|
Menangkap Kembali Dinamika Islam Klasik:
Masyarakat Salaf Sebagai Masyarakat Etika (2/2)
Masyarakat Salaf Sebagai Masyarakat
Etik
Hal yang dicoba kemukakan di atas itu merupakan gambaran
singkat pergumulan sulit orang-orang Muslim dalam usaha
memberi keterangan teologis atas peristiwa-peristiwa dalam
sejarah dini agamanya yang penuh anomali. (Untuk gambaran
lebih lanjut, lihat catatan no.[7] di
bawah). Pergumulan sulit itu membawa kepada logika
"historisistik" (bersemangat historisisme, suatu pandangan
bahwa sejarah dikuasai oleh hukum yang tak terelakkan)
demikian: Apa pun yang terjadi dalam sejarah dunia Islam
itu, ia menyangkut masyarakat yang semestinya bersifat
teladan, sehingga tetap harus dilihat dalam kerangka
"kebenaran umum" yang serba meliputi semua, betapapun
berbagai kejadian itu saling bertentangan, bahkan
menimbulkan pertumpahan darah. Dan "kebenaran umum" yang
serba meliputi itu ialah yang bersangkutan dengan masalah
akhlaq atau etika, yang dari sudut penglihatan itu setiap
tindakan rinci dalam kejadian sejarah tersebut harus dinilai
sebagai timbul dari dorongan berbuat kebaikan. Maka masuklah
ke situ konsep ijtihad yang tanpa risiko itu, sebab jika
keliru masih mendapat satu pahala, sedangkan jika tepat
mendapat dua pahala.
Maka hal berikutnya ialah pertanyaan, sampai dimana etika
itu benar-benar ada secara nyata pada semua pihak yang
terlibat dan saling bertentangan tersebut, yang terdiri dari
para sahabat Nabi dan generasi yang mengikuti jejak mereka
sesudah itu?
Jawab atas pertanyaan itu, kalaupun menyangkut problema
dalam berbagai fakta kesejarahannya di atas, dapat dibuat
dengan bertitik tolak dari asumsi tertentu. Asumsi itu ialah
bahwa kaum Salaf itu tentunya terdiri dari pribadi-pribadi
yang sangat paham akan ajaran agama mereka, yaitu Islam
(lebih tepatnya, al-islam, ajaran tentang sikap penuh pasrah
kepada Tuhan), dan sangat bersungguh-sungguh
melaksanakannya. (Dan jika tidak begitu, lalu siapa lagi
selain mereka?! Atau bersediakah kita melihat bahwa mereka,
jika bukannya Nabi sendiri, telah gagal?!).
Jika mereka paham benar agama mereka dan telah
sungguh-sungguh melaksanakan al-islam --dan memang begitulah
yang semestinya telah terjadi-- maka tindakan penuh pasrah
kepada Tuhan itu tentu telah menjiwai keseluruhan tingkah
laku mereka. Maka karena al-islam itu, tentunya yang ada di
hadapan mereka dan yang menjadi tujuan tingkah laku mereka
ialah perkenan Tuhan, sebagaimana digambarkan dalam firman
yang telah dikutip tentang mereka itu di atas. Dan pandangan
ini mencocoki gambaran yang diberikan Kitab Suci di tempat
lain tentang mereka:
Dan hendaklah ada dari kamu sekalian ini
suatu umat yang mengajak kepada keluhuran, menganjurkan
kebaikan, dan mencegah kejahatan. Mereka itulah orang-orang
yang beruntung.[8]
Kamu adalah sebaik-baik umat yang diketengahkan kepada
sekalian manusia: (karena) kamu menganjurkan kebaikan dan
mencegah kejahatan, lagi pula kamu beriman kepada
Allah.[9]
Terhadap ayat di atas, dan dalam kaitannya dengan
ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, A. Yusuf Ali memberi
komentar menarik berikut:
The logical conclusion to the evolution of
religious history ia a non-sectarian, non-racial,
non-doctrinal, universal religion, which Islam claims to be.
