BAGIAN KESEBELAS: TAHUN PERTAMA DI
YATHRIB1 (3/4)
Begitu setianya ia, sehingga bila ada orang menyebut nama
Khadijah, selalu menimbulkan kenangan yang indah baginya. Di
sinilah Aisyah berkata: "Saya tidak pernah iri hati terhadap
seorang wanita seperti terhadap Khadijah, bilamana saja
mendengar ia mengenangkannya." Ketika ada seorang wanita
datang ia menyambutnya begitu gembira dan ditanyainya
baik-baik. Bila wanita itu sudah pergi, ia berkata: "Ketika
masih ada Khadijah ia suka mengunjungi kami." Bahwa
mengingat hubungan baik masa lampau adalah termasuk iman.
Begitu halusnya perasaannya, begitu lembutnya hatinya, ia
membiarkan cucunya bermain-main dengan dia ketika ia
sembahyang. Bahkan ia bersembahyang dengan Umama, puteri
Zainab puterinya, sambil dibawa di atas bahunya; bila ia
sujud diletakkan, bila ia berdiri dibawanya lagi.
Kebaikan dan kasih-sayang yang sudah menjadi sendi
persaudaraan itu, yang dalam peradaban dunia modern sekarang
juga menjadi dasar bagi seluruh umat manusia tidak hanya
terbatas sampai di situ saja, melainkan melampaui sampai
kepada binatang juga. Dia sendiri yang bangun membukakan
pintu untuk seekor kucing yang sedang berlindung di tempat
itu. Dia sendiri yang merawat seekor ayam jantan yang sedang
sakit; kudanya dielus-elusnya dengan lengan bajunya. Bila
dilihatnya Aisyah naik seekor unta, karena menemui kesukaran
lalu binatang itu ditarik-tariknya, iapun ditegurnya:
"Hendaknya kau berlaku lemah-lembut." Kasih-sayangnya itu
meliputi segala hal, dan selalu memberi perlindungan kepada
siapa saja yang memerlukannya.
Tetapi ini bukan sikap kasih-sayang karena lemah atau mau
menyerah, juga bersih dari segala sifat mau menghitung jasa
atau sikap tinggi diri. Ini adalah persaudaraan dalam Tuhan
antara Muhammad dengan semua mereka yang berhubungan dengan
dia. Disinilah dasar peradaban Islam yang berbeda dengan
sebahagian besar peradaban-peradaban lain. Islam menekankan
pada keadilan disamping persaudaraan itu, dan berpendapat
bahwa tanpa adanya keadilan ini persaudaraan tidak mungkin
ada.
"Barangsiapa menyerang kamu, seranglah dengan yang
seimbang, seperti mereka menyerang kamu." (Qur'an, 2:
194)
"Dengan hukum qishash berarti kelangsungan hidup bagi
kamu, hai orang-orang yang mengerti." (Qur'an, 2: 179)
Sifatnya harus untuk mempertahankan jiwa semata-mata
dengan kemauan yang bebas sepenuhnya dan untuk mencari rida
Tuhan tanpa ada maksud lain. Itulah sumber persaudaraan yang
meliputi segala kebaikan dan kasih-sayang. Ini harus
bersumber juga dari jiwa yang kuat, tidak mengenal menyerah
selain kepada Allah, dan dengan ketaatan kepadaNya ia tidak
pula merasa lemah. Tak ada rasa takut akan menyelinap ke
dalam hatinya kecuali dari perbuatan maksiat atau dosa yang
dilakukannya. Dan jiwa itu tidak akan jadi kuat kalau ia
masih di bawah kekuasaan yang lain dan tidak akan jadi kuat
kalau ia masih di bawah kekuasaan hawa-nafsunya. Muhammad
dan sahabat-sahabatnya telah hijrah dari Mekah supaya jangan
berada di bawah kekuasaan Quraisy dan jangan ada jiwa mereka
yang akan jadi lemah karenanya. Jiwa itu akan menyerah
kepada kekuasaan hawa-nafsu kalau sudah jasmani yang dapat
berkuasa kedalam rohani dan akal pikiran dapat dikalahkan
oleh kehendak nafsu. Dan akhirnya kehidupan materi ini juga
yang dapat menguasai hidup kita, padahal kita sudah tidak
memerlukan yang demikian, sebab ini memang sudah berada di
bawah kekuasaan kita.
