BAGIAN PERTAMA: ARAB PRA-ISLAM (3/4)
Setelah surat Kaisar sampai ke tangan Najasyi, ia
mengirimkan bersama orang Yaman itu - yang membawa surat -
sepasukan tentara di bawah pimpinan Aryat (Harith) dan
Abraha al-Asyram salah seorang prajuritnya. Aryat menyerbu
Kerajaan Yaman atas nama penguasa Abisinia. Ia memerintah
Yaman ini sampai ia dibunuh oleh Abraha yang kemudian
menggantikan kedudukannya. Abraha inilah yang memimpin
pasukan gajah, dan dia yang kemudian menyerbu Mekah guna
menghancurkan Ka'bah tetapi gagal, seperti yang akan
terlihat nanti dalam pasal berikut.
Anak-anak Abraha kemudian menguasai Yaman dengan tindakan
sewenang-wenang. Melihat bencana yang begitu lama menimpa
penduduk, Saif bin Dhi Yazan pergi hendak menemui Maharaja
Rumawi. Ia mengadukan hal itu kepadanya dan memintanya
supaya mengirimkan penguasa lain dan Rumawi ke Yaman. Tetapi
karena adanya perjanjian persekutuan antara Kaisar
Yustinianus dengan Najasyi tidak mungkin ia dapat memenuhi
permintaan Saif bin Dhi Yazan itu. Oleh karena itu Saif
meninggalkan Kaisar dan pergi menemui Nu'man bin'l-Mundhir
selaku Gubernur yang diangkat oleh Kisra untuk daerah Hira
dan sekitarnya di Irak.3
Nu'man dan Saif bin Dhi Yazan bersama-sama datang
menghadap Kisra Parvez. Waktu itu ia sedang duduk dalam
Ruangan Resepsi (Iwan Kisra) yang megah dihiasi oleh
lukisan-lukisan bimasakti pada bagian tahta itu. Di tempat
musim dinginnya bagian ini dikelilingi dengan tabir-tabir
dari bulu binatang yang mewah sekali. Di tengah-tengah itu
bergantungan lampu-lampu kendil terbuat daripada perak dan
emas dan diisi penuh dengan air tawar. Di atas tahta itulah
terletak mahkotanya yang besar berhiaskan batu delima,
kristal dan mutiara bertali emas dan perak, tergantung
dengan rantai dari emas pula. Ia sendiri memakai pakaian
serba emas. Setiap orang yang memasuki tempat itu akan
merasa terpesona oleh kemegahannya. Demikian juga halnya
dengan Saif bin Dhi Yazan.
Kisra menanyakan maksud kedatangannya itu dan Saifpun
bercerita tentang kekejaman Abisinia di Yaman. Sungguhpun
pada mulanya Kisra Parvez ragu-ragu, tetapi kemudian ia
mengirimkan juga pasukannya di bawah pimpinan Wahraz
(Syahrvaraz?), salah seorang keluarga ningrat Persia yang
paling berani. Persia telah mendapat kemenangan dan
orang-orang Abisinia dapat diusir dari Yaman yang sudah
didudukinya selama 72 tahun itu.
Sejak itulah Yaman berada di bawah kekuasaan Persia, dan
ketika Islam lahir seluruh daerah Arab itu berada dalam
naungan agama baru ini.
Akan tetapi orang-orang asing yang telah menguasai Yaman
itu tidak langsung di bawah kekuasaan Raja Persia. Terutama
hal itu terjadi setelah Syirawih (Shiruya Kavadh II)
membunuh ayahnya, Kisra Parvez, dan dia sendiri menduduki
takhta. Ia membayangkan - dengan pikirannya yang picik itu
bahwa dunia dapat dikendalikan sekehendaknya dan bahwa
kerajaannya membantu memenuhI kehendaknya yang sudah hanyut
dalam hidup kesenangan itu. Masalah-masalah kerajaan banyak
sekali yang tidak mendapat perhatian karena dia sudah
mengikuti nafsunya sendiri. Ia pergi memburu dalam suatu
kemewahan yang belum pernah terjadi Ia berangkat diiringi
oleh pemuda-pemuda ningrat berpakaian merah, kuning dan
lembayung, dikelilingi oleh pengiring-pengiring yang membawa
burung elang dan harimau yang sudah dijinakkan dan ditutup
moncongnya; oleh budak-budak yang membawa wangi-wangian,
oleh pengusir-pengusir lalat dan pemain-pemain musik. Supaya
merasa dirinya dalam suasana musim semi sekalipun sebenarnya
dalam musim dingin yang berat, ia beserta rombongannya duduk
di atas permadani yang lebar dilukis dengan lorong-lorong,
ladang dan kebun yang ditanami bunga-bungaan aneka warna,
dan dilatarbelakangi oleh semak-semak, hutan hijau serta
sungai-sungai berwarna perak.
Tetapi sungguhpun Syirawih begitu jauh mengikuti
kesenangannya, kerajaan Persia tetap dapat mempertahankan
kemegahannya, dan tetap merupakan lawan yang kuat terhadap
kekuasaan Bizantium dan penyebaran Kristen. Sekalipun dengan
naik tahtanya Syirawih ini telah mengurangi kejayaan
kerajaannya, ia telah memberi kesempatan kepada kaum
Muslimin memasuki negerinya dan menyebarkan Islam.
