|
BAGIAN PERTAMA: ARAB PRA-ISLAM (4/4)
Orang-orang Yahudi di negeri-negeri Arab merupakan kaum
imigran yang besar, kebanyakan mereka tinggal di Yaman dan
Yathrib. Di samping itu kemudian agama Majusi (Mazdaisma)
Persia tegak menghadapi arus kekuatan Kristen supaya tidak
sampai menyeberangi Furat (Euphrates) ke Persia, dan
kekuatan moril demikian itu didukung oleh keadaan paganisma
di mana saja ia berada. Jatuhnya Rumawi dan hilangnya
kekuasaan yang di tangannya, ialah sesudah pindahnya pusat
peradaban dunia itu ke Bizantium.
Gejala-gejala kemunduran berikutnya ialah bertambah
banyaknya sekta-sekta Kristen yang sampai menimbulkan
pertentangan dan peperangan antara sesama mereka. Ini
membawa akibat merosotnya martabat iman yang tinggi ke dalam
kancah perdebatan tentang bentuk dan ucapan, tentang sampai
di mana kesucian Mariam: adakah ia yang lebih utama dari
anaknya Isa Almasih atau anak yang lebih utama dari ibu -
suatu perdebatan yang terjadi di mana-mana, suatu pertanda
yang akan membawa akibat hancurnya apa yang sudah biasa
berlaku.
Ini tentu disebabkan oleh karena isi dibuang dan kulit
yang diambil, dan terus menimbun kulit itu di atas isi
sehingga akhirnya mustahil sekali orang akan dapat melihat
isi atau akan menembusi timbunan kulit itu.
Apa yang telah menjadi pokok perdebatan kaum Nasrani
Syam, lain lagi dengan yang menjadi perdebatan kaum Nasrani
di Hira dan Abisinia. Dan orang-orang Yahudipun, melihat
hubungannya dengan orang-orang Nasrani, tidak akan berusaha
mengurangi atau menenteramkan perdebatan semacam itu. Oleh
karena itu sudah wajar pula orang-orang Arab yang
berhubungan dengan kaum Nasrani Syam dan Yaman dalam
perjalanan mereka pada musim dingin atau musim panas atau
dengan orang-orang Nasrani yang datang dari Abisinia, tetap
tidak akan sudi memihak salah satu di antara
golongan-golongan itu. Mereka sudah puas dengan kehidupan
agama berhala yang ada pada mereka sejak mereka dilahirkan,
mengikuti cara hidup nenek-moyang mereka.
Oleh karena itu, kehidupan menyembah berhala itu tetap
subur di kalangan mereka, sehingga pengaruh demikian inipun
sampai kepada tetangga-tetangga mereka yang beragama Kristen
di Najran dan agama Yahudi di Yathrib, yang pada mulanya
memberikan kelonggaran kepada mereka, kemudian turut
menerimanya. Hubungan mereka dengan orang-orang Arab yang
menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Tuhan itu
baik-baik saja.
Yang menyebabkan orang-orang Arab itu tetap bertahan pada
paganismanya bukan saja karena ada pertentangan di antara
golongan-golongan Kristen. Kepercayaan paganisma itu masih
tetap hidup di kalangan bangsa-bangsa yang sudah menerima
ajaran Kristen. Paganisma Mesir dan Yunani masih tetap
berpengaruh ditengah-tengah pelbagai mazhab yang beraneka
macam dan di antara pelbagai sekta-sekta Kristen sendiri.
Aliran Alexandria dan filsafat Alexandria masih tetap
berpengaruh, meskipun sudah banyak berkurang dibandingkan
dengan masa Ptolemies dan masa permulaan agama Masehi.
Bagaimanapun juga pengaruh itu tetap merasuk ke dalam hati
mereka. Logikanya yang tampak cemerlang sekalipun pada
dasarnya masih bersifat sofistik - dapat juga menarik
kepercayaan paganisma yang polytheistik, yang dengan
kecintaannya itu dapat didekatkan kepada kekuasaan
manusia.
Saya kira inilah yang lebih kuat mengikat jiwa yang masih
lemah itu pada paganisma, dalam setiap zaman, sampai saat
kita sekarang ini. Jiwa yang lemah itu tidak sanggup
mencapai tingkat yang lebih tinggi, jiwa yang akan
menghubungkannya pada semesta alam sehingga ia dapat
memahami adanya kesatuan yang menjelma dalam segala yang
lebih tinggi, yang sublim dari semua yang ada dalam wujud
ini, menjelma dalam Wujud Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan
demikian itu hanya sampai pada suatu manifestasi alam saja
seperti matahari, bulan atau api misalnya. Lalu tak berdaya
lagi mencapai segala yang lebih tinggi, yang akan
memperlihatkan adanya manifestasi alam dalam kesatuannya
itu.
