BAGIAN KESEBELAS: PERANG UHUD1
(1/3)
SEJAK terjadinya perang Badr pihak Quraisy sudah tidak
pernah tenang lagi. Juga penstiwa Sawiq tidak membawa
keuntungan apa-apa buat mereka. Lebih-lebih karena kesatuan
Zaid b. Haritha telah berhasil mengambil perdagangan mereka
ketika mereka hendak pergi ke Syam melalui jalan Irak. Hal
ini mengingatkan mereka pada korban-korban Badr dan menambah
besar keinginan mereka hendak membalas dendam. Bagaimana
Quraisy akan dapat melupakan peristiwa itu, sedang mereka
adalah bangsawan-bangsawan dan pemimpin-pemimpin Mekah,
pembesar-pembesar yang angkuh dan punya kedudukan terhormat?
Bagaimana mereka akan dapat melupakannya, padahal
wanita-wanita Mekah selalu ingat akan korban-korban yang
terdiri dari anak, atau saudara, bapak, suami atau teman
sejawat? Mereka selalu berkabung, selalu menangisi dan
meratapi.
Demikianlah keadaannya. Orang-orang Quraisy sejak Abu
Sufyan b. Harb datang membawa kafilahnya dari Syam, yang
telah menyebabkan timbulnya perang Badr, begitu juga mereka
yang selamat kembali dan Badr, telah menghentikan kafilah
dagang itu di Dar'n-Nadwa. Pembesar-pembesar mereka yang
terdiri dari Jubair b. Mut'im, Shafwan b. Umayya' 'Ikrima b.
Abi Jahl, Harith b. Hisyam, Huaitib b. Abd'l-'Uzza dan yang
lain, telah mencapai kata sepakat, bahwa kafilah dagang itu
akan dijual, keuntungannya akan disisihkan dan akan dipakai
menyiapkan angkatan perang guna memerangi Muhammad, dengan
memperbesar jumlah dan perlengkapannya. Selanjutnya tenaga
kabilah-kabilah akan dikerahkan dan supaya ikut serta
bersama-sama dengan Quraisy menuntut balas terhadap kaum
Muslimin. Ikut pula dikerahkan di antaranya Abu 'Azza
penyair yang telah dimaafkan oleh Nabi dan antara tawanan
perang Badr. Begitu juga kabilah Ahabisy2 yang
mau ikut mereka dikerahkan pula. Wanita-wanita pun mendesak
akan ikut pergi berperang.
Mereka berunding lagi. Ada yang berpendapat supaya kaum
wanita juga ikut serta.
"Biar mereka bertugas merangsang kemarahan kamu, dan
mengingatkan kamu kepada korban-korban Badr. Kita adalah
masyarakat yang sudah bertekad mati, tidak akan pulang
sebelum sempat melihat mangsa kita, atau kita sendiri mati
untuk itu."
"Saudara-saudara dari Quraisy," kata yang lain lagi.
"Melepaskan wanita-wanita kita kepada musuh, bukanlah suatu
pendapat yang baik. Apabila kalian mengalami kekalahan,
wanita-wanita kitapun akan tercemar."
Sementara mereka sedang dalam perundingan itu tiba-tiba
Hindun bt. 'Utba, isteri Abu Sufyan berteriak kepada mereka
yang menentang ikut sertanya kaum wanita itu:
"Kamu yang selamat dari perang Badr kamu kembali kepada
isterimu. Ya. Kita berangkat dan ikut menyaksikan
peperangan. Jangan ada orang yang menyuruh kami pulang,
seperti gadis-gadis kita dulu dalam perjalanan ke Badr
disuruh kembali ketika sudah sampai di Juhfa.3
Kemudian orang-orang yang menjadi kesayangan kita waktu itu
terbunuh, karena tak ada orang yang dapat memberi semangat
kepada mereka."
