|
BAGIAN PERTAMA: ARAB PRA-ISLAM
(2/4)
Kedua kekuatan yang sekarang sedang berhadap-hadapan itu
ialah: kekuatan Kristen dan kekuatan Majusi, kekuatan Barat
berhadapan dengan kekuatan Timur. Bersamaan dengan itu
kekuasaan-kekuasaan kecil yang berada dibawah pengaruh kedua
kekuatan itu, pada awal abad keenam berada di sekitar
jazirah Arab. Kedua kekuatan itu masing-masing mempunyai
hasrat ekspansi dan penjajahan. Pemuka-pemuka kedua agama
itu masing-masing berusaha sekuat tenaga akan menyebarkan
agamanya ke atas kepercayaan agama lain yang sudah
dianutnya. Sungguhpun demikian jazirah itu tetap seperti
sebuah oasis yang kekar tak sampai terjamah oleh peperangan,
kecuali pada beberapa tempat di bagian pinggir saja, juga
tak sampai terjamah oleh penyebaran agama-agama Masehi atau
Majusi, kecuali sebagian kecil saja pada beberapa kabilah.
Gejala demikian ini dalam sejarah kadang tampak aneh kalau
tidak kita lihat letak dan iklim jazirah itu serta pengaruh
keduanya terhadap kehidupan penduduknya, dalam aneka macam
perbedaan dan persamaan serta kecenderungan hidup mereka
masing-masing.
Jazirah Arab bentuknya memanjang dan tidak
parallelogram. Ke sebelah utara Palestina dan padang Syam,
ke sebelah timur Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan
Teluk Persia, ke sebelah selatan Samudera Indonesia dan
Teluk Aden, sedang ke sebelah barat Laut Merah. Jadi, dari
sebelah barat dan selatan daerah ini dilingkungi lautan,
dari utara padang sahara dan dari timur padang sahara dan
Teluk Persia. Akan tetapi bukan rintangan itu saja yang
telah melindunginya dari serangan dan penyerbuan penjajahan
dan penyebaran agama, melainkan juga karena jaraknya yang
berjauh-jauhan. Panjang semenanjung itu melebihi seribu
kilometer, demikian juga luasnya sampai seribu kilometer
pula. Dan yang lebih-lebih lagi melindunginya ialah
tandusnya daerah ini yang luar biasa hingga semua penjajah
merasa enggan melihatnya. Dalam daerah yang seluas itu
sebuah sungaipun tak ada. Musim hujan yang akan dapat
dijadikan pegangan dalam mengatur sesuatu usaha juga tidak
menentu. Kecuali daerah Yaman yang terletak di sebelah
selatan yang sangat subur tanahnya dan cukup banyak hujan
turun, wilayah Arab lainnya terdiri dari gunung-gunung,
dataran tinggi, lembah-lembah tandus serta alam yang
gersang. Tak mudah orang akan dapat tinggal menetap atau
akan memperoleh kemajuan. Samasekali hidup di daerah itu
tidak menarik selain hidup mengembara terus-menerus dengan
mempergunakan unta sebagai kapalnya di tengah-tengah lautan
padang pasir itu, sambil mencari padang hijau untuk makanan
ternaknya, beristirahat sebentar sambil menunggu ternak itu
menghabiskan makanannya, sesudah itu berangkat lagi mencari
padang hijau baru di tempat lain. Tempat-tempat beternak
yang dicari oleh orang-orang badwi jazirah biasanya di
sekitar mata air yang menyumber dari bekas air hujan, air
hujan yang turun dari celah-celah batu di daerah itu. Dari
situlah tumbuhnya padang hijau yang terserak di sana-sini
dalam wahah-wahah yang berada di sekitar mata air.