Bagi jiwa yang lemah ini cukup hanya dengan berhala saja.
Ia akan membawa gambaran yang masih kabur dan rendah tentang
pengertian wujud dan kesatuannya. Dalam hubungannya dengan
berhala itu lalu dilengkapi lagi dengan segala gambaran
kudus, yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan di
seluruh dunia, sekalipun dunia yang mendakwakan dirinya
modern dalam ilmu pengetahuan dan sudah maju pula dalam
peradaban. Misalnya mereka yang pernah berziarah ke gereja
Santa Petrus di Roma, mereka melihat kaki patung Santa
Petrus yang didirikan di tempat itu sudah bergurat-gurat
karena diciumi oleh penganut-penganutnya, sehingga setiap
waktu terpaksa gereja memperbaiki kembali mana-mana yang
rusak.
Melihat semua itu kita dapat memaklumi. Mereka belum
nmendapat petunjuk Tuhan kepada iman yang sebenarnya Mereka
melihat pertentangan-pertentangan kaum Kristen yang menjadi
tetangga mereka serta cara-cara hidup paganisma yang masih
ada pada mereka, di tengah-tengah mereka sendiri yang masih
menyembah berhala itu sebagai warisan dari nenek-moyang
mereka. Betapa kita tak akan memaafkan mereka. Situasi
demikian ini sudah begitu berakar di seluruh dunia, tak
putus-putusnya sampai saat ini, dan saya kira memang tidak
akan pernah berakhir. Kaum Muslimin dewasa inipun membiarkan
paganisma itu dalam agama mereka, agama yang datang hendak
menghapus paganisma, yang datang hendak menghilangkan segala
penyembahan kepada siapa saja selain kepada Allah Yang Maha
Esa.
Cara-cara penyembahan berhala orang-orang Arab dahulu itu
banyak sekali macamnya. Bagi kita yang mengadakan
penyelidikan dewasa ini sukar sekali akan dapat mengetahui
seluk-beluknya. Nabi sendiri telah menghancurkan
berhala-berhala itu dan menganjurkan para sahabat
menghancurkannya di mana saja adanya. Kaum Muslimin sudah
tidak lagi bicara tentang itu sesudah semua yang berhubungan
dengan pengaruh itu dalam sejarah dan lektur dihilangkan.
Tetapi apa yang disebutkan dalam Quran dan yang dibawa oleh
ahli-ahli sejarah dalam abad kedua Hijrah - sesudah kaum
Muslimin tidak lagi akan tergoda karenanya - menunjukkan,
bahwa sebelum Islam paganisma dalam bentuknya yang pelbagai
macam, mempunyai tempat yang tinggi.
Di samping itu menunjukkan pula bahwa kekudusan
berhala-berhala itu bertingkat-tingkat adanya. Setiap
kabilah atau suku mempunyai patung sendiri sebagai pusat
penyembahan. Sesembahan-sesembahan zaman jahiliah inipun
berbeda-beda pula antara sebutan shanam (patung), wathan
(berhala) dan nushub. Shanam ialah dalam bentuk manusia
dibuat dari logam atau kayu, Wathan demikian juga dibuat
dari batu, sedang nushub adalah batu karang tanpa suatu
bentuk tertentu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara
ibadahnya sendiri-sendiri. Mereka beranggapan batu karang
itu berasal dari langit meskipun agaknya itu adalah batu
kawah atau yang serupa itu. Di antara berhala-berhala yang
baik buatannya agaknya yang berasal dari Yaman. Hal ini
tidak mengherankan. Kemajuan peradaban mereka tidak dikenal
di Hijaz, Najd atau di Kinda. Sayang sekali, buku-buku
tentang berhala ini tidak melukiskan secara terperinci
bentuk-bentuk berhala itu, kecuali tentang Hubal yang dibuat
dari batu akik dalam bentuk manusia, dan bahwa lengannya
pernah rusak dan oleh orang-orang Quraisy diganti dengan
lengan dari emas. Hubal ini ialah dewa orang Arab yang
paling besar dan diletakkan dalam Ka'bah di Mekah.
Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke
tempat itu.
Tidak cukup dengan berhala-berhala besar itu saja buat
orang-orang Arab guna menyampaikan sembahyang dan memberikan
kurban-kurban, tetapi kebanyakan mereka itu mempunyai pula
patung-patung dan berhala-berhala dalam rumah masing-masing.
