|
Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional: Fiqh
(Tinjauan Dari Segi Makna Kesejarahan) (3/3)
Ushul al-Fiqh (II)
Istilah ushul al-fiqh, selain digunakan untuk menunjuk
Kitab Suci, Sunnah Nabi, Ijma' dan Qiyas sebagai
sumber-sumber pokok pemahaman hukum dalam Islam, juga
digunakan untuk menunjuk kepada metode pemahaman hukum itu
seperti dikembangkan oleh al-Syafi'i. Ushul al-fiqh dalam
pengertian ini dapat dipandang sebagai sejenis filsafat
hukum Islam karena sifatnya yang teoretis. Ia membentuk
bagian dinamis dari keseluruhan ilmu fiqh, dan dibangun di
atas dasar prinsip rasionalitas dan logika tertentu. Karena
pentingnya ushul al-fiqh ini, maka di sini dikemukakan
beberapa rumus terpenting berkenaan dengan hukum dalam
Islam:Segala perkara tergantung kepada maksudnya.
- Segala perkara tergantung kepada maksudnya.
- Yang diketahui dengan pasti tidak dapat hilang dengan
keraguan.
- Pada dasarnya sesuatu yang telah ada harus dianggap
tetap ada.
- Pada dasarnya faktor aksidental adalah tidak ada.
- Sesuatu yang mapan dalam suatu zaman harus dinilai
sebagai tetap ada kecuali jika ada petunjuk yang
menyalahi prinsip itu.
- Kesulitan membolehkan keringanan.
- Segala sesuatu bisa menyempit, meluas, dan
sebaliknya.
- Keadaan darurat membolehkan hal-hal terlarang.
- Keadaan darurat harus diukur menurut sekadarnya.
- Sesuatu yang dibolehkan karena suatu alasan menjadi
batal jika alasan itu hilang.
- Jika dua keburukan dihadapi, maka harus dihindari
yang lebih besar bahayanya dengan menempuh yang lebih
kecil bahayanya.
- Menghindari keburukan lebih utama daripada mencari
kebaikan.
- Pembuktian berdasar adat sama dengan pembuktian
berdasar nas.
- Adat dapat dijadikan sumber hukum.
- Sesuatu yang tidak didapat semuanya, tidak boleh
ditinggalkan semuanya.
- Ada-tidaknya hukum tergantung kepada illat
(alasan)-nya.[28]
Penutup
Telah disebutkan pada bagian permulaan bahwa ilmu fiqh
adalah cabang disiplin keilmuan tradisional Islam yang
paling banyak mempengaruhi cara pandang orang-orang Muslim
dan pemahaman mereka kepada agama mereka. Karena itu
literatur dalam ilmu fiqh adalah yang paling kaya dan paling
canggih.
Disebabkan oleh kuatnya orientasi fiqh itu maka
masyarakat Islam dimana saja mempunyai ciri orientasi hukum
yang amat kuat. Kesadaran akan hak dan kewajiban menjadi
tulang punggung pendidikan Islam tradisional, dan itu pada
urutannya tercermin dalam kuatnya kepastian hukum dan aturan
di kalangan orang-orang Muslim. Disebutkan bahwa salah satu
yang menarik pada agama Islam sehingga orang-orang Muslim
dalam pergaulan sehari-hari (mu'amalat) sangat mementingkan
kepastian hukum, sehingga terdapat keteraturan dan
predictability. Ini khususnya penting di kalangan masyarakat
perdagangan.[29]
Selanjutnya, beberapa unsur cita-cita pokok Islam
berkenaan dengan kemasyarakatan juga lebih nampak pada ilmu
fiqh. Prinsip persamaan manusia (egalitarianisme) tampil
kuat sekali dalam ilmu fiqh, dalam bentuk penegasan atas
persamaan setiap orang di hadapan hukum. Maka terkait dengan
itu juga prinsip keadilan. Hal ini berbeda, misalnya, dengan
ilmu tasawuf, khususnya yang berbentuk gerakan tarekat atau
sufisme populer, yang sering memperkenalkan susunan sosial
yang hirarkis, dengan otoritas keruhanian pimpinan yang
menegaskan. Ilmu fiqh juga mempunyai kelebihan atas ilmu
kalam, apalagi falsafah, dalam hal bahwa orientasi
alamiahnya (praxis) sangat ditekankan. Sementara kalam dan
falsafah sangat teoretis, malah spekulatif. Karena itu
banyak gerakan reformasi sosial dalam Islam yang bertitik
tolak dari doktrin-doktrin fiqh.