For Islam ia just submission to the Will of God. This
implies (1) Faith, (2) doing right, being an example to
others to do right, and having the power to see that the
right prevails, (3) eschewing wrong, being an example to
others to eschew wrong, and having the power to see that
wrong and injustices are defeated. Islam therefore lives,
not for itself, but for
mankind.[10]
(Kesimpulan logis bagi evolusi sejarah keagamaan ialah
suatu agama yang non-sektarian, non-doktrinal, dan
universal, yang diakui oleh Islam. Sebab Islam tidak lain
ialah sikap pasrah kepada Kehendak Tuhan. Hal ini mengandung
makna (1) keimanan, (2) berbuat kebenaran, untuk menjadi
teladan bagi yang lain dalam berbuat kebenaran, dan
mempunyai kemampuan untuk memperhatikan bahwa yang benar itu
unggul, (3) menghindari kesalahan, untuk menjadi teladan
bagi yang lain dalam menghindari kesalahan, dan mempunyai
kemampuan untuk memperhatikan bahwa kesalahan dan kezaliman
terkalahkan. Karena itu Islam tampil, bukannya untuk dirinya
sendiri, melainkan untuk seluruh umat manusia).
Karena hakikat dasarnya yang non-sektarian, non-rasial,
non-doktrinal dan bersifat universal, maka pada dasarnya
pula agama Islam adalah agama etika atau akhlaq, dan para
penganutnya yang sejati adalah orang-orang etis atau
akhlaqi, yaitu orang-orang yang berbudi pekerti luhur. Ini
sejalan dengan penegasan Nabi sendiri, bahwa beliau diutus
Allah hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran
budi.[11]
Keinsafan orang-orang Muslim klasik akan gambaran diri
mereka yang diberikan oleh Kitab Suci, yang dalam gambaran
diri itu sesungguhnya terkandung makna kualitas normatif,
yang harus diwujudkan, dan perintah, telah mendorong mereka
untuk berjuang membentuk sejarah dunia yang sejalan dengan
ukuran-ukuran moral yang tertinggi dan yang terbaik, yang
terbuka untuk umat manusia. Usaha itu dijanjikan akan
mendapat pahala yang besar, berupa kebahagiaan di dunia ini
dan di akhirat nanti, namun juga dengan risiko besar untuk
salah dan keliru. Tetapi kesalahan dan kekeliruan menjadi
tidak relevan dalam kaitannya dengan tekad dan semangat
Ketuhanan (rabbaniyyah,
ribbiyyah)[12] , dan
harus dilihat sebagai segi kemanusiaan perjuangan itu. Maka
sejarah Islam pun memperoleh keutuhannya dan maknanya yang
khas dari adanya pandangan hidup dan perjuangan tersebut,
yaitu pandangan hidup dan perjuangan untuk pasrah kepada
Kehendak Tuhan. Sebab pasrah kepada Kehendak Tuhan
(al-islam) itu antara lain berarti menerima tanggungjawab
pribadi untuk ukuran-ukuran tingkah laku yang dipandang
sebagai memiliki keabsahan Ilahi, yakni, diridlai-Nya. Rasa
tanggung jawab pribadi karena semangat Ketuhanan dan taqwa
itulah yang antara lain dicontohkan dengan baik oleh 'Umar,
ketika ia sebagai Khalifah harus memikul sekarung gandum
untuk dibawa kepada seorang janda dan anaknya yang kelaparan
di luar Madinah, karena ia melihat apa yang menimpa mereka
itu sebagai berada di atas pundaknya selaku pemimpin dan
penguasa.