Mereka mengelilingi patungnya itu ketika akan keluar atau
sesudah kembali pulang, dan dibawanya pula dalam perjalanan
bila patung itu mengijinkan ia bepergian. Semua patung itu,
baik yang ada dalam Ka'bah atau yang ada disekelilingnya,
begitu juga yang ada di semua penjuru negeri Arab atau
kabilah-kabilah dianggap sebagai perantara antara
penganutnya dengan dewa besar. Mereka beranggapan
penyembahannya kepada dewa-dewa itu sebagai pendekatan
kepada Tuhan dan menyembah kepada Tuhan sudah mereka lupakan
karena telah menyembah berhala-berhala itu.
Meskipun Yaman mempunyai peradaban yang paling tinggi di
antara seluruh jazirah Arab, yang disebabkan oleh kesuburan
negerinya serta pengaturan pengairannya yang baik, namun ia
tidak menjadi pusat perhatian negeri-negeri sahara yang
terbentang luas itu, juga tidak menjadi pusat keagamaan
mereka. Tetapi yang menjadi pusat adalah Mekah dengan Ka'bah
sebagai rumah Ismail. Ke tempat itu orang berkunjung dan ke
tempat itu pula orang melepaskan pandang. Bulan-bulan suci
sangat dipelihara melebihi tempat lain.
Oleh karena itu, dan sebagai markas perdagangan jazirah
Arab yang istimewa, Mekah dianggap sebagai ibukota seluruh
jazirah. Kemudian takdirpun menghendaki pula ia menjadi
tanah kelahiran Nabi Muhammad, dan dengan demikian ia
menjadi sasaran pandangan dunia sepanjang zaman. Ka'bah
tetap disucikan dan suku Quraisy masih menempati kedudukan
yang tinggi, sekalipun mereka semua tetap sebagai
orang-orang Badwi yang kasar sejak berabad-abad lamanya.
Catatan kaki:
- Dikutip oleh Sir Muir dalam The Life of Mohammad,
p.xc.
- Cerita demikian terdapat dalam beberapa buku sejarah.
Encylopedia Britannica juga menyebutnya, dan dikutip oleh
penulis-penulis buku Historian's History of the World dan
juga dijadikan pegangan oleh Emile Derminghem dalam la
Vie de Mahomet. Akan tetapi At-Tabari menceritakan
melalui Hisyam ibn Muhammad bahwa setelah orang Yaman itu
pergi meminta bantuan Najasyi atas perbuatan Dhu Nuwas
serta menjelaskan apa yang telah dilakukannya terhadap
orang-orang Kristen oleh pembela agama Yahudi itu dan
memperlihatkan sebuah Injil yang sudah sebagian dimakan
api, Najasyi berkata: "Tenaga manusia di sini banyak,
tapi aku tidak punya kapal. Sekarang aku menulis surat
kepada Kaisar supaya mengirimkan kapal dan dengan itu
akan kukirimkan pasukanku." Lalu ia menulis surat kepada
Kaisar dengan melampirkan Injil yang sudah terbakar. Dan
menambahkan: "Hisyam ibn Muhammad menduga, bahwa setelah
kapal-kapal itu sampai ke tempat Najasyi, pasukannyapun
dinaikkan dan berangkat ke pantai Mandab." Lihat
Tarikh't-Tabari cetakan Al-Husainia, vol. 2, p. 106 dan
108.
- Beberapa keterangan dalam buku-buku sejarah
berbeda-beda tentang sebab penyerbuan Abisinia (Habasya)
ini ke Yaman. Keterangan itu mengatakan, bahwa hubungan
dagang antara Arab Musta'riba di Hijaz dengan Yaman dan
Abisinia terus berlangsung. Pada waktu itu pantai-pantai
Habasya membentang sepanjang Laut Merah lengkap dengan
armada perdagangannya. Karena kekayaan dan kesuburannya,
Kerajaan Rumawi ingin sekali menguasai Yaman. Aelius
Galius penguasa (prefek) Kaisar Rumawi di Mesir
mengadakan persiapan. akan menyerbu Yaman. Pasukannya
dikerahkan menyeberangi Laut Merah ke Yaman dan juga
menyerang Najran. Tetapi karena adanya penyakit yang
menyerang mereka. Orang-orang Yaman mudah sekali mengusir
mereka itu dan merekapun kembali ke Mesir. Sesudah itupun
Rumawi berturut-turut menyerang jazirah Arab di Yaman dan
di luar Yaman, tapi kenyataannya tidak lebih
menguntungkan dan yang pernah dilakukan oleh Galius. Saat
itu Najasyi di Abisinia merasa perlu mengadakan
pembalasan terhadap Yaman yang telah memaksakan agama
Yahudi terhadap orangorang Rumawi yang beragama Kristen.
Pasukan Aryat dikerahkan menyerbu Yaman dan berkuasa di
tempat itu sampai pada waktu Persia datang mengusir
mereka.
|