BAGIAN KETIGAPULUH: SAKIT DAN WAFATNYA NABI
(1/3)
Semua itu disaksikan oleh sahabat-sahabat Muhammad.
Mereka melihat dia memikul beban yang begitu berat tidak
mengenal sakit. Apabila kemudian ia jatuh sakit, sudah
sepantasnya sahabat-sahabatnya itu jadi kuatir, dan menunda
perjalanan dari markas mereka di Jurf ke Syam, sebelum
mereka yakin benar apa yang akan terjadi dengan kehendak
Tuhan kepada diri Nabi.
Ada suatu peristiwa yang
membuat mereka lebih cemas lagi. Pada malam pertama Muhammad
merasa sakit ia tak dapat tidur, lama sekali tak dapat
tidur. Dalam hatinya ia berkata, bahwa ia akan keluar pada
malam musim itu, musim panas yang disertai hembusan angin di
sekitar kota Medinah. Ketika itulah ia keluar, hanya
ditemani oleh pembantunya, Abu Muwayhiba. Tahukah ke mana ia
pergi? Ia pergi ke Baqi'l-Gharqad, pekuburan Muslim di dekat
Medinah. Sesampainya di pekuburan itu ia berbicara kepada
penghuni kubur, katanya, "Salam sejahtera bagimu, wahai
penghuni kubur! Semoga kamu selamat akan apa yang terjadi
atas dirimu, seperti atas diri orang lain. Fitnah telah
datang seperti malam gelap-gulita, yang kemudian menyusul
yang pertama, dan yang kemudian lebih jahat dari yang
pertama."
Abu Muwayhiba ini juga bercerita, bahwa ketika pertama
kali sampai di Baqi'l-Gharqad Nabi berkata kepadanya:
"Aku mendapat perintah memintakan ampun untuk penghuni
Baqi, ini. Baiklah engkau berangkat bersama aku!"
Setelah memintakan ampun dan tiba saatnya akan kembali,
ia menghampiri Abu Muwayhiba seraya katanya:
"Abu Muwayhiba, aku telah diberi anak kunci isi dunia ini
serta kekekalan hidup di dalamnya, sesudah itu surga. Aku
disuruh memilih ini atau bertemu dengan Tuhan dan
surga."
Kata Abu Muwayhiba:
"Demi ayah bundaku! Ambil sajalah kunci isi dunia ini dan
hidup kekal di dalamnya, kemudian surga."
"Tidak, Abu Muwayhiba," kata Muhammad. "Aku memilih
kembali menghadap Tuhan dan surga."
Abu Muwayhiba bercerita apa yang telah dilihat dan apa
yang telah didengarnya; sebab Nabi mulai menderita sakit
ialah keesokan harinya setelah malam itu ia pergi ke Baqi'.
Orang jadi makin cemas, dan pasukan tidak jadi bergerak.
Memang benar, bahwa Hadis yang dibawa melalui Abu Muwayhiba
ini oleh beberapa ahli sejarah diterima dengan agak sangsi.
Disebutkan bahwa bukan karena sakit Muhammad itu saja yang
membuat pasukan tidak jadi bergerak ke Palestina, tetapi
karena banyaknya orang yang menggerutu, yang disebabkan oleh
penunjukan Usama dalam usia semuda itu sebagai pemimpin
pasukan yang terdiri dari orang-orang penting dalam kalangan
Anshar dan Muhajirin yang mula-mula. Itulah yang lebih
banyak mempengaruhi tidak berangkatnya pasukan itu daripada
sakitnya Muhammad. Dalam memberikan pendapatnya ahli-ahli
sejarah itu berpegang pada peristiwa-peristiwa yang sudah
pembaca ikuti dalam bagian (bab) ini. Kalau kita tidak akan
mendebat mereka yang berpendapat seperti apa yang
diceritakan oleh Abu Muwayhiba secara terperinci itu, kita
pun mendapat alasan akan menolak dasar kejadian-kejadian
itu, dan menolak kepergian Nabi ke Baqi'l-Gharqad serta
memintakan ampunan buat penghuni kubur, juga adanya perasaan
yang kuat akan dekatnya waktu, yaitu waktu menghadap Tuhan.
