|
Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional: Fiqh
(Tinjauan Dari Segi Makna Kesejarahan) (2/3)
Ushul al-Fiqh (I)
Hampir semasa dengan Abu Hanifah di Irak (Kufah), tampil
pula Anas ibn Malik (715-795) di Hijaz (Madinah). Aliran
pikiran Abu Hanifah (madzhab Hanafi) banyak menggunakan
analogi (qiyas) dan pertimbangan kebaikan umum (istishlah)
dan tumbuh dalam lingkungan pemerintah pusat, sama halnya
dengan aliran pikiran al-Awza'i di Syria (Damaskus)
sebelumnya. Berbeda dengan keduanya itu, aliran pikiran Anas
ibn Malik (madzhab Maliki) terbentuk oleh suasana lingkungan
Hijaz, khususnya Madinah, yang sangat memperhatikan tradisi
(sunnah) Nabi dan para sahabatnya.
Anas ibn Malik mempunyai seorang murid, yaitu Muhammad
ibn Idris al-Syafi'i (wafat 204 H [820 M]. Al-Syafi'i
meneruskan tema aliran pikiran gurunya dan mengembangkannya
dengan membangun teori yang ketat untuk menguji kebenaran
sebuah laporan tentang sunnah, terutama tentang hadits yang
diriwayatkan langsung dari Nabi. Tetapi al-Syafi'i juga
menerima tema aliran pikiran Hanafi yang dipelajari dari
al-Syaibani (wafat 186 H [805 M]), yaitu penggunaan analogi,
dan mengembangkannya menjadi sebuah teori yang sistematika
dan universal tentang metode memahami hukum.
Dengan demikian maka al-Syafi'i berjasa meletakkan
dasar-dasar teoritis tentang dua hal, yaitu, pertama,
Sunnah, khususnya yang dalam bentuk Hadits, sebagai sumber
memahami hukum Islam setelah al-Qur'an, dan, kedua, analogi
atau qiyas sebagai metode rasional memahami dan
mengembangkan hukum itu. Sementara itu, konsensus atau ijma'
yang ada dalam masyarakat, yang kebanyakan bersumber atau
menjelma menjadi sejenis kebiasaan yang berlaku umum
(al-'urf), juga diterima oleh al-Syafi'i, meskipun ia tidak
pernah membangun teorinya yang tuntas. Dengan begitu pangkal
tolak ilmu fiqh (ushul al-fiqh), berkat al-Syafi'i, ada
empat, yaitu Kitab Suci, Sunnah Nabi, ijma' dan qiyas.
Hadits sebagai Sunnah
Kitab Suci al-Qur'an telah dibukukan dalam sebuah buku
terjilid (mushhaf) sejak masa khalifah Abu Bakr (atas saran
'Umar) dan diseragamkan oleh 'Utsman untuk seluruh Dunia
Islam berdasarkan mushhaf peninggalan pendahulunya itu.
Dalam hal ini Hadits berbeda dari al-Qur'an, karena
kodifikasinya yang metodologis (dengan otentifikasi menurut
teori al-Syafi'i) baru dimulai sekitar setengah abad setelah
al-Syafi'i sendiri. Pelopor kodifikasi metodologi itu ialah
al-Bukhari (wafat 256 H [870 M]), kemudian disusul oleh
Muslim (wafat 261 H [875 M]), Ibn Majah (wafat 273 H [886
M]), Abu Dawud (wafat 275 H [888 M]), al-Turmudzi (wafat 279
H [892 M]) dan, akhirnya, al-Nasa'i (wafat 308 H [916 M]).
Mereka ini kemudian menghasilkan kodifikasi metodologis
Hadits yang selanjutnya dianggap bahan referensi utama di
bidang hadits, dan secara keseluruhannya dikenal sebagai
al-Kutub al-Sittah (Buku yang Enam).
