|
Menangkap Kembali Dinamika Islam Klasik:
Masyarakat Salaf Sebagai Masyarakat Etika (1/2)
Dalam peralihan abad Hijri yang sering dikumandangkan
sebagai Abad Kebangkitan Islam sekarang ini, dan sudah pula
dimulai sejak menjelang akhir abad yang lalu, kaum Muslim di
seluruh dunia didorong oleh proses sejarahnya sendiri untuk
mencoba mempertegas peranannya dalam sejarah umat manusia.
Gejala-gejala terakhir seperti keputusan Ziya ul-Haqq untuk
menetapkan Syari'ah Islam sebagai hukum Pakistan, juga
perkembangan di Bangladesh yang menghendaki hal yang kurang
lebih serupa (juga di Mesir, Sudan, dan lain-lain) --jika
bukan jelas-jelas merupakan sekedar usaha mencari legitimasi
politik rezim-rezim bersangkutan-- dapat dibaca sebagai
bagian dari, dan dalam rangka, penegasan peranan kesejarahan
tersebut.
Namun sejak dari semula usaha-usaha serupa itu mengandung
dan menghadapi banyak problema. Disebabkan oleh kaitannya
dengan usaha mendefinisikan kembali apa yang disebut Islam
atau bersifat keislaman (Islami) --dengan konotasi bahwa
yang ada secara riil sekarang ini tidak memadai atau malah
telah mengandung berbagai penyimpangan-- maka usaha-usaha
tersebut menghadapkan orang-orang Muslim yang serius kepada
persoalan "menemukan" kembali Islam dan yang bersifat
keislaman. Persoalan ini tampak di permukaan seperti mudah
dipecahkan, yaitu dengan "kembali kepada al-Qur'an dan
al-Sunnah", suatu dalil yang sangat disenangi kaum reformis
Islam, khususnya di kalangan Sunni. Tetapi lepas dari
kebenaran normatif dalil itu, namun dalam pelaksanaan
praktisnya ternyata sangat tidak mudah. Bahkan yang sudah
terjadi ialah bahwa dalil itu, sebegitu jauh, baru
menghasilkan reformasi atau mungkin "pemurnian" hal-hal yang
sesungguhnya sangat bersifat pinggiran (peripheral),
seperti, misalnya, dicerminkan secara mencolok oleh
kontroversi takbir tambahan dalam salat 'Idul Fitri di
Surabaya baru-baru
ini.[1]
Meskipun hal serupa itu sangat penting bagi banyak kalangan
--sebagian kaum Muslim melihat dan mendapati di situ
terletak inti agama dan rasa keagamaan mereka-- namun
sebetulnya sahamnya dalam usaha umat Islam menemukan peran
kesejarahannya kembali tersebut di atas paling untung
marginal saja, jika bukannya tidak ada sama sekali. Kalau
masalah ini harus diungkapkan dalam sebuah jargon,
barangkali yang paling tepat ialah pesan almarhum Bung
Karno, salah seorang Bapak Bangsa Indonesia, agar kita
berusaha menangkap "api" Islam, dan bukan "abu"-nya.
Pembahasan ini adalah dalam rangka mencoba menangkap "api"
itu, betapapun kecilnya kemungkinan hasil yang didapatkan.
Golongan Salaf
Salah satu yang dapat kita lakukan untuk menangkap "api"
itu ialah mencoba memahami hakikat golongan Salaf.
Sesungguhnya ini sejalan saja dengan apa yang sudah terjadi,
yaitu kecenderungan kaum reformis dari kalangan orang-orang
Muslim untuk mencari model pada pengalaman sejarah umat
Islam klasik. Tetapi sebelum hal itu kita lakukan, ada
baiknya kita memeriksa secukupnya pengertian "salaf" dalam
pembahasan Islam.
Perkataan Arab "salaf" sendiri secara harfiah berarti
"yang lampau." Biasanya ia dihadapkan dengan perkataan
"khalaf', yang makna harfiahnya ialah "yang belakangan".
Kemudian, dalam perkembangan semantiknya, perkataan "salaf'
memperoleh makna sedemikian rupa sehingga mengandung
konotasi masa lampau yang berkewenangan atau berotoritas,
sesuai dengan kecenderungan banyak masyarakat untuk melihat
masa lampau sebagai masa yang berotoritas. Ini melibatkan
masalah teologis, yaitu masalah mengapa masa lampau itu
mempunyai otoritas, dan sampai dimana kemungkinan
mengidentifikasi secara historis masa salaf itu.