Di sini Muhammad adalah contoh kekuatan jiwa yang ideal
sekali atas kehidupan ini, suatu kekuatan yang membuat dia
sudah tidak peduli lagi akan memberikan segala yang ada
padanya kepada orang lain. Itu sebabnya sampai ada orang
yang mengatakan: Dalam memberi Muhammad sudah tidak takut
kekurangan. Dan supaya jangan ada sesuatu dalam hidup ini
yang dapat menguasainya, sebaliknya dia yang harus
menguasai, maka ia keras sekali menahan diri dalam arti
hidup materi, sama kerasnya dengan keinginannya hendak
mengetahui segala rahasia yang ada dalam hidup materi itu,
ingin mengetahui hakekat sesungguhnya tentang semua itu.
Begitu jauhnya ia menahan diri sehingga lapik tempat dia
tidur hanya terdiri dari kulit yang diisi dengan serat.
Makannya tak pernah kenyang. Tak pernah ia makan roti dari
tepung sya'ir6 dua hari berturut-turut. Sebagian
besar makannya adalah bubur.7 Pada hari-hari yang
lain ia makan kurma. Jarang sekali ia dan keluarganya dapat
makanan roti sop.8 Bukan sekali saja ia harus
menahan lapar. Sudah pernah perutnya diganjal dengan batu
untuk menahan teriakan rongga pencernaannya itu.
Itulah yang sudah biasa dikenal tentang makannya,
meskipun ini tidak berarti ia pantang sekali-sekali makan
makanan yang enak-enak. Juga ia dikenal suka sekali makan
kaki anak kambing, labu, madu dan manisan.
Begitu juga kesederhanaannya dalam hal pakaian sama
seperti dalam makanan. Suatu hari ada seorang wanita
memberikan sehelai pakaian kepadanya yang memang diperlukan.
Tetapi kemudian diminta oleh orang lain yang juga
memerlukannya guna mengkafani mayat. Pakaian itu
diberikannya. Pakaiannya yang dikenal terdiri dari sebuah
baju dalam dan baju luar, yang terbuat dari wol, katun atau
sebangsa serat. Tetapi sekali-sekali ia tidak menolak
memakai pakaian dari tenunan Yaman sebagai pakaian yang
mewah sesuai dengan acara bila memang menghendaki demikian.
Juga alas kaki yang dipakainya sederhana sekali. Tak pernah
ia memakai sepatu selain waktu mendapat hadiah dari Najasyi
berupa sepasang sepatu dan seluar.
Sungguhpun begitu dalam hal menahan diri dan menjauhi
masalah duniawi bukanlah berarti ia hidup menyiksa diri.
Cara ini juga tidak sesuai dengan ajaran agama. Dalam Qur'an
dapat dibaca:
"Makanlah dari makanan yang baik yang sudah Kami berikan
kepadamu." (Qur'an, 2: 57)
"Dan tempuhlah kebahagiaan akhirat seperti yang
dianugerahkan Allah kepadamu, tapi juga jangan kaulupakan
kebahagiaan hidup duniawi. Dan berbuatlah kebaikan kepada
orang lain seperti Allah telah berbuat baik kepadamu."
(Qur'an, 28: 77)
Dan dalam hadis: "Berbuatlah untuk duniamu seolah-olah
kau akan hidup selama-lamanya, dan berbuat pula untuk
akhiratmu seolah-olah kau akan mati besok."