Tetapi, disebabkan oleh wataknya sendiri, ilmu fiqh
menunjukkan kekurangan, yaitu titik beratnya yang terlalu
banyak kepada segi-segi lahiriah. Di bidang keagamaan,
eksoterisisme ini lebih-lebih merisaukan, sehingga muncul
kritik-kritik, khususnya dari kaum Sufi. Tapi orientasi
kedalaman (esoterisisme) kaum Sufi juga sering merisaukan,
karena tidak jarang terjerembab ke dalam intuisisme pribadi
yang sangat subyektif. Maka agaknya benarlah al-Ghazali yang
hendak menyatukan itu semua dalam suatu disiplin ilmu
keagamaan yang menyeluruh dan padu.
CATATAN
1 Dari empat
disiplin ilmu keislaman tradisional itu masing-masing dapat
diidentifikasikan sebagai berikut: ilmu fiqh merupakan
disiplin dengan bidang garapan segi-segi eksoteris
(lahiriah) agama, yaitu terutama aspek hukum dari amalan
keagamaan. Para ahli fiqh juga disebut ahl al-dhawahir
(kelompok eksoteris). Ilmu tasawuf memperhatikan segi-segi
esoteris (kedalaman, kebatinan), dan para ahli tasawuf
disebut ahl al-bawathin (kelompok esoteris). Ilmu kalam
menggarap segi-segi rasional, namun tetap lebih mengutamakan
wahyu, sedangkan falsafah menggarap segi-segi spekulatif
dengan kecenderungan kuat kepada metode interprestasi
metaforis kepada teks-teks suci. Dari keempatnya itu
falsafah adalah yang paling kontroversial, disebabkan
persandarannya kepada filsafat Yunani yang amat jauh. Namun
ada bagian dari filsafat yang diterima hampir universal di
kalangan orang-orang Muslim, yaitu logika formal (silogisme)
Aristoteles, yang dalam peradaban Islam dikenal dengan ilmu
mantiq (lengkapnya, 'ilm al-manthiq al-aristhi). Al-Ghazali
pun, yang terkenal telah berusaha merubuhkan falsafah,
menaruh kepercayaan besar kepada ilmu mantiq ini.
2 Seperti
halnya dengan Nabi Musa a.s. dan beberapa Nabi yang lain,
Nabi Muhammad dikenal dalam sosiologi agama sebagai "nabi
bersenjata" (armed prophet). Tapi jauh melampaui "prestasi"
Nabi Musa a.s., Nabi Muhammad s.a.w. berhasil merampungkan
hal-hal yang berlipatganda lebih besar dari yang
dirampungkan oleh Nabi Musa dan generasi berikutnya sampai
Nabi Daud a.s. Ketika Rasulullah wafat, praktis seluruh
Jazirah Arabia telah tunduk kepada Madinah, dan hanya selang
beberapa tahun saja sesudah itu wilayah kekuasaan politik
Islam meluas sampai meliputi daerah inti peradaban manusia
saat itu.
3 Salah satu
yang mendorong orang-orang Muslim itu keluar Jazirah Arabia
dan mengadakan bcrbagai ekspedisi militer ialah karena
berita-berita yang telah beredar saat-saat terakhir hidup
Nabi bahwa orang-orang Byzantium yang telah merasa terancam
oleh munculnya gerakan Islam itu telah menyiapkan pasukan
yang sangat besar di perbatasan utara untuk menghancurkan
masyarakat Islam. Bahkan sebelum wafatnya, Rasulullah s.a.w.
telah sempat mengirim ekspedisi militer ke sana. Ekspedisi
yang dikirim Nabi itu kemudian ditafsirkan sebagai semacam
wasiat yang harus dilaksanakan, dan itulah permulaan
sekalian ekspedisi dan ekspansi militer yang terjadi
selanjutnya.