Akhirnya pihak Quraisy berangkat dengan
membawa kaum wanitanya juga, dipimpin oleh Hindun. Dialah
orang paling panas hati ingin membalas dendam, karena dalam
peristiwa Badr itu ayahnya, saudaranya dan orang-orang yang
dicintainya telah mati terbunuh. Keberangkatan Quraisy
dengan tujuan Medinah yang disiapkan dari Dar'n-Nadwa itu
terdiri dan tiga brigade. Brigade terbesar dipimpin oleh
Talha b. Abi Talha terdiri dari 3000 orang. Kecuali 100
orang saja dari Thaqif,4 selebihnya semua dari
Mekah, termasuk pemuka-pemuka, sekutu-sekutu serta golongan
Ahabisynya. Perlengkapan dan senjata tidak sedikit yang
mereka bawa, dengan 200 pasukan berkuda dan 3000 unta, di
antaranya 700 orang berbaju besi.
Sesudah ada kata sepakat, sekarang sudah siap mereka akan
berangkat. Sementara itu 'Abbas b. Abd'l-Muttalib, paman
Nabi, yang juga berada di tengah-tengah mereka, dengan
teliti dan saksama sekali memperhatikan semua kejadian itu.
Disamping kesayangannya pada agama nenek-moyangnya dan agama
golongannya sendiri, juga Abbas mempunyai rasa solider dan
sangat mengagumi Muhammad. Masih ingat ia perlakuannya yang
begitu baik ketika perang Badr. Mungkin karena rasa kagum
dan solidernya itu yang membuat dia ikut Muhammad
menyaksikan Ikrar 'Aqaba dan berbicara kepada Aus dan
Khazraj bahwa kalau mereka tidak akan dapat mempertahankan
kemenakannya itu seperti mempertahankan isteri dan anak-anak
mereka sendiri, biarkan sajalah keluarganya sendiri yang
melindunginya, seperti yang sudah-sudah.
Hal inilah yang mendorongnya - tatkala diketahuinya
keputusan Quraisy akan berangkat dengan kekuatan yang begitu
besar - sampai ia menulis surat menggambarkan segala
tindakan, persiapan dan perlengkapan mereka itu. Surat itu
diserahkannya kepada seseorang dari kabilah Ghifar supaya
disampaikan kepada Nabi. Dan orang inipun sampai di Medinah
dalam tiga hari, dan surat itupun diserahkan.
Dalam pada itu pasukan Quraisypun sudah pula berangkat
sampai di Abwa'. Ketika melalui makam Aminah bt. Wahb,
timbul rasa panas hati beberapa orang yang pendek pikiran.
Terpikir oleh mereka akan membongkarnya. Tetapi
pemuka-pemuka mereka menolak perbuatan demikian; supaya
jangan kelak menjadi kebiasaan Arab.
"Jangan menyebut-nyebut soal ini," kata mereka. "Kalau
ini kita lakukan, Banu Bakr dan Banu Khuza'a akan membongkar
juga kuburan mayat-mayat kita."
Quraisy meneruskan perjalanan sampai di 'Aqiq, kemudian;
mereka berhenti di kaki gunung Uhud, dalam jarak lima mil
dari Medinah.
Orang dari Ghifar yang diutus oleh Abbas
b. Abd'l-Muttalib membawa surat ke Medinah itu telah sampai.
Setelah diketahuinya berada di Quba', ia langsung pergi ke
sana dan dijumpainya Muhammad di depan pintu mesjid sedang
menunggang keledai
Diserahkannya surat itu kepadanya, yang kemudian
dibacakan oleh Ubay b. Ka'b. Muhammad minta isi surat itu
supaya dirahasiakan, dan ia kembali ke Medinah langsung
menemui Sa'd ibn'l-Rabi' di rumahnya. Diceritakannya apa
yang telah disampaikan 'Abbas kepadanya itu dan juga
dimintanya supaya hal itu dirahasiakan. Akan tetapi isteri
Sa'd yang sedang dalam rumah waktu itu mendengar juga
percakapan mereka, dan dengan demikian sudah tentu tidak
lagi hal itu menjadi rahasia.