Yaman yang telah dijadikan gelanggang pertentangan sejak
abad ke-4 itu sebenarnya telah meninggalkan bekas yang dalam
sekali dalam sejarah Semenanjung Arab dari segi pembagian
penduduknya. Disebutkan bahwa Bendungan Ma'rib yang oleh
suku-bangsa Himyar telah dimanfaatkan untuk keuntungan
negerinya, telah hancur pula dilanda banjir besar.
Disebabkan oleh adanya pertentangan yang terus-menerus itu,
lalailah mereka yang harus selalu mengawasi dan
memeliharanya. Bendungan itu lapuk dan tidak tahan lagi
menahan banjir. Dikatakan juga, bahwa setelah Rumawi melihat
Yaman menjadi pusat pertentangan antara kerajaannya dengan
Persia dan bahwa perdagangannya terancam karena pertentangan
itu, iapun menyiapkan armadanya menyeberangi Laut Merah -
antara Mesir dengan negeri-negeri Timur yang jauh - guna
menarik perdagangan yang dibutuhkan oleh negerinya. Dengan
demikian tidak perlu lagi ia menempuh jalan kafilah.
Mengenai peristiwanya, ahli-ahli sejarah sependapat,
tetapi mengenai sebab terjadinya peristiwa itu mereka
berlainan pendapat. Peristiwanya ialah mengenai pindahnya
kabilah Azd di Yaman ke Utara. Semua mereka sependapat
tentang kepindahan ini, sekalipun sebagian menghubungkannya
dengan sepinya beberapa kota di Yaman karena mundurnya
perdagangan yang biasa melalui tempat itu. Yang lain
menghubung-hubungkan kepada rusaknya bendungan Ma'rib,
sehingga banyak di antara kabilah-kabilah yang pindah karena
takut binasa. Tetapi apapun juga kejadiannya, namun adanya
imigrasi ini telah menyebabkan Yaman jadi berhubungan dengan
negeri-negeri Arab lainnya, suatu hubungan keturunan dan
percampuran yang sampai sekarang masih dicoba oleh para
sarjana menyelidikinya.
Apabila sistem politik di Yaman sudah menjadi kacau
seperti yang dapat kita saksikan, yang disebabkan oleh
keadaan yang menimpa negeri itu serta dijadikannya tempat
itu medan pertarungan, maka struktur politik serupa itu
tidak dikenal pada beberapa negeri Semenanjung Arab lainnya
waktu itu. Segala macam sistem yang dapat dianggap sebagai
suatu sistem politik seperti pengertian kita sekarang atau
seperti pengertian negara-negara yang sudah maju pada masa
itu, di daerah-daerah seperti Tihama, Hijaz, Najd dan
sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab,
pengertian demikian itu belum dikenal. Anak negeri pada masa
itu bahkan sampai sekarang adalah penduduk pedalaman yang
tidak biasa di kota-kota. Mereka tidak betah tinggal menetap
di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara
selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti
keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain
selain pengembaraan itu.
Seperti juga ditempat-tempat lain, disinipun dasar hidup
pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu
pindah dan mengembara itu tidak mengenal suatu peraturan
atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya
mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga dan kebebasan
kabilah yang penuh. Sedang orang kota, atas nama tata-tertib
mau mengalah dan membuang sebagian kemerdekaan mereka untuk
kepentingan masyarakat dan penguasa, sebagai imbalan atas
ketenangan dan kemewahan hidup mereka. Sedang seorang
pengembara tidak pedulikan kemewahan, tidak betah dengan
ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik kepada apapun
- seperti kekayaan yang menjadi harapan orang kota - selain
kebebasannya yang mutlak. Ia hanya mau hidup dalam persamaan
yang penuh dengan anggota-anggota kabilahnya atau
kabilah-kabilah lain sesamanya. Dasar kehidupannya ialah
seperti makhluk-makhluk lain, mau survive, mau bertahan
terus sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatannya
yang sudah ditanamkan dalam hidup mengembara yang serba
bebas itu.
Oleh karena itu, kaum pengembara tidak menyukai tindakan
ketidak adilan yang ditimpakan kepada mereka. Mereka mau
melawannya mati-matian, dan kalau tidak dapat melawan,
ditinggalkannya tempat tinggal mereka itu, dan mereka
mengembara lagi ke seluruh jazirah, bila memang terpaksa
harus demikian.
Juga itu pula sebabnya, perang adalah jalan yang paling
mudah bagi kabilah-kabilah ini bila harus juga timbul
perselisihan yang tidak mudah diselesaikan dengan cara yang
terhormat. Karena bawaan itu juga, maka tumbuhlah di
kalangan sebagian besar kabilah-kabilah itu sifat-sifat
harga diri, keberanian, suka tolong-menolong, melindungi
tetangga serta sikap memaafkan sedapat mungkin dan
semacamnya. Sifat-sifat ini akan makin kuat apabila semakin
dekat ia kepada kehidupan pedalaman, dan akan makin hilang
apabila semakin dekat ia kepada kehidupan kota.