Ilmu pengetahuan masa kita sekarang ini pun tidak menolak
adanya spiritisma sebagai salah satu gejala psychis.
Perasaan yang kuat akan dekatnya ajal itu sudah banyak
dialami orang, sehingga siapa saja tidak sedikit orang yang
dapat menceritakan apa yang diketahuinya tentang
peristiwa-peristiwa itu. Juga adanya hubungan antara yang
hidup dengan yang mati, antara kesatuan masa lampau dengan
masa datang, kesatuan yang tidak terbatas oleh ruang dan
waktu, dewasa ini sudah pula dapat ditentukan, meskipun -
menurut kodrat bentuk kita -masih terbatas sekali kita akan
dapat mengungkapkan keadaan sebenarnya.
Kalau sudah itu yang dapat kita lihat sekarang dan sudah
diakui oleh ilmu pengetahuan, tidak ada alasan kita akan
menolak dasar peristiwa seperti apa yang diceritakan oleh
Abu Muwayhiba itu, juga tak ada alasan kita dapat menolak
adanya apa yang sudah dapat dipastikan mengenai komunikasi
Muhammad dalam arti rohani dan spiritual dengan alam semesta
ini demikian rupa, sehingga ia dapat menangkap persoalan itu
sekian kali lipat daripada yang biasa ditangkap oleh para
ahli dalam bidang ini.
Keesokan harinya bila tiba
waktunya ia ke tempat Aisyah, dilihatnya Aisyah sedang
mengeluh karena sakit kepala: "Aduh kepalaku!" Tetapi ia
berkata - sedang dia sudah mulai merasa sakit: "Tetapi
akulah, Aisyah, yang merasa sakit kepala."
Tetapi sakitnya belum begitu keras dalam arti ia harus
berbaring di tempat tidur atau akan merintanginya pergi
kepada keluarga dan isteri-isterinya untuk sekedar mencumbu
dan bergurau. Setiap didengarnya ia mengeluh Aisyah juga
mengulangi lagi mengeluh sakit kepala.
Lalu kata Nabi, "Apa salahnya kalau engkau yang mati
lebih dulu sebelum aku. Aku yang akan mengurusmu,
mengafanimu, menyembahyangkan kau dan menguburkan kau!"
Karena senda-gurau itu cemburu kewanitaannya timbul dalam
hati Aisyah yang masih muda itu, sekaligus cintanya akan
gairah hidup ini, lalu katanya:
"Dengan begitu yang lain mendapat nasib baik. Demi Allah,
dengan apa yang sudah kaulakukan itu seolah engkau menyuruh
aku pulang ke rumah dan dalam pada itu kau akan berpengantin
baru dengan isteri-isterimu."
Nabi tersenyum, meskipun rasa sakitnya tidak mengijinkan
ia terus bergurau.
Setelah rasa sakitnya terasa agak berkurang, ia
mengunjungi isteri-isterinya seperti biasa. Tetapi kemudian
sakitnya terasa kambuh lagi, dan terasa lebih keras lagi.
Ketika ia sedang berada di rumah Maimunah ia sudah tidak
dapat lagi mengatasinya. Ia merasa perlu mendapat perawatan.
Ketika itu dipanggilnya isteri-isterinya ke rumah Maimunah.
Dimintanya ijin kepada mereka, setelah melihat keadaannya
begitu, bahwa ia akan dirawat di rumah Aisyah.
Isteri-isterinya mengijinkan ia pindah.
Dengan berikat kepala, ia keluar sambil bertopang dalam
jalannya itu kepada Ali b. Abi Talib dan kepada 'Abbas
pamannya. Ia sampai di rumah Aisyah dengan kaki yang sudah
terasa lemah sekali.