Maka agama yang mengajarkan al-islam ini adalah agama
yang mengacu kepada sikap keruhanian seorang individu, jauh
di lubuk hatinya, ke arah kemauan dan niat yang baik, tulus
dan sejati, sebagaimana hal itu telah menjadi ajaran para
nabi, yang dekat sebelum Nabi Muhammad ialah Nabi-nabi 'Isa
al-Masih, Musa, dan Ibrahim. Tetapi ketika al-islam yang
pada intinya bersifat pribadi itu memancar keluar dalam
bentuk tindakan-tindakan, dan ketika tindakan-tindakan dari
banyak pribadi Muslim itu terkait, saling menopang, dan
kemudian menyatu, maka al-islam pun melandasi terbentuknya
suatu kolektiva spiritual (ummah, umat), dengan ciri-ciri
yang khas sebagai pancaran cita-citanya yang khas. Maka
sampai batas ini al-islam mendorong lahirnya pola-pola
ikatan kemasyarakatan, dan itu intinya ialah hukum. Inilah
Islam historis --yaitu al-islam yang telah mewujud-nyata
sebagai pengalaman bersama banyak individu dalam dimensi
waktu dan ruang tertentu yang bisa diidentifikasi-- suatu
bentuk kesatuan kemasyarakatan manusia beriman yang disebut
umat, dengan kesadaran berhukum dan berperaturan bersama
sebagai intinya.
Karena itu salah satu karakteristik kuat umat ini ialah
kesadaran hukumnya yang tinggi. Kesadaran hukum itu
merupakan kelanjutan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya,
serta kepada para pemegang kewenangan atau otoritas (ulu
al-amr, wali
al-amr).[13] Dengan
perkataan lain, kesadaran hukum itu tumbuh akibat adanya
rasa iman yang melandasi orientasi etis dalam hidup
sehari-hari. Maka konsep tentang hukum dalam Islam tidaklah
seluruhnya sama dengan konsep di Barat, misalnya, yang
merupakan kelanjutan konsep hukum zaman Romawi kuna. Hukum
dalam Islam tidak bisa dipisahkan dari segi-segi akhlaq atau
etika. Sehingga pengertian syari'ah yang kemudian digunakan
sebagai istilah teknis untuk sistem hukum Islam itu
mengandung hal-hal seperti ajaran kebersihan (thaharah) dan
masalah-masalah peribadatan, yang dalam sistem Barat
(Romawi) tidak termasuk hukum. Pada prinsipnya, syari'at
mencakup setiap kebutuhan manusia, baik pribadi maupun
sosial, sejak dari lahir sampai mati, yang panggilannya
tertuju kepada setiap nurani yang lembut karena rasa
kebenaran dan keadilan. Karena perkataan syari'ah itu
sendiri pada asalnya adalah berarti "jalan setapak menuju
oase" di tengah padang pasir, yang dalam Kitab Suci
dijadikan metafor atau kiasan untuk jalan menuju harapan,
kehidupan, dan kebenaran, yang berakhir dengan ridla Allah
s.w.t.
Maka dalam Islam orang tetap diharapkan agar tidak luput
dalam melihat kaitan antara hukum dan akhlaq atau etika.
Bahkan diharapkan agar mereka tidak luput untuk melihat
keunggulan segi-segi akhlaqi atas segi-segi bukum, sebab
pada dasarnya akhlaq mendasari hukum,. dan hukum ditegakkan
di atas landasan akhlaq. Sangat ilustratif untuk pandangan
ini ialah sebuah penuturan dalam hadits tentang dua orang
yang bersengketa dan datang menghadap kepada Nabi untuk
memohon keputusan hukum:
Ummu Salamah r.a menuturkan: "Dan orang
lelaki yang sedang bersengketa datang menghadap Rasulullah
s.a.w. berkenaan dengan masalah pembagian waris yang telah
lewat waktunya dan pada mereka tidak terdapat lagi bukti.
