BAGIAN KETIGAPULUH: SAKIT DAN WAFATNYA NABI
(1/3)
Tetapi setelah Rasul wafat, ia mengatakan, bahwa ayahnya
membisikkan kepadanya, bahwa ia akan meninggal oleh sakitnya
sekali ini. Itu sebabnya Fatimah menangis. Kemudian
dibisikkannya lagi, bahwa puterinya itulah dari keluarganya
yang pertama kali akan menyusul. Itu sebabnya ia
tertawa.
Karena panas demam yang tinggi itu, sebuah bejana berisi
air dingin diletakkan disampingnya. Sekali-sekali ia
meletakkan tangan ke dalam air itu lalu mengusapkannya ke
muka. Begitu tingginya suhu panas demam itu, kadang ia
sampai tak sadarkan diri. Kemudian ia sadar kembali dengan
keadaan yang sudah sangat payah sekali. Karena perasaan
sedih yang menyayat hati, pada suatu hari Fatimah berkata
mengenai penderitaan ayahnya itu:
"Alangkah beratnya penderitaan ayah!"
"Tidak. Takkan ada
lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini," jawabnya.
Maksudnya ia akan meninggalkan dunia ini, dunia duka dan
penderitaan.
Suatu hari sahabat-sahabatnya berusaha hendak meringankan
penderitaannya itu dengan mengingatkan kepada
nasehat-nasehatnya, bahwa orang yang menderita sakit jangan
mengeluh. Ia menjawab, bahwa apa yang dialaminya dalam hal
ini lebih dari yang harus dipikul oleh dua orang. Dalam
keadaan sakit keras serupa itu dan di dalam rumah banyak
orang, ia berkata:
"Bawakan dawat dan lembaran, akan ku (minta) tuliskan
surat buat kamu, supaya sesudah itu kamu tidak lagi akan
pernah sesat."
Dari orang-orang yang hadir ada yang berkata, bahwa sakit
Rasulullah s.a.w. sudah sangat gawat; pada kita sudah ada
Qur'an, maka sudah cukuplah dengan Kitabullah itu. Ada yang
menyebutkan, bahwa Umarlah yang mengatakan itu. Di kalangan
yang hadir itu terdapat perselisihan. Ada yang mengatakan:
Biar dituliskan, supaya sesudah itu kita tidak sesat. Ada
pula yang keberatan karena sudah cukup dengan
Kitabullah.
Setelah melihat pertengkaran itu, Muhammad berkata:
"Pergilah kamu sekalian! Tidak patut kamu berselisih di
hadapan Nabi."
Tetapi Ibn 'Abbas masih berpendapat, bahwa mereka
membuang waktu karena tidak segera menuliskan apa yang
hendak dikatakan oleh Nabi. Sebaliknya Umar masih tetap
dengan pendapatnya, bahwa dalam Kitab Suci Tuhan
berfirman:
"Tiada sesuatu yang Kami abaikan dalam Kitab itu."
(Qur'an, 6:38)
Berita sakitnya Nabi yang bertambah keras itu telah
tersiar dari mulut ke mulut, sehingga akhirnya Usama dan
anak buahnya yang ada di Jurf itu turun pulang ke Medinah.
Bila Usama kemudian masuk menemui Nabi di rumah Aisyah, Nabi
sudah tidak dapat berbicara. Tetapi setelah dilihatnya
Usama, ia mengangkat tangan ke atas kemudian meletakkannya
kepada Usama sebagai tanda mendoakan.
Melihat keadaannya yang demikian
keluarganya berpendapat hendak membantunya dengan
pengobatan. Asma' - salah seorang kerabat Maimunah - telah
menyediakan semacam minuman, yang pernah dipelajari cara
pembuatannya selama ia tinggal di Abisinia. Tatkala Nabi
sedang dalam keadaan pingsan karena demamnya itu, mereka
mengambil kesempatan menegukkan minuman itu ke mulutnya.
Bila ia sadar kembali ia bertanya:
"Siapa yang membuatkan ini? Mengapa kamu melakukan
itu?"
"Kami kuatir Rasulullah menderita sakit radang selaput
dada," kata 'Abbas pamannya.
"Allah tidak akan menimpakan penyakit yang demikian itu
kepadaku."
Kemudian disuruhnya semua yang hadir dalam rumah - supaya
meminum obat itu, tidak terkecuali Maimunah meskipun sedang
berpuasa.
Muhammad memiliki harta tujuh dinar ketika penyakitnya
mulai terasa berat. Kuatir bila ia meninggal harta masih di
tangan, maka dimintanya supaya uangnya itu disedekahkan.
Tetapi karena kesibukan mereka merawat dan mengurus selama
sakitnya dan penyakit yang masih terus memberat, mereka lupa
melaksanakan perintahnya itu. Setelah hari Minggunya sebelum
hari wafatnya ia sadar kembali dari pingsannya, ia bertanya
kepada mereka: Apa yang kamu lakukan dengan (dinar) itu?
