Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

12. Umar di Baitulmukadas (Bait al-Muqaddas) (2/3)

Pengepungan Baitulmukadas dan komandan yang memimpinnya

Tinggal lagi sumber yang mengatakan bahwa Amr bin As-lah yang mengepung Baitulmukadas, dan bahwa pengepungannya memakan waktu lama serta mendapat perlawanan yang sengit sekali. Inilah cerita yang dapat diterima menurut hemat kita, karena sesuai dengan perlawanan Baitulmukadas terhadap siapa saja yang datang menyerangnya sejak dahulu, dan karena Amr bin As tidak kalah kepandaian dan kemampuannya dengan Abu Ubaidah dalam memimpin, misalnya kemampuannya dalam membebaskan Mesir, benteng pertahanan Rumawi yang terkuat. Barangkali kita masih ingat ketika Abu Bakr mengerahkan pasukannya untuk menyerang Syam, ia bermaksud mengangkatnya sebagai komandannya, dan Umar bin Khattab ketika itu berkata kepadanya: “Kalau sekali ini bukan Anda yang memegang pimpinan, insya Allah tidak lama lagi Andalah yang akan memegang pimpinan teratas.” Dan sebelum itu dia memang sudah memimpin pasukan yang dipercayakan Abu Bakr kepadanya untuk menumpas suku Quda‘ah yang murtad. Orang semacam dia, dengan segala kelihaiannya dalam perang dan damai, dan tak ada orang yang lebih terkenal dari dia dalam hal ini, di samping sebagai komandan yang memimpin angkatan bersenjata Muslimin di Palestina dan yang membebaskannya - sudah tentu dialah yang merencanakan pengepungan Baitulmukadas, dan dia pula yang melaksanakan dan yang melangsungkan perundingan damai dengan penguasa di sana.

Pengepungan itu cukup lama dan perlawanan kota pun makin gigih sehingga Amr menulis surat kepada Umar meminta bala bantuan dengan mengatakan: “ ... Saya sedang bergulat dengan perang yang sungguh sulit untuk diterobos, dengan kota-kota yang banyak mempunyai persediaan. Sangat mengharapkan pendapat Anda.” Dalam suatu sumber Tabari mengatakan, bahwa pihak Aelia “dulu telah membuat Umar sedih maka dibuatnya juga mereka demikian. Ia tidak kuat menghadapinya dan menghadapi Ramlah.” Oleh karena itu Khalifah mengirimkan bala bantuan dengan sebuah pasukan besar untuk memperkuatnya dan mampu menghadapi mereka.

Adakah juga Umar berangkat dari Medinah bersama pasukan ini, ataukah tetap tinggal di Medinah hingga para penguasa Baitulmukadas berunding dengan Amr mengenai perdamaian dan berakhir dengan kesepakatan penyerahan kota asal Khalifah sendiri yang datang membuat perjanjian itu? Menurut beberapa sumber yang masyhur, bahwa Umar baru meninggalkan Medinah setelah tercapai persetujuan damai dengan pihak Aelia. Itu sebabnya kemudian ia berangkat dalam sebuah rombongan kecil saja. Ada juga beberapa sumber menyebutkan yang ber- lawanan dengan sumber yang sudah masyhur itu. Sumber dari Adi bin Sahal mengatakan: “Sesudah pihak Syam meminta bala bantuan dari Umar dalam menghadapi pihak Palestina, pimpinan diserahkannya kepada Ali dan dia pergi memberikan bala bantuan kepada mereka. Maka Ali berkata: Akan pergi ke mana? Anda mau menghadapi musuh seekor anjing.” Dalam sebuah sumber menurut Ibn Kasir bahwa Umar pergi ke Palestina menyelesaikan perjanjian damai dengan pihak Aelia, dan dia pergi dengan sebuah pasukan ke sana, dan menyerahkan pimpinan Medinah kepada Ali bin Abi Talib.” Anehnya bahwa tak ada tujuan lain Umar berangkat dengan pasukannya selain untuk menyelesaikan perundingan damai dan membuat perjanjian. Dan yang aneh lagi, bahwa pihak Baitulmukadas meminta kedatangan Umar dari Medinah hanya untuk membuat perjanjian, padahal mereka tahu jarak itu dalam perjalanan terus-menerus dengan kafilah memakan waktu tiga minggu. Oleh karena itu saya cenderung berpendapat bahwa Umar sudah tidak sabar lagi dengan pengepungan yang begitu lama itu dan Amr menulis surat kepadanya mengenai kekuatan musuh, dan Umar mengirimkan bala bantuan. Setelah ada permintaan bala bantuan, baru ia berangkat bersama bala bantuan itu hingga sampai di al-Jabiah - antara pedalaman Syam dengan Yordania - sementara itu Abu Ubaidah dan Khalid bin Walid sudah selesai menaklukkan Syam. Kedua mereka dipanggil ke Jabiah untuk diajak bermusyawarah bersama-sama dengan pemimpin-pemimpin pasukan Muslimin yang lain dalam mencari cara-cara terbaik menumpas perlawanan kota yang sudah terkepung itu.