Dalam hal ini, para pemikir Islam tidak banyak menemui
kesulitan. Masa lampau itu otoritatif karena dekat dengan
masa hidup Nabi. Sedangkan semuanya mengakui dan meyakini
bahwa Nabi tidak saja menjadi sumber pemahaman ajaran agama
Islam, tetapi sekaligus menjadi teladan realisasi ajaran itu
dalam kehidupan nyata. Maka sangat logis pandangan bahwa
yang paling mengetahui dan memahami ajaran agama itu ialah
mereka yang berkesempatan mendengarnya langsung dari Nabi,
dan yang paling baik dalam melaksanakannya ialah mereka yang
melihat praktek-praktek Nabi dan meneladaninya. Selain
logis, hadits-hadits pun banyak yang dapat dikutip untuk
menopang pandangan itu:
Demikian pula dalam mengidentifikasi secara historis masa
salaf itu, para sarjana Islam juga tidak mengalami
kesulitan, meskipun terdapat beberapa pendapat tertentu di
dalamnya. Yang disepakati oleh semuanya ialah bahwa masa
salaf itu, dengan sendirinya, dimulai oleh masa Nabi
sendiri. Kemudian mereka mulai berbeda tentang "kesalafan"
(dalam arti otoritas dan kewenangan) masa kekhalifahan Abu
Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali, untuk tidak mengatakan
masa-masa sesudah mereka. Dalam hal ini dapat kita kenali
adanya empat pendapat:
(1) Kaum Sunni berpendapat bahwa masa keempat
khalifah itu adalah benar-benar otoritatif, berwenang, dan
benar-benar salaf. Kaum Sunni boleh dikata kelanjutan
langsung atau tidak langsung dari masyarakat Islam masa
Dinasti Umayyah, dengan berbagai unsur kompromi akibat usaha
rekonsiliasi keseluruhan umat Islam, mengatasi sisa-sisa
pengalaman traumatis fitnah-fitnah sebelumnya. (Usaha ini
mengambil bentuknya yang paling penting dalam tindakan yang
telah dimulai oleh Abd al-Malik ibn Marwan untuk
merehabilitasi nama 'Ali, musuh Mu'awiyah, pendiri Dinasti
Bani Umayyah, dan sejak itu mulai dikenal, secara historis,
istilah al-Khulafa' al-Rasyidun yang
empat).[2]
(2) Bani Umayyah atau kaum Umawi sendiri, dalam masa-masa
awalnya, mengakui hanya masa-masa Abu Bakar, 'Umar dan
'Utsman, tanpa 'Ali, sebagai masa salaf yang berkewenangan
dan otoritatif.
(3) Sedangkan kaum Khawarij, yaitu kelanjutan dari
sebagian kelompok pendukung 'Ali --yang mereka itu
menunjukkan gelagat persetujuan atas pembunuhan 'Utsman tapi
kemudian kecewa dengan 'Ali dan membunuhnya-- hanya mengakui
masa-masa Abu Bakar dan 'Umar saja yang berwenang dan
otoritatif, sehingga boleh disebut sebagai masa salaf.
(4) Kemudian terdapat kaum Rafidlah dari kalangan Syi'ah
yang menolak keabsahan masa-masa kekhalifahan pertama itu
kecuali masa 'Ali.
Sebagaimana telah disinggung, masalah definisi
kesejarahan tentang siapa yang disebut golongan Salaf dengan
konotasi kewenangan dan otoritas di bidang keagamaan itu
membawa serta problema teologis. Karena itu pengkajian
masalah salaf ini akan dengan sendirinya melibatkan kita
kepada berbagai kontroversi teologis yang berkepanjangan,
dan yang sampai sekarang praktis belum selesai secara
tuntas. Dengan meletakkan kontroversi teologis itu
kesamping, maka kita terpaksa melakukan pilihan. Pilihan itu
pada permasalahan intinya bisa dinilai sebagai arbitrer,
namun masih bisa dibenarkan dengan melihat segi kepraktisan
pembahasan, misalnya berkenaan dengan konteks ruang dan
waktu kita, di sini dan sekarang. Dalam hal ini pilihan kita
lakukan untuk membahas masalah salaf ini menurut pandangan
Sunni, yaitu pandangan (1) di atas, mengingat bahwa
pandangan itu adalah yang paling meluas diikuti kaum Muslim,
baik di dunia maupun di tanah air.
Dalam perkembangan lebih lanjut paham Sunni, golongan
Salaf tidak saja terdiri dari kaum Muslim masa Nabi dan
empat khalifah yang pertama, tetapi juga meliputi mereka
yang biasa dinamakan sebagai kaum Tabi'un (kaum Pengikut,
yakni, pengikut para sahabat Nabi, yang merupakan generasi
kedua umat Islam). Bahkan bagi banyak sarjana Sunni golongan
salaf itu juga mencakup generasi ketiga, yaitu generasi
Tabi'it al-Tabi'in (para Pengikut dari para Pengikut).
Pandangan ini digambarkan secara ringkas dalam sebuah bait
dari kitab kecil ilmu kalam Jawharat al-Tawhid, yang
merupakan salah satu kitab standar di pesantren-pesantren:
(Para sahabat Nabi adalah generasi terbaik,
maka dengarlah!
Lalu menyusul para Tabi'un, diiringi para Tabi'u
al-Tabi'in)[3]
Sebagai sandaran ada kewenangan dan otoritas pada ketiga
generasi pertama umat Islam itu, kaum Sunni menunjuk kepada
firman Allah:
Dan para perintis pertama yang terdiri dari
kaum Muhajirun dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti
mereka itu dengan baik, Allah telah ridla kepada mereka, dan
mereka pun telah ridla kepada-Nya. Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah
kebahagiaan yang agung.