Aisyah menjawab, bahwa itu masih ada di tangannya. Kemudian
dimintanya supaya dibawakan. Bilamana uang itu sudah
diletakkan di tangan Nabi, ia berkata:
"Bagaimanakah jawab Muhammad kepada Tuhan, sekiranya ia
menghadap Allah, sedang ini masih di tangannya."
Kemudian semua uang dinar itu disedekahkan kepada
fakir-miskin di kalangan Muslimin.
Malam itu Muhammad dalam keadaan tenang. Panas demamnya
sudah mulai turun, sehingga seolah karena obat yang
diberikan keluarganya itulah yang sudah mulai bekerja dan
dapat melawan penyakitnya. Sampai-sampai karena itu ia dapat
pula di waktu subuh keluar rumah pergi ke mesjid dengan
berikat kepala dan bertopang kepada Ali b. Abi Talib dan
Fadzl bin'l-'Abbas. Abu Bakr waktu itu sedang mengimami
orang-orang bersembahyang. Setelah kaum Muslimin yang sedang
melakukan salat itu melihat Nabi datang, karena rasa gembira
yang luarbiasa, hampir-hampir mereka terpengaruh dalam
sembahyang itu. Tetapi Nabi memberi isyarat supaya mereka
meneruskan salatnya. Bukan main Muhammad merasa gembira
melihat semua itu.
Abu Bakr merasa apa yang telah dilakukan mereka itu, dan
yakinlah dia bahwa mereka tidak akan berlaku demikian kalau
tidak karena Rasulullah. Ia surut dari tempat sembahyangnya
untuk memberikan tempat kepada Muhammad. Tetapi Muhammad
mendorongnya dari belakang seraya katanya Pimpin terus orang
bersembahyang. Dia sendiri kemudian duduk di samping Abu
Bakr dan sembahyang sambil duduk di sebelah kanannya
Selesai sembahyang ia menghadap kepada orang banyak, dan
kemudian berkata dengan suara agak keras sehingga terdengar
sampai ke luar mesjid:
"Saudara-saudara. Api (neraka) sudah bertiup. Fitnah pun
datang seperti malam gelap gulita. Demi Allah, janganlah
kiranya kamu berlindung kepadaku tentang apa pun. Demi
Allah, aku tidak akan menghalalkan sesuatu, kecuali yang
dihalalkan oleh Qur'an, juga aku tidak akan mengharamkan
sesuatu, kecuali yang diharamkan oleh Qur'an. Laknat Tuhan
kepada golongan yang mempergunakan pekuburan mereka sebagai
mesjid."
Melihat tanda-tanda kesehatan Nabi yang bertambah maju,
bukan main gembiranya kaum Muslimin, sampai-sampai Usama b.
Zaid datang menghadap kepadanya dan minta ijin akan membawa
pasukan ke Syam, dan Abu Bakrpun datang pula menghadap
dengan mengatakan:
"Rasulullah!6
Saya lihat tuan sekarang dengan karunia dan nikmat Tuhan
sudah sehat kembali. Hari ini adalah bagian Bint Kharija.
Bolehkah saya mengunjunginya?"
Nabi pun mengijinkan. Abu Bakr segera berangkat pergi ke
Sunh di luar kota Medinah - tempat tinggal isterinya. Umar
dan Ali juga lalu pergi dengan urusannya masing-masing. Kaum
Muslimin sudah mulai terpencar-pencar lagi. Mereka semua
dalam suasana suka-cita dan gembira sekali, - sebab sebelum
itu mereka semua dalam kesedihan, berwajah suram setelah
mendapat berita bahwa Nabi dalam keadaan sakit, demamnya
semakin keras sampai ia pingsan.
Sekarang ia kembali pulang ke rumah Aisyah. Senang sekali
hatinya melihat kaum Muslimin sudah memenuhi mesjid dengan
hati bersemarak, meskipun ia masih merasakan badannya sangat
lemah sekali.
Dipandangnya laki-laki itu oleh Aisyah, dengan kalbu yang
penuh pemujaan akan kebesaran orang itu, dan sekarang penuh
rasa iba hati karena ia lemah, ia sakit. Ia ingin sekiranya
ia dapat mencurahkan segala yang ada dalam dirinya untuk
mengembalikan tenaga orang itu, mengembalikan hidupnya.
