BAGIAN KEDUAPULUH TUJUH: TABUK DAN KEMATIAN
IBRAHIM (3/3)
Hanya saja sesudah Tabuk, Abdullah b. Ubayy ini tidak
lama lagi hidupnya. Setelah dua bulan menderita sakit ia
mati. Meskipun rasa dengki terhadap Muslimin sudah
menggerogoti hatinya sejak Nabi tinggal di Medinah, namun
Muhammad lebih suka kaum Muslimin jangan menggangu Ibn
Ubayy. Ketika orang ini meninggal dan Nabi diminta
menyembahyangkannya, dengan segera pula Nabi pun
menyembahyangkan dan mendoakan ketika dikuburkan sampai
upacara itu selesai. Dengan matinya Ibn Ubayy sendi kaum
Munafik itu juga runtuh. Mereka yang masih ada, sekarang
dengan sungguh-sungguh mereka bertaubat kepada Tuhan.
Dengan ekspedisi Tabuk ini maka selesailah amanat Tuhan
diajarkan ke seluruh jazirah Arab, dan Muhammad sudah merasa
aman dari setiap permusuhan yang akan ditujukan kepada
agama. Utusan-utusan dari pelbagai daerah sekarang datang
menghadap kepadanya dengan menyatakan sekali kesetiaannya
serta mengumumkan pula keislamannya. Ekspedisi sekali ini
buat Nabi a.s. merupakan ekspedisi terakhir. Sesudah itu
Muhammad menetap di Medinah, menikmati karunia pemberian
Tuhan kepadanya. Ibrahim anaknya merupakan jantung hati
cindur mata selama enambelas atau delapanbelas bulan.
Apabila ia selesai menerima para utusan, mengurus
masalah-masalah kaum Muslimin, menunaikan kewajiban kepada
Tuhan serta hak kewajiban seluruh keluarga, hatinya merasa
sejuk dengan melihat bayi yang selalu berkembang dan baik
sekali pertumbuhannya itu. Makin lama makin jelas
kesamaannya, yang membuat sang ayah makin cinta dan kasih
kepadanya. Sepanjang bulan itu yang menjadi inang
pengasuhnya ialah Umm Saif, yang menyusui dan memberikan
susu kambing pengasih Nabi dulu itu.
Cinta-kasih Muhammad kepada Ibrahim sebenarnya bukan
karena suatu maksud pribadi yang ada hubungannya dengan
Risalah yang dibawanya, atau dengan yang akan menjadi
penggantinya. Muhammad a.s. dengan imannya kepada Tuhan dan
kepada Risalah Tuhan tidak akan memikirkan anak atau siapa
yang akan mewarisinya. Bahkan dikatakannya:
"Kami para Nabi, tidak dapat diwarisi. Apa yang kami
tinggalkan untuk sedekah."
Akan tetapi, rasa kasih insani dalam artinya yang luhur,
rasa kasih insani yang begitu dalam tertanam dalam hati
Muhammad - yang kiranya tidak akan dicapai oleh siapa pun,
rasa insani yang akan membuat manusia Arab memandang anak
laki-laki yang akan mewarisinya sebagai sebuah lukisan abadi
- rasa kasih inilah yang telah membuat Muhammad mencurahkan
semua cintanya kepada Ibrahim, kasih-sayang yang tiada
taranya. Dan rasa kasih ini lebih parah merasuk ke dalam
hati, karena sebelum itu ia telah kehilangan kedua puteranya
- Qasim dan Tahir, - dan keduanya masih bayi dalam pangkuan
Khadijah ibunya. Setelah Khadijah wafat ia kehilangan
puteri-puterinya pula, satu demi satu, setelah mereka
bersuami dan menjadi ibu. Sekarang tak ada lagi yang masih
hidup, selain Fatimah. Putera-putera dan puteri-puteri itu,
yang satu demi satu berguguran di tangannya dan dengan
tangannya sendiri pula ia menguburkan mereka ke dalam
pusara, yang telah meninggalkan luka yang begitu pedih dalam
hatinya, kini terasa terobat juga dengan lahirnya Ibrahim,
tempat buah hati meletakkan segala harapan. Dan sudah
sepantasnya pula bila dengan harapan itu ia merasa gembira,
merasa bahagia.
