|
Kekuatan dan Kelemahan Paham Asyari Sebagai
Doktrin Aqidah Islamiah (1/2)
Pokok pembicaraan kita ialah paham Asy'ari dalam tinjauan
segi kekuatan dan kelemahannya. Tetapi meskipun pembicaraan
ini menyangkut penilaian kritis terhadap paham itu, namun
kritik itu an sich tidaklah menjadi tujuannya. Pembicaraan
kita bertolak pada usaha untuk mengenali segi-segi positif
paham itu dan mencari jalan bagaimana mengembangkannya agar
dapat menjadi suatu sumbangan kepada tantangan hidup masa
kini. Juga dengan sendirinya pada usaha mengenali segi-segi
negatifnya serta sedapat mungkin menemukan jalan untuk
menghindari atau menghilangkannya.
Relevansi pembicaraan ini ialah bahwa sebagian besar kaum
Muslimin Indonesia, jika tidak seluruhnya, menganut paham
Asy'ari di bidang 'aqidah. Pertama, karena Islam di
Indonesia beraliran Sunni, sehingga tidak menganut aqidah
Syi'ah atau Mu'tazilah. Kedua, karena Islam di
Indonesia bermazhab Syafi'i dan seperti di mana-mana, kaum
Syafi'i kebanyakan menganut 'aqidah Asy'ari. Ini berbeda
dengan kaum Sunni bermazhab Hanafi (di Asia Daratan) yang
kebanyakan menganut 'aqidah Maturidi, dan dari kaum Sunni
bermazhab Hanbali (di Arabia) yang tidak menganut Asy'ari
maupun Maturidi, melainkan mempunyai aliran sendiri khas
Hanbali. Pembela paling tegas paham Sunnah (lengkapnya, Ahl
Sunnah wa al-Jama'ah -- baca: "Ahlusunnah waljama'ah") di
negeri kita, yaitu Nahdlatul 'Ulama', dalam muktamarnya di
Situbondo akhir 1984 yang lalu merumuskan dan menegaskan
bahwa paham Sunnah ialah paham yang dalam 'aqidah menganut
al-Asy'ari atau al-Maturidi. Sedangkan kelompok-kelompok
lain, seperti Muhammadiyah sebagai yang pertama-tama dan
terbesar, yang biasanya oleh Nahdlatul 'Ulama' dipandang
sebagai tidak tegas berpaham Ahl al-Sunnah wa al jama'ah
(namun sebenarnya dalam banyak hal malah sangat Sunni), juga
masih tetap menganut al-Asy'ari dalam 'aqidah, tanpa banyak
mengambil alih kritik para pemikir modernis Islam seperti
Muhammad 'Abduh, ataupun pemikir reformis seperti Ibn
Taymiyyah dan, apalagi, Muhammad ibn 'Abd-al-Wahhab,
terhadap beberapa segi paham Asy'ari itu. Maka membicarakan
paham Asy'ari berarti membicarakan pandangan kepercayaan
agama yang paling kuat dan luas di negeri kita.
Imam al-Asy'ari
Jika disebut paham Asy'ari, kita maksudkan keseluruhan
penjabaran simpul ('aqidah) atau simpul-simpul ('aqa'id)
kepercayaan Islam dalam Ilmu Kalam yang bertitik tolak dari
rintisan seorang tokoh besar pemikir Islam, Abu al-Hasan
'Ali al-Asy'ari dari Basrah, Iraq, yang lahir pada 260
H./873 M. dan wafat pada 324 H./935 M. Jadi dia tampil
sekitar satu abad setelah Imam al-Syafi'i (wafat pada 204
H./819 M.), atau setengah abad setelah al-Bukhari (wafat
pada 256 H./870 M.) dan hidup beberapa belas tahun sezaman
dengan pembukuan hadits yang terakhir dari tokoh yang enam,
yaitu al-Tirmidzi (wafat pada 279 H./892 M.). Dengan kata
lain, al-Asy'ari tampil pada saat-saat konsolidasi paham
Sunnah di bidang hukum atau fiqh, dengan pembukuan hadits
yang menjadi bagian mutlaknya, telah mendekati penyelesaian.
Dan penampilan al-Asy'ari membuat lengkap sudah konsolidasi
paham Sunnah itu, yaitu dengan penalaran ortodoksnya di
bidang keimanan atau 'aqidah.
