BAGIAN KEDELAPAN: DARI PEMBATALAN PIAGAM SAMPAI
KEPADA ISRA'
Muhammad Husain Haekal (1/3)
SELAMA tiga tahun berturut-turut piagam
yang dibuat pihak Quraisy untuk memboikot Muhammad dan
mengepung Muslimin itu tetap berlaku. Dalam pada itu
Muhammad dan keluarga serta sahabat-sahabatnya sudah
mengungsi ke celah-celah gunung di luar kota Mekah, dengan
mengalami pelbagai macam penderitaan, sehingga untuk
mendapatkan bahan makanan sekadar menahan rasa laparpun
tidak ada. Baik kepada Muhammad atau kaum Muslimin tidak
diberikan kesempatan bergaul dan bercakap-cakap dengan
orang, kecuali dalam bulan-bulan suci. Pada waktu itu
orang-orang Arab berdatangan ke Mekah berziarah, segala
permusuhan dihentikan - tak ada pembunuhan, tak ada
penganiayaan, tak ada permusuhan, tak ada balas dendam.
Pada bulan-bulan itu Muhammad turun, mengajak orang-orang
Arab itu kepada agama Allah, diberitahukannya kepada mereka
arti pahala dan arti siksa. Segala penderitaan yang dialami
Muhammad demi dakwah itu justru telah menjadi penolongnya
dari kalangan orang banyak. Mereka yang telah mendengar
tentang itu lebih bersimpati kepadanya, lebih suka mereka
menerima ajakannya. Blokade yang dilakukan Quraisy
kepadanya, kesabaran dan ketabahan hatinya memikul semua itu
demi risalahnya, telah dapat memikat hati orang banyak, hati
yang tidak begitu membatu, tidak begitu kaku seperti hati
Abu Jahl, Abu Lahab dan yang sebangsanya.
Akan tetapi, penderitaan yang begitu lama, begitu banyak
dialami kaum Muslimin karena kekerasan pihak Quraisy -
padahal mereka masih sekeluarga: saudara, ipar. sepupu -
banyak diantara mereka itu yang merasakan betapa beratnya
kekerasan dan kekejaman yang mereka lakukan itu. Dan
sekiranya tidak ada dari penduduk yang merasa simpati kepada
kaum Muslimin, membawakan makanan ke celah-celah
gunung1 tempat mereka mengungsi itu, niscaya
mereka akan mati kelaparan. Dalam hal ini Hisyam ibn 'Amr
termasuk salah seorang dari kalangan Quraisy yang paling
simpati kepada Muslimin.
Tengah malam ia datang membawa unta yang sudah dimuati
makanan atau gandum. Bilamana ia sudah sampai di depan celah
gunung itu, dilepaskannya tali untanya lalu dipacunya supaya
terus masuk ke tempat mereka dalam celah itu.
Merasa kesal melihat Muhammad dan
sahabat-sahabatnya dianiaya demikian rupa, ia pergi menemui
Zuhair b. Abi Umayya (Banu Makhzum). Ibu Zuhair ini adalah
Atika bint Abd'l-Muttalib (Banu Hasyim).
"Zuhair," kata Hisyam "Kau sudi menikmati makanan,
pakaian dan wanita-wanita, padahal, seperti kau ketahui,
keluarga ibumu demikian rupa tidak boleh berhubungan dengan
orang, berjual-beli, tidak boleh saling mengawinkan? Aku
bersumpah, bahwa kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibu,
keluarga Abu'l-Hakam ibn Hisyam, lalu aku diajak seperti
mengajak kau, tentu akan kutolak."
Keduanya kemudian sepakat akan sama-sama membatalkan
piagam itu. Tapi meskipun begitu harus mendapat dukungan
juga dari yang lain, dan secara rahasia mereka harus
diyakinkan. Pendirian kedua orang itu kemudian disetujui
oleh Mut'im b. 'Adi (Naufal), Abu'l-Bakhtari b. Hisyam dan
Zamia bin'l-Aswad (keduanya dari Asad). Kelima mereka lalu
sepakat akan mengatasi persoalan piagam itu dan akan
membatalkannya.
Dengan tujuh kali mengelilingi Ka'bah keesokannya
pagi-pagi Zuhair b. Umayya berseru kepada orang banyak: "Hai
penduduk Mekah! Kamu sekalian enak-enak makan dan berpakaian
padahal Banu Hasyim binasa tidak dapat mengadakan hubungan
dagang! Demi Allah saya tidak akan duduk sebelum piagam yang
kejam ini dirobek!"
