|
Kekuatan dan Kelemahan Paham Asyari Sebagai
Doktrin Aqidah Islamiah (2/2)
Alur Argumen Kalam Asy'ari
Disamping menuturkan 'aqidah Ahl Al-Sunnah yang kemudian
ia nyatakan sebagai ia ikuti sendiri itu, al-Asy'ari, seperti
telah disinggung di depan, juga mengembangkan alur argumen
logis dan dialektisnya sebagaimana ia pelajari dari para
guru Mu'tazilah. Dan pengembangannya oleh al-Asy'ari, yang
kemudian lebih dikembangkan lagi oleh para pengikutnya,
terutama al-Ghazali, menjadi tumpuan kekuatan paham Asy'ari
itu sebagai doktrin dalam 'aqidah Islamiah kaum Sunni.
Praktis semua nuktah kepercayaan dalam Islam ia dukung
dengan argumen-argumen logis dan dialektis, sebagian bahkan
tidak lagi merupakan kelanjutan argumen yang telah ada
sebelum dia sendiri, melainkan menjadi kontribusinya yang
orisinal dalam pemikiran Keislaman.
Sebagaimana halnya dengan setiap pembahasan teologis,
pusat argumentasi Kalam Asy'ari berada pada upayanya untuk
membuktikan adanya Tuhan yang menciptakan seluruh jagad
raya, dan bahwa jagad raya itu ada karena diciptakan Tuhan
"dari ketiadaan" (min al-'adam, ex nihilo). Karena tidak
mungkin memaparkan keseluruhan argumen Kalam itu, maka di
sini dikutipkan penjelasan sarjana Muslim moderen,
al-Alousi, tentang argumen Kalam berkenaan dengan penciptaan
alam raya ini. Menurut al-Alousi, ada enam argumen yang
digunakan para tokoh Ilmu Kalam untuk membuktikan tidak
abadinya alam raya:
(1) Argumen dari sifat berlawanan benda-benda
sederhana (basith): unsur-unsur dasar alam raya (tanah, air,
dan lain-lain) dan sifat-sifat dasarnya (panas, dingin,
berat, ringan dan lain-lain) semuanya saling berlawanan,
namun kita dapati dalam kenyataan tergabung (murakkab);
penggabungan itu memerlukan sebab, yaitu Pencipta.
(2) Argumen dari pengalaman: Penciptaan dari ketiadaan
(al-ijad min al-'adam, creatio ex nihilo) tidaklah berbeda
dari pengalaman kita, sebab, melalui perubahan, bentuk lama
hilang dan bentuk baru muncul dari ketiadaan.
(3) Argumen dari adanya akhir untuk gerak, waktu, dan
obyek-obyek temporal: gerak tidak mungkin berasal dari masa
tak berpermulaan, sebab mustahil bagi gerak itu mundur dalam
waktu secara tak terhingga (tasalsul, infinite, temporal
regress), sebab bagian yang terhingga tidak mungkin
ditambahkan satu sama lain untuk menghasilkan keseluruhan
yang tak terhingga; karena itu jagad dan gerak tentu
mempunyai permulaan. Atau lagi, gerak tidak mungkin ada dari
awal tanpa permulaan (azal, eternity), sebab mustahil bagi
gerak itu mundur dalam waktu secara tak terhingga, karena
sesuatu yang tak terhingga tidak dapat dilintasi. Atau lagi,
jika pada suatu titik waktu mana pun, deretan tak terhingga,
telah berlangsung, maka pada titik tertentu sebelumnya hanya
suatu deretan terhingga saja yang telah berlangsung; tetapi
titik tertentu itu terpisah dari lainnya oleh suatu sisipan
yang terhingga; oleh karena itu seluruh deretan waktu itu
terhingga dan diciptakan.
(4) Argumen dari keterhinggaan jagad: karena jagad ini
tersusun dari bagian-bagian yang terhingga, maka ia pun
terhingga pula; segala sesuatu yang terhingga adalah
sementara; oleh karena itu jagad adalah sementara, yakni,
mempunyai suatu permulaan dan diciptakan.
(5) Argumen dari kemungkinan (imkan, contingency): jagad
ini tidaklah (secara rasional) pasti terwujud; oleh karena
itu harus terdapat faktor penentu (mukhashshish, murajjih)
yang membuat jagad itu terwujud, yaitu Pencipta.