Atrabun dan Severinus mengetahui kedatangan Umar, juga mereka tahu bencana yang telah menimpa pasukan Rumawi di tangan Abu Ubaidah dan Khalid. Mereka sudah memperkirakan kota itu tak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Maka dengan diam-diam Atrabun menarik angkatan bersenjatanya ke Mesir. Sesudah Uskup tua itu yakin akan keselamatannya, ia memimpin perundingan dengan pihak Muslimin mengenai penyerahan kota itu. Mengetahui bahwa Amirulmukminin sudah berada di Jabiah, ia sudah menetapkan akan datang sendiri untuk membuat perjanjian itu. Melihat jarak antara Jabiah dengan Baitulmukadas, tidak akan sulit memenuhi permintaan Severinus itu.

Inilah yang dapat saya terima, dan sesuai dengan jalannya sejarah sekitar peristiwa-peristiwa penyerbuan ke Syam dan Palestina itu. Sumber yang masyhur tidak akan keberatan dan tidak akan menolak kendatipun terdapat perbedaan bahwa kepergian Umar dari Medinah sesudah ada permintaan damai dari pihak Baitulmukadas, asal Khalifah sendiri yang akan bertindak. Pihak-pihak yang mengemukakan sumber ini masih berbeda pendapat di antara sesama mereka mengenai siapa yang diutus menyampaikan permintaan pihak Aelia supaya Umar yang melaksanakan perjanjian itu: Abu Ubaidah atau Amr bin As. Begitu juga mengenai tahun selesainya kota itu dibebaskan masih terdapat perbedaan. Saya tidak bermaksud mendiskusikan pendapat-pendapat mereka itu dengan tujuan mengadakan penelitian sesudah saya kemukakan kecenderungan saya sekitar adanya perbedaan itu, tetapi di sini saya hanya mencatat saja sumber yang masyhur mengenai perjalanan Umar dari Medinah ke Aelia.

Kesimpulan sumber itu bahwa setelah Umar menerima surat permintaan pergi ke Palestina ia bermusyawarah dengan jamaah Muslimin di Masjid dengan membacakan surat itu kepada mereka. Usma bin Affan berpendapat, sebaiknya Umar jangan meninggalkan Medinah. “Kalau Anda tinggal di sini dan tidak pergi ke sana. mereka akan berpendapat Anda menganggap mereka enteng dan Anda siap memerangi mereka. Tak lama lagi mereka akan tunduk dan akan membayar jizyah.” Tetapi Ali bin Abi Talib tidak sependapat dengan Usman. Ia menyarankan lebih baik Umar berangkat ke Aelia. Pasukan Muslimin sudah bersusah payah menghadapi udara dingin, perang dan sudah lama meninggalkan kampung halaman. Kalau Anda datang menemui mereka, kedatangan Anda dan pasukan Muslimin akan merasa aman, akan merasa sejuk. Semua ini akan membawa perdamaian dan kemenangan. Saya tidak yakin mereka akan merasa kecewa terhadap Anda dan terhadap persetujuan itu, lalu akan bertahan dengan benteng-benteng mereka dan akan meminta bala bantuan dari kota dan dari kaum penindas mereka itu, apalagi Baitulmukadas bagi mereka sangat agung dan tempat ziarah mereka.” Umar lebih cenderung pada pendapat Ali, dan itu yang diterimanya. Dimintanya orang yang akan berangkat bersama dia segera bersiap-siap, dan ia menyerahkan urusan Medinah di tangan Ali.