Tetapi Abu Jahl, begitu mendengar ucapan itu, iapun
berteriak: "Bohong! Tidak akan kita robek!"
Saat itu juga terdengar suara-suara Zam'a,
Abu'l-Bakhtari, Mut'im dan 'Amr ibn Hisyam mendustakan Abu
Jahl dan mendukung Zuhair.
Abu Jahl segera menyadari bahwa peristiwa ini akan
terselesaikan juga malam itu dan orangpun sudah menyetujui.
Kalau dia menentang mereka juga, tentu akan timbul bencana.
Merasa kuatir, lalu cepat-cepat ia pergi. Waktu itu, ketika
Mut'im bersiap akan merobek piagam tersebut, dilihatnya
sudah mulai dimakan rayap, kecuali pada bagian pembukaannya
yang berbunyi: "Atas namaMu ya Allah..."
Dengan demikian terdapat kesempatan pada Muhammad dan
sahabat-sahabat pergi meninggalkan celah bukit yang curam
itu dan kembali ke Mekah. Kesempatan berjual-beli dengan
Quraisy juga terbuka, sekalipun hubungan antara keduanya
seperti dulu juga, masing-masing siap-siaga bila permusuhan
itu kelak sewaktu-waktu memuncak lagi.
Beberapa penulis biografi dalam hal ini berpendapat,
bahwa diantara mereka yang bertindak menghapuskan piagam itu
terdapat orang-orang yang masih menyembah berhala. Untuk
menghindarkan timbulnya bencana, mereka mendatangi Muhammad
dengan permintaan supaya ia mau saling mengulurkan tangan
dengan Quraisy dengan misalnya memberi hormat kepada
dewa-dewa mereka sekalipun cukup hanya dengan jari-jarinya
saja dikelilingkan. Agak cenderung juga hatinya atas usul
itu, sebagai pengharapan atas kebaikan hati mereka. Dalam
hatinya seolah ia berkata: "Tidak apa kalau saya lakukan
itu. Allah mengetahui bahwa saya tetap taat."
Atau karena mereka yang telah menghapuskan piagam dan
beberapa orang lagi itu, pada suatu malam mengadakan
pertemuan dengan Muhammad sampai pagi. Dalam perbicaraan itu
mereka sangat menghormatinya, menempatkannya sebagai yang
dipertuan atas mereka, mengajaknya kompromi, seraya kata
mereka:
"Tuan adalah pemimpin kami ..."
Sementara mereka masih mengajaknya bicara itu,
sampai-sampai hampir saja ia mengalah atas beberapa hal
menurut kehendak mereka. Ini adalah dua sumber hadis, yang
pertama sebagian diceritakan oleh Sa'id b. Jubair, sedang
yang kedua oleh Qatada. Kata mereka kemudian Allah
melindungi Muhammad dari kesalahan, dengan firmanNya:
"Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau tentang
yang sudah Kami wahyukan kepadamu, supaya engkau mau atas
nama Kami memalsukan dengan yang lain. Ketika itulah mereka
mengambil engkau menjadi kawan mereka. Dan kalaupun tidak
Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau hampir cenderung juga
kepada mereka barang sedikit. Dalam hal ini, akan Kami
timpakan kepadamu hukuman berlipat ganda, dalam hidup dan
mati. Selanjutnya engkau tiada mempunyai penolong menghadapi
Kami." (Qur'an, 17: 73-75)
Ayat-ayat ini turun - menurut dugaan mereka yang membawa
cerita gharaniq - sehubungan dengan cerita bohong itu
seperti yang sudah kita lihat. Sedang kedua ahli hadis ini
menghubungkannya pada cerita pembatalan piagam. Sebaliknya
menurut hadis 'Ata, lewat Ibn 'Abbas, ayat-ayat ini turun
sehubungan dengan delegasi Thaqif, yang datang meminta
kepada Muhammad supaya lembah mereka dianggap suci seperti
pohon, burung dan binatang di Mekah. Dalam hal ini Nabi a.s.
masih maju-mundur sebelum ayat-ayat tersebut turun.