Penalaran al-Asy'ari disebut ortodoks karena lebih setia
kepada sumber-sumber Islam sendiri seperti Kitab Allah dan
Sunnah Nabi daripada penalaran kaum Mu'tazilah dan para
Failasuf. Meskipun mereka ini semuanya, dalam analisa
terakhir, harus dipandang secara sebenarnya tetap dalam
lingkaran Islam, namun, dalam pengembangan argumen-argumen
bagi paham yang mereka bangun, mereka sangat banyak
menggunakan bahan-bahan falsafah Yunani. Banyaknya
penggunaan bahan falsafah Yunani itu memberi ciri pokok
pemikiran kaum Mu'tazilah dan para Failasuf sehingga mereka
melakukan pendekatan ta'wil atau interpretasi metaforis
terhadap teks-teks dalam Kitab dan Sunnah yang mereka anggap
mutashabihat karena, misalnya, mengandung deskripsi tentang
Tuhan yang antropomorfis (Tuhan menyerupai manusia seperti
punya tangan, mata, bertahta di atas Singgasana atau Arasy,
bersifat senang atau ridla, murka atau ghadlab, dendam atau
intiqam, terikat waktu seperti menunggu atau intidhar, dan
seterusnya). Disebabkan kuatnya peranan dan unsur logika dan
dialektika dalam penalaran kaum Mu'tazilah dan para Failasuf
ini, maka sistem mereka disebut Ilmu Kalam, yakni, Ilmu
Logika atau Dialektika. Maka jika penalaran mereka itu
merupakan sebuah teologi, lebih tepat disebut Teologi
Rasional, Teologi Dialektis atau Teologi Spekulatif,
kadang-kadang disebut Teologi Skolastik, juga disebut
Teologi Alami (Natural Teology), bahkan Teisme Falsafati
(Philosophical
Theism).[1]
Tetapi penggunaan argumen-argumen logis dan dialektis
tidak terbatas hanya kepada kaum Mu'tazilah dan para
Failasuf saja. Kaum Asy'ari juga banyak menggunakannya,
meskipun metode ta'wil yang menjadi salah satu akibat
penggunaan itu hanya menduduki tempat sekunder dalam sistem
Asy'ari. Kemampuan Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari menggunakan
argumen-argumen logis dan dialektis ia peroleh dari latihan
dan pendidikannya sendiri sebagai seorang Mu'tazili. Ia
memang kemudian, pada usia empat puluh tahun, menyatakan
diri lepas dari paham lamanya, dan bergabung dengan paham
kaum Hadits (Ahl al-Hadits) yang dipelopori kaum Hanbali,
yang bertindak sebagai pemegang bendera ortodoksi, sehingga
sering diisyaratkan sebagai kaum Sunni par excellence. Namun
al-Asy'ari nampak tidak mungkin melepaskan diri sepenuhnya
dari metode logis dan dialektis, yang kali ini ia gunakan
justru untuk mendukung dan membela paham Ahl al-Hadits.
Disebabkan oleh metodologinya itu mula-mula al-Asy'ari tetap
mencurigakan bagi kaum Hadits pada umumnya, sehingga ia
merasa perlu membela diri melalui sebuah risalahnya yang
sangat penting, Istihsan al-Khawdl fi 'Ilm al-Kalam
("Anjuran untuk Mendalami Ilmu Kalam", yakni, Ilmu Logika).
Karena ilmu logika formal, atau silogisme, dipelajari
orang-orang Muslim dari Aristoteles (maka dalam bahasa Arab
disebut secara lengkap sebagai al-manthiq al-aristhi, logika
Aristoteles), pemikiran Ilmu Kalam adalah juga dengan
sendirinya bersifat Aristhi atau Aristotelian, dengan ciri
utama pendekatan rasional-deduktif. (Segi ini pada umumnya,
dan segi-segi tertentu konsep dalam Kalam pada khususnya,
merupakan alasan kritik dan penolakan oleh kaum Hanbali atas
Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh kaum Asy'ari, dengan
kontroversi dan polemik yang masih berlangsung sampai hari
ini).