Sudah wajar sekali dalam wilayah demikian
itu, yang seperti Sahara Afrika Raya yang luas, tak ada
orang yang dapat hidup menetap, dan cara hidup manusia yang
biasapun tidak pula dikenal. Juga sudah biasa bila orang
yang tinggal di daerah itu tidak lebih maksudnya hanya
sekadar menjelajahinya dan menyelamatkan diri saja, kecuali
di tempat-tempat yang tak seberapa, yang masih ditumbuhi
rumput dan tempat beternak. Juga sudah sewajarnya pula
tempat-tempat itu tetap tak dikenal karena sedikitnya orang
yang mau mengembara dan mau menjelajahi daerah itu. Praktis
orang zaman dahulu tidak mengenal jazirah Arab, selain
Yaman. Hanya saja letaknya itu telah dapat menyelamatkan
dari pengasingan dan penghuninyapun dapat bertahan diri.
Pada masa itu orang belum merasa begitu
aman mengarungi lautan guna mengangkut barang dagangan atau
mengadakan pelayaran. Dari peribahasa Arab yang dapat kita
lihat sekarang menunjukkan, bahwa ketakutan orang menghadapi
laut sama seperti dalam menghadapi maut. Tetapi,
bagaimanapun juga untuk mengangkut barang dagangan itu harus
ada jalan lain selain mengarungi bahaya maut itu. Yang
paling penting transpor perdagangan masa itu ialah antara
Timur dan Barat: antara Rumawi dan sekitarnya, serta India
dan sekitarnya. Jazirah Arab masa itu merupakan daerah
lalu-lintas perdagangan yang diseberanginya melalui Mesir
atau melalui Teluk Persia, lewat terusan yang terletak di
mulut Teluk Persia itu. Sudah tentu wajar sekali bilamana
penduduk pedalaman jazirah Arab itu menjadi raja sahara,
sama halnya seperti pelaut-pelaut pada masa-masa berikutnya
yang daerahnya lebih banyak dikuasai air daripada daratan,
menjadi raja laut. Dan sudah wajar pula bilamana raja-raja
padang pasir itu mengenal seluk-beluk jalan para kafilah
sampai ke tempat-tempat yang berbahaya, sama halnya seperti
para pelaut, mereka sudah mengenal garis-garis perjalanan
kapal sampai sejauh-jauhnya. "Jalan kafilah itu bukan
dibiarkan begitu saja," kata Heeren, "tetapi sudah menjadi
tempat yang tetap mereka lalui. Di daerah padang pasir yang
luas itu, yang biasa dilalui oleh para kafilah, alam telah
memberikan tempat-tempat tertentu kepada mereka,
terpencar-pencar di daerah tandus, yang kelak menjadi tempat
mereka beristirahat. Di tempat itu, di bawah naungan
pohon-pohon kurma dan di tepi air tawar yang mengalir di
sekitarnya, seorang pedagang dengan binatang bebannya dapat
menghilangkan haus dahaga sesudah perjalanan yang melelahkan
itu. Tempat-tempat peristirahatan itu juga telah menjadi
gudang perdagangan mereka, dan yang sebagian lagi dipakai
sebagai tempat penyembahan, tempat ia meminta perlindungan
atas barang dagangannya atau meminta pertolongan dari tempat
itu."1
Lingkungan jazirah itu penuh dengan jalan kafilah. Yang
penting di antaranya ada dua. Yang sebuah berbatasan dengan
Teluk Persia, Sungai Dijla, bertemu dengan padang Syam dan
Palestina. Pantas jugalah kalau batas daerah-daerah sebelah
timur yang berdekatan itu diberi nama Jalan Timur. Sedang
yang sebuah lagi berbatasan dengan Laut Merah; dan karena
itu diberi nama Jalan Barat. Melalui dua jalan inilah
produksi barang-barang di Barat diangkut ke Timur dan
barang-barang di Timur diangkut ke Barat. Dengan demikian
daerah pedalaman itu mendapatkan kemakmurannya.