Masa yang cukup panjang, yang ditempuh oleh proses
pembukuan hadits sehingga menghasilkan dokumentasi yang
dianggap final itu --berbeda halnya dengan masalah
al-Qur'an-- adalah disebabkan adanya semacam kontroversi
mengenai pembukuan hadits ini hampir sejak dari masa Nabi
sendiri. Al-Syaikh Muhammad al-Hudlari Bek dalam bukunya
yang terkenal, Tarikh al-Tasyri al-Islami (Sejarah Penetapan
Hukum Syari'at Islam) menyebutkan adanya delapan kasus
tindakan menghambat pencatatan hadits, lima di antaranya
dihubungkan dengan 'Umar, dan tiga lainnya dengan
masing-masing Abu Bakr, 'Ali, dan 'Abdullah ibn Mas'ud, yang
dihubungkan dengan Abu Bakr dituturkan demikian:
"Bahwa (abu Bakr) al-Shiddiq mengumpulkan
orang banyak setelah wafat Nabi mereka, kemudian berkata,
"Kamu semuanya menceritakan banyak hadits dari Rasulullah
s.a.w. yang kamu perselisihkan. Padahal manusia sesudahmu
lebih banyak lagi perselisihan mereka. Maka janganlah kamu
sekalian menceritakan (hadits) sesuatu apa pun dari
Rasulullah. Dan jika ada orang bertanya kepada kamu, maka
katakanlah, 'Antara kami dan kamu ada Kitab Allah, karena
itu halalkanlah yang dihalalkannya dan haramkanlah yang
diharamkannya.'"[16]
Selain itu, al-Hudlari Bek juga menuturkan adanya lima
kasus yang mendorong periwayatan hadits, tiga diantaranya
dikaitkan dengan 'Umar dan dua lainnya masing-masing dengan
Abu Bakr dan 'Utsman. Yang dikaitkan dengan Abu Bakr
dituturkan demikian:
" ... Seorang wanita tua datang kepada Abu
Bakr meminta keputusan mengenai waris. Maka dijawabnya,
"Tidak kudapati sesuatu apa pun untukmu dalam Kitab Allah,
dan tidak kuketahui bahwa Rasulullah s.a.w. menyebutkan
sesuatu apa pun untukmu." Kemudian dia (Abu Bakr) bertanya
kepada orang banyak, maka berdirilah al-Mughirah dan
berkata, "Aku dengar Rasulullah s.a.w. memberinya
seperenam." Lalu Abu Bakr bertanya, "Adakah seseorang
bersamamu?" Maka Muhammad ibn Maslamah memberi kesaksian
tentang hal yang serupa, kemudian Abu Bakr r.a. pun
melaksanakannya.[17]
Sedangkan yang terkait dengan 'Umar dituturkan demikian:
" ... Diriwayatkan bahwa 'Umar berkata kepada
Ubay, dan dia ini telah meriwayatkan sebuah hadits untuknya,
"Engkau harus memberikan bukti atas yang kau katakan itu!"
Kemudian Umar keluar, ternyata ada sekelompok orang dari
golongan Anshar, maka disampaikanlah kepada mereka ini.
Mereka menyahut,"Kami benar telah mendengar hal itu dari
Rasulullah s.a.w." Maka kata 'Umar, "Adapun sesungguhnya aku
tidaklah hendak menuduhmu, tetapi aku ingin menjadi
mantap."[18]
Oleh karena itu sesungguhnya sejak masa amat dini
pertumbuhan umat Islam telah ada catatan-catatan pribadi
tentang hadits meskipun belum sistematis. Disebutkan bahwa
Khalifah Abu Bakr sendiri mempunyai koleksi sekitar 400
hadits, dan 'Umar sendiri pernah terpikir untuk membuat
rencana besar untuk mengumpulkan semua hadits,
sekurang-kurangnya dalam hafalan, yang sering dia bacakan di
Masjid Agung Kufah di masa kekhalifahannya. 'Abdullah ibn
'Amr ibn al-'Ash juga dilaporkan mengumpulkan banyak hadits
atas persetujuan Rasulullah sendiri, dan dituliskan dalam
sebuah buku yang diberi nama al-Shahifat al-Shadiqah. Buku
ini sempat beredar selama dua abad, kemudian sebagiannya
dihimpun dalam Musnad Ibn
Hanbal.[19]
Sebelum adanya al-Kutub al-Sittah sebenarnya juga telah
ada berbagai koleksi Hadits yang cukup sistematik, meskipun
tanpa metode otentifikasi al-Syafi'i. Selain Musnad Ibn
Hanbal yang telah disebutkan itu, yang paling terkenal dari
banyak koleksi itu ialah al-Muwaththa' oleh Malik ibn Anas
dari Madinah.