Walaupun demikian, sungguh sangat menarik bahwa dalam
pergumulan pemikiran yang sengit di bidang teologi itu
akhirnya Imam Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari dari Basrah
tersebut memperoleh kemenangan besar, jika bukan terakhir
atau final. Ini terutama sejak tampilnya Imam al-Ghazali
sekitar dua abad setelah al-Asy'ari, yang dengan kekuatan
argumennya yang luar biasa, disertai contoh kehidupannya
yang penuh zuhud, mengembangkan paham Asy'ari menjadi
standar paham Ortodoks atau Sunni dalam 'aqidah. Karena itu,
seperti telah disinggung di atas, pada saat sekarang ini,
untuk sebagian besar kaum Muslim seluruh dunia, paham
Asy'ari adalah identik dengan paham Sunni, dan, lebih dari
itu, bahkan Ilmu Kalam pun sekarang menjadi hampir terbatas
hanya kepada metode penalaran Asy'ari. Maka dilihat dari
kadar penerimaannya oleh sedemikian besar kaum Muslim, dan
dari bagaimana penerimaan itu melintasi batas-batas
kemazhaban dalam fiqh, paham Asy'ari adalah paham yang
paling luas menyebar dalam Dunia Islam, sehingga al-Asy'ari
bisa disebut sebagai pemikir Islam klasik yang paling
sukses. Tidak ada tokoh pemikir dalam Islam yang dapat
mengklaim sedemikian banyak penganut dan sedemikian luas
pengaruh buah pikirannya seperti Abu al-Hasan 'Ali
al-Asy'ari. Maka sebutan yang paling umum untuk tokoh ini
ialah Syaykh Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, sebagaimana
senantiasa digunakan pada lembaran judul karya-karyanya yang
cukup banyak dan kini telah diterbitkan.
Beberapa Inti Pokok Paham Asy'ari
Sesungguhnya letak keunggulan sistem Asy'ari atas lainnya
ialah segi metodologinya, yang dapat diringkaskan sebagai
jalan tengah antara berbagai ekstremitas. Maka ketika
menggunakan metodologi manthiq atau logika Aristoteles, ia
tidaklah menggunakannya sebagai kerangka kebenaran itu an
sich (seperti terkesan hal itu ada pada para Failasuf),
melainkan sekedar alat untuk membuat kejelasan-kejelasan,
dan itu pun hanya dalam urutan sekunder. Sebab bagi
al-Asy'ari, sebagai seorang pendukung Ahl al-Hadits, yang
primer ialah teks-teks suci sendiri, baik yang dari Kitab
maupun yang dari Sunnah, menurut makna harfiah atau
literernya. Oleh karena itu kalaupun ia melakukan ta'wil, ia
lakukan hanya secara sekunder pula, yaitu dalam keadaan
tidak bisa lagi dilakukan penafsiran harfiah. Hasilnya ialah
suatu jalan tengah antara metode harfi kaum Hanbali dan
metode ta'wili kaum Mu'tazili. Di tengah-tengah
berkecamuknya dengan hebat polemik dan kontroversi dalam
dunia intelektual Islam saat itu, metode yang ditempuh
al-Asy'ari ini merupakan jalan keluar yang memuaskan banyak
pihak. Itulah alasan utama penerimaan paham Asy'ari hampir
secara universal, dan itu pula yang membuatnya begitu kukuh
dan awet sampai sekarang.
Meskipun begitu, inti pokok paham Asy'ari ialah Sunnisme.
Hal ini ia kemukakan sendiri dalam bukunya yang sangat bagus
dan sistematis, yaitu Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf
al-Mushallin ("Pendapat-pendapat Kaum Islam dan Perselisihan
Kaum Bersembahyang"), sebuah buku heresiografi (catatan
tentang berbagai penyimpangan atau bid'ah) dalam Islam yang
sangat dihargai karena kejujuran dan obyektifitas dan
kelengkapannya. Dalam meneguhkan pahamnya sendiri, terlebih
dahulu al-Asy'ari menuturkan paham Ahl al-Hadits seperti
yang ada pada kaum Hanbali, kemudian mengakhirinya dengan
penegasan bahwa ia mendukung paham itu dan menganutnya.