Perjalanan Umar dari Medinah ke Jabiah

Umar berangkat dari Medinah dan berhenti sampai di Jabiah.6 Kepada para komandan pasukan ia menulis surat agar mereka menemuinya pada hari yang disebutkan kepada mereka dan supaya ada yang menggantikan tugas mereka. Sesudah mereka mengetahui kedatangannya, mereka berangkat akan menemuinya, didahului oleh Yazid bin Abi Sufyan, kemudian Abu Ubaidah, setelah itu Khalid bin Walid memimpin pasukan dalam barisan yang sungguh memukau. Umar melihat mereka datang menyongsong dengan mengenakan pakaian sutera. Umar mendidih darahnya begitu melihat mereka itu. Ia turun dari kudanya dan mengambil batu dan dilemparkan kepada mereka dan berteriak dengan nada marah: “Cepat! Saya tidak ingin melihat kalian!

Untuk menyambut saya kalian berpakaian begini! Kalian sudah kenyang dalam dua tahun ini: Demi Allah, kalau kalian lakukan ini untuk dua ratus orang pasti saya ganti kalian dengan yang lain.” Para pimpinan pasukan itu meminta maaf sambil berkata: “Amirulmukminin, itu adalah pakaian luar7 karena kami membawa senjata.” Setelah Umar melihat senjata yang mereka bawa, tampak kemarahannya agak reda. “Ya, tidak apa,” katanya. Ia meneruskan perjalanan sampai di Jabiah, diikuti oleh rombongan itu.

Sementara ia bermarkas di Jabiah itu mereka segera bersiap-siap dengan senjata ketika melihat sebuah pasukan berkuda datang dengan pedang di tangan para kesatrianya. Melihat mereka Umar hanya tersenyum. “Berikan perlindungan kepada mereka. Jangan merasa khawatir, beri mereka keamanan. Mereka para utusan Severinus, Uskup Agung Baitulmukadas datang akan mengajak damai dengan Amirulmukminin.”

Isi perjanjian Umar dengan pihak gereja

Umar membuat perjanjian dengan mereka atas dasar perjanjian Damsyik. Bahkan perjanjian damai itu lebih longgar. Mereka membuat perjanjian tertulis yang oleh Tabari dikutip sebagai berikut:

“Bismillahir-rahmanir-rahim. Inilah jaminan yang telah diberikan oleh hamba Allah Umar Amirulmukminin kepada pihak Aelia: Jaminan keselamatan untuk jiwa dan harta mereka, untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, bagi yang sakit dan yang sehat dan bagi kelompok agama yang lain. Gereja-gereja mereka tak boleh ditempati atau dirobohkan, tak boleh ada yang dikurangi apa pun dari dalamnya atau yang berada dalam lingkungannya, baik salib mereka atau harta benda apa pun milik mereka. Mereka tak boleh dipaksa dalam hal agama mereka atau mengganggu siapa pun dari mereka. Tak boleh ada orang Yahudi yang tinggal bersama mereka di Aelia. Penduduk Aelia harus membayar jizyah seperti yang dilakukan oleh penduduk Mada’in. Mereka harus mengeluarkan orang-orang Rumawi dan pencuri-pencuri. Mereka yang keluar akan dijamin jiwa dan hartanya hingga sampai ke tempat tujuan mereka yang aman. Barang siapa ada yang tinggal di antara mereka, keamanan mereka tetap dijamin, dan kewajiban mereka membayar jizyah sama dengan kewajiban penduduk Aelia. Barang siapa dari penduduk Aelia yang ingin pergi atas tanggungan sendiri dan hartanya sendiri bersama pihak Rumawi dan meninggalkan rumah-rumah ibadah mereka dan salib-salib mereka, maka mereka yang bertanggung jawab atas diri mereka, rumah-rumah ibadah dan salib-salib mereka untuk sampai ke tempat tujuan yang aman. Bagi penduduk yang ada di tempat itu, barang siapa ingin tetap tinggal, maka mereka berkewajiban membayar jizyah seperti penduduk Aelia. Barang siapa mau pergi bersama pihak Rumawi bolehlah mereka pergi, dan barang siapa mau kembali kepada keluarganya kembalilah. Tak boleh ada yang diambil dari mereka sebelum mereka selesai memetik hasil panennya. Segala apa yang ada dalam surat perjanjian ini, merupakan janji dengan Allah, dengan jaminan Rasul-Nya, para khalifah dan jaminan orang-orang beriman, kalau mereka sudah membayar jizyah yang menjadi kewajiban mereka.” Umar menutup surat perjanjian itu dengan tanda tangannya, disaksikan oleh Khalid bin Walid, Amr bin As, Abdur-Rahman bin Auf dan Mu’awiah bin Abi Sufyan.