Pada hari-hari pertama ia jatuh sakit,
demamnya sudah terasa makin keras, sehingga ia merasa seolah
seperti dibakar. Sungguh pun begitu, ketika demamnya menurun
ia pergi berjalan ke mesjid untuk memimpin sembahyang. Hal
ini dilakukannya selama berhari-hari. Tapi tidak lebih dari
sembahyang saja. Ia sudah tidak kuat duduk bercakap-cakap
dengan sahabat-sahabatnya. Namun begitu apa yang dibisikkan
orang bahwa dia menunjuk anak yang masih muda belia di atas
kaum Muhajirin dan Anshar yang terkemuka untuk menyerang
Rumawi, terdengar juga oleh Nabi. Meskipun dari hari ke hari
sakitnya bertambah juga, tapi dengan adanya bisik-bisik
demikian itu rasanya perlu ia bicara dan berpesan kepada
mereka. Dalam hal ini ia berkata kepada isteri-isteri dan
keluarganya:
"Tuangkan kepadaku tujuh kirbat air dari pelbagai sumur,
supaya aku dapat menemui mereka dan
berpesan4
kepada mereka."
Lalu dibawakan air dari beberapa sumur, dan setelah oleh
isteri-isterinya ia didudukkan di dalam pasu kepunyaan
Hafsha, ketujuh kirbat air itu disiramkan kepadanya.
Kemudian katanya: Cukup. Cukup.
Lalu ia mengenakan
pakaian kembali, dan dengan berikat kepala ia pergi ke
mesjid. Setelah duduk di atas mimbar, ia mengucapkan puji
dan syukur kepada Allah, kemudian mendoakan dan memintakan
ampunan buat sahabat-sahabatnya yang telah gugur di Uhud.
Banyak sekali ia mendoakan mereka itu. Kemudian katanya
:
"Saudara-saudara. Laksanakanlah keberangkatan Usama itu.
Demi hidupku. Kalau kamu telah banyak bicara tentang
kepemirnpinnya, tentang kepemimpinan ayahnya dulu pun juga
kamu banyak bicara. Dia sudah pantas memegang pimpinan,
seperti ayahnya dulu juga pantas memegang pimpinan."
Muhammad diam sebentar. Sementara itu orang-orang juga
diam, tiada yang bicara. Kemudian ia meneruskan berkata
lagi:
"Seorang hamba Allah oleh Tuhan telah disuruh memilih
antara dunia dan akhirat dengan apa yang ada padaNya, maka
ia memilih yang ada pada Tuhan."
Muhammad diam lagi, dan orang-orang juga diam tidak
bergerak. Tetapi Abu Bakr segera mengerti, bahwa yang
dimaksud oleh Nabi dengan kata-kata terakhir itu adalah
dirinya. Dengan perasaannya yang sangat lembut dan besarnya
persahabatannya dengan Nabi, ia tak dapat menahan air mata
dan menangis sambil berkata:
"Tidak. Bahkan tuan akan kami tebus dengan jiwa kami dan
anak-anak kami."
Kuatir rasa terharu Abu Bakr ini akan menular kepada yang
lain, Muhammad memberi isyarat kepadanya:
"Sabarlah, Abu Bakr."
Kemudian dimintanya supaya semua pintu yang menuju ke
mesjid ditutup, kecuali pintu yang ke tempat Abu Bakr.
Setelah semua pintu ditutup, katanya lagi:
"Aku belum tahu ada orang yang lebih bermurah hati dalam
bersahabat dengan aku seperti dia. Kalau ada dari hamba
Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman kesayangan)
maka Abu Bakrlah khalilku. Tetapi persahabatan dan
persaudaraan ialah dalam iman, sampai tiba saatnya Tuhan
mempertemukan kita."
Bilamana Muhammad turun dari mimbar,
sedianya akan kembali pulang ke rumah Aisyah, tapi ia lalu
menoleh kepada orang banyak itu dan kemudian katanya:
"Saudara-saudara Muhajirin, jagalah kaum Anshar itu
baik-baik; sebab selama orang bertambah banyak, orang-orang
Anshar akan seperti itu juga keadaannya, tidak bertambah.