Untuk memperoleh gambaran yang cukup lengkap tentang hal
yang amat penting ini, di sini dikutip beberapa persoalan
mendasar dari keterangan al-Asy'ari yang dimaksud:
Keseluruhan yang dianut para
pendukung Hadits dan Sunnah ialah: mengakui adanya Allah,
para malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, dan semua yang
datang dari sisi Allah dan yang dituturkan oleh para tokoh
terpercaya berasal dari Rasulullah s.a.w., tanpa mereka
menolak sedikit pun juga dari itu semua. Dan Allah
--Subhanahu-- adalah Tuhan Yang Maha Esa, Unik (tanpa
bandingan), tempat bergantung semua makhluk, tiada Tuhan
selain Dia, tidak mengambil isteri, tidak juga anak; dan
bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya; dan bahwa surga
itu nyata, neraka itu nyata, dan hari kiamat pasti datang
tanpa diragukan lagi, dan bahwa Allah membangkitkan orang
yang ada dalam kubur.
Dan bahwa Allah --subhanahu-- ada di atas 'Arasy
(Singgasana), sebagaimana difirmankan (Q., 20:5), "Dia Yang
Maha Kasih, bertahta di atas Singgasana"; dan bahwa Dia
mempunyai dua tangan tanpa bagaimana (bi la kayfa)
sebagaimana difirmankan (Q., 37:75), "Aku menciptakan dengan
kedua tangan-Ku", dan juga firmanNya (Q., 5:64), "Bahkan
kedua tangan-Nya itu terbuka lebar"; dan Dia itu mempunyai
dua mata tanpa bagaimana, sebagaimana difirmankan (Q.,
54:14), "Ia (kapal) itu berjalan dengan mata Kami"; dan Dia
itu mempunyai wajah, sebagaimana difirmankan (Q., 55:27),
"Dan tetap kekallah Wajah Tuhanmu Yang Maha Agung dan Maha
Mulia."
Dan nama-nama Allah itu tidak dapat dikatakan sebagai
lain dari Allah sendiri seperti dikatakan oleh kaum
Mu'tazilah dan Khawarij. Mereka (Ahl al-Sunnah) juga
mengakui bahwa pada Allah --subhanahu-- ada pengetahuan
('ilm), sebagaimana difirmankan (Q., 4:166), "Diturunkan-Nya
ia (al-Qur'an) dengan pengetahuanNya", dan juga firman-Nya
(Q., 35:11), "Dan tidaklah ia (wanita) mengandung (bayi)
perempuan, juga tidak melahirkannya, kecuali dengan
pengetahuan-Nya."...
Mereka (Ahl al-Sunnah) juga berpendapat bahwa tidak ada
kebaikan atau keburukan di bumi kecuali yang dikehendaki
Allah, dan segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah,
sebagaimana difirmankan oleh Dia Yang Maha Tinggi dan Maha
Agung (Q., 81:29), "Dan kamu (manusia) tidaklah (mampu)
menghendaki sesuatu jika tidak Allah menghendakinya", dan
sebagaimana diucapkan oleh orang-orang Muslim, "Apa pun yang
dikehendaki Allah akan terjadi, dan apa pun yang tidak
dikehendaki-Nya tidak akan terjadi."
Mereka juga berpendapat bahwa tidak seorang pun mampu
melakukan sesuatu sebelum Dia (Allah) melakukannya, juga
tidak seorang pun mampu keluar dari pengetahuan Allah, atau
melakukan sesuatu yang Allah mengetahui bahwa ia tidak
melakukannya.
Mereka mengakui bahwa tidak ada Pencipta selain Allah,
dan bahwa keburukan para hamba (manusia) diciptakan oleh
Allah, dan bahwa semua perilaku manusia diciptakan Allah
'azza wa jalla, dan bahwa manusia itu tidak berdaya
menceritakan sedikit pun dari padanya.
Dan bahwa Allah memberi petunjuk kepada kaum beriman
untuk taat kepada-Nya, serta menghinakan kaum kafir. Allah
mengasihi kaum beriman, memperhatikan mereka, membuat mereka
orang-orang saleh, membimbing mereka, dan Dia tidak
mengasihi kaum kafir, tidak membuat mereka saleh, serta
tidak membimbing mereka. Seandainya Allah membuat mereka
saleh, tentulah mereka menjadi saleh, dan seandainya Allah
membimbing mereka tentulah mereka menjadi berpetunjuk.
Dan Allah --subhanahu-- berkuasa membuat orang-orang
kafir itu saleh, mengasihi mereka sehingga menjadi beriman;
tetapi Dia berkehendak untuk tidak membuat mereka saleh dan
(tidak) mengasihi mereka sehingga menjadi beriman, melainkan
Dia berkehendak bahwa mereka itu kafir adanya seperti Dia
ketahui, menghinakan mereka, menyesatkan mereka dan memateri
hati mereka.