Apapun juga yang sebenarnya terjadi, terhadap peristiwa
yang menyebabkan turunnya ayat-ayat itu sumber-sumber
tersebut tidak berbeda, yaitu melukiskan salah satu segi
kebesaran jiwa Muhammad, di samping kejujuran dan
keikhlasannya dengan suatu lukisan yang sungguh kuat sekali.
Segi ini yang juga dilukiskan oleh ayat-ayat yang sudah kita
kutipkan dari Surah "Abasa" (80) dan pula seluruh sejarah
kehidupan Muhammad membuktikannya pula. Secara terus-terang
dikatakan, bahwa dia adalah manusia biasa seperti yang lain,
tapi yang telah mendapat wahyu Tuhan guna memberikan
bimbingan, dan bahwa dia, sebagai manusia biasa, tidak luput
dari kesalahan kalau tidak karena mendapat perlindungan
Tuhan. Ia telah bersalah ketika bermuka masam dan berpaling
dari Ibn Umm Maktum, dan hampir pula salah sehubungan dengan
turunnya Surah "Isra" (17), juga hampir pula ia tergoda
tentang apa yang telah diwahyukan kepadanya untuk dipalsukan
dengan yang lain.
Apabila wahyu turun kepadanya memberi peringatan atas
perbuatannya terhadap orang buta itu, dan terhadap godaan
Quraisy yang hampir menjerumuskannya, maka kejujurannya
dalam menyampaikan wahyu itu kepada orang sama pula seperti
ketika menyampaikan amanat Tuhan itu. Tak ada sesuatu yang
akan menghalanginya ia menyatakan apa yang sebenarnya
tentang dirinya itu. Tak ada sikap sombong dan congkak,
tidak ada rasa tinggi hati.
Jadi kebenaranlah, dan hanya kebenaran semata yang ada
dalam -risalahnya itu. Apabila dalam menanggung siksaan
orang lain demi idea yang diyakininya, orang yang berjiwa
besar masih sanggup memikulnya, maka pengakuan orang besar
itu bahwa ia hampir-hampir tergoda, tidaklah menjadi
kebiasaan, sekalipun oleh orang-orang besar sendiri. Hal-hal
semacam itu biasanya oleh mereka disembunyikan dan yang
diperhitungkan hanya harga dirinya, meskipun dengan susah
payah. Inilah kebesaran yang tak ada taranya, lebih besar
dari orang besar. Itulah sebenarnya kebesaran jiwa yang
dapat memperlihatkan kebenaran secara keseluruhan. Itulah
yang juga lebih luhur dari segala kebesaran, dan lebih besar
dari segala yang besar, yakni sifat kenabian yang menyertai
Rasul itu dengan segala keikhlasan dan kejujurannya
meneruskan Risalah Kebenaran Tertinggi.
Sesudah piagam disobek, Muhammad dan
pengikut-pengikutnyapun keluar dari lembah bukit-bukit itu.
Seruannya dikumandangkan lagi kepada penduduk Mekah dan
kepada kabilah-kabilah yang pada bulan-bulan suci itu datang
berziarah ke Mekah. Meskipun ajakan Muhammad sudah tersiar
kepada seluruh kabilah Arab di samping banyaknya mereka yang
sudah menjadi pengikutnya, tapi sahabat-sahabat itu tidak
selamat dari siksaan Quraisy, juga dia tidak dapat
mencegahnya.
Beberapa bulan kemudian sesudah
penghapusan piagam itu, secara tiba-tiba sekali dalam satu
tahun saja Muhammad mengalami dukacita yang sangat menekan
perasaan, yakni kematian Abu Talib dan Khadijah secara
berturut-turut. Waktu itu Abu Talib sudah berusia
delapanpuluh tahun lebih. Setelah Quraisy mengetahui ia
dalam keadaan sakit yang akan merupakan akhir hayatnya,
mereka merasa kuatir apa yang akan terjadi nanti antara
mereka dengan Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Apalagi
sesudah ada Hamzah dan Umar yang terkenal garang dan keras.
Karena itu pemuka-pemuka Quraisy segera mendatangi Abu
Talib, untuk kemudian mengatakan:
"Abu Talib, seperti kau ketahui, kau adalah dari keluarga
kami juga. Keadaan sekarang seperti kau ketahui sendiri,
sangat mencemaskan kami. Engkau juga sudah mengetahui
keadaan kami dengan kemenakanmu itu. Panggillah dia. Kami
akan saling memberi dan saling menerima. Dia angkat tangan
dari kami, kamipun akan demikian. Biarlah kami dengan agama
kami dan dia dengan agamanya sendiri pula."