Akan tetapi Muhammad ingin memberikan teladan yang begitu
tinggi kepada manusia tentang arti kekuatan dalam menghadapi
hidup itu, suatu kekuatan yang tak dapat dipengaruhi oleh
perasaan lemah, tak dapat diperbudak oleh kekayaan, oleh
harta-benda, oleh kekuasaan atau oleh apa saja yang akan
menguasainya, selain Allah. Persaudaraan yang didasarkan
kepada kekuatan, yang manifestasinya telah diberikan oleh
Muhammad sebagai teladan tertinggi seperti yang sudah kita
lihat itu, adalah persaudaraan murni yang sungguh ikhlas dan
mulia, suatu persaudaraan yang bersih samasekali. Sebabnya
ialah karena adanya rasa keadilan yang terjalin dalam
kasih-sayang dan karena yang bersangkutan hanya didorong
oleh kemauan sendiri yang bebas mutlak. Tetapi, oleh karena
Islam menyertakan rasa keadilan disamping rasa kasih-sayang
itu, maka ia juga menyertakan maaf disamping keadilan itu,
maaf yang dapat diberikan bila mampu. Rasa kasih-sayang
demikian itu hendaklah dengan hati terbuka dan benar-benar,
dan hendaklah dengan tujuan mau mencapai perbaikan yang
sungguh-sungguh.
Inilah dasar yang telah diletakkan oleh Muhammad dalam
membangun peradaban baru itu, yang dengan jelas tersimpul
dalam cerita yang diambil dari Ali bin Abi Talib ketika ia
bertanya kepada Rasulullah tentang sunahnya, dengan dijawab:
"Ma'rifat adalah modalku, akal-pikiran sumber agamaku, cinta
adalah dasar hidupku, rindu kendaraanku, berzikir kepada
Allah adalah kawan dekatku, keteguhan perbendaharaanku, duka
adalah kawanku, ilmu adalah senjataku, ketabahan adalah
pakaianku, kerelaan sasaranku, faqr adalah kebanggaanku,
menahan diri adalah pekerjaanku, keyakinan makananku,
kejujuran perantaraku, ketaatan adalah ukuranku, berjihad
perangaiku dan hiburanku adalah dalam sembahyang."
Ajaran-ajaran Muhammad serta teladan dan
bimbingan yang diberikannya telah meninggalkan pengaruh yang
dalam sekali kedalam jiwa orang, sehingga tidak sedikit
orang yang berdatangan menyatakan masuk Islam, dan kaum
Musliminpun makin bertambah kuat di Medinah. Ketika itulah
orang-orang Yahudi mulai memikirkan kembali posisi mereka
terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Mereka dengan dia
telah mengadakan perjanjian. Mereka bermaksud ingin
merangkulnya ke pihak mereka dan supaya ketahanan mereka
bertambah kuat terhadap orang-orang Kristen. Dan dia lebih
kuat dari mereka itu semua, ajarannya bertambah kuat. Malah
sekarang ia memikirkan orang-orang Quraisy yang telah
mengusirnya dan mengusir kaum Muhajirin dari Mekah serta
godaan mereka terhadap kaum Muslimin yang dapat mereka goda
dari agamanya. Adakah orang-orang Yahudi itu akan membiarkan
dakwahnya terus tersebar dan kekuasaan rohaninya makin
meluas, dengan cukup puas berada disampingnya dalam aman
sentosa yang berarti akan menarnbah keuntungan dan kekayaan
dalam perdagangan mereka? Barangkali memang akan begitu
kalau mereka yakin bahwa dakwahnya itu tidak akan sampai
kepada orang-orang Yahudi sendiri dan tidak akan sampai
meluas kepada orang-orang awam, sedang ajaran mereka yang
berlaku ialah tidak akan mengakui adanya seorang nabi yang
bukan dari Keluarga Israil.
Akan tetapi ada seorang rabbi yang cerdik-pandai, yaitu
Abdullah b. Sallam yang telah berhubungan dengan Nabi iapun
lalu memeluk Islam; dan dianjurkannya pula keluarganya. Lalu
merekapun bersama-sama memeluk agama Islam.