Utusan Severinus itu kembali dengan membawa surat tersebut ke Yerusalem. Uskup itu sangat gembira dengan hasil perjanjian itu, demikian juga semua penduduk kota. Bagaimana mereka tidak akan gembira, pihak Muslimin mengakui keberadaan mereka, memberikan jaminan keamanan atas harta, jiwa dan kepercayaan mereka, tak seorang pun boleh diganggu karena keyakinan agamanya, tak boleh dipaksa dalam keadaan apa pun. Mereka sangat gembira karena perjanjian itu membolehkan siapa pun dari penduduk untuk meninggalkan kota dan pergi bersama orang-orang Rumawi, dan siapa pun dari orang-orang Rumawi dan orang-orang asing yang tinggal di kota itu boleh untuk tetap tinggal dengan aman; tak ada keharusan apa pun bagi mereka selain jizyah sebagai imbalan keabsahan dan jaminan keamanan bagi mereka. Alangkah besarnya perbedaan ini dengan keinginan Heraklius yang hendak memaksa penduduk kota harus meninggalkan keyakinan ajaran mereka dan harus mengikuti ajaran negara yang resmi; barang siapa menolak dipotong hidung dan telinganya, dan rumahnya harus dirobohkan! Sungguh, perjanjian ini merupakan zaman baru yang dibukakan oleh Allah bagi umat Nasrani Yerusalem. Itulah perjanjian yang tak pernah mereka rasakan dalam sejarah dan yang semacam ini tak pernah ada cita-cita semacam itu pada mereka.

Berita persetujuan ini tersiar di kalangan penduduk Ramlah. Mereka berusaha mempelajari karena ingin membuat perjanjian serupa dengan Amirulmukminin. Begitu juga dengan yang lain di Palestina. Pihak Lad juga sudah berhasil membuat perjanjian dengan Umar yang berlaku untuk mereka dan kota mereka yang kemudian masuk dalam perjanjian itu. Dalam perjanjian itu kepada pihak Lad Umar memberikan jaminan keamanan bagi jiwa dan harta mereka, gereja-gereja dan salib-salib mereka serta bagi mereka yang sakit dan yang sehat serta kelompok- kelompok sekte mereka yang lain. Tak ada yang boleh dipaksa dalam soal agama mereka dan tak seorang pun dari mereka boleh diganggu, mereka hanya harus membayar jizyah seperti yang dilakukan oleh kota-kota lain di Syam. Selesai Amirulmukminin mengerjakan semua itu, untuk Palestina Umar menempatkan orang yang dibagi dua bagian. Alqamah bin Hakim untuk Ramlah dan sekitarnya, dan Alqamah bin Mujazziz untuk Aelia dan sekitarnya.