Seperti kita sebutkan, karena faktor-faktor ekonomi juga,
baik Rumawi maupun Persia, hanya merasa tertarik kepada
Yaman saja dari antara jazirah lainnya yang memang tidak mau
tunduk itu. Mereka lebih suka meninggalkan tanah air
daripada tunduk kepada perintah. Baik pribadi-pribadi atau
kabilah-kabilah tidak akan taat kepada peraturan apapun yang
berlaku atau kepada lembaga apapun yang berkuasa.
Sifat-sifat pengembaraan itu cukup mempengaruhi daerah
yang kecil-kecil yang tumbuh di sekitar jaziarah karena
adanya perdagangan para kafilah, seperti yang sudah kita
terangkan. Daerah-daerah ini dipakai oleh para pedagang
sebagai tempat beristirahat sesudah perjalanan yang begitu
meletihkan. Di situ mereka bertemu dengan tempat-tempat
pemujaan sang dewa guna memperoleh keselamatan bagi mereka
serta menjauhkan marabahaya gurun sahara serta mengharapkan
perdagangan mereka selamat sampai di tempat tujuan.
Kota-kota seperti Mekah, Ta'if, Yathrib dan yang sejenis
itu seperti wahah-wahah (oase) yang terserak di celah-celah
gunung atau gurun pasir, terpengaruh juga oleh sifat-sifat
pengembaraan demikian itu. Dalam susunan kabilah serta
cabang-cabangnya, perangai hidup, adat-istiadat serta
kebenciannya terhadap segala yang membatasi kebebasannya
lebih dekat kepada cara hidup pedalaman daripada kepada
cara-cara di kota, sekalipun mereka dipaksa oleh sesuatu
cara hidup yang menetap, yang tentunya tidak sama dengan
cara-hidup pedalaman. Dalam pembicaraan tentang Mekah dan
Yathrib pada pasal berikut ini akan terlihat agak lebih
terperinci.
Lingkungan masyarakat dalam alam demikian
ini serta keadaan moral, politik dan sosial yang ada pada
mereka, mempunyai pengaruh yang sama terhadap cara
beragamanya. Melihat hubungannya dengan agama Kristen Rumawi
dan Majusi Persia, adakah Yaman dapat terpengaruh oleh kedua
agama itu dan sekaligus mempengaruhi kedua agama tersebut di
jazirah Arab lainnya? Ini juga yang terlintas dalam pikiran
kita, terutama mengenai agama Kristen. Misi Kristen yang ada
pada masa itu sama giatnya seperti yang sekarang dalam
mempropagandakan agama. Pengaruh pengertian agama dalam jiwa
serta cara hidup kaum pengembara tidak sama dengan orang
kota. Dalam kehidupan kaum pengembara manusia berhubungan
dengan alam, ia merasakan adanya wujud yang tak terbatas
dalam segala bentuknya. Ia merasa perlu mengatur suatu cara
hidup antara dirinya dengan alam dengan ketak-terbatasannya
itu. Sedang bagi orang kota ketak-terbatasan itu sudah
tertutup oleh kesibukannya hari-hari, oleh adanya
perlindungan masyarakat terhadap dirinya sebagai imbalan
atas kebebasannya yang diberikan sebagian kepada masyarakat,
serta kesediaannya tunduk kepada undang-undang penguasa
supaya memperoleh jaminan dan hak perlindungan. Hal ini
menyebabkannya tidak merasa perlu berhubungan dengan yang di
luar penguasa itu, dengan kekuatan alam yang begitu dahsyat
terhadap kehidupan manusia. Hubungan jiwa dengan unsur-unsur
alam yang di sekitarnya jadi berkurang.
Dalam keadaan serupa ini, apakah yang telah diperoleh
Kristen dengan kegiatannya yang begitu besar sejak abad-abad
permulaan dalam menyebarkan ajaran agamanya itu? Barangkali
soalnya hanya akan sampai di situ saja kalau tidak karena
adanya soal-soal lain yang menyebabkan negeri-negeri Arab
itu, termasuk Yaman, tetap bertahan pada paganisma agama
nenek-moyangnya, dan hanya beberapa kabilah saja yang mau
menerima agama Kristen.
Manifestasi peradaban dunia yang paling jelas pada masa
itu - seperti yang sudah kita saksikan - berpusat di sekitar
Laut Tengah dan Laut Merah. Agama-agama Kristen dan Yahudi
bertetangga begitu dekat sekitar tempat itu. Kalau keduanya
tidak memperlihatkan permusuhan yang berarti, juga tidak
memperlihatkan persahabatan yang berarti pula. Orang-orang
Yahudi masa itu dan sampai sekarang juga masih
menyebut-nyebut adanya pembangkangan dan perlawanan Nabi Isa
kepada agama mereka. Dengan diam-diam mereka bekerja mau
membendung arus agama Kristen yang telah mengusir mereka
dari Palestina, dan yang masih berlindung dibawah panji
Imperium Rumawi yang membentang luas itu.
|