Maka Rasulullah s.a.w. bersabda kepada keduanya itu, 'Kamu
bertengkar dan menghadapku, sedangkan aku tidak lain adalah
seorang manusia, dan boleh jadi salah seorang dari kamu
lebih lancar mengemukakan argumennya dari yang lain. Dan aku
tidak bisa tidak akan memberi keputusan hukum antara kamu
sesuai dengan apa yang kudengar (dari kamu), maka jika telah
kuputuskan untuk seorang dari kamu agar ia berhak atas
sebagian dari hak saudaranya, hendaknya ia jangan
mengambilnya. Aku hanyalah hendak menyingkirkan seberkas api
neraka yang akan dibawanya sebagai beban di tengkuknya pada
hari kiamat.' Maka kedua orang lelaki itu pun menangis, dan
masing-masing dari keduanya berkata kepada yang lain, 'Hakku
(atas harta waris itu) kuberikan kepada saudaraku.' Maka
Rasulullah pun bersabda kepada mereka, 'Jika kamu berdua
telah mengatakan begitu, maka pergilah, dan berbagilah
antara kamu berdua (atas harta waris itu), kemudian
hendaknya kamu berdua sama-sama melepaskan hak (atas harta
itu), lalu undilah antara kamu berdua, lalu hendaknya
masing-masing dari kamu menghalalkan (merelakan) saudaranya
(menguasai harta
itu)."[14]
Menurut Muhibb al-Din al-Khathib kedua orang itu sampai
sekarang tidak diketahui nama mereka, karena mereka dari
kalangan orang kebanyakan di antara para sahabat Nabi, tidak
termasuk yang terkenal. Tetapi kejadian itu justru
melukiskan, betapa pada masyarakat zaman Nabi itu, di bawah
bimbingan beliau, sangat diwarnai oleh semangat etis yang
kuat, yang membuat mereka lebih mendahulukan perbuatan baik
dan kemurahan hati daripada mempertahankan hak hukumnya yang
sah. Kejadian serupa itu cukup banyak di kalangan para
sahabat Nabi, sampai ke masa-masa sesudah Nabi sendiri telah
tidak lagi bersama mereka. Al-Qur'an sendiri banyak
mengajarkan semangat serupa, yaitu semangat mendahulukan
kemurahan hati dan kebajikan daripada menuntut dan
mempertahankan hak sendiri yang sah:
Jika kamu memperlihatkan suatu kebajikan
(melakukan secara terbuka) ataupun merahasiakannya
(melakukannya secara tertutup), atau menutupi suatu
kesalahan (memaafkannya), maka sesungguhnya Allah itu Maha
Pemaaf dan Maha Kuasa (untuk membuat penilaian
).[15]
Dan mereka (orang-orang yang beriman) itu ialah yang
apabila menjadi sasaran kejahatan (orang lain), mereka
membela diri.
Balasan bagi suatu kejahatan ialah kejahatan yang
setimpal. Tetapi barangsiapa memberi maaf dan berdamai, maka
pahalanya adalah atas tanggungan Allah.
Sesungguhnya Dia tidak suka kepada mereka yang zalim.
Tetapi orang yang membela diri setelah dijahati, maka
atas mereka itu tidak ada jalan (untuk disalahkan).
Melainkan jalan (untuk disalahkan) adalah tertuju kepada
mereka yang berbuat jahat kepada sesama manusia, dan tanpa
alasan kebenaran membuat pelanggaran di muka bumi. Mereka
itulah yang mendapatkan siksa yang pedih.
Namun sungguh, barangsiapa bersikap sabar dan bersedia
memberi maaf, maka itulah keteguhan hati dalam segala
perkara (kebenaran).[16]
Berkenaan dengan ayat-ayat suci yang difirmankan dalam
kaitannya dengan ajaran musyawarah, yang termaktub dalam
surah al-Syura (musyarawah) itu, baik sekali kami kemukakan
di sini komentar panjang dari A. Yusuf Ali dalam tafsirnya
yang amat terkenal:
... Ada empat situasi yang mungkin timbul:
seseorang boleh jadi berdiri tegak melawan penindas (1) demi
haknya sendiri yang diinjak-injak, atau (2) demi hak
orang-orang lain dalam kalangan keluarga sendiri, atau (3)
suatu masyarakat juga boleh jadi berdiri tegak demi hak-hak
kolektif mereka, atau (4) demi hak orang-orang lain. No. 2,
3, dan 4 dianggap sangat berkebajikan untuk semua, meskipun
sedikit orang yang berani dan bersemangat untuk bangkit
menuju ke nilai yang begitu tingginya. No. 1 terutama rawan
terhadap penyalahgunaan, mengingat sifat manusia yang
mementingkan diri sendiri. No. 2, 3, dan 4 juga dapat
disalahgunakan oleh mereka yang berpura-pura bermotifkan
kebaikan umum padahal mereka hanya melayani kepentingan
pribadi atau pandangan sempit mereka sendiri; karena itu
disebutlah nilai-nilai dalam empat ayat berikutnya .