Akan tetapi, kiranya perginya Nabi ke
mesjid itu adalah suatu kesadaran batin, yang akan disusul
oleh kematian. Setelah memasuki rumah, tiap sebentar
tenaganya bertambah lemah juga. Ia melihat maut sudah makin
mendekat. Tidak sangsi ia bahwa hidupnya hanya tinggal
beberapa saat saja lagi. Ya, kiranya apakah yang
diperhatikannya pada detik-detik yang masih ada sebelum ia
berpisah dengan dunia ini? Adakah ia mengenangkan hidupnya
sejak diutus Tuhan sebagai pembimbing dan sebagai nabi,
mengenangkan segala yang pernah dialaminya selama itu,
kenikmatan yang diberikan Tuhan kepadanya sampai selesai,
kemudian hati merasa lega karena kalbu orang-orang Arab itu
sudah terbuka menerima agama yang hak? Ataukah selama itu ia
tinggal hanya membaca istighfar - meminta pengampunan Tuhan
dan dengan seluruh jiwa ia menghadapkan diri seperti yang
biasanya dilakukan selama dalam hidupnya? Ataukah juga dalam
saat-saat terakhir itu ia harus menahan penderitaan
sakratulmaut sehingga tidak lagi punya tenaga akan
mengingat?
Dalam hal ini beberapa sumber
masih sangat berlain-lainan sekali keterangannya. Sebagian
besar menyebutkan bahwa pada hari musim panas yang terjadi
di seluruh semenanjung itu - 8 Juni 632 - ia minta
disediakan sebuah bejana berisi air dingin dan dengan
meletakkan tangan ke dalam bejana itu ia mengusapkan air ke
wajahnya; dan bahwa ada seorang laki-laki dari keluarga Abu
Bakr datang ke tempat Aisyah dengan sebatang siwak di
tangannya. Muhammad memandangnya demikian rupa, yang
menunjukkan bahwa ia menginginkannya. Oleh Aisyah benda yang
di tangan kerabatnya itu diambilnya, dan setelah dikunyah
(ujungnya) sampai lunak diberikannya kepada Nabi. Kemudian
dengan itu ia menggosok dan membersihkan giginya. Sementara
ia sedang dalam sakratulmaut, ia menghadapkan diri kepada
Allah sambil berdoa, "Allahumma ya Allah! Tolonglah aku
dalam sakratulmaut ini."
Aisyah berkata - yang pada waktu itu kepala Nabi berada
di pangkuannya, "Terasa olehku Rasulullah s.a.w. sudah
memberat di pangkuanku. Kuperhatikan air mukanya, ternyata
pandangannya menatap ke atas seraya berkata, "Ya Handai
Tertinggi7 dari
surga."
"Kataku, 'Engkau telah dipilih maka engkau pun telah
memilih. Demi Yang mengutusmu dengan Kebenaran.' Maka
Rasulullah pun berpulang sambil bersandar antara
dada8 dan leherku
dan dalam giliranku. Aku pun tiada menganiaya orang lain.
Dalam kurangnya pengalamanku9
dan usiaku yang masih muda, Rasulullah s.a.w. berpulang
ketika ia di pangkuanku. Kemudian kuletakkan kepalanya di
atas bantal, aku berdiri dan bersama-sama wanita-wanita lain
aku memukul-mukul mukaku."
Benarkah Muhammad sudah meninggal? Itulah yang masih
menjadi perselisihan orang ketika itu, sehingga
hampir-hampir timbul fitnah di kalangan mereka dengan segala
akibat yang akan menjurus kepada perang saudara, kalau tidak
karena Tuhan Yang menghendaki kebaikan juga untuk mereka dan
agama yang sebenarnya ini.
Catatan kaki:
1 yaitu Mu'adh
b. Jabal (A)
2 Siwak, batang
kayu kecil dengan dilunakkan ujungnya dipakai menggosok dan
membersihkan gigi (A)
3 Bandingkan:
Al-Kasysyaf oleh Zamakhsyari (jilid 2 p. 117) dalam
menafsirkan Surah Hud ayat 112 (11 : 112) dan Mufradat
Raghib, sub verbo "dzall" (A).
4 Ahida ila,
berarti 'berwasiat' (N), atau 'berpesan' (A).
5 Tayawaza 'an
yakni 'afa 'an (N), 'memaafkan' (A).
6 Aslinya "Ya Nabiullah'
(A)
7 Ar-Rafiq'-A'la pada
umumnya ahli-ahli filologi mengartikan kata rafiq ini,
dengan 'handai taulan;' 'yang lemah-lembut;' 'teman
seperjalanan;' 'kawan hidup, suami atau isteri' (LA). Dalam
istilah Hadis: rafiq berarti 'para nabi yang menempati
tempat tertinggi,' untuk jamak dan tunggal (N); kata rafiq
dalam Qur'an (4: 691 berarti 'teman seperjalanan' (N) dan
rafiq dalam doa di atas ada yang mengartikan 'Tuhan' yakni
'Yang lemah-lembut kepada hambaNya' (N). Berarti 'teman'
dalam surga, (Qur'an, 4:69) demõkian sebagian besar
ahli-ahli tafsir Qur'an. Dalam terjemahan ini dengan
kira-kira dipergunakan kata 'Handai Tertinggi' (A).
8 Sahr 'berarti
paru-paru, yakni ia meninggal sedang bersandar di dadanya
yang menjurus ke paru-paru' (N) (A).
9 Safah, harfiah:
kebodohan (A).
|