Dua orang anak-anak Fudzala, yaitu Anas dan Mu'nis, oleh
Muhammad ditugaskan menyelidiki keadaan Quraisy. Menurut
pengamatan mereka kemudian ternyata Quraisy sudah mendekati
Medinah. Kuda dan unta mereka dilepaskan di padang rumput
sekeliling Medinah. Di samping dua orang itu kemudian
Muhammad mengutus lagi Hubab ibn'l-Mundhir bin'l-Jamuh.
Setelah keadaan mereka itu disampaikan kepadanya seperti
dikabarkan oleh 'Abbas, Nabi s.a.w. jadi terkejut sekali.
Ketika kemudian Salama b. Salama keluar, ia melihat barisan
depan pasukan kuda Quraisy sudah mendekati Medinah, bahkan
sudah hampir memasuki kota. Ia segera kembali dan apa yang
dilihatnya itu disampaikannya kepada masyarakatnya. Sudah
tentu pihak Aus dan Khazraj, begitu juga semua penduduk
Medinah merasa kuatir sekali akan akibat serbuan ini, yang
dalam sejarah perang, Quraisy belum pernah mengadakan
persiapan sebaik itu. Pemuka-pemuka Muslimin dari penduduk
Medinah malam itu berjaga-jaga dengan senjata di mesjid guna
menjaga keselamatan Nabi. Sepanjang malam itu seluruh kota
dijaga ketat.
Keesokan harinya orang-orang terkemuka
dari kalangan Muslimin dan mereka yang pura-pura Islam -
atau orang-orang munafik seperti disebutkan waktu itu dan
seperti dilukiskan pula oleh Qur'an - oleh Nabi diminta
berkumpul; lalu mereka sama-sama bermusyawarah, bagaimana
seharusnya menghadapi musuh Nabi 'alaihi's-salam berpendapat
akan tetap bertahan dalam kota dan membiarkan Quraisy di
luar kota. Apabila mereka mencoba menyerbu masuk kota maka
penduduk kota ini akan lebih mampu menangkis dan mengalahkan
mereka. Abdullah b. Ubay b. Salul mendukung pendapat Nabi
itu dengan mengatakan:
"Rasulullah, biasanya kami bertempur di tempat ini, kaum
wanita dan anak-anak sebagai benteng kami lengkapi dengan
batu. Kota kami sudah terjalin dengan bangunan sehingga ia
merupakan benteng dari segenap penjuru. Apabila musuh sudah
muncul, maka wanita-wanita dan anak-anak melempari mereka
dengan batu. Kami sendiri menghadapi mereka di jalan-jalan
dengan pedang. Rasulullah, kota kami ini masih perawan,
belum pernah diterobos orang. Setiap ada musuh menyerbu kami
ke dalam kota ini kami selalu dapat menguasainya, dan setiap
kami menyerbu musuh keluar, maka selalu kami yang dikuasai.
Biarkanlah mereka itu. Rasulullah. Ikutlah pendapat saya
dalam hal ini. Saya mewarisi pendapat demikian ini dari
pemuka-pemuka dan ahli-ahli pikir golongan kami."
Apa yang dikatakan oleh Abdullah b. Ubayy itu adalah
merupakan pendapat terbesar sahabat-sahabat Rasulullah -
baik Muhajirin ataupun Anshar, mereka sependapat dengan
Rasul a.s. Akan tetapi pemuda-pemuda yang bersemangat yang
belum mengalami perang Badr - juga orang-orang yang sudah
pernah ikut dan mendapat kemenangan disertai hati yang penuh
iman, bahwa tak ada sesuatu kekuatan yang dapat mengalahkan
mereka - lebih suka berangkat keluar menghadapi musuh di
tempat mereka berada. Mereka kuatir akan disangka segan
keluar dan mau bertahan di Medinah karena takut menghadapi
musuh. Seterusnya apabila mereka ini di pinggiran dan di
dekat kota akan lebih kuat dari musuh. Ketika dulu mereka di
Badr penduduk tidak mengenal mereka samasekali.