Dan bahwa baik dan buruk dengan keputusan (qadla') dan
ketentuan (qadar) Allah, dan mereka (Ahl al-Sunnah) beriman
kepada qadla' dan qadar Allah itu, yang baik dan yang buruk,
serta yang manis dan yang pahit. Mereka juga beriman bahwa
mereka tidak memiliki pada diri mereka sendiri (memberi)
manfaat atau madarat, kecuali dengan yang dikehendaki Allah,
sebagaimana difirmankan-Nya, dan mereka (Ahl al-Sunnah) itu
menyerahkan segala perkaranya kepada Allah --subhanahu-- dan
mengakui adanya kebutuhan kepada Allah dalam setiap waktu
serta keperluan kepada-Nya dalam setiap
keadaan.[2]
Selanjutnya al-Asy'ari menuturkan pokok-pokok pandangan
Sunni lainnya seperti bahwa al-Qur'an adalah kalam Ilahi
yang bukan makhluk, bahwa kaum beriman akan melihat Allah di
surga "seperti melihat bulan purnama di waktu malam", bahwa
Ahl al-Qiblah (orang yang melakukan sembahyang dengan
menghadap kiblat di Makkah) tidak boleh dikafirkan meskipun
melakukan dosa besar seperti mencuri dan zina, bahwa Nabi
akan memberi syafa'at kepada umatnya, termasuk kepada mereka
yang melakukan dosa-dosa besar, bahwa iman menyangkut ucapan
dan perbuatan yang kadarnya bisa naik dan turun, bahwa
nama-nama Allah adalah Allah itu sendiri (bukan sesuatu yang
wujudnya terpisah), bahwa seseorang yang berdosa besar tidak
mesti dihukumi masuk neraka, sebagaimana seseorang yang
bertauhid tidak mesti dihukumi masuk surga sampai Allah
sendiri yang menentukan, dan bahwa Allah memberi pahala
kepada siapa yang dikehendaki dan memberi siksaan kepada
siapa saja yang dikehendaki, bahwa apa saja yang sampai ke
tangan kita dari Rasulullah s.a.w. melalui riwayat yang
handal harus diterima, tanpa boleh bertanya: "Bagaimana?"
ataupun "Mengapa?", karena semuanya itu bid'ah.
Juga bahwa Allah tidak memerintahkan kejahatan, melainkan
melarangnya; dan Dia memerintahkan kebaikan dengan tidak
meridlai kejahatan, meskipun Dia menghendaki kejahatan itu.
Dan bahwa keunggulan para sahabat Nabi seperti manusia
pilihan Allah harus diakui, dengan menghindarkan diri dari
pertengkaran tentang mereka, besar maupun kecil, dan bahwa
urutan keunggulan Khalifah yang empat ialah pertama-tama Abu
Bakr, kemudian 'Umar, disusul 'Utsman, dan diakhiri dengan
'Ali.
Selanjutnya, menurut al-Asy'ari, paham Sunni juga
mengharuskan taat mengikuti imam atau pemimpin, dengan
bersedia bersembahyang sebagai ma'mum di belakang mereka,
tidak peduli apakah mereka itu orang baik (barr) ataupun
orang jahat (fajir).
Disebutkan pula bahwa kaum Sunni mempercayai akan
munculnya Dajjal di akhir zaman, dan bahwa 'Isa al-Masih
akan membunuhnya. Lalu ditegaskannya pula bahwa Ahl
al-Sunnah itu berpendapat harus menjauhi setiap penyeru
bid'ah; harus rajin membaca al-Qur'an, mengkaji Sunnah dan
mempelajari fiqh dengan rendah hati, tenang, dan budi yang
baik; harus berbuat banyak kebaikan dan tidak menyakiti
orang; harus meninggalkan gunjingan, adu domba dan umpatan,
dan terlalu mencari-cari makan dan minum!
Demikian kutipan sebagian dari keterangan al-Asy'ari yang
panjang-lebar. Pada akhir keterangannya itu, al-Asy'ari
menyatakan: "Dan kita pun berpendapat seperti semua
pendapat yang telah kita sebutkan itu, dan kepadanyalah kita
bermazhab."[3]
|