4 Kedudukan
Nabi sebagai hakim pemutus perkara ini antara lain
dikukuhkan dalam sebuah firman, Q., s. al-Nisa'/4:65, "Maka
demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman sehingga mereka
berhakim kepadamu berkenaan dengan hal-hal yang
diperselisihkan antara mereka, kemudian mereka tidak menemui
kekerabatan dalam diri mereka atas keputusan yang telah kau
ambil, dan mereka pasrah sepenuh-penuhnya." Firman ini dan
lain-lainnya juga sering menjadi acuan sebagai penegasan
kewajiban mengikuti Nabi melalui Sunnah yang ditinggalkan
beliau.
5 Ini bisa
dipahami dari firman Allah, Q. s. Hud/11:88, yang menuturkan
Nabi Syu'aib dalam pernyataannya kepada kaumnya; "Aku
hanyalah menghendaki perbaikan (ishlah, reformasi)
sedapatdapatku."
6 Hadits yang
terkenal mengatakan, "Barangsiapa Allah menghendaki kebaikan
baginya, maka ia dibuat paham (fiqh) dalam agama."
7 Q. s.
al-Tawbah/9:122," Maka hendaknyalah pada setiap golongan
dari mereka (orang-orang yang beriman) itu ada sekelompok
orang yang tidak ikut (berperang) untuk mendalami agama
(tafaqquh), dan untuk dapat memberi peringatan kepada
kaumnya bila mereka itu telah kembali (dari perang) agar
mereka semuanya waspada." Dan waspada dalam hal ini, seperti
taqwa, mengandung arti menjunjung tinggi moralitas.
8 Sebuah
Hadits yang terkenal bahwa Nabi Muhammad bersabda, "Aku
diutus hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti luhur."
9 Al-Sayyid
Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Kuwait: Dar al-Bayan, 1388 H/ 1968
M), j. 1, h. 13.
10 Majallat
al-Ahkam al-'Adliyyah (Beirut: Mathba'at Syiarku, 1388
H/1968 M, cetakan kelima), h. 15
11 Lihat
catatan 1 di atas.
12 Di
antara para khalifah Umawiyah yang terkenal sangat saleh
ialah 'Umar ibn 'Abd al-'Aziz yang salah satu usahanya ialah
mendamaikan pertikaian keagamaan antara kaum Sunni dan kaum
Syi'i. Disebut-sebut bahwa yang sesungguhnya untuk pertama
kali mendorong pembukuan Hadits, misalnya, adalah Khalifah
ini, yang telah memerintahkan usaha itu kepada antara lain
al-Zuhrf. Lihat M.M. Azami, Studies in Early Hadith
Literature (Indianapolis: American Trust Publications,
1978), h. 18.
13
Ketidakpuasan umum kepada ketidakacuhan orang-orang Umawi
dalam soal-soal keagamaan telah ikut mendorong meletus dan
berhasilnya Revolusi Abbasiyah yang didukung oleh para
agamawan itu. Meskipun dalam banyak hal, seperti sikap
memihak kepada golongan Sunni, kaum Abbasiyah tak berbeda
dari kaum Umawiyah, tapi yang tersebut terdahulu itu
menunjukkan minat yang lebih besar kepada hal-hal khusus
keagamaan. Ini menciptakan suasana yang baik untuk
pengembangan ilmu-ilmu keagamaan, khususnya ilmu fiqh.
14 Mungkin
karena rasa pertentangan yang laten kepada para pengikut
'Ali (kaum Syi'ah), kaum Umawiyah di Damaskus banyak menaruh
simpati kepada 'Umar ibn al-Khaththab, dan mengaku bahwa
dalam menjalankan beberapa segi pemerintahannya mereka
meneruskan tradisi yang ditinggalkan oleh Khalifah Rasul
yang kedua itu.