Tetapi harapan ini tidak
berlangsung lama; hanya selama beberapa bulan saja seperti
yang sudah kita sebutkan. Sesudah itu Ibrahim jatuh sakit,
sakit yang sangat menguatirkan. Ia dipindahkan ke sebuah
tempat dengan kebun kurma di samping Masyraba Umm Ibrahim.
Maria dan Sirin adiknya selalu menjaga dan merawatnya. Bayi
ini tidak lama sakitnya Tatkala ajal sudah dekat dan Nabi
diberi tahu, karena rasa sedih yang sangat mendalam, ia
berjalan dengan memegang tangan Abdur-Rahman b. 'Auf sambil
bertumpu kepadanya. Bila ia sudah sampai ke tempat itu di
samping 'Alia - tempat Masyraba yang sekarang - dijumpainya
Ibrahim dalam pangkuan ibunya, sedang menarik napas
terakhir. Diambilnya anak itu, lalu diletakkannya di
pangkuannya dengan hati yang remuk-redam rasanya. Tangannya
menggigil. Kalbu yang duka dan pilu rasa mencekam seluruh
sanubari. Lukisan hati yang sedih mulai membayang dalam raut
wajahnya. Sambil meletakkan anak itu di pangkuan ia
berkata:
"Ibrahim, kami tak dapat menolongmu dari kehendak
Tuhan."
Dalam keadaan hening yang menekan itu kemudian airmatanya
berderai bercucuran, sementara anak itu sedang menarik napas
terakhir. Sang ibu dan Sirin menangis menjerit-jerit; oleh
Rasulullah dibiarkan mereka begitu.
Setelah tubuh Ibrahim
tiada bergerak lagi, sudah tiada bernyawa, dan dengan
kematiannya itu padam pula semua harapan yang selama ini
membuka hati Nabi, makin deras pula airmata Muhammad
mengucur, sambil ia berkata:
"Oh Ibrahim, kalau bukan karena soal kenyataan, dan janji
yang tak dapat dibantah lagi, dan bahwa kami yang kemudian
akan menyusul orang yang sudah lebih dahulu daripada kami,
tentu akan lebih lagi kesedihan kami dari ini." Dan setelah
diam sejenak, katanya lagi: "Mata boleh bercucuran, hati
dapat merasa duka, tapi kami hanya berkata apa yang menjadi
perkenan Tuhan, dan bahwa kami, O Ibrahim, sungguh sedih
terhadapmu."
Muslimin yang melihat Muhammad begitu duka, beberapa
orang terkemuka hendak mengurangi hal itu dengan
mengingatkannya akan larangannya berbuat demikian. Tapi ia
menjawab: "Aku tidak melarang orang berduka cita, tapi yang
kularang menangis dengan suara keras. Apa yang kamu lihat
dalam diriku sekarang, ialah pengaruh cinta dan kasih
didalam hati. Orang yang tiada menunjukkan kasih sayangnya,
orang lain pun tiada akan menunjukkan kasih sayang
kepadanya." Atau seperti dikatakan juga: Kemudian ia
berusaha menahan duka hatinya. Ia memandang Maria dan Sirin
dengan pandangan penuh kasih. Kepada mereka dimintanya
supaya lebih tenang sambil katanya: "Ia akan mendapat inang
pengasuh di surga."
Kemudian setelah ia dimandikan oleh Umm Burda, - sumber
lain menyebutkan oleh Fadzl bin'l-'Abbas - dibawa dari rumah
itu di atas sebuah ranjang kecil. Nabi dan Abbas pamannya,
begitu juga sejumlah kaum Muslimin ikut mengantarkan sampai
ke Baqi'. Di tempat itu ia dimakamkan setelah
disembahyangkan oleh Nabi. Selesai pemakaman Muhammad minta
supaya makam itu ditutup kemudian diratakannya dengan
tangannya sendiri. Ia memercikkan air dan memberi tanda di
atas kubur itu. Lalu katanya:
"Sebenarnya ini tidak membawa kerugian, juga tidak
mendatangkan keuntungan. Tetapi hanya akan menyenangkan hati
orang yang masih hidup. Apabila orang mengerjakan sesuatu,
Tuhan lebih suka bila dikerjakan secara sempurna."