Akan tetapi itu tidak menambah pengetahuan pihak Barat
tentang negeri-negeri yang telah dilalui perdagangan mereka
itu. Karena sukarnya menempuh daerah-daerah itu, baik pihak
Barat maupun pihak Timur sedikit sekali yang mau
mengarunginya - kecuali bagi mereka yang sudah biasa sejak
masa mudanya. Sedang mereka yang berani secara
untung-untungan mempertaruhkan nyawa banyak yang hilang
secara sia-sia di tengah-tengah padang tandus itu. Bagi
orang yang sudah biasa hidup mewah di kota, tidak akan tahan
menempuh gunung-gunung tandus yang memisahkan Tihama dari
pantai Laut Merah dengan suatu daerah yang sempit itu.
Kalaupun pada waktu itu ada juga orang yang sampai ke tempat
tersebut - yang hanya mengenal unta sebagai kendaraan - ia
akan mendaki celah-celah pegunungan yang akhirnya akan
menyeberang sampai ke dataran tinggi Najd yang penuh dengan
padang pasir. Orang yang sudah biasa hidup dalam sistem
politik yang teratur dan dapat menjamin segala kepuasannya
akan terasa berat sekali hidup dalam suasana pedalaman yang
tidak mengenal tata-tertib kenegaraan. Setiap kabilah, atau
setiap keluarga, bahkan setiap pribadipun tidak mempunyai
suatu sistiem hubungan dengan pihak lain selain ikatan
keluarga atau kabilah atau ikatan sumpah setia kawan atau
sistem jiwar (perlindungan bertetangga) yang biasa diminta
oleh pihak yang lemah kepada yang lebih kuat.
Pada setiap zaman tata-hidup bangsa-bangsa pedalaman itu
memang berbeda dengan kehidupan di kota-kota. Ia sudah puas
dengan cara hidup saling mengadakan pembalasan, melawan
permusuhan dengan permusuhan, menindas yang lemah yang tidak
mempunyai pelindung. Keadaan semacam ini tidak menarik
perhatian orang untuk membuat penyelidikan yang lebih
dalam.
Oleh karena itu daerah Semenanjung ini tetap tidak
dikenal dunia pada waktu itu. Dan barulah kemudian - sesudah
Muhammad s.a.w. lahir di tempat tersebut - orang mulai
mengenal sejarahnya dari berita-berita yang dibawa orang
dari tempat itu, dan daerah yang tadinya samasekali tertutup
itu sekarang sudah mulai dikenal dunia.
Tak ada yang dikenal dunia tentang
negeri-negeri Arab itu selain Yaman dan tetangga-tetangganya
yang berbatasan dengan Teluk Persia. Hal ini bukan karena
hanya disebabkan oleh adanya perbatasan Teluk Persia dan
Samudera Indonesia saja, tetapi lebih-lebih disebabkan oleh
- tidak seperti jazirah-jazirah lain - gurun sahara yang
tandus. Dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabatpun
tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah
juga tidak punya kepentingan. Sebaliknya, daerah Yaman
tanahnya subur, hujan turun secara teratur pada setiap
musim. Ia menjadi negeri peradaban yang kuat, dengan
kota-kota yang makmur dan tempat-tempat beribadat yang kuat
sepanjang masa. Penduduk jazirah ini terdiri dari suku
bangsa Himyar, suatu suku bangsa yang cerdas dan
berpengetahuan luas. Air hujan yang menyirami bumi ini
mengalir habis menyusuri tanah terjal sampai ke laut. Mereka
membuat Bendungan Ma'rib yang dapat menampung arus air hujan
sesuai dengan syarat-syarat peradaban yang berlaku.
Sebelum di bangunnya bendungan ini, air hujan yang deras
terjun dari pegunungan Yaman yang tinggi-tinggi itu,
menyusur turun ke lembah-lembah yang terletak di sebelah
timur kota Ma'rib. Mula-mula air turun melalui celah-celah
dua buah gunung yang terletak di kanan-kiri lembah ini,
memisahkan satu sama lain seluas kira-kira 400 meter.