(6) Argumen dari kesementaraan (huduts, temporality):
benda tidak mungkin lepas dari kejadian ('aradl, accident)
yang bersifat sementara; apa pun yang tidak dapat terwujud
kecuali dengan hal yang bersifat sementara tentu bersifat
sementara pula; karena itu seluruh jagad raya adalah
sementara (hadits) dan tentu telah terciptakan
(muhdats).[4]
Sudah diisyaratkan di atas bahwa sebagian dari argumen
itu diwarisi para pemikir Muslim dari
falsafah Yunani. Beberapa failasuf
Islam seperti Ibn Rusyd dan al-Suhrawardi memang menyebutkan
nama Yahya al-Nahwi (Yahya si Ahli Tatabahasa, yaitu John
Philoponus, meninggal sekitar tahun 580 M.), seorang pemikir
Nasrani dari Iskandar, Mesir, telah merintis argumen
"kalami" untuk adanya Tuhan dan terciptanya alam raya. Namun
di tangan kaum Muslim, khususnya para penganut paham
Asy'ari, dan lebih khusus lagi al-Ghazali pribadi, argumen
itu berkembang seperti ringkasan al-Alousi di atas, dan
menjadi salah satu segi kontribusi alam pikiran Islam yang
paling orisinal kepada alam pikiran umat manusia.
Karena itu semua, maka Ilmu Kalam menjadi karakteristik
pemikiran mendasar yang amat khas Islam, yang membuat
pembahasan teologis dalam agama itu berbeda dari yang ada
dalam agama lain mana pun, baik dari segi isi maupun
metodologi. Sungguh sangat menarik bahwa dalam perkembangan
teologis umat manusia, Ilmu Kalam seperti yang dipelopori
oleh al-Asy'ari dan dikembangkan oleh al-Ghazali itu telah
mempengaruhi banyak agama di dunia, khususnya yang
bersentuhan langsung dengan Islam, yaitu Yahudi dan Kristen,
sebegitu rupa. Sehingga banyak para pemikir Yahudi sendiri
memandang bahwa agama Yahudi seperti yang ada sekarang ini
adalah agama Yahudi yang dalam bidang teologi telah
mengalami "pengislaman", seperti tercermin dalam pembahasan
buku Austryn Wolfson, Repercussion of Kalam in Jewish
Philosophy ("Pengaruh Kalam dalam Falsafah
Yabudi").[5]
Dan William Craig mengisyaratkan bahwa berbagai polemik
teologis dan filosofis dalam Yahudi dan Kristen adalah
karena pengaruh, dan merupakan kelanjutan, dari polemik
teologis dan filosofis dalam Islam. Seperti kita ketahui,
dalam Islam terjadi polemik antara Kalam (ortodoks) dengan
falsafah, diwakili oleh polemik posthumous antara al-Ghazali
(Tahafut al-Falasifah, "Kerancuan para Failasuf') dan Ibn
Rusyd (Tahafut al-Tahafut, "Kerancuannya Kerancuan"). Dalam
Yahudi, polemik yang paralel juga telah terjadi, yaitu
antara Saadia (pengaruh Kalam al-Ghazali) dengan Maimonides
(pengaruh falsafah Ibn Rusyd), dan dalam Kristen polemik
serupa ialah antara Bonaventure (pengaruh Kalam al-Ghazali)
dan Thomas Aquinas (pengaruh falsafah Ibn
Rusyd).[6]
Sekarang ini, di zaman Moderen, para pengikut paham
Asy'ari boleh merasa lebih mantap dan berbesar hati, sebab,
sepanjang pembahasan William Craig, seorang ahli filsafat
moderen dari Berkeley, California, ilmu pengetahuan
mutakhir, khususnya teori-teori tentang asal kejadian alam
raya seperti teori ledakan besar dalam Astronomi moderen,
sangat menunjang argumen-argumen Ilmu Kalam, khususnya dalam
pandangan bahwa alam raya berpermulaan dalam suatu titik
waktu di masa lampau, dan bahwa ia diciptakan dari tiada.