... Jika Anda mempertahankan hak, baik atas dasar
kepentingan pribadi ataupun umum, mungkin hal itu terjadi
lewat proses hukum, atau melalui tindakan mempertahankan
diri sepanjang hal itu diizinkan oleh hukum. Tetapi dalam
keadaan apa pun Anda tidak boleh mencari balasan yang lebih
besar daripada kejahatan yang Anda derita. Paling jauh yang
Anda bisa lakukan ialah meminta balasan setimpal, yaitu,
kerugian setimpal dengan kerugian yang ditimpakan orang
kepada Anda. Ini pun dapat memuaskan untuk menekan jiwa Anda
yang cenderung untuk melakukan balas dendam. Tetapi cara
yang ideal bukanlah dengan memuaskan kehausan Anda untuk
membalasdendam, melainkan dengan mengikuti jalan yang lebih
baik menuju kepada pendidikan kembali si penjahat kepada
Anda itu atau rekonsiliasi kepadanya .
...Anda dapat mengambil langkah-langkah untuk mencegah
terulangnya kejahatan, dengan cara fisik atau moral; dan
cara moral yang paling baik ialah dengan mengubah kebencian
menjadi persahabatan lewat sikap memaafkan dan cinta. Dalam
hal ini, balasan atau ganjarannya (jika kita harus
menggunakan istilah-istilah serupa itu), adalah agung secara
tak terbatas, karena hal itu berarti memperoleh ridla
Tuhan.[17]
Begitulah kutipan firman-firman Ilahi dan komentarnya
oleh seorang penafsir yang ahli dan kompeten. Semoga hal itu
cukup memberi gambaran tentang ide mengenai masyarakat Salaf
sebagai masyarakat etika, lebih daripada masyarakat hukum
saja, yaitu masyarakat yang harus dipandang dan diasumsikan
sebagai yang telah benar-benar paham akan ajaran Kitab Suci
dan telah dengan sungguh-sungguh melaksanakannya.
CATATAN
1 Lihat
majalah Tempo, (Jakarta) No., 13, Tahun XVIII, 25 Mei 1988
(rubrik "Agama", h. 75).
2 Penyebutan
tentang "Empat Khalifah" (istilah teknisnya dalam bahasa
Arab ialah tarbi') sebetulnya melewati proses bertahap yang
panjang. Mula-mula dalam khutbah-khutbah kaum Umawi menyebut
tiga khalifah saja, yaitu selain 'Ali, dan kaum Syi'i hanya
menyebut 'Ali, tanpa yang lain-lain. Tetapi kaum Umawi di
Maghrib dan Andalusia terlebih dahulu dari yang lain-lain
telah melakukan tarbi', hanya saja khalifah yang keempat
bukannya 'Ali, melainkan Mu'awiyah. Kemudian Khalifah 'Umar
ibn 'Abd 'al-'Aziz dari Bani Umayyah meneruskan usaha
Khalifah Marwan ibn 'Abd al-Malik sebelumnya untuk
menyatukan umat dengan mengakomodasi kaum Syi'ah dan
merehabilitasi 'Ali, dan menyebut 'Ali dalam tarbi' di
khutbah-khutbah, serta mengakhiri kebiasaan saling melaknat
dalam khutbah-khutbah tersebut. Maka sejak itu tumbuh
kebiasaan pada umat Islam untuk menyebut al-Khulafa
al-Rasyidin yang empat, dan kelak kemudian hari
masjid-masjid pun dihiasi dengan nama para khalifah yang
empat itu. (Lihat Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, 4 jilid
[Riyadl: Maktabat al-Riyadl al-Haditsah, tanpa tahun], jil.
2, hh. 187-8).