Mereka itu orang-orang tempat aku menyimpan rahasiaku dan
yang telah memberi perlindungan kepadaku. Hendaklah kamu
berbuat baik atas kebaikan mereka itu dan
maafkanlah5
kesalahan mereka."
Ia kembali ke rumah
Aisyah. Tetapi energi yang digunakannya selama ia dalam
keadaan sakit itu, telah membuat sakitnya terasa lebih berat
lagi. Sungguh suatu pekerjaan berat, terutama buat orang
yang sedang menderita demam, ia keluar juga setelah disirami
tujuh kirbat air; ia keluar dengan membawa beban pikiran
yang sangat berat: Pasukan Usama, nasib Anshar kemudian
hari, nasib orang-orang Arab yang kini telah dipersatukan
oleh agama baru itu dengan persatuan yang sangat kuat. Itu
pula sebabnya, tatkala keesokan harinya ia berusaha hendak
bangun memimpin sembahyang seperti biasanya, ternyata ia
sudah tidak kuat lagi. Ketika itulah ia berkata:
"Suruh Abu Bakr memimpin orang-orang sembahyang."
Aisyah ingin sekali Nabi sendiri yang melaksanakan salat
mengingat bahwa tampaknya sudah berangsur sembuh.
"Tapi Abu Bakr orang yang lembut hati, suaranya lemah dan
suka menangis kalau sedang membaca Qur'an," kata Aisyah.
Aisyah pun mengulangi kata-katanya itu. Tetapi dengan
suara lebih keras Muhammad berkata lagi, dengan sakit yang
masih dirasakannya:
"Sebenarnya kamu ini seperti perempuan-perempuan Yusuf.
Suruhlah dia memimpin orang-orang bersembahyang!"
Kemudian Abu Bakr datang memimpin sembahyang seperti
diperintahkan oleh Nabi.
Pada suatu hari karena Abu Bakr tidak ada di tempat
ketika oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang, maka
Umarlah yang dipanggil untuk memimpin orang-orang
bersembahyang sebagai pengganti Abu Bakr. Oleh karena Umar
orang yang punya suara lantang, maka ketika mengucapkan
takbir di mesjid, suaranya terdengar oleh Muhammad dari
rumah Aisyah.
"Mana Abu Bakr?" tanyanya. "Allah dan kaum Muslimin tidak
menghendaki yang demikian."
Dengan demikian orang dapat menduga, bahwa Nabi
menghendaki Abu Bakr sebagai penggantinya kemudian, karena
memimpin orang-orang bersembahyang sudah merupakan tanda
pertama untuk menggantikan kedudukan Rasulullah.
Tatkala sakitnya sudah makin keras, panas
demamnya makin memuncak, isteri-isteri dan tamu-tamu yang
datang menjenguknya, bila meletakkan tangan di atas selimut
yang dipakainya, terasa sekali panas demam yang sangat
meletihkan itu. Dan Fatimah puterinya, setiap hari datang
menengok. Ia sangat mencintai puterinya itu, cinta seorang
ayah kepada anak yang hanya tinggal satu-satunya sebagai
keturunan. Apabila ia datang menemui Nabi, ia menyambutnya
dan menciumnya, lalu didudukkannya di tempat ia duduk.
Tetapi setelah sakitnya demikian payah, puterinya itu datang
menemuinya dan mencium ayahnya.
"Selamat datang, puteriku," katanya. Lalu didudukkannya
ia disampingnya. Ada kata-kata yang dibisikkannya ketika
itu, Fatimah lalu menangis. Kemudian dibisikkannya kata-kata
lain Fatimah pun jadi tertawa. Bila hal itu oleh Aisyah
ditanyakan, ia menjawab:
"Sebenarnya saya tidak akan membuka rahasia Rasulullah
s.a.w."
|