Muhammad datang tatkala mereka masih berada di tempat
pamannya itu. Setelah diketahuinya maksud kedatangan mereka,
iapun berkata:
"Sepatah kata saja saya minta, yang akan membuat mereka
merajai semua orang Arab dan bukan Arab."
"Ya, demi bapamu," jawab Abu Jahl. "Sepuluh kata
sekalipun silakan!"
Kata Muhammad: "Katakan, tak ada tuhan selain Allah, dan
tinggalkan segala penyembahan yang selain Allah."
"Muhammad, maksudmu supaya tuhan-tuhan itu dijadikan satu
Tuhan saja?" kata mereka.
Kemudian mereka berkata satu sama lain: "Orang ini tidak
akan memberikan apa-apa seperti yang kamu kehendaki.
Pergilah kalian!"
Ketika Abu Talib meninggal hubungan Muhammad dengan pihak
Quraisy lebih buruk lagi dari yang sudah-sudah.
Dan sesudah Abu Talib, disusul pula dengan kematian
Khadijah, Khadijah yang menjadi sandaran Muhammad, Khadijah
yang telah mencurahkan segala rasa cinta dan kesetiaannya,
dengan perasaan yang lemah-lembut, dengan hati yang bersih,
dengan kekuatan iman yang ada padanya. Khadijah, yang dulu
menghiburnya bila ia mendapat kesedihan, mendapat tekanan
dan yang menghilangkan rasa takut dalam hatinya. Ia adalah
bidadari yang penuh kasih sayang. Pada kedua mata dan
bibirnya Muhammad melihat arti yang penuh percaya kepadanya,
sehingga ia sendiripun tambah percaya kepada dirinya. Abu
Talibpun meninggal, orang yang menjadi pelindung dan perisai
terhadap segala tindakan musuh. Pengaruh apakah yang begitu
sedih, begitu pedih menusuk jiwa Muhammad 'alaihissalam?!
Yang pasti, dua peristiwa itu akan meninggalkan luka parah
dalam jiwa orang - yang bagaimanapun kuatnya - akan
menusukkan racun putus asa kedalam hatinya. Ia akan dikuasai
perasaan sedih dan duka, akan dirundung kepiluan dan akan
membuatnya jadi lemah, tak dapat berpikir lain diluar dua
peristiwa yang sangat mengharukan itu.
Sesudah kehilangan dua orang yang selalu
membelanya itu Muhammad melihat Quraisy makin keras
mengganggunya. Yang paling ringan diantaranya ialah ketika
seorang pandir Quraisy mencegatnya di tengah jalan lalu
menyiramkan tanah ke atas kepalanya. Tahukah orang apa yang
dilakukan Muhammad? Ia pulang ke rumah dengan tanah yang
masih diatas kepala. Fatimah puterinya lalu datang
mencucikan tanah yang di kepala itu. Ia membersihkannya
sambil menangis. Tak ada yang lebih pilu rasanya dalam hati
seorang ayah dari pada mendengar tangis anaknya, lebih-lebih
anak perempuan. Setitik air mata kesedihan yang mengalir
dari kelopak mata seorang puteri adalah sepercik api yang
membakar jantung, membuatnya kaku karena pilu, dan karena
pilunya ia akan menangis kesakitan. Juga secercah duka yang
menyelinap kedalam hati adalah rintihan jiwa yang sungguh
keras, terasa mencekik leher dan hampir pula menggenangi
mata.
Sebenarnya Muhammad adalah seorang ayah yang sungguh
bijaksana dan penuh kasih kepada puteri-puterinya. Apakah
yang kita lihat ia lakukan terhadap tangisan anak perempuan
yang baru saja kehilangan ibunya itu? Yang menangis hanya
karena malapetaka yang menimpa ayahnya? Tidak lebih dan
semua itu ia hanya menghadapkan hatinya kepada Allah dengan
penuh iman akan segala pertolonganNya.
"Jangan menangis anakku," katanya kepada puterinya yang
sedang berlinang air mata itu. "Tuhan akan melindungi
ayahmu."
Kemudian diulangnya: "Sebelum wafat Abu Talib orang-orang
Quraisy itu tidak seberapa mengganggu saya."
Sesudah peristiwa itu gangguan Quraisy kepada Muhammad
makin menjadi-jadi. Ia merasa tertekan sekali.
|