|
Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional: Fiqh
(Tinjauan Dari Segi Makna Kesejarahan) (1/3)
Dari empat disiplin Ilmu Keislaman Tradisional yang mapan
yaitu ilmu fiqh ('ilm al-fiqh), ilmu kalam ('ilm al-kalam),
ilmu tasawuf ('ilm al-tashawwuf) dan falsafah (al-falsafah
atau
al-hikmah),[1]
fiqh adalah yang paling kuat mendominasi pemahaman
orang-orang Muslim akan agama mereka sehingga, karenanya,
paling banyak membentuk bagian terpenting cara berpikir
mereka. Kenyataan ini dapat dikembalikan kepada berbagai
proses sejarah pertumbuhan masyarakat Muslim masa lalu, juga
kepada sebagian dari inti semangat ajaran agama Islam
sendiri.
Salah satu karakteristik historis agama Islam ialah
kesuksesan yang cepat luar biasa dalam ekspansi militer dan
politik.[2] Ada
indikasi bahwa ekspansi militer ke luar Jazirah Arabia itu
mula-mula dilakukan dalam keadaan terpaksa dan untuk tujuan
pertahanan
diri.[3] Tetapi
dinamika gerakan perluasan itu kemudian seperti tidak dapat
dikekang, dan dalam tempo amat singkat orang-orang Muslim
menguasai sepenuhnya "daerah beradab" (Oikoumene, menurut
sebutan orang-orang Yunani kuna), yang membentang dari
Lautan Atlantik di barat sampai Gurun Gobi di timur. Sebuah
kemaharajaan (empire) dunia telah lahir dengan keluasan
wilayah yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah
umat manusia.
Disebabkan oleh ciri kekuasaan itu maka sejak dari
semula, khususnya dikalangan kaum Sunni, agama Islam dengan
erat terkait dengan kemapanan politik. Di antara sekian
banyak implikasinya ialah bahwa para pemimpin Islam, baik
yang berada pada lingkungan kekuasaan maupun yang menekuni
bidang pemikiran, banyak sekali disibukkan oleh usaha-usaha
mengatur masyarakat dan negara sebaik-baiknya. Ini mendorong
kepada curahan perhatian yang luar biasa besar untuk
menggali dan mengembangkan unsur-unsur dalam ajaran agama
Islam yang berhubungan dengan masalah pengaturan masyarakat
dan negara.
Pangkal Pertumbuhan Fiqh
Dari suatu segi, ilmu fiqh, seperti halnya dengan
ilmu-ilmu keislaman lainnya, dapat dikatakan telah tumbuh
semenjak masa Nabi sendiri. Jika "fiqh" dibatasi hanya
kepada pengertiannya sebagai "hukum" seperti yang sekarang
umum dipahami orang, maka akar "hukum" yang amat erat
kaitannya dengan kekuasaan itu berada dalam salah satu
peranan Nabi sendiri selama beliau mengemban tugas suci
kerasulan (risalah), khususnya selama periode sesudah hijrah
ke Madinah, yaitu peranan sebagai pemimpin masyarakat
politik (Madinah) dan sebagai hakim pemutus
perkara.[4]
Peranan Nabi sebagai pemutus perkara itu sendiri harus
dipandang sebagai tak terpisahkan dari fungsi beliau sebagai
utusan Tuhan. Seperti halnya dengan semua penganjur agama
dan moralitas, Nabi Muhammad s.a.w. membawa ajaran dengan
tujuan amat penting reformasi atau pembabaruan dan perbaikan
(ishlah)[5]
kehidupan masyarakat. Berada dalam inti reformasi itu ialah
aspirasi keruhanian (sebagai pengimbang aspirasi keduniawian
semata) yang populis (cita-cita keadilan dengan semangat
kuat anti elitisme dan hirarki sosial) dan yang bersifat
universal (berlaku untuk semua orang, di semua tempat dan
waktu).
Tetapi peranan Nabi dengan tugas kerasulan (risalah) yang
diembannya tidaklah hanya bersangkutan dengan hal-hal
kemasyarakatan semata. Dalam kesanggupan menangkap dan
memahami serta mengamalkan keseluruhan makna agama yang
serba segi itu ialah sesungguhnya letak perbaikan dan
peningkatan nilai kemanusiaan seseorang. Inilah kurang lebih
yang dimaksudkan Nabi ketika beliau bersabda dalam sebuah
hadits yang amat terkenal bahwa jika Tuhan menghendaki
kebaikan untuk seseorang maka dibuatlah ia menjadi faqih
(orang yang paham) akan
agamanya.[6]
Demikian pula sebuah firman Ilahi yang tidak jauh maknanya
dari hadits itu, yang menegaskan hendaknya dalam setiap
masyarakat selalu ada kelompok orang yang melakukan tafaqquh
(usaha memahami secara mendalam) tentang agamanya.