Umar memasuki Yerusalem

Sesudah Umar menyelesaikan perjanjian Palestina, Abu Ubaidah dan Khalid serta yang datang bersama mereka dari utara Syam, kembali ke tempat pekerjaan masing-masing.8 Setelah itu ia akan pergi Baitulmukadas ditemani oleh Amr bin As dan Syurahbil bin Hasanah. Tetapi ternyata kaki kudanya belum sembuh. Sebagai gantinya dibawakan seekor kuda beban. Tetapi waktu berjalan kuda itu bertingkah dan gentanya bergemerincing. Yang demikian ini tidak disukai oleh Umar. Ia turun dan menampar muka kuda itu dengan mantelnya sambil berkata: “Jelek sekali tingkah lakumu yang begitu angkuh !” Ia memang tak pernah menunggang kuda beban, baik sebelum atau sesudah itu. Sementara kudanya diistirahatkan, ia masih tinggal selama beberapa hari lagi. Sesudah itu dinaikinya lagi dalam perjalanannya memasuki kota Baitulmukadas. Ia disambut oleh Uskup Agung Severinus dan pembesar-pembesar kota. Ia sangat ramah terhadap mereka dan akrab. Kata- katanya dalam pembicaraan itu sangat memikat hati mereka. Segala yang diberikan kepada mereka berupa jaminan keamanan untuk diri mereka, keyakinan dan rumah-rumah ibadah mereka, memang mencerminkan kejujuran di wajahnya. Kecintaan orang ini pada kebenaran dan keadilan yang mereka lihat jauh sekali jika dibandingkan dengan masa Kaisar dulu, yang bertangan besi dan serba menindas. Selesai pertemuan sore itu mereka pulang untuk kemudian bertemu lagi keesokan harinya. Sesudah tinggal seorang diri, Umar melakukan salat tanda bersyukur kepada Allah atas segala karunia yang telah diberikan kepadanya.

Karunia mana yang lebih besar daripada menjadi seorang pembebas kota Masjidilaksa dan sebagai pengganti Rasulullah dalam melakukan salat di tempat itu! Allah telah memberi karunia kepada hamba dan Rasul-Nya dengan melakukan perjalanan malam dari Masjidilharam ke Masjidilaksa yang telah diberi berkah di sekitarnya untuk memperlihatkan kepadanya tanda-tanda kebesaran-Nya. Sesudah Rasulullah Sallalliihu ‘alaihi wa sallam tiba di Baitulmukadas, ia melaksanakan alat di reruntuhan Kuil Sulaiman, mengimami Nabi Ibrahim, Nabi Isa dan Nabi Musa. Sejak selesainya mukjizat ini dengan izin Allah Rasulullah tak pernah lagi pergi ke Palestina dan tidak pula datang ke Masjidilaksa. Kemudian ia digantikan oleh Abu Bakr, yang juga belum ditakdirkan Allah berkunjung ke sana. Nasib baik rupanya telah diberikan kepada Umar. Baitulmukadas telah membukakan pintunya buat dia. Ia mendapat sambutan sebagai orang yang beruntung, yang dicintai karena keadilannya, karena toleransinya serta kecenderungannya hendak memelihara jangan sampai ada orang yang dipaksa karena keyakinan agamanya. Baitulmukadas ini yang kemudian menjadi kiblat kaum Muslimin yang pertama, dan bagi umat Nasrani sebagai makam Almasih sedang bagi Yahudi sebagai tanah yang dijanjikan. Adakah karunia yang lebih besar dari ini yang membuat Umar bersyukur kepada Tuhan? Kalau ia bangun malam sepanjang itu ia salat. Ia melakukan itu sebagai bagian yang sudah menjadi kewajibannya. Dan sesudah semua ini, sungguh Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Pengasih. (Qur’an, 16:110).

Umar menolak salat di gereja dan alasannya

Keesokan harinya pagi-pagi Severinus datang berkunjung kepada Umar dan mengajaknya berkeliling kota untuk memperlihatkan peninggalan-peninggalan kuno di kota itu serta ke tempat-tempat ziarah umatnya. Alangkah banyaknya peninggalan-peninggalan kuno di Baitulmukadas. Ini adalah kota para rasul dan para nabi: ke sana Nabi Musa pergi bersama orang-orang Israil ketika keluar dari Mesir; di sana pula cerita penyaliban Almasih, dan di tempat ini didirikan Kanisat al-Qiyamah (Gereja Anastasis). Orang-orang Kristiani mengatakan, bahwa jasadnya dimakamkan di tempat ini dan dari sini ia naik ke langit. Di tempat ini terdapat pula peninggalan-peninggalan para nabi. seperti mihrab Nabi Daud dan batu Nabi Yakub, yaitu batu yang disebutkan dalam kitab-kitab sejarah Nabi bahwa Rasulullah dari sinilah naik ketika mikraj. Di samping itu masih ada lagi reruntuhan Kuil Sulaiman yang masih dikenang sebagai seorang raja agung, dan nabi-nabi yang lain.