Sebagai seorang failasuf non-religi, Craig tetap skeptis
tentang apakah Tuhan itu mempunyai sifat-sifat seperti yang
dibicarakan dalam Ilmu Kalam. Namun ia menyimpulkan
pembahasannya dengan mengakui validitas argumen Kalam
tentang adanya Tuhan:
Jadi telah disimpulkan tentang adanya suatu
Khaliq yang personal bagi alam raya yang ada tanpa berubah
dan lepas sebelum penciptaan dan dalam waktu sesudah
penciptaan. Inilah inti pusat apa yang oleh kaum Ketuhanan
dimaksudkan dengan "Tuhan". Kita tidak melangkah lebih jauh
dari itu. Argumen kosmologis kalam membimbing kita kepada
adanya Khaliq yang personal bagi alam raya, namun perkara
apakah Khaliq ini Mahakuasa, baik, sempurna, dan seterusnya,
kita tidak akan
membahas.[7]
Meskipun skeptis tentang sifat-sifat Tuhan, namun, juga
sebagai seorang failasuf non-religi, William Craig
mengisyaratkan bahwa setelah terjadi kesimpulan mantap
tentang adanya Tuhan, sepatutnya kita melihat apakah Tuhan
itu "pernah" menyatakan Diri melalui wahyu-Nya seperti
dikatakan dalam agama-agama, ataukah tidak. Jika jawabnya
afirmatif, itu berarti landasan keabsahan bagi agama. Dan
kalau negatif, maka barangkali Aristoteles benar bahwa Tuhan
itu adalah penggerak yang tak tergerakkan, dan bahwa Dia
tetap jauh dan lepas dari jagad raya yang telah
diciptakanNya.[8]
Tentu saja para ahli Ilmu Kalam menolak konsep
Aristoteles itu. Namun tetap bahwa kesimpulan failasuf
moderen tersebut membuktikan segi paling tangguh dari paham
Asy'ari sebagai doktrin 'aqidah Islamiah. Paham Asy'ari
dengan deretan argumennya itu, seperti telah disebutkan,
telah berjasa ikut memperkokoh konsep Ketuhanan dalam
agama-agama besar, khususnya Islam sendiri, serta Yahudi dan
Kristen. Dan jika Craig benar, paham Asy'ari juga akan
berjasa ikut memperkokoh konsep Ketuhanan bagi manusia zaman
mutakhir dengan ilmu-pengetahuan dan astronomi moderennya.
Masalah Perilaku Manusia
Tanpa kehilangan pandangan tentang segi-segi kuat di atas
itu, pembicaraan tentang paham Asy'ari tidak mungkin lepas
dari segi-segi lemahnya, baik dalam pandangan para pemikir
Islam sendiri di luar kubu Kalam Asy'ari, maupun dari dalam
pandangan para pemikir lainnya. Dalam batasan ruang dan
waktu, kita akan hanya menyinggung satu segi saja yang
paling relevan dan juga paling banyak dijadikan sasaran
kritik, yaitu pandangan dalam sistem paham Asy'ari tentang
perilaku manusia berkenaan dengan masalah sampai di mana
manusia mampu menentukan sendiri kegiatannya dan sampai di
mana ia tidak berdaya dalam masalah penentuan kegiatan itu
berhadapan dengan qudrat dan iradat Tuhan.
Dari kutipan tentang paham Ahl Al-Sunnah yang dijabarkan
al-Asy'ari di muka --dan yang ia dukung dan anut
sepenuhnya-- dapat kita baca pandangan tentang perilaku
manusia, termasuk tentang kebahagiaan dan kesengsaraannya,
yang bernada sikap pasrah kepada nasib (fatalisme).
Sesungguhnya al-Asy'ari bukanlah seorang Jabari 'sehingga
dapat disebut fatalis. Tetapi ia juga bukan seorang Qadari
yang berpaham tentang kemampuan penuh manusia menentukan
perbuatannya, seperti kaum Mu'tazilah dan Syi'ah. Al-Asy'ari
ingin menengahi antara kedua paham yang bertentangan itu,
sebagaimana dalam bidang metodologi ia telah menengahi
antara kaum Hanbali yang sangat naqli (hanya berdasar
teks-teks suci dengan pemahaman harfiah) dan kaum Mu'tazili
yang sangat 'aqli (rasional).