Diharapkan agar para "Spesialis" ini dapat menjalankan peran
sebagai sumber kekuatan moral (moral force)
masyarakat.[7]
Maka suatu masyarakat tumbuh menjadi masyarakat hukum (legal
society), namun dasar strukturnya itu ialah hakikat suatu
masyarakat akhlaq (ethical
society).[8]
Berkenaan dengan prinsip ini al-Sayyid Sabiq, misalnya,
mengatakan bahwa Allah mengutus Muhammad s.a.w. dengan
kecenderungan suci yang lapang (al-hanifiyyat al-samhah).
Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa "Agama yang paling disukai
Allah ialah al-hanifiyyat al-samhah." Kemudian kecenderungan
suci yang lapang itu dilengkapi dengan tata cara hidup
praktis yang serba meliputi (al-syari'at al-jami'ah). Namun
dalam sifatnya yang menyeluruh itu masih dapat dikenali
adanya dua hal yang berbeda: hal-hal parametris keagamaan
yang tidak berubah-ubah, dan hal-hal dinamis, yang berubah
menurut perubahan zaman dan tempat:
... Adapun hal-hal yang tidak berubah karena
perubahan zaman dan tempat, seperti simpul-simpul
kepercayaan (al-'aqa'id) dan peribadatan (al-'ibadat), maka
diberikan secara terinci (mufashshal) dengan rincian yang
sempurna, serta dijelaskan dengan nas-nas yang serba
meliputi. Karena itu tidak seorang pun dibenarkan menambah
atau mengurangi. Sedangkan hal-hal yang berubah dengan
perubahan zaman dan tempat, seperti berbagai kemaslahatan
sipil (al-mashalih al-madaniyyah) serta berbagai perkara
politik dan perang, maka diberikan secara garis besar
(mujmal) agar bersesuaian dengan kemaslahatan manusia di
setiap masa, dan dengan ketentuan itu para pemegang wewenang
(ulu al-amr, jamak dari wali al-amr, pemegang kekuasaan,
yakni, pemerintah) dapat mencari petunjuk dalam usaha
menegakkan kebenaran dan
keadilan.[9]
Maka ilmu fiqh dalam makna asalnya adalah ilmu yang
berusaha memahami secara tepat ketentuan-ketentuan terinci
(al-mufashshalat) dan ketentuan-ketentuan garis besar
(al-mujmalat) dalam ajaran agama itu. Tentang hal-hal yang
telah terinci, dengan sendirinya tidak banyak kesulitan.
Tetapi tentang hal-hal yang bersifat garis besar, perbedaan
penafsiran dan penjabarannya sering menjadi sumber kesulitan
yang menimbulkan berbagai perbedaan pendapat antara para
pemikir Muslim dalam fase perkembangan historis mereka yang
paling formatif.
Masa-masa Perkembangan Formatif
Melalui masa-masa perkembangan formatifnya, ilmu fiqh
memperoleh batasnya yang jelas. Sejalan dengan yang telah
dikemukakan di atas, batasan itu kurang lebih adalah:
... Fiqh ialah ilmu tentang masalah-masalah
syara'iyah secara teoritis. Masalah-masalah fiqh itu
berkenaan dengan perkara akhirat seperti hal-hal peribadatan
(ibadat) atau berkenaan dengan perkara dunia yang terbagi
menjadi munakahat (tentang pernikahan), mu'amalat (tentang
berbagai transaksi dalam masyarakat) dan 'uqubat (tentang
hukuman)...Demi terpeliharanya keadilan dan ketertiban
antara sesama manusia serta menjaga mereka dari kehancuran
maka diperlukanlah ketentuan-ketentuan yang diperkuat oleh
syari'at berkenaan dengan perkara perkawinan, dan itulah
bagian munakahat dari ilmu fiqh; kemudian berkenaan dengan
perkara peradaban dalam bentuk gotong-royong dan kerjasama,
dan itulah bagian mu'amalat dari ilmu fiqh; dan untuk
memelihara perkara peradaban itu agar tetap pada garisnya
ini diperlukan penyusunan hukum-hukum pembalasan, dan inilah
bagian 'uqubat dari ilmu
fiqh.[10]
Dari definisi dan penjelasan tentang hakikat ilmu fiqh
itu nampak dengan jelas titik berat orientasi fiqh kepada
masalah pengaturan hidup bersama manusia dalam tatanan
sosialnya, yang inti kerangka pengaturan itu ialah
masalah-masalah hukum. Bahkan meskipun masalah-masalah
ibadat juga termasuk ke dalam ilmu fiqh --justru merupakan
yang pertama-tama dibahas-- namun cara pandang ilmu fiqh
terhadap ibadat pun tetap bertitikberatkan orientasi hukum.