Tetapi memang harus diakui bahwa mengenai persoalan
Hadits ini, disebabkan oleh masalah proses pembukuannya yang
sedikit-banyak problematik itu, terdapat beberapa hal
kontroversial sejak dari semula. Seorang tokoh pembaharu
Islam di abad moderen dari Mesir, Rasyid Ridla, misalnya,
menganut pandangan bahwa penulisan Hadits memang pada
mulanya dibenarkan (oleh Nabi atau para khalifah pertama),
tetapi kemudian
dilarang.[20]
Sebabnya ialah, menurut teori Rasyid Ridla, Nabi tidak
memaksudkan Hadits-hadits itu sebagai sumber hukum yang
abadi atau pun sebagai bagian dari
agama.[21]
Karena itu kemudian Nabi melarang menuliskan Hadits, yang
larangan itu, menurut Rasyid Ridla ditaati oleh para
sahabatnya, khususnya para khalifah empat yang pertama.
Bahkan mereka ini katanya, dengan keras menentang penulisan
itu. Para Tabi'un (orang-orang Muslim dari generasi sesudah
para sahabat Nabi) tidak menemukan rekaman tertulis
(shahifah) dari para sahabat, dan mereka itu mencatat Hadits
hanya jika ada permintaan dari penguasa seperti
khalifah.[22]
Karena itu menurut Rasyid Ridla berbagai Hadits yang
mengisyaratkan persetujuan atau apalagi anjuran menuliskan
Hadits adalah lemah dan dikemukakan hanya untuk tujuan
tertentu
saja.[23]
Teori Rasyid Ridla ini dibantah oleh Muhammad Musthafa
al-A'dhami (M. M. Azmi) dengan data-data dan analisa yang
lebih
lengkap.[24]
Tetapi Rasyid Ridla hanya salah satu dari banyak sarjana
yang mempersoalkan kedudukan
Hadits.[25]
Telah disebutkan bahwa al-Syafi'i adalah sarjana yang
paling besar jasanya dalam meletakkan teori tentang kritik
dan otentifikasi catatan Hadits. Jalan pikiran al-Syafi'i
kemudian diikuti oleh para pemikir di bidang fiqh yang
datang kemudian, khususnya Ahmad ibn Hanbal (wafat 234 H
[855 M]). Sebagai pengembangan lebih lanjut teori
al-Syafi'i, aliran pikiran Hanbali mempunyai ciri kuat
sangat menekankan pentingnya Hadits yang dipilih secara
seksama. Tetapi, tanpa menolak metode analogi atau qiyas,
aliran Hanbali cenderung mengutamakan Hadits, biarpun lemah,
atas analogi, biarpun kuat, Mazhab Hanbali mempunyai teori
tersendiri tentang analogi. Sebagaimana dijabarkan oleh
salah seorang tokohnya yang terbesar, Ibn Taimiyyah (wafat
728 H [1318
M7).[26]
Metode ijma' pun mengandung persoalan. Sekurang-kurangnya
Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa ijma' hanyalah yang terjadi
di zaman salaf, yaitu zaman Nabi sendiri, para sahabat dan
para
tabi'un.[27]
|