Dalam usahanya menengahi antara jabariah dan qadariah
itu, Abu Hasan al-Asy'ari tampil dengan konsep kasb
(perolehan, acquisition) yang cukup rumit. Berikut ini tiga
bait syair tentang pengertian kasb, dari kitab Jawharat
al-Tawhid, salah satu buku teks dalam paham Asy'ari:
Wa 'indana li al-'abd-i kasb-un
kullifa
Wa lam yakun mu'atstsir-an fa 'l-ta'rifa
Fa laysa majbur-an wa la ikhtiyar-an
Wa laysa kull-an yaf' al-u ikhtiyar-an
Fa in yutsibna fa bi mahdl-i al-fadl'l-i
Wa in yu'adzdzib fa bi mahdl-i
al-'adl-i[9]
Artinya:
Bagi kita, hamba (manusia)
dibebani kasb,
Namun kasb itu, ketahuilah, tidak akan berpengaruh
Maka manusia tidaklah terpaksa, dan tidak pula bebas,
Dan tidak pula masing-masing itu berbuat dengan
kebebasan
Jika Dia (Allah) memberi pahala kita maka semata karena
murah-Nya,
Dan jika Dia menyiksa kita maka semata karena adil-Nya
Jadi, jelasnya, manusia tetap dibebani kewajiban
melakukan kasb melalui ikhtiarnya, namun hendaknya ia
ketahui bahwa usaha itu tak akan berpengaruh apa-apa kepada
kegiatannya. Karena kewajiban usaha atau kasb itu maka
manusia bukanlah dalam keadaan tak berdaya seperti kata kaum
Jabari, tapi karena usahanya toh tidak berpengaruh apa-apa
kepada kegiatannya maka ia pun bukanlah makhluk bebas yang
menentukan sendiri kegiatannya seperti kata kaum Qadari. Dan
jika Allah memberi kita pahala (masuk surga), maka itu
hanyalah karena kemurahan-Nya (bukan karena amal perbuatan
kita), dan jika dia menyiksa kita (masuk neraka) maka itu
hanyalah karena keadilan-Nya (juga bukan karena semata
perbuatan kita).
Kutipan itu menggambarkan betapa sulitnya memahami konsep
kasb dalam paham Asy'ari. Maka tidak heran konsep itu
menjadi sasaran kritik tajam para pemikir lain, termasuk Ibn
Taymiyyah yang menganggapnya sebagai salah satu keanehan
atau absurditas Ilmu Kalam. Ibn Taymiyyah malah menggubah
syair yang dapat dipandang sebagai tandingan konsep kasb:
Wa la makhraj-a li 'l-'abd-i
'amma qadla,
Walakinnahu mukhtar-u husn-in wa saw'at-i
|Fa laysa bi majbur-in 'adim-i 'l-iradat-i
Wa lakinnahu sya'a bi khalq-i
'l-iradat-i[10]
Artinya:
Tidak ada jalan keluar bagi
manusia dari ketentuan-Nya,
Namun manusia tetap mampu memilih yang baik dan yang
buruk
Jadi bukannya ia itu terpaksa tanpa kemauan, melainkan ia
berkehendak dengan terciptanya kemauan (dalam dirinya)
Begitulah, Ibn Taymiyyah melihat bahwa dalam proses
perkembangan paham Asy'ari, konsep kasb yang sulit itu telah
menjerumuskan para pengikutnya kepada sikap yang lebih
mengarah ke Jabariah, tidak ke jalan tengah yang
dikehendakinya. Ibn Taymiyyah sendiri, karena menolak baik
Qadariah maupun Jabariah, juga tampil dengan konsepnya jalan
tengah, yaitu, sebagaimana ternyata dari syair tersebut,
konsep bahwa Allah telah menciptakan dalam diri manusia
kehendak (iradah), yang dengan iradah itu manusia mampu
memilih jalan hidupnya, baik maupun buruk.
CATATAN
1 William
Lane Craig, The Kalam Cosmological Argument (New York:
Barnes & Noble, 1979), h. 4.
2 Abd
al-Hasan 'Ali ibn Isma'il al-Asy'ari, Maqalat al-Islamiyyin
wa Ikhtilaf al-Mushallin, edisi Muhammad Muhy-al-Din 'Abd-al
Hamid 2 jilid (kairo: Maktabat al-Nahdlat al-Mishriyyah,
1969), jil, 1, hh. 345-50.
3 Ibid., h.
350.
4 Al-Alousi,
sebagaimana dikutip dalam Craig, op. cit., hh. 7-8.
5 Diterbitkan oleh
Harvard University Press, Cambridge, Mass., 1979.
6 Craig, op. cit.,
"Pengantar".
7 "We have thus
concluded to a personal Creator of the universe who exists
changelessly and independently prior to creation and in time
subsequent to creation. This is a central core of what
theists mean by "God". Further than this we shall not go.
The Kalam cosmological argument leads us to a personal
Creator of the universe, but as to whether this Creator ia
omniscient, good, perfect, and so forth, we shall not
inquire". (Ibid., h. 152).
8 Ibid., hh. 152-3.
9 Tarjamah Sabil
al-'Abid 'ala Jawharat al-Tawhid (karangan Ibrahim
al-Laqqani) oleh H. Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani,
(tanpa data penerbitan), hh. 146, 149, 150 don 156.
10 Dikutip dalam
'Abd-al-Salam Hasyim Hafidh, al-Imam ibn Taymiyyah (Kairo:
Musthafa al-Halabi, 1969), h. 15.
|