Dari peninggalan-peninggalan puing-puing itu banyak juga terdapat rumah-rumah ibadah orang pagan yang dibangun oleh penguasa-penguasa Palestina dari pihak. Roma, dan sebelum itu juga didirikan oleh penguasa-penguasa Palestina dari pihak. Mesir. Boleh jadi tak. ada yang disembunyikan oleh Severinus kepada Umar, dan semua yang memang sudah terkenal mengenai cerita tempat-tempat ibadah itu diceritakannya kembali kepada Umar, dan yang demikian ini banyak sekali. Sementara kedua orang ini sedang di Gereja Anastasis, waktu salat pun tiba. Uskup itu meminta kepada Umar melaksanak.an salat di tempat itu, karena itu juga rumah Tuhan. Tetapi Umar menolak dengan alasan di waktu-waktu yang akan datang khawatir jejaknya diikuti oleh kaum Muslimin, karena mereka akan menganggap apa yang dikerjakan Umar itu sebagai teladan yang baik [sunnah mustahabbah]. Kalau mereka sampai melakukan itu, orang-orang Kristiani akan dikeluarkan dari gereja mereka dan ini menyalahi perjanjian yang ada. Dengan alasan yang sama juga ia menolak salat di Gereja Konstantin di dekat Gereja Anastasis itu. Di ambang pintu Gereja itu mereka sudah menghamparkan permadani untuk salat,9 tetapi Umar melakukan salat di tempat lain di dekat Batu Suci di reruntuhan Kuil Sulaiman. Di tempat inilah kaum Muslimin kemudian mendirikan mesjid yang mewah, yaitu Masjidilaksa [al-Masjid al-Aqsa]. Pada masa Umar mesjid yang didirikan itu sangat sederhana, seperti Masjid Nabawi di Medinah ketika dulu dibangun.

Beberapa orientalis berpendapat, bahwa Umar menolak salat di Gereja Anastasis itu karena di dalamnya ada gambar-gambar dan patung-patung, dan dia mengemukakan alasan seperti yang sudah kita sebutkan tadi dengan menyembunyikan sebab yang sebenarnya, dan untuk menjaga jangan sampai menyinggung perasaan Uskup Agung yang sudah tua itu. Sudah tentu penafsiran ini tidak benar untuk suatu peristiwa sejarah yang begitu penting dalam hubungan antaragama yang beraneka macam di berbagai tempat di dunia ini. Bukti ketidakbenaran ini, bahwa sesudah itu Umar pun datang mengunjungi Kanisat al-Mahd (Church of the Nativity) atau Gereja Buaian di Bethlehem, diantar oleh Severinus sesudah mengunjungi Gereja Anastasis. Tiba waktu salat ia pun salat di tempat itu. Di situ juga ada patung-patung, gambar-gambar dan salib-salib seperti yang terdapat dalam Gereja Anastasis, bahkan lebih banyak lagi. Tetapi yang dikhawatirkannya jika salat di tempat demikian kelak dijadikan teladan oleh kaum Muslimin lalu mereka yang lebih berhak dikeluarkan dari sana. Setelah itu ia membuat perjanjian khusus dengan Uskup Agung itu agar gereja ini hanya untuk kaum Nasrani dan jangan ada dari pihak Muslimin yang memasukinya lebih dari satu orang untuk satu kali.

Dalam hal ini kita teringat pada Sa’d bin Abi Waqqas ketika menggunakan Ruang Sidang Kisra sebagai tempat salat untuk kaum Muslimin tanpa mengganggu patung-patung yang ada di dalamnya, padahal ia mampu membuat semua itu setelah Mada’in dibebaskan dan dia yang berkuasa di Istana itu. Umar tidak akan merasa terganggu salat di gereja itu dengan segala gambar-gambar dan patung-patung yang ada di dalamnya. Sebelum hijrah ke Medinah dulu Rasulullah salat di Ka’bah yang masih penuh berhala dan patung-patung, selama itu tidak mengganggunya atau mengganggu seorang Muslim dan salatnya di tempat itu. Tujuh tahun sesudah hijrah ia datang ke Mekah bersama 2000 kaum Muslimin melaksanakan umrah, lalu bertawaf di Ka’bah sementara berhala-berhala masih banyak menghiasinya. Bilal pun naik ke teratak Ka‘bah dan azan di sana untuk salat lohor. Muhammad salat di situ bersama kedua ribu Muslimin itu secara Islam. Mengapa pula Muhammad dan pengikut-pengikutnya tidak. akan salat di tempat yang di dalamnya terdapat gambar-gambar dan patung-patung, selama ajaran Islam tekanannya pada keimanan kepada Allah, dan segala amalannya tergantung pada niat, barang siapa imannya benar dan semata-mata demi Allah, maka ke mana pun ia menghadap di sanalah kehadiran Allah. Adapun Muhammad menghancurkan berhala-berhala di sekeliling dan di dalam Ka ‘bah ketika pembebasan Mekah sehingga Baitullah itµ bersih dari segala macam agama kecuali agama yang diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya itu supaya berhala-berhala tersebut tidak mengingatkan orang pada masa jahiliah lalu timbul kerinduannya ke sana. Tetapi hati mereka yang sudah bersih, beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa ta ‘ala semata, mereka tak perlu khawatir di mana pun mereka salat. Mereka melihat kehadiran Allah dalam semua ciptaan-Nya, Mahasuci Dia dan Mahaagung dengan segala sebutan-Nya!

Penolakan Umar salat di Gereja Anastasis adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam sejarah agama-agama serta hubungan pemeluknya masing-masing di berbagai tempat di dunia ini. Hal ini memperlihatkan toleransi Islam dan kejujuran Umar dalam berpegang pada prinsip bahwa tak ada paksaan dalam soal agama, sekaligus melukiskan kebijakan Muslimin masa itu dan keteguhannya berpegang pada prinsip kebebasan menganut suatu keyakinan. Berdakwah ke jalan Allah harus dilakukan dengan bijaksana dan pesan yang baik, dan ajak berdiskusi dengan cara yang lebih baik, sehingga akan ternyata permusuhan yang ada antara engkau dengan dia akan menjadi seperti teman dekat. Sungguh luar biasa hal itu terjadi di tangan "Al-Faruq" (Umar) di Baitulmukadas lebih dari seribu tiga ratus tahun silam. Setelah itu Baitulmukadas tetap menjadi poros peperangan yang tiada hentinya sambung-menyambung generasi demi generasi dan abad demi abad,dan sampai masa kita sekarang ini pun menjadi pemicu timbulnya keangkuhan dan kebanggaan beragama, serta fanatisme kegolongan di pelbagai pelosok dunia, dan menjadi pokok pertentangan yang berkepanjangan antara umat-umat Kristiani, Yahudi dan Muslim. Andaikata para pemimpin bangsa-bangsa itu mempunyai kesadaran seperti pada Umar masa itu, dan sama dengan dia melihat bahwa tak ada paksaan dalam agama, dan dapat menempatkan mana yang 'untuk Kaisar dan man yang untuk Tuhan,' dan tidak mendakwakan diri yang berhak atas Palestina atas nama Tanah yang Dijanjikan atau Kuil Sulaiman, tentu dunia akan bebas dari segala beban yang selama ini menghimpitnya di mana-mana, tak terkecuali benua demi benua dan bangsa demi bangsa. Mungkin orang yang lebih adil dengan jujur akan menjawab: Kapankah manusia ini akan dapat beristirahat? Adakah jalan untuk mencapai kebahagiaan, kemuliaan dan kesejahteraan tanpa harus ada perselisihan? Bukankah sejarah dunia merupakan serangkaian mata rantai peperangan yang tak pernah putus, yang kadang dipicu atas nama agama, kadang atas nama kebebasan berkeyakinan? Sebenarnya agama dan kebebasan berkeyakinan seperti yang mereka dakwakan itu tidak salah, tetapi mereka menggunakannya sebagai alasan untuk membenarkan perang dalam memuaskan ambisi dan nafsu saja, dan tak ada hubungannya baik dengan agama atau dengan kebebasan berkeyakinan sebelum menjadi kenyataan! Jawaban ini benar. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran dan nurani kemanusiaan itu baru masih dalam tingkat kekanak-kanakan, dan ajaran-ajaran para nabi dan rasul, para filusuf dan pemikir, dalam hati umat manusia belum memberi pengaruh seperti yang mereka harapkan.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team