Bersamaan dengan kematian Ibrahim itu kebetulan terjadi
pula matahari gerhana. Kaum Muslimin menganggap peristiwa
itu suatu mujizat. Kata mereka matahari gerhana karena
Ibrahim meninggal. Hal ini terdengar oleh Nabi.
Karena cintanya yang begitu besar kepada Ibrahim, dan
rasa duka yang begitu dalam karena kematiannya, adakah ia
lalu merasa terhibur mendengar kata-kata itu, atau
setidak-tidaknya akan didiamkan saja, menutup mata melihat
orang sudah begitu terpesona karena telah menganggap itu
suatu mujizat? Tidak. Dalam keadaan serupa itu, kalau pun
ini layak dilakukan oleh mereka yang suka mengambil
kesempatan karena kebodohan orang, atau layak dilakukan oleh
mereka yang sudah tak sadar karena terlampau sedih, buat
orang yang berpikir sehat tentu hal ini tidak layak, apalagi
buat Nabi Besar! Muhammad melihat mereka yang mengatakan
bahwa matahari telah jadi gerhana karena kematian Ibrahim,
dalam khotbahnya kepada mereka ia berkata:
"Matahari dan bulan ialah tanda kebesaran Tuhan, yang
tidak akan jadi gerhana karena kematian atau hidupnya
seseorang. Kalau kamu melihat hal itu, berlindunglah dalam
zikir kepada Tuhan dengan berdoa."
Sungguh suatu kebesaran yang tiada taranya. Rasul tidak
melupakan risalahnya itu dalam suatu situasi yang begitu
gawat, situasi jiwa yang sedang dalam keharuan dan kesedihan
yang amat dalam! Kalangan Orientalis dalam menanggapi
peristiwa yang terjadi terhadap diri Muhammad ini, tidak
bisa lain mereka bersikap hormat dan kagum sekali! Mereka
tidak dapat menyembunyikan rasa kekaguman dan rasa hormatnya
itu kepadanya. Mereka menyatakan pengakuan mereka tentang
kejujuran orang itu, yang dalam situasi yang sangat gawat ia
tetap mempertahankan hak dan kejujurannya yang
sungguh-sungguh !
Gerangan bagaimana pula perasaan isteri-isteri Nabi
melihat kesedihan dan dukacita yang menimpanya begitu
mendalam karena kematian Ibrahim itu? Dia sendiri sudah
merasa terhibur dengan karunia Tuhan itu dan dapat pula
meneruskan tugas menunaikan risalah serta dengan
bertambahnya Islam tersebar pada perutusan yang
terus-menerus datang kepadanya dari segenap penjuru,
sehingga tahun kesepuluh Hijrah ini diberi nama 'Am'lWufud -
Tahun Perutusan.' Pada tahun itulah Abu Bakr memimpin orang
menunaikan ibadat haji.
Catatan kaki:
1 Zakat 'usyr
ialah zakat hasil bumi yang dikenakan 1/10 dari produksi
hasil pertanian bila diolah dengan bantuan air hujan atau
mata air alam dan 1/20 bila diairi dengan menggunakan
tenaga. Ada yang berpendapat, bahwa secara teknis ini bukan
zakat, karena yang dikenakan hanya hasilnya (A).
2 Pajak kepala
sebagai kompensasi atas setiap non-Muslim di bawah
pemerintahan Islam dengan mendapat jarninan keamanan dan
dibebaskannya ia dari wajib militer (A)
3 Aila ialah
Elath atau 'Aqaba sekarang, di dekat Teluk Aqaba (A).
4 Jarba' sebuah
desa di dekat Amman di bilangan Balqa, wilayah Syam.
5 'Adhruh, nama
tempat di ujung Syam antara Balqa, dengan Amman, berdekatan
dengan Hijaz dan tidak jauh dari Jarba'.
6 Duma, ialah
yang dikenal dengan nama Dumat'l-Jandal, terletak sekitar
220 km dari Damsyik ke jurusan Medinah.
7 Mesjid ini
dikenal dengan nama 'Masjid Dziral' atau 'Masjid Bencana,'
dzirar harfiah berarti 'kerusuhan,' 'kerugian,', 'bahaya'
(A).
|