Tetapi Abdullah bin Sallam masih merasa kuatir akan ada
kata-kata yang tidak biasa yang akan dilontarkan orang-orang
Yahudi jika mereka mengetahui ia sudah menganut Islam. Maka
dimintanya kepada Nabi untuk menanyai mereka tentang dirinya
itu sebelum mereka mengetahui bahwa dia sudah Islam.
Ternyata mereka berkata: dia pemimpin kami, pendeta kami dan
orang cerdik-pandai kami. Setelah Abdullah berhadapan dengan
mereka dan sekarang jelas sudah sikapnya, bahkan mengajak
mereka menganut ajaran Islam, merekapun merasa kuatir akan
nasibnya itu nanti. Maka di seluruh perkampungan Yahudi itu
iapun mulai difitnah dan diumpat dengan kata-kata yang tak
senonoh. Dalam hal ini mereka lalu sepakat akan berkomplot
terhadap Muhammad menolak kenabiannya. Secepat itu pula
sisa-sisa orang yang masih musyrik dari kalangan Aus dan
Khazraj serta mereka yang pura-pura masuk Islam segera
menggabungkan diri dengan mereka, baik karena mau mengejar
keuntungan materi atau karena mau menyenangkan golongannya
atau pihak yang berpengaruh
Sekarang mulai terjadi suatu perang polemik antara
Muhammad dengan orang-orang Yahudi, yang ternyata lebih
bengis dan lebih licik daripada perang polemik yang dulu
pernah terjadi antara dia dengan orang-orang Quraisy di
Mekah. Dalam perang yang terjadi di Yathrib ini semua orang
Yahudi berdiri dalam satu barisan menyerang Muhammad dan
risalahnya, menyerang sahabat-sahabatnya, kaum Muhajirin dan
Anshar, dengan mengadakan intrik-intrik, tindakan
bermuka-muka dengan ilmu yang ada pada mereka tentang
sejarah dan peristiwa-peristiwa masa lampau mengenai para
nabi dan rasul-rasul.
Mereka mengadakan intrik melalui pendeta-pendeta mereka
yang pura-pura Islam dan yang dapat bergaul ke tengah-tengah
kaum Muslimin dengan pura-pura sangat takwa sekali, yang
kemudian lalu sekali-kali memperlihatkan kesangsian dan
keraguannya. Mereka itu memajukan pertanyaan-pertanyaan
kepada Muhammad , yang mereka kira akan dapat menggoncangkan
iman umat Islam kepadanya dan kepada ajaran kebenaran yang
dibawanya itu. Kemudian orang-orang Aus dan Khazraj yang
juga Islamnya pura-pura, menggabungkan diri dengan
orang-orang Yahudi dalam memajukan pertanyaan-pertanyaan dan
dalam menimbulkan perselisihan di kalangan kaum Muslimin.
Begitu keras kepala mereka itu sampai ada diantara orang
Yahudi sendiri yang mengingkari isi Taurat - padahal mereka
percaya kepada Allah, baik kalangan Keluarga Israil maupun
orang-orang musyrik yang mempergunakan berhala-berhala untuk
mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. Misalnya mereka
bertanya kepada Muhammad: Kalau Allah itu sudah menciptakan
makhluk ini, lalu siapa yang menciptakan Allah? Muhammad
hanya menjawab mereka dengan firman Tuhan:
"Katakan: Allah Satu cuma. Allah itu Abadi dan Mutlak.
Tidak beranak. Dan tidak pula diperanakkan. Dan tiada satu
apapun yang menyerupaiNya." (Qur'an, 112: 1-4)
Pihak Muslimin sekarang menyadari keadaan musuh mereka,
sudah mengetahui tujuan usaha mereka itu. Ada terlihat pada
suatu hari mereka dalam mesjid sedang berbicara antara
sesama mereka dengan berbisik-bisik. Muhammad meminta supaya
mereka dikeluarkan dari dalam mesjid itu dengan paksa.