15 Kutipan
dari Kitab al-Kharaj akan memberi gambaran yang jelas
tentang nuktah ini:
"... Sesungguhnya Amir al-Mu'minin --semoga
Allah Ta'ala meneguhkannya-- telah meminta kepadaku untuk
menulis sebuah buku yang komprehensif dan meminta agar aku
menjelaskan untuknya hal-hal yang ia tanyakan kepadaku dari
perkara yang hendak ia amalkan, serta agar aku menafsirkan
dan menjabarkannya. Maka benar-benar telah aku jelaskan hal
itu semua dan kujabarkan.
Wahai Amir al-Mu'minin, sesungguhnya Allah --segala puji
bagi-Nya-- telah meletakkan di atas suatu perkara yang besar
pahalanya adalah sebesar-besar pahala, dan siksanya adalah
sebesar-besar siksa. Allah telah meletakkan padamu urusan
umat ini, maka engkau diwaktu pagi maupun petang membangun
untuk orang banyak yang Allah telah menitipkan mereka itu
kepadamu, mempercayakan mereka kepadamu, menguji kamu dengan
mereka itu, dan menyerahkan kepadamu urusan mereka itu. Dan
suatu bangunan tetap saja --jika didasarkan kepada selain
taqwa-- akan dirusakkan Allah dari sendi-sendinya kemudian
merobohkannya menimpa orang yang membangunnya sendiri dan
orang lain yang membantunya. Maka janganlah sekali-sekali
menyia-nyiakan urusan umat dan rakyat yang telah dibebankan
Allah kepadamu ini, sebab kekuatan berbuat itu terjadi hanya
seizin Allah ..." Abu Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim, Kitab
al-Kharaj (Kairo: al-Mathba'at al-Salafiyyah, 1382 H, h. 3).
16
Al-Syaikh Muhammad al-Hudlarf Bek, Tarikh al-Tasyri'
al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr, 1387 H/1967 mO, h. 90-91.
17 Ibid.,
h. 93.
18 Ibid.,
h. 93-94.
19 Majallat
Kulliyyat al-Dirasat al-Islamiyyah (Baghdad: Mathb'at al
Irsyad) NO. 2, 1388 H/1968 M, h. 119-120.
20 Azami,
Early Hadith, h. 24, mengutip dari Rasyid Ridla, Review on
Early Compilation, al-Manar, x, 767.
21 Azami,
h. 24, mengutip Rasyid Ridla, 768.
22 Azami,
h. 24, mengutip Rasyid Ridla, 768.
23 Azami,
h. 24, mengutip Rasyid Ridla, 765-6.
24 Lihat
Azami, h. 25, dan bab III untuk pembahasan ini.
25 Kritik
terhadap pembukuan Hadits juga dilakukan oleh antara lain
Chirargh 'Ali dari anak benua India, juga oleh para
orientalis seperti Joseph Schacht yang banyak mengundang
reaksi dari para sarjana Muslim disebabkan baik metodologi
maupun kesimpulannya yang terlalu jauh.
26 Lihat
antara lain Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah,
al-Qiyas fi al-Syar' al-Islami (Kairo: Mathba'at
al-Salafiyyah, 1346 H).
27 Lihat
Ibn Taimiyyah, al-Muntaqa min Mintaj al-I'tidal (ringkasan.
Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah yang dibuat oleh al-Dzahabi)
(Kairo: Mathb'at al-Salafiyyah, 1374 H), h. 66-7.
28 Lihat Majallat
al-Ahkam al-'Adliyyah, h. 16-18.
29 Banyak buku
tentang ushul al-fiqh ditulis para ahli, antara lain yang
amat praktis oleh Abd al-Hamid Hakim, Mabadi' Awwaliyyah
(Padang-Panjang). Juga bisa disebut karya yang lebih
teoritis oleh 'Abd al-Wahhab al-Khallaf, 'Ilm Ushu al-Fiqh
(Kuwait: al-Dar al-Kuwaitiyyah, 1388 H/1968 M). Tentu saja
dari masa klasik ialah karya al-Syafi'i, al-Risalah (lih.
terjemah Indonesianya).
|