Salah seorang diantara mereka ada yang berkata:
"Saya tidak ingin melihat Quraisy kembali ketengah-tengah
golongannya lalu mengatakan: Kami telah mengepung Muhammad
di dalam benteng dan kubu-kubu Yathrib. Ini akan membuat
Quraisy lebih berani. Mereka sekarang sudah menginjak-injak
daun palm kita. Kalau tidak kita usir mereka dari kebun
kita, kebun kita tidak akan dapat ditanami lagi. Orang-orang
Quraisy yang sudah tinggal selama setahun dapat mengumpulkan
orang, dapat menarik orang-orang Arab, dari badwinya sampai
kepada Ahabisynya. Kemudian, dengan membawa kuda dan
mengendarai unta, mereka kini telah sampai ke halaman kita.
Mereka akan mengurung kita di dalam rumah kita sendiri?
Didalam benteng kita sendiri? Lalu mereka pulang kembali
dengan kekayaan tanpa mengalami luka samasekali. Kalau kita
turuti, mereka akan lebih berani. Mereka akan menyerang kita
dan menaklukkan daerah-daerah kita. Kota kita akan berada
dibawah pengawasan mereka. Kemudian jalan kitapun akan
mereka potong."
Selanjutnya penganjur-penganjur yang menghendaki supaya
keluar menyongsong musuh masing-masing telah berbicara
berturut-turut. Mereka semua mengatakan, bahwa bila Tuhan
memberikan kemenangan kepada mereka atas musuh itu, itulah
yang mereka harapkan, dan itu pula kebenaran yang telah
dijanjikan Tuhan kepada RasulNya. Kalaupun mereka mengalami
kekalahan dan mati syahid pula, mereka akan mendapat
surga.
Kata-kata yang menanamkan semangat keberanian dan mati
syahid ini, sangat menggetarkan hati mereka. Jiwa mereka
tergugah semua untuk sama-sama menempuh arus ini, untuk
berbicara dengan nada yang sama. Waktu itu, bagi orang-orang
yang kini sedang berhadap-hadapan dengan Muhammad,
orang-orang yang hatinya sudah penuh dengan iman kepada
Allah dan RasulNya, kepada Qur'an dan Hari Kemudian, yang
tampak di hadapan mereka hanyalah wajah kemenangan terhadap
musuh agresor itu. Pedang-pedang mereka akan
mencerai-beraikan musuh itu, akan membuat mereka.
centang-perenang, dan rampasan perang akan mereka kuasai.
Lukisan surga adalah bagi mereka yang terbunuh di jalan
agama. Di tempat itu akan terdapat segala yang menyenangkan
hati dan mata, akan bertemu dengan kekasih yang juga sudah
turut berperang dan mati syahid.
"Ucapan yang sia-sia tidak mereka dengar di tempat itu,
juga tidak yang akan membawa dosa. Yang ada hanyalah ucapan
"Damai! Damai!" (Qur'an, 56: 25-26)
"Mudah-mudahan Tuhan memberikan kemenangan kepada kita,
atau sebaliknya kita mati syahid," kata Khaithama Abu Sa'd
b. Khaithama. "Dalam perang Badr saya telah meleset. Saya
sangat mendambakannya sekali, sehingga begitu besarnya
kedambaan saya sampai saya bersama anak saya turut ambil
bagian dalam pertempuran itu. Tapi kiranya dia yang
beruntung; ia telah gugur, mati syahid. Semalam saya
bermimpi bertemu dengan anak saya, dan dia berkata: Susullah
kami, kita bertemu dalam surga. Sudah saya terima apa yang
dijanjikan Tuhan kepada saya. Ya Rasulullah, sungguh rindu
saya akan menemuinya dalam surga. Saya sudah tua, tulang
sudah rapuh. Saya ingin bertemu Tuhan."
Setelah jelas sekali suara terbanyak ada
pada pihak yang mau menyerang dan menghadapi musuh di luar
kota, Muhammad berkata kepada mereka:
"Saya kuatir kamu akan kalah."