Tetapi ini tidak membuat mereka jera melakukan tipu-muslihat
dan masih terus berusaha hendak menjerumuskan kaum Muslimin.
Ketika ada beberapa orang dari golongan Aus dan Khazraj
sedang duduk-duduk bersama-sama salah seorang dari mereka
[Syas b. Qais] lewat. Ia jadi panas hati melihat dua
puak ini menjadi rukun. Dalam hatinya ia berkata: masyarakat
Banu Qaila di negeri ini sudah bersatu. Kita takkan berarti
apa-apa kalau pemuka-pemuka mereka sudah sepakat. Seorang
pemuda Yahudi yang pernah dengan mereka dulu dimintanya
supaya mengambil kesempatan ini dengan menyebut-nyebut
kembali peristiwa Bu'ath dahulu serta bagaimana pula pihak
Aus dapat mengalahkan Khazraj. Pemuda itu pun lalu bicara.
Ternyata hal ini memang menimbulkan ingatan masa lampau pada
kedua puak itu. Mereka lalu bersitegang, saling membanggakan
diri dan hanyut dalam pertengkaran. "Kalau kamu mau kita
boleh kembali seperti dulu," kata mereka satu sama lain.
Peristiwa ini sampai juga kepada Muhammad. Ia pergi
menemui mereka dengan beberapa orang sahabat, dan
diingatkannya mereka, bahwa Islam telah mempersatukan dan
membuat mereka benar-benar bersaudara, saling mencintai.
Sementara ia masih di tengah-tengah mereka, merekapun
menangis, mereka saling berpeluk-pelukan. Mereka semua
berdoa bermohon ampun kepada Tuhan.
Polemik antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi itu
sudah sampai dipuncaknya, sebagaimana oleh Qur'an sudah pula
diperlihatkan. Pada permulaan Surah al-Baqara (2) sampai
dengan ayat 81, dan sebahagan besar Surah an-Nisa' (4) semua
menyebutkan tentang orang-orang Ahli Kitab itu dan betapa
mereka mengingkari isi-Kitab Suci mereka sendiri. Mereka
telah mendapat kutukan keras karena pembangkangan dan
pengingkaran mereka itu:
"Dan sesungguhnyalah Kami telah mendatangkan Al-Kitab
(Taurat) kepada Musa, dan sesudah itu lalu Kami susul pula
dengan para rasul, dan Kami telah memberikan bukti-bukti
kebenaran kepada Isa anak Maryam dan Kami perkuat dia dengan
Ruh Suci. Adakah setiap datang seorang rasul kepadamu
membawa sesuatu yang tak sesuai dengan kehendak hatimu, lalu
kamu bersikap sonmbong? Sebagian kamu dustakan dan yang
sebagian lagi kamu bunuh? Dan mereka berkata: 'hati kami
sudah tertutup.' Tetapi Tuhan telah mengutuk mereka karena
keingkaran mereka juga. Karena itu, sedikit sekali mereka
yang beriman. Dan setelah kepada mereka didatangkan Kitab
dari Allah, yang membenarkan apa yang ada pada mereka,
karena sebelum itu mereka minta didatangkan kemenangan
terhadap orang-orang yang masih ingkar, maka setelah yang
mereka ketahui itu berada di tengah-tengah mereka, merekapun
juga tidak mempercayainya. Karena itu, kutukan Allah menimpa
oranz-orang yang ingkar itu." (Qur'an, 2: 87-89)
Begitu memuncaknya polemik antara orang-orang Yahudi dan
kaum Muslimin itu, sehingga acapkali - sekalipun sudah ada
perjanjian antara mereka - permusuhan itu terjadi sampai
dengan main tangan. Sebagai contoh - sekedar sebagai ukuran
- kita sudah mengenal Abu Bakr, yang begitu lemah-lembut
perangainya, dengan kesabarannya yang luarbiasa. Ketika itu
ia sedang bicara dengan seorang orang Yahudi yang bernama
Finhash, yang diajaknya menganut Islam. Tetapi Finhash
menjawab: "Abu Bakr, bukan kita yang membutuhkan Tuhan, tapi
Dia yang butuh kepada kita. Bukan kita yang meminta-minta
kepadaNya, tetapi Dia yang meminta-minta kepada kita. Kita
tidak memerlukanNya, tapi Dia yang memerlukan kita. Kalau
Dia kaya, tentu Ia tidak akan minta dipinjami harta kita,
seperti yang didakwakan oleh pemimpinmu itu. Ia melarang
kalian menjalankan riba, tapi kita akan diberi jasa. Kalau
Ia kaya, tentu Ia tidak akan menjalankan ini."
