lautan yang begitu luas
dan daerah-daerah cahaya yang terang-benderang, lalu bagian
yang gelap gulita disertai berjuta juta tabir kegelapan,
api, air, udara dan angkasa. Tiap macam dipisahkan oleh
jarak 500 tahun perjalanan. Ia melintasi tabir-tabir
keindahan, kesempurnaan, rahasia, keagungan dan kesatuan.
Dibalik itu terdapat tujuhpuluh ribu kelompok malaikat yang
bersujud tidak bergerak dan tidak pula diperkenankan
meninggalkan tempat.
"Kemudian terasa lagi ia membubung ke atas ke tempat Yang
Maha Tinggi. Terpesona sekali ia. Tiba-tiba bumi dan langit
menjadi satu, hampir-hampir tak dapat lagi ia melihatnya,
seolah-olah sudah hilang tertelan. Keduanya tampak hanya
sebesar biji-bijian di tengah-tengah ladang yang membentang
luas.
"Begitu seharusnya manusia itu, di hadapan Raja semesta
alam.
"Kemudian lagi ia sudah berada di hadapan 'Arsy, sudah
dekat sekali. Ia sudah dapat melihat Tuhan dengan
persepsinya, dan melihat segalanya yang tidak dapat
dilukiskan dengan lidah, di luar jangkauan otak manusia akan
dapat menangkapnya. Maha Agung Tuhan mengulurkan sebelah
tanganNya di dada Muhammad dan yang sebelah lagi di bahunya.
Ketika itu Nabi merasakan kesejukan di tulang punggungnya.
Kemudian rasa tenang, damai, lalu fana ke dalam Diri Tuhan
yang terasa membawa kenikmatan.
"Sesudah berbicara... Tuhan memerintahkan hambaNya itu
supaya setiap Muslim setiap hari sembahyang limapuluh kali.
Begitu Muhammad kembali turun dari langit, ia bertemu dengan
Musa. Musa berkata kepadanya:
"Bagaimana kauharapkan pengikut-pengikutmu akan dapat
melakukan salat limapuluh kali tiap hari? Sebelum engkau aku
sudah punya pengalaman, sudah kucoba terhadap anak-anak
Israil sejauh yang dapat kulakukan. Percayalah dan kembali
kepada Tuhan, minta supaya dikurangi jumlah sembahyang
itu.
"Muhammadpun kembali. Jumlah sembahyang juga lalu
dikurangi menjadi empatpuluh. Tetapi Musa menganggap itu
masih di luar kemampuan orang. Disuruhnya lagi Nabi
penggantinya itu berkali-kali kembali kepada Tuhan sehingga
berakhir dengan ketentuan yang lima kali.
"Sekarang Jibril membawa Nabi mengunjungi surga yang
sudah disediakan sesudah hari kebangkitan, bagi mereka yang
teguh iman. Kemudian Muhammad kembali dengan tangga itu ke
bumi. Buraqpun dilepaskan. Lalu ia kembali dari
Bait'l-Maqdis ke Mekah naik hewan bersayap."
|