Apabila sudah sampai di Ma'rib air itu menyebar ke dalam
lembah demikian rupa sehingga hilang terserap seperti di
bendungan-bendungan Hulu Sungai Nil. Berkat pengetahuan dan
kecerdasan yang ada pada penduduk Yaman itu, mereka
membangun sebuah bendungan, yaitu Bendungan Ma'rib.
Bendungan ini dibangun daripada batu di ujung lembah yang
sempit, lalu dibuatnya celah-celah guna memungkinkan adanya
distribusi air ke tempat-tempat yang mereka kehendaki dan
dengan demikian tanah mereka bertambah subur.
Peninggalan-peninggalan peradaban Himyar di Yaman yang
pernah diselidiki - dan sampai sekarang penyelidikan itu
masih diteruskan -menunjukkan, bahwa peradaban mereka pada
suatu saat memang telah mencapai tingkat yang tinggi sekali,
juga sejarahpun menunjukkan bahwa Yaman pernah pula
mengalami bencana.
Sungguhpun begitu peradaban yang
dihasilkan dari kesuburan negerinya serta penduduknya yang
menetap menimbulkan gangguan juga dalam lingkungan jazirah
itu. Raja-raja Yaman kadang dari keluarga Himyar yang sudah
turun-temurun, kadang juga dari kalangan rakyat Himyar
sampai pada waktu Dhu Nuwas al-Himyari berkuasa. Dhu Nuwas
sendiri condong sekali kepada agama Musa (Yudaisma), dan
tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa
bangsanya. Ia belajar agama ini dari orang-orang Yahudi yang
pindah dan menetap di Yaman. Dhu Nuwas inilah yang
disebut-sebut oleh ahli-ahli sejarah, yang termasuk dalam
kisah "orang-orang yang membuat parit," dan menyebabkan
turunnya ayat: "Binasalah orang-orang yang telah membuat
parit. Api yang penuh bahan bakar. Ketika mereka duduk di
tempat itu. Dan apa yang dilakukan orang-orang beriman itu
mereka menyaksikan. Mereka menyiksa orang-orang itu hanya
karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Mulia dan
Terpuji." (Qur'an 85:4-8)
Cerita ini ringkasnya ialah bahwa ada seorang pengikut
Nabi Isa yang saleh bernama Phemion telah pindah dari
Kerajaan Rumawi ke Najran. Karena orang ini baik sekali,
penduduk kota itu banyak yang mengikuti jejaknya, sehingga
jumlah mereka makin lama makin bertambah juga. Setelah
berita itu sampai kepada Dhu Nuwas, ia pergi ke Najran dan
dimintanya kepada penduduk supaya mereka masuk agama Yahudi,
kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka
digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka
dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena
api, dibunuhnya kemudian dengan pedang atau dibikin cacat.
Menurut beberapa buku sejarah korban pembunuhan itu mencapai
duapuluh ribu orang. Salah seorang di antaranya dapat lolos
dari maut dan dari tangan Dhu Nuwas, ia lari ke Rumawi dan
meminta bantuan Kaisar Yustinianus atas perbuatan Dhu Nuwas
itu. Oleh karena letak Kerajaan Rumawi ini jauh dari Yaman,
Kaisar itu menulis surat kepada Najasyi (Negus) supaya
mengadakan pembalasan terhadap raja Yaman. Pada waktu itu
[abad ke-6] Abisinia yang dipimpin oleh Najasyi
sedang berada dalam puncak kemegahannya. Perdagangan yang
luas melalui laut disertai oleh armada yang kuat2
dapat menancapkan pengaruhnya sampai sejauh-jauhnya. Pada
waktu itu ia menjadi sekutu Imperium Rumawi Timur dan yang
memegang panji Kristen di Laut Merah, sedang Kerajaan Rumawi
Timur sendiri menguasainya di bagian Laut Tengah.
|