Tetapi mereka ingin berangkat juga. Tak ada jalan lain
iapun menyerah kepada pendapat mereka. Cara musyawarah ini
sudah menjadi undang-undang dalam kehidupannya. Dalam
sesuatu masalah ia tidak mau bertindak sendiri, kecuali yang
sudah diwahyukan Tuhan kepadanya.
Hari itu hari Jum'at. Nabi memimpin sembahyang jamaah,
dan kepada mereka diberitahukan, bahwa atas ketabahan hati
mereka itu, mereka akan beroleh kemenangan. Lalu dimintanya
mereka bersiap-siap menghadapi musuh.
Selesai sembahyang Asar Muhammad masuk kedalam rumahnya
diikuti oleh Abu Bakr dan Umar. Kedua orang ini memakaikan
sorban dan baju besinya dan ia mengenakan pula pedangnya.
Sementara ia tak ada di tempat itu orang di luar sedang
ramai bertukar pikiran. Usaid b. Hudzair dan Sa'd b. Mu'adh
- keduanya termasuk orang yang berpendapat mau bertahan
dalam kota berkata kepada mereka yang berpendapat mau
menyerang musuh di luar:
"Tuan-tuan mengetahui, Rasulullah berpendapat mau
bertahan dalam kota, lalu tuan-tuan berpendapat lain lagi,
dan memaksanya bertempur ke luar. Dia sendiri enggan berbuat
demikian. Serahkan sajalah soal ini di tangannya. Apa yang
diperintahkan kepadamu, jalankanlah. Apabila ada sesuatu
yang disukainya atau ada pendapatnya, taatilah."
Mendengar keterangan itu mereka yang menyerukan supaya
menyerang saja, jadi lebih lunak. Mereka menganggap telah
menentang Rasul mengenai sesuatu yang mungkin itu datang
dari Tuhan. Setelah kemudian Nabi datang kembali ke
tengah-tengah mereka, dengan memakai baju besi dan sudah
pula mengenakan pedangnya, mereka yang tadinya menghendaki
supaya mengadakan serangan berkata:
"Rasulullah, bukan maksud kami hendak menentang tuan.
Lakukanlah apa yang tuan kehendaki. Juga kami tidak
bermaksud memaksa tuan. Soalnya pada Tuhan, kemudian pada
tuan."
"Kedalam pembicaraan yang semacam inilah saya ajak
tuan-tuan tapi tuan-tuan menolak," kata Muhammad. "Tidak
layak bagi seorang nabi yang apabila sudah mengenakan
pakaian besinya lalu akan menanggalkannya kembali, sebelum
Tuhan memberikan putusan antara dirinya dengan musuhnya.
Perhatikanlah apa yang saya perintahkan kepada kamu
sekalian, dan ikuti. Atas ketabahan hatimu, kemenangan akan
berada di tanganmu."
Demikianlah prinsip musyawarah itu oleh Muhammad sudah
dijadikan undang-undang dalam kehidupannya. Apabila sesuatu
masalah yang dibahas telah diterima dengan suara terbanyak,
maka hal itu tak dapat dibatalkan oleh sesuatu keinginan
atau karena ada maksud-maksud tertentu. Sebaliknya ia harus
dilaksanakan, tapi orang yang akan melaksanakannya harus
pula dengan cara yang sebaik-baiknya dan diarahkan ke suatu
sasaran yang yang akan mencapai sukses.
Sekarang Muhammad berangkat memimpin kaum
Muslimin menuju Uhud. Di Syaikhan5 ia berhenti.
Dilihatnya di tempat itu ada sepasukan tentara yang
identitasnya belum dikenal. Ketika ditanyakan, kemudian
diperoleh keterangan, bahwa mereka itu orang-orang Yahudi
sekutu Abdullah b. Ubayy. Lalu kata Nabi 'alaihi'ssalam:
"Jangan minta pertolongan orang-orang musyrik dalam melawan
orang musyrik, - sebelum mereka masuk Islam."
|