Dalam hal ini terkenal pembagian hukum yang lima: wajib
mandub, mubah, makruh dan haram. Disamping itu terdapat cara
penilaian kepada sesuatu sebagai sah atau batal, yaitu
dilihat dari kenyataan apakah semua syarat dan rukunnya
terpenuhi atau
tidak.[11]
Telah dikemukakan bahwa situasi yang mendesak orang-orang
Muslim untuk menjabarkan melalui penalaran unsur-unsur dalam
ajaran Islam yang berkaitan dengan masalah pengaturan
masyarakat ialah adanya kekuasaan politik yang sangat riil.
Kekuasaan itu tidak saja secara geografis meliputi daerah
oikoumene yang amat luas, tetapi juga secara demografis
mencakup berbagai bangsa dan agama yang beraneka ragam.
Desakan kepada penalaran itu kemudian juga kodifikasinya
sesungguhnya sudah ada semenjak masa Dinasti Umawiyah
(40-131 H [661-750
M].[12] Tetapi
para penguasa Umawiyah di Damaskus itu agaknya kurang
tanggap terhadap desakan itu. Namun masa Umawiyah telah
sempat melahirkan usaha cukup penting ke arah penyusunan
sistematik ilmu fiqh dan kodifikasinya, dalam konteks Syria
dan sistem pemerintahan Umawi, khususnya oleh tokoh
al-Awzd'i (wafat 155 H [774 M]). Dan baru pada masa dinasti
Abbasiyah (131-415 H [750-974 M]) usaha penyusunan
sistematik ilmu fiqh itu dan kodifikasinya berkembang
menjadi seperti yang sebagian besar bertahan sampai
sekarang.[13]
Pada masa peralihan dari dinasti Umawiyah ke dinasti
Abbasiyah itu hidup seorang sarjana fiqh yang terkenal, Abu
Hanifah (79-148 H [699-767 M]). Aliran pikiran (madzhab,
school of thought) Abu Hanifah terbentuk dalam lingkungan
Irak dan suasana pemerintahan Abbasiyah. Tetapi dari masa
dinasti Abbasiyah itu yang paling formatif bagi pertumbuhan
ilmu fiqh, seperti juga bagi pertumbuhan ilmu-ilmu yang
lain, ialah masa pemerintahan Harun al-Rasyid (168-191 H
[786-809 M]). Pada masa pemerintahannya itu hidup seorang
teman dan murid Abu Hanifah yang hebat, Abu Yusuf Ya'qub ibn
Ibrahim (113-182 H [732-798 M]). Harun al-Rasyid meminta
kepada Abu Yusuf untuk menulis baginya buku tentang
al-kharaj (semacam sistem perpajakan) menurut hukum Islam
(fiqh). Abu Yusuf memenuhinya, tetapi buku yang ditulisnya
dengan nama Kitab al-Kharaj itu menjadi lebih dari sekedar
membahas soal perpajakan, melainkan telah menjelma menjadi
usaha penyusunan sistematik dan kodifikasi ilmu fiqh yang
banyak ditiru atau dicontoh oleh ahli-ahli yang datang
kemudian. Lebih jauh lagi, menyerupai jejak pemikiran
al-Awza'i dari Syria di masa Umawiyah tersebut di atas, Abu
Yusuf dalam Kitdb al-Kharaj menyajikan kembali sistem hukum
yang dipraktekkan di zaman Umawiyah, khususnya sejak
kekhalifahan Abd al-Malik ibn Marwan (64-85 H [685-705 M]),
yang dalam memerintah berusaha meneladani praktek Khalifah
'Umar ibn
al-Khaththab.[14]
Oleh karena itu Kitab al-Kharaj banyak mengisahkan kembali
kebijaksanaan Khalifah 'Umar, yang agaknya juga dikagumi
oleh Harun al-Rasyid sendiri. (Dalam pengantar untuk
karyanya itu, Abu Yusuf dengan tegas dan tandas menasehati
dan memperingatkan Harun al-Rasyid untuk menjalankan amanat
pemerintahannya dengan adil, seperti yang telah dilakukan
oleh
'Umar).[15]
|