[4]
Jadi firman Ilahi itu menegaskan bahwa kaum Muhajirun dan
Anshar, yaitu para sahabat Nabi yang berasal dari Makkah dan
Madinah, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik
(kaum Tabi'un), telah mendapat ridla dari Tuhan dan,
sebaliknya, mereka pun telah pula bersikap ridla kepada-Nya.
Untuk mereka itu disediakan oleh Tuhan balasan surga yang
akan menjadi kediaman abadi mereka. Dengan kata-kata lain,
kaum Salaf itu seluruh tingkah lakunya benar dan mendapat
perkenan di sisi Tuhan, jadi mereka adalah golongan yang
berotoritas dan berwenang.
Konsep demikian itu, seperti telah disinggung, lebih
sesuai dengan paham Sunni ketimbang dengan paham Syi'i.
Paham Sunni menyandarkan otoritas kepada umat atau
"kolektiva", sementara kaum Syi'i menyandarkannya kepada
keteladanan pribadi (examplary individual), dalam hal ini
keteladanan pribadi 'Ali yang memang heroik, saleh dan alim
(pious).
Namun kedua konsep sandaran otoritas itu mengandung
masalahnya sendiri. Masalah pada konsep Sunni timbul ketika
dihadapkan kepada tingkat pribadi-pribadi para sahabat Nabi:
tidak setiap pribadi masa Salaf itu, pada lahirnya, sama
sekali bebas dari segi-segi kekurangan. Jika seandainya
memang bebas dari segi-segi kekurangan, maka bagaimana kita
menerangkan berbagai peristiwa pembunuhan dan peperangan
sesama para sahabat Nabi sendiri, selang hanya beberapa
belas tahun saja dari wafat beliau? Padahal pembunuhan dan
peperangan itu melibatkan banyak sahabat besar seperti
'Utsman, 'Ali (menantu dan kemenakan Nabi), 'A'isyah (isteri
Nabi), Mu'awiyah (ipar Nabi dan salah seorang penulis
wahyu), 'Amr ibn al-Ash, Abu Musa al-Asy'ari, dan
lain-lain?!
Sedangkan pada kaum Syi'i, masalah yang timbul dari
konsep otoritas yang disandarkan hanya kepada keteladanan
pribadi 'Ali dan para pengikutnya yang jumlahnya kecil itu
ialah implikasinya yang memandang bahwa para sahabat Nabi
yang lain itu tidak otoritatif, alias salah, tidak mungkin
mendapat ridla Allah, dan mereka pun --terbukti oleh adanya
perbuatan salah mereka sendiri-- tidak bersikap ridla kepada
Allah. Jadi pandangan Syi'i itu nampak langsung bertentangan
dengan gambaran dan jaminan yang disebutkan dalam firman di
atas. Lebih lanjut, jika hanya sedikit saja jumlah orang
yang selamat dari kalangan mereka yang pernah dididik
langsung oleh Nabi, apakah akhirnya tidak Nabi sendiri yang
harus dinilai sebagai telah gagal dalam missi suci beliau?
Pertanyaan tersebut secara keimanan sungguh amat berat,
namun tidak terhindari karena dari fakta-fakta sejarah yang
mendorongnya untuk timbul. Upaya menjawab pertanyaan itu dan
mengatasi implikasi keimanan yang diakibatkannya telah
menggiring para pemikir Muslim di masa lalu kepada
kontroversi dalam ilmu kalam (teologi dialektis) yang tidak
ada habis-habisnya. Masing-masing kaum Sunni dan Syi'i,
yaitu dua golongan besar Islam yang sampai sekarang
bertahan, mencoba memberi penyelesaian kepada problema
tersebut. Contoh "penyelesaian" yang diberikan oleh para
pemikir Muslim Sunni klasik untuk problema itu ialah seperti
diungkapkan dalam sebuah bait dari kitab Jawharat al-Tawhid
yang telah dikutip di atas:
(Dan lakukan interpretasi atas pertengkaran
(para sahabat) yang telah terjadi jika engkau harus
mendengarkan penuturan tentang hal itu dan jauhilah penyakit
orang yang dengki).
[5]
Interpretasi atas berbagai peristiwa pertengkaran para
sahabat itu, seperti dilakukan oleh Ibn Taymiyyah, ialah
dengan melihat bahwa semua mereka yang terlibat dalam
pertengkaran itu sebenarnya bertindak berdasarkan ijtihad
mereka masing-masing dalam menghadapi masalah yang timbul.
Maka sebagai ijtihad, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah
hadits yang
terkenal,[6]
tindakan para sahabat yang bertengkar --bahkan saling
membunuh itu-- tetap mendapatkan pahala, biarpun jika
ternyata ijtihad mereka itu
salah.[7]
Ini adalah solusi yang banyak mengandung kelemahan,
sehingga sama sekali tidak memuaskan. Namun jika dikehendaki
jalan keluar dari kerumitan teologis berkenaan dengan
berbagai peristiwa fitnah di antara para sahabat Nabi itu,
maka modus solusi seperti itu agaknya merupakan pilihan yang
cukup baik. Dan itulah salah satu inti paham ke-Sunni-an.
|