Maksud Finhash ini ditujukan kepada firman Tuhan:
"Siapa yang mau meminjamkan kepada Allah suatu pinjaman
yang baik, Allah akan selalu membalasnya dengan berlipat
ganda." (Qur'an, 2: 145)
Tetapi dalam hal ini Abu Bakr tidak tahan mendengar
jawaban itu. Ia marah. Ditamparnya muka Finhash itu
keras-keras.
"Demi Allah," kata Abu Bakr, "kalau tidak karena adanya
perjanjian antara kami dengan kamu sekalian, pasti kupukul
kepalamu. Engkaulah musuh Tuhan."
Kemudian Finhash mengadukan peristiwa ini kepada Nabi,
tapi apa yang dikatakannya tentang Tuhan kepada Abu Bakr
tidak diakuinya. Dalam hal ini firman Tuhan menyebutkan:
"Tuhan sudah mendengar kata-kata mereka yang menyebutkan:
Tuhan itu miskin, dan kamilah yang kaya. Akan Kami tuliskan
kata-kata mereka itu, begitu juga perbuatan mereka membunuh
nabi-nabi dengan tidak sepantasnya, dan rasakanlah siksa
yang membakar ini!" (Qur'an, 3: 181)
Tidak cukup dengan maksud mau menimbulkan insiden antara
Muhajirin dengan Anshar dan antara Aus dengan Khazraj dan
tidak pula cukup dengan membujuk kaum Muslimin supaya
meninggalkan agamanya dan kembali menjadi syirik tanpa
mencoba-coba mengajak mereka menganut agama Yahudi, bahkan
lebih dari itu orang Yahudi itu kini berusaha memperdaya
Muhammad sendiri. Pendekar-pendekar mereka, pemuka-pemuka
dan pemimpin-pemimpin mereka datang menemuinya dengan
mengatakan: "Tuhan sudah mengetahui keadaan kami, kedudukan
kami. Kalau kami mengikut tuan, orang-orang Yahudipun akan
juga ikut dan mereka tidak akan menentang kami. Sebenarnya
antara kami dengan beberapa kelompok golongan kami timbul
permusuhan. Lalu kami datang ini minta keputusan tuan.
Berilah kami keputusan. Kami akan ikut tuan dan percaya
kepada tuan."
Di sinilah firman Tuhan menyebutkan:
"Dan hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka
menurut apa yang sudah diturunkan Allah, dan jangan
kauturuti hawa-nafsu mereka. Berhati-hatilah terhadap
mereka. Jangan sampai mereka memperdayakan kau dari beberapa
peraturan yang sudah ditentukan Tuhan kepadamu. Tetapi kalau
mereka menyimpang, ketahuilah, Tuhan akan menurunkan bencana
kepada mereka karena beberapa dosa mereka sendiri juga.
Sesungguhnya, kebanyakan manusia itu adalah orang-orang
fasik. Adakah yang mereka kehendaki itu hukum jahiliah? Dan
hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi
mereka yang yakin?" (Qur'an, 5: 49-50)
|