|
|
|
DISIPLIN KEILMUAN ISLAM TRADISIONAL: TASAWUF (2/3)
(Letak dan Peran Mistisisme dalam
Penghayatan Keagamaan Islam)
oleh Dr. Nurcholish Madjid
Akibatnya, polemik dan kontroversi antara keduanya pun tidak
selamanya bisa dihindari. Ibn Taymiyyah, misalnya,
melukiskan pertentangan antara orientasi eksoteris dari kaum
fiqh dengan orientasi esoteris dari kaum sufi sebagai serupa
dengan pertentangan antara kaum Yahudi dan kaum Kristen.
Dengan terlebih dahulu mengutip firman Allah yang artinya,
"Kaum Yahudi berkata, 'Orang-orang Kristen itu tidak ada
apa-apanya,' dan kaum Kristen berkata, 'Orang-orang Yahudi
itu tidak ada apa-apanya'"5 Ibn Taymiyyah mengatakan:
"Anda dapatkan bahwa banyak dari kaum Fiqh, jika
melihat kaum Sufi dan orang-orang yang beribadat
(melulu), akan memandang mereka ini tidak ada
apa-apanya, dan tidak mereka perhitungkan kecuali
sebagai orang-orang bodoh dan sesat, sedangkan dalam
tarekat mereka itu tidak berpegang kepada ilmu serta
kebenaran sedikit pun. Dan Anda juga dapatkan banyak
dari kaum Sufi serta orang-orang yang menempuh hidup
sebagai faqir tidak menganggap apa-apa kepada Syari'ah
dan ilmu (hukum); bahkan mereka menganggap bahwa orang
yang berpegang kepada Syari'ah dan ilmu (hukum) itu
terputus dari Allah, dan bahwa para penganutnya tidak
memiliki apa-apa yang bermanfaat di sisi Allah."6
Ibn Taymiyyah tidak bermaksud menyalahkan salah satu dari
keduanya, juga tidak hendak merendahkan sufi, sekalipun ia,
sebagai seorang penganut mazhab Hanbali, sangat berat
berpegang kepada segi-segi eksoteris Islam seperti diwakili
dalam Syari'ah. Karena itu, Ibn Taymiyyah mengatakan,
"Yang benar ialah bahwa apa pun yang berdasarkan Kitab
dan Sunnah pada kedua belah pihak itu adalah benar. Dan
apa pun yang bertentangan dengan Kitab Sunnah pada
kedua belah pihak adalah batil."7
Tetapi terhadap pernyataan Ibn Taymiyyah ini, penyunting
kitab Iqtidla memberi catatan demikian:
"Ini dengan asumsi bahwa ajaran kesufian itu ada
kebenaran. Jika tidak, maka sebenarnya ajaran kesufian
itu pada dasarnya adalah ciptaan sesudah generasi
utama, yang dalam masa generasi itu hidup sebaik-baik
umat dan para imam kebenaran pada umat itu.
Sesungguhnya Allah, dengan Kitab-Nya dan petunjuk
Nabi-Nya s.a.w. telah membuat kaum beriman tidak
memerlukan apa yang ada dalam ajaran kesufian, yang
dianggap orang mampu melembutkan hati dan
membersihkannya."8
Dari kutipan-kutipan itu dapat didasarkan betapa
persimpangan jalan antara "kaum kebatinann (ahl al-bawathin)
dan "kaum kezahiran" (ahl al-dhawahir) dapat meningkat
kepada batas-batas yang cukup gawat. Tetapi benarkah memang
antara keduanya tidak terdapat titik pertemuan?
TASAWUF SEBAGAI OLAH RUHANI
Ketika Nabi muhammad s.a.w. disebut sebagai seorang Rasul
yang paling berhasil dalam mewujudkan misi sucinya, bukti
untuk mendukung penilaian itu ialah hal-hal yang bersifat
sosial-politis, khususnya yang dalam bentuk keberhasilan
ekspansi-ekspansi militer. Dan Nabi Muhammad s.a.w. sama
dengan beberapa Nabi yang lain seperti Musa dan Dawud a.s.
adalah seorang "Nabi Bersenjata" (Armed Prophet),
sebagaimana dikatakan oleh sarjana sosiologi terkenal, Max
Weber. Karena kenyataan itu, ada sementara ahli yang hendak
mereduksikan misi Nabi Muhammad s.a.w. sebagai tidak lebih
daripada suatu gerakan reformasi sosial, dengan
program-program seperti pengangkatan martabat kaum lemah
(khususnya kaum wanita dan budak), penegakan kekuasaan
hukum, usaha mewujudkan keadilan sosial, tekanