Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

12. Umar di Baitulmukadas (Bait al-Muqaddas) (3/3)

 

Toleransi Umar terhadap penduduk Yerusalem

Mengenai hubungan sosial Umar dengan pihak Nasrani yang sudah saya kemukakan, rasanya tak perlu saya menyangkal apa yang dikira sebagian orang bahwa dalam persetujuan Baitulmukadas itu ia mencantumkan suatu ketentuan dengan pihak Nasrani bahwa umat Islam tidak boleh dilarang memasuki gereja-gereja mereka, di waktu malam atau siang; bahwa jangan membicarakan agama mereka atau berusaha meyakinkan pihak lain untuk menganutnya; bahwa mereka tidak boleh memakai pakaian Muslim; bahwa mereka tidak boleh berbicara dalam bahasa Arab sebagai bahasa pemenang dan menggunakan nama-nama seperti nama-nama mereka; bahwa tidak boleh menunggang kuda dan membawa senjata, dan harus berhenti jika seorang Muslim lewat di depan mereka. Jika ada seorang Muslim datang mereka harus berdiri sampai ia duduk; bahwa tidak boleh menjual minuman keras, menaikkan salib di atas gereja-gereja mereka dan tak boleh membunyikan lonceng; tak boleh mengambil seorang pembantu yang masih bekerja pada seorang Muslim.

Semua itu dan yang semacamnya tak ada yang sesuai dengan sikap Umar terhadap Gereja Anastasis dan Gereja Buaian di atas. Juga tak ada yang sesuai dengan segala yang telah diperlihatkan oleh Severinus dan semua warga Aelia yang begitu gembira menerima persetujuan Umar itu. Sikapnya terhadap kedua gereja itu serta penerimaan Uskup Agung dan pembesar-pembesar kota di samping sambutan mereka kepadanya secara terinci semua itu sudah diuraikan oleh sejarawan­sejarawan Kristen dahulu. Sungguhpun begitu di dalam kitab-kitab lama yang ditulis oleh sejarawan-sejarawan Arab hal itu tak seberapa disinggung. Tetapi semua tuduhan yang dialamatkan kepada Umar itu dilancarkan oleh propagandis-propagandis yang membela penyerbuan kaum salib atas Palestina. Propaganda mereka yang didorong oleh nafsu yang sengaja dialamatkan kepada Umar dalam abad-abad belakangan itu, karena kebijakan pemerintahan yang tidak terpuji atau karena timbulnya gejala-gejala fanatisme.

Faktor-faktor kemunduran yang kemudian menggerogoti tubuh kedaulatan Islam ini telah menjerumuskannya ke dalam tindakan-tindakan yang tidak terpuji dalam kebijaksanaannya. Di antara kaum Muslimin dan mereka yang menamakan diri demikian pada zaman akhir-akhir ini ada yang begitu fanatik dan menganjurkan orang pada fanatisme. Tetapi Umar tak ada hubungannya dengan semua itu. Dia sangat agung. Untuk apa bersikap demikian, Allah telah membukakan semua pintu dunia buat dia. Orang masuk Islam berbondong-bondong, tanpa dipaksa, tanpa kekerasan, sementara pasukan-pasukan kedua imperium Persia dan Rumawi tak mampu bertahan lagi selain hanya mundur lalu melarikan diri. Andaikata Umar bukan seorang politikus yang berpandangan tajam dan jauh ke depan, niscaya nalurinya pun sudah akan mcngantakannya kepada yang baik dalam arti hubungan sosial dengan mereka yang telah membukakan pintu kota-kota itu lebar-lebar dan menyerahkan segala kekuasaan mereka. Bagaimana pendapat kita tentang dia sebagai orang yang begitu tinggi nalurinya dalam politik. Kemenangannya itu tidak akan membuatnya lupa untuk bersikap hati-hal atau sebaliknya akan mendorongnya menjadi sombong dan congkak. Ketegasannya juga tidak akan membuatnya lupa bahwa keadilan dan kasih sayang adalah yang paling besar pengaruhnya dalam hati bangsa-bangsa atau umat yang diperintah yang selama itu tetap dipertahankannya. Ia tak sampai bertangan besi karena didorong oleh keangkuhan. Itu sebabnya para sejarawan Kristen yang obyektif sependapat; mereka sangat memuji keadilan Umar, toleransi dan rasa kasih sayangnya. Betapa kagum dan hormat mereka terhadap sikapnya di Baitulmukadas serta kejujurannya dalam membuat persetujuan dengan penguasa setempat.

Keobyektifan mereka tidak berubah seperti yang disebutkan bahw suatu hari Umar berpidato di hadapan kaum Muslimin di Baitul mukadas, dan dalam pidatonya itu ia mengutip firman Allah: Barangsiapa mendapat petunjuk Allah, itulah petunjuk yang benar; tetapi barang siapa dibiarkan tersesat, maka tak ada pelindung dan pem bimbing baginya ke jalan yang benar. (Qur'an, 18:17). Seorang pendeta Nasrani yang juga hadir ketika itu berdiri dan berkata: Allah tidak akan menyesatkan siapa pun. Setelah diulangnya kata-kata itu, Umar berkata kepada orang-orang di sekitarnya: "Perhatikan, kalau dia masih mengulang kata-katanya, penggallah lehernya." Dengan peringatan ini pendeta tersebut diam. Mereka yang memang bersikap obyektif dan jujur itu tetap sepakat, bahwa bukan karena sumber itu tak mempunyai dasar yang kuat, tetapi andaikata itu pun benar tidaklah akan merusak sikap toleransi dan keadilan Umar. Ketika itu Umar bukan sedang dalam status perdebatan ideologis dengan pendeta tersebut, melainkan sebagai orang yang sedang berpidato mengingatkan umat Islam tentang keimanan dan jangan saling berbantah, tiba-tiba pendeta itu memotong pidatonya dan mengulanginya lagi - suatu pelanggaran terhadap tata tertib yang dapat menimbulkan dugaan bahwa pelakunya sengaja hendak merusak kewibawaan Amirulmukminin. Oleh karena itu tak lebih Umar hanya memberi peringatan. Sesudah pendeta itu diam dan tidak lagi mengadakan interupsi, Umar pun meneruskan pidatonya sampai selesai. Sampai waktu salat tiba dan Umar mengimaminya, tak ada orang yang mengganggu pcndcta itu.

Andaikala cerita mengenai pendeta tersebut benar, tentu dapat kita pakai sebagai argumen baru mengenai pengaruh sekte-sekte dan gologan-golongan dalam kehidupan sehari-hari umumnya dalam tubuh Kristen waktu itu. Tak ada orang Kristen yang marah atas peringatan Umar itu, tidak pula tampak ada tanda fanatik atau merasa tertekan. Soalnya, karena sekte-sekte yang banyak itu memang membuat mereka hidup bernafsi-nafsi. Mereka menganggap interupsi pendeta itu bertentangan dengan adat lembaga yang tak perlu fanatik terhadap suatu keyakinan yang sudah diakui. Sebaliknya pihak Muslimin, mereka tetap berlapang dada terhadap penganut-penganut semua sekte, tanpa mencampuri atau marah karenanya.

Tetapi toleransi itu tidak berarti akan membiarkan Baitulmukadas untuk orang-orang Kristen, dan kaum Muslimin dalam arti agama tidak mendapat tempat di situ. Baitulmukadas adalah kiblat umat Islam yang pertama, dan ke Masjidilaksa itu pula Allah memperjalankan hamba-Nya. Kesuciannya bagi Umar tidak kurang dari kesuciannya bagi umat Nasrani. Di samping itu setiap Muslim memasuki suatu tempat, mereka harus membangun sebuah mesjid. Sudah kita sebutkan bahwa Umar pernah menolak ajakan Severinus untuk mengadakan salat di Gereja Anastasis, dan ia salat di dekat Batu Yakub di reruntuhan Kuil. Di tempat ini ia membangun sebuah mesjid yang sangat sederhana seperti mesjid yang dibangun Nabi di Medinah setibanya di sana. Ibn Kasir menyebutkan bahwa Umar meminta pendapat Ka'bul Ahbar, di tempat dimana ia salat. Ka'b al-Ahbar ini orang Yahudi yang sudah masuk Islam. Ia berkata kepada Umar: Kalau Anda mau menerima saran saya, sebaiknya Anda salat di belakang Batu itu, maka seluruh Quds di depan Anda. Tetapi Umar berkata: Anda sudah meniru ajaran Yahudi. Tidak! Saya akan salat di tempat Rasulullah Sallalliihu 'alaihi wa sallam dulu salat. Tetapi menurut sumber Tabari, ketika Umar bertanya kepada Ka'b: Menurut pendapat Anda di mana sebaiknya kita mendirikan musala? Dijawab oleh Ka'b: Menghadap ke Batu itu. Tetapi kata Umar: Ka'b, Anda sudah meniru ajaran Yahudi. Saya sudah melihat Anda dan cara Anda membuka alas kaki. Tidak! Akan kita buat kiblat itu bagian depan, seperti dilakukan oleh Rasulullah, kiblat mesjid-mesjid kita di depan. Kita tidak diperintahkan menghadap ke Batu, tetapi perintah itu menghadap ke Ka'bah. Kemudian Umar mendirikan mesjid itu bagian depannya menghadap ke Ka'bah, bukan ke Batu Yakub.

Umar mengalihkan kiblat ke Ka'bah dan bukan ke Batu yang ada di depannya, karena Ka'bah merupakan kiblat umat Islam seperti di sebutkan di dalam Qur'an, namun ia tidak mengurangi pentingnya Batu itu karena di situlah terjadinya Isra' seperti diterangkan dalam hadis Rasulullah. Karena dilihatnya begitu penting, sehingga ketika ia melihat di atasnya ada timbunan sampah yang dilemparkan oleh pihak Rumawi ia berkata kepada sahabat-sahabatnya: Kerjakanlah seperti yang saya lakukan. Kemudian ia berlutut di bawahnya dan sampah-sampah itu diangkatnya sendiri lalu dilemparkannya jauh-jauh. Sahabat-sahabatnya juga ikut bekerja seperti dia. Demikian mereka bekerja terus di atas Batu itu sampai semua di atasnya dapat dibersihkan. Sejak itu Batu tersebut tetap terpelihara di bawah pengawasan kaum Muslimin sampai pada masa Abdul-Malik bin Marwan. Dialah yang kemudian memasang kubah di atasnya, dikerjakan dengan begitu teliti sehingga tampak sangat mengagumkan sekali, menjadi lambang bangunan yang sungguh indah, sehingga dapat mengalahkan bangunan Masjidilaksa dan Masjidilharam, bahkan mengalahkan semua mesjid yang pernah dibangun. Abdul-Malik memang sangat menyukai bangunan Bizantium karena ia pernah tinggal di Damsyik, di tengah-tengah gereja-gereja Nasrani dan segala peninggalan kunonya. Karenanya, mesjid-mesjid yang dibangunnya itu sangat menarik dan sedap dipandang.

Kembali ke Medinah

Tujuan Umar berkunjung ke Baitulmukadas selesai sudah. Ia kembali ke Medinah dengan mengambil jalan semula seperti ketika datang. Sesampainya di Jabiah ia masih tinggal lagi selama beberapa hari, kemudian berangkat meninggalkan kota itu dengan menunggang kuda nya. Segala yang dikerjakan Umar di Palestina beritanya sudah diterima oleh Ali dan kaum Muslimin yang lain. Ia disambut di luar kota Medinah dengan sangat meriah. Tentu saja, Syam dan Irak sekarang sudah bersih! Tentu saja, Umarlah yang pertama mengadakan perjalanan serupa itu, sejak Allah mengutus Rasul-Nya menyampaikan dakwah agama kepada umat manusia di segenap penjuru dunia!

Tetapi, puaskah Umar atas segala yang telah dibukakan Allah kepada nya itu lalu ia berusaha menyusun pemerintahannya dan memperkuat persatuan? Memang itulah cita-citanya. Itu sebabnya ia mengharapkan sekali sekiranya antara dia dengan pihak Persia ada sebuah gunung dari api yang dapat memisahkan keduanya. Ingin sekali ia sekiranya ada sebuah penyekat yang akan dapat menjauhkan keduanya masing-masing. Tetapi kehendak takdir lebih kuat daripada kehendaknya. Sudah termaktub kiranya bahwa Khalid dan Abu Ubaidah telah mampu menumpas pemberontakan di Syam, dan Umar pun sudah pula dapat membebaskan beberapa kerajaan sebagaimana mestinya. Sekarang kita tinggalkan Amirulmukminin di Medinah menyelesaikan segala urusan pemerintahannya, dan kita kembali ke Syam untuk melihat bagaimana ketentuan Allah terjadi di sana!

Catatan Kaki:

  1. Nama ini terdapat dalam buku Tabari dan mereka mengutipnya bahwa namanya Artabu. Sebagian sejarawan menambahkannya lagi dengan kata sandang lalu berbunyi al-Artabun. Alfred Butler membenarkan nama ini dalam bukunya [Fathul ‘Arab li Misr] bahwa namanya memang Artabun. Nama ini disebutkan juga dalam beberapa buku dan sebagian kitab suci seperti yang kita sebutkan dalam teks, yaitu Artabun. Beberapa peneliti berpendapat bahwa ejaan Atrabun lebih tepat daripada Artabun dan Aritabun, dan bahwa itu bukan nama seorang jenderal Rumawi di Yerusalem, tetapi gelar seorang jenderal besar Rumawi dalam kedudukannya sesudah Heraklius. Nama ini diarabkan dari kata Latin Tribunus. Kita dapat mendukung pendapat ini. Karenanya dalam teks kita catat ejaan itu dengan Atrabun.
  2. Ailea. Baitulmukadas. Ramlah baru dibangun dalam abad ke-8 M. di dekat sebuah desa yang ketika itu disebut Rama, yang kemudian lenyap. Kalangan sejarawan Arab lebih suka menyebutnya dengan nama ar-Ramlah yang bertahan sampai sekarang. supaya tidak membingungkan pembaca.
  3. Dalam literatur lama dikenal dengan nama Caesarea Palestinae. sebuah kota lama yang sekarang bernama Kaisariah, selatan Haifa, Israel Utara. - Pnj.
  4. Demikian sumber itu menurut Tabari, Ibn Asir dan Ibn Kasir. Ibn Khaldun menyebutkan bahwa Mu’awiah mengepung Kaisariah tetapi tidak menyebutkan bahwa dia membebaskannya. Menurut orientalis Muir bahwa pasukan Muslimin sudah menaklukkan seluruh Palestina kecuali Kaisariah. Beberapa sumber berpendapat bahwa Kaisariah tetap terkepung selama tujuh tahun. Barangkali pembebasannya berulang kali, kemudian direbut kembali oleh pihak Rumawi dari arah laut. Bagaimanapun juga. dengan pengepungan itu bala bantuan kepada Atrabun dari jalan itu sudah tertutup.
  5. Ada sebuah sumber yang dilansir oleh Tabari dan yang lain, bahwa Atrabun tertawa ketika membaca surat Amr yang mengatakan: Dialah yang akan membebaskan kota ini. Stafnya menanyakan dari mana ia tahu bahwa Amr bukan orang yang menguasai Aelia. Ia menjawab bahwa orangnya bernama Umar dengan tiga huruf, dan bahwa itu terdapat dalam Kitab Taurat, dan bahwa dalam Kitab itu sifat Umar sudah dilukiskan, yang tak syak lagi Yerusalem akan berpindah ke tangan Muslimin. Sebagian mereka yang menyeebutkan sumber ini menambahkan bahwa tak lama setelah Atrabun mengetahui hal itu ia menarik angkatan bersenjatanya ke Mesir dengan meninggalkan Uskup Severinus untuk memecahkan sendiri masalah itu dengan pihak Muslimin.
  6. Tabari, Ibn Asir dan yang lain mengatakan bahwa Umar berangkat dari Medinah ke Jabiah dengan menggunakan kuda. Waqidi dan orang-orang yang sependapat dengan dia mengatakan bahwa dia menggunakan untanya sendiri dengan membawa dua buah karung, masing-masing berisi tepung gandum dan kurma; sebuah kirbat di depannya berisi air penuh dan sebuah bokor tempat makanan di belakangnya. Ia pergi dengan beberapa orang sahabat. Pagi hari ia menghidangkan bokor itu kepada mereka dan makan bersama-sama. Ia mengajarkan Muslimin yang dilaluinya dan melarang mereka melakukan sesuatu yang melanggar agama yang pernah mereka lakukan karena tidak tahu. Sesudah mendekati Syam, mereka melihat sebuah pasukan berkuda yang dikirim oleh Abu Ubaidah untuk membawakan berita kepadanya tentang Umar dan kedatangannya. Umar bermaksud memasuki Baitulmukadas dengan mengenakan pakaian dari wol yang sudah ditambal dengan empat belas tambalan di antaranya dengan kulit hewan. Sahabat-sahabatnya berkata kepadanya: Sebaiknya Anda mengganti unta itu dengan kuda dan memakai pakaian putih. Saran itu diterimanya dan mengenakan sehelai selendang kecil dari kain linen di pundaknya yang disodorkan oleh Abu Ubaidah. dan seekor kuda beban disiapkan untuk dinaiki. Begitu dilihatnya kuda itu jalannya meligas dan berlagak ia turun dan katanya kepada sahabat-sahabatnya: Hapuskan kesalahanku semoga Allah menghapuskan kesalahan kalian di hari kiamat. Pemimpin kalian hampir binasa karena kemasukan rasa ujub dan sombong dalam hatinya. Kemudian dilepasnya apa yang sudah dipakainya itu dan ia kembali mengenakan pakaiannya yang bertambal-tambal. Dengan mengacu kepada Abu al-Galiyah ad-Dimasyiqi Ibn Kasir melukiskan perjalanan itu sebagai berikut: “Umar bin Khattab datang ke Jabiah melalui jalan Aelia dengan naik seekor unta kelabu, dan membiarkan kepalanya yang botak di bawah terik matahari, tidak mengenakan topi ataupun serban. Kedua kakinya bergetar di kedua sisi unta itu tanpa sanggurdi. Alas duduknya pakaian bulu tebal yang kasar ketika berkendaraan dan kain bulu tebal itu juga sebagai lapik jika turun. Tempat barang-barangnya kain baju bergaris-garis hitam dan putih diisi dengan sabut. Itulah tempat barangnya jika di alas kendaraan dan itu pula yang dijadikan bantal jika turun. Ia mengenakan baju kamis (gamis, kemeja) tebal terbuat dari kapas bergaris-garis yang sisinya sudah sobek. Lalu katanya: Panggilkan kepala rombongan itu. Lalu al-Jalumas dipanggil. “Cucikan kamisku ini dan jahitkanlah yang sobek. Pinjami aku sehelai baju atau kamis.” Lalu dibawakan kamis dari linen. “Apa ini?” tanyanya. Ini linen,” kata mereka. “Linen itu apa?” Dibukanya bajunya lalu dicuci dan ditambal kemudian diberikan kepadanya. Baju yang dari mereka dilepaskan dan ia mengenakan bajunya sendiri. Kata Jaluma kepadanya: Anda Raja Arab; tidak pantas ada unta di kota ini. Kalau Anda memakai selain ini dan naik kuda akan tampak besar di mata orang Rumawi. Tetapi ia menjawab: Allah telah memberi kemuliaan kepada kita dengan Islam. Kita tidak meminta ganti yang lain tanpa karunia Allah. Ketika dibawakan seekor kuda beban dan di atasnya dihamparkan karpet tanpa pelana dan sanggurdi lalu ia menaikinya ia berkata: Tahan, tahan. Saya kira sebelum ini ada orang yang menunggang setan! Kemudian didatangkan untanya dan dinaikinya.”
  7. Ibn Kasir menambahkan sebuah sumber dari Tariq bin Syihab dengan mengatakan: “Sesudah Umar menuju Syam, ia terhalang oleh arungan sungai. Ia turun dari untanya, dibukanya alas kakinya, ditentengnya dengan tangannya dan ia menyeberangi sungai itu dengan membawa untanya. Kata Abu Ubaidah kepadanya: “Hari ini Anda telah melakukan sesuatu yang luar biasa untuk penduduk di sini. Anda telah melakukan begini dan begini.” Umar memukul dada Abu Ubaidah seraya berkata: “Atau orang lain mengatakan itu, Abu Ubaidah! Kalian dulu adalah manusia yang paling kerdil, hina dan miskin. Maka Allah telah memuliakan kalian dengan Islam. Betapapun kalian mengharapkan kemuliaan tanpa Islam Allah akan menghinakan kalian!”
  8. Yalmaq, jamak yalamiqah, bahasa Persia: pakaian luar (LA). - Pnj.
  9. Beberapa sumber menyebutkan bahwa kedua mereka ikut bersama dia memasuki Bailulmukadas. Baru kemudianlah mereka pergi ke tempat tugas mereka masing-masing sesudah Umar kembali ke Medinah. Tetapi sumber yang kita kutip di sini lebih masyhur.
  10. Ada juga sumber yang menyebutkan bahwa ia salat di ambang pintu Gereja Konstantin, kemudian berpesan kepada kaum Nasrani agar jangan ada kaum Muslimin yang salat di ambang pintu-pintu gereja.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team