3 Al-Syaykh
Ibrahim al-Laqqani, Jawharat al-Tawhid, dengan terjemah dan
uraian dalam bahasa Jawa huruf Pego oleh K. H. Muhammad
Shalih ibn 'Umar Samarani (Semarang), Sabil al-'Abid (tanpa
data penerbitan), h. 222.
4 Q., s.
al-Tawbah/9:100.
5
Al-Laqqani, h. 231.
6 Yaitu
sabda Nabi yang sering dikutip orang, "Jika seorang hakim
berijtihad dan tepat, maka baginya dua pahala; dan jika ia
berijtihad dan keliru, maka baginya satu pahala."
7 Berkenaan
dengan hal ini cukup menarik keterangan yang dibuat oleh Ibn
Taymiyyah, demikian: "...'Ali adalah imam, dan ia benar
dalam perangnya melawan orang-orang yang memeranginya;
begitu pula mereka yang memerangi 'Ali, yang terdiri dari
para sahabat seperti Thalhah dan al-Zubayr, semuanya adalah
orang-orang yang melakukan ijtihad dan benar. Inilah
pendapat mereka yang berpandangan bahwa setiap orang yang
berijtihad itu benar, yaitu pendapat para tokoh Mu'tazilah
dari kota Basrah yang terdiri dari Abu al-Hudzayl, Abu 'Ali,
dan Abu Hasyim, serta tokoh-tokoh lain yang sepakat dengan
mereka dari kalangan para pengikut Asy'ari seperti al-Qadli
Abu Bakr (al-Baqillani) dan Abu Hamid (al-Ghazali), dan itu
pula pendapat yang terkenal dari Abu al-Hasan al-Asy'ari.
Mereka (para 'ulama) itu juga memandang Mu'awiyah sebagai
seorang yang berijtihad dan benar dalam perangnya (melawan
'Ali), sebagaimana 'Ali pun benar. Ini juga menjadi pendapat
para fuqaha' dari kalangan para pengikut Ahmad (ibn Hanbal)
dan lain-lain ..." (Minhaj, jil. 1, hh. 192-3).
8 Q., s. Alu
'Imran/3:104.
9 Q., s. Alu
'Imran/3:110.
10 A. Yusuf Ali, The
Holy Qur'an, Text, Translation and Commentary (Jeddah: Dar
al-Qiblah, tanpa tahun), h. 151, catatan 434.
11 Sebuah hadits Nabi
yang sangat terkenal, "Sesungguhnya aku diutus hanyalah agar
aku menyempurnakan berbagai keluhuran budi."
12 Ini adalah dua
istilah dalam Kitab Suci untuk semangat Ketuhanan, yaitu
semangat mencapai ridla Tuhan dalam wujud pola hidup penuh
kesalehan dan penuh dedikasi kepada cita-cita mewujudkan
kehidupan bermoral, sebagaimana terdapat dalam Q., s. Alu
'Imran/3:79 dan 146.
13 Dalam Kitab Suci
ada perintah agar kita taat kepada para pemegang kewenangan
atau kekuasaan: "Wahai sekalian orang yang beriman, taatlah
kamu sekalian kepada Allah, dan taat pulalah kepada Rasul
dan kepada para pemegang kekuasaan (ula al-amr, jamak dari
wali al-amr) dari antara kamu ..." (Q., s. al-Nisa /4:59).
14 Hadits
diriwayatkan oleh Ahmad (ibn Hanbal) dalam kitab Musnad-nya
oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya, dikutip oleh Muhibb
al-Din al-Khathib dalam kata penutup untuk kitab.al-Muntaqa
min Minhaj al-I'tidal (ringkasan Minhaj al-Sunnah oleh Ibn
Taymiyyah) oleh Abu 'Abdullah Muhammad ibn 'Utsman
al-Dzahabi (Damaskus: Maktabat Dar al-Bayan, 1374 H), h.
574.
15 Q., s.
al-Nisa'/4:149.
16 Q., s.
al-Syura/42:39-43.
17 A. Yusuf Ali, hh.
1317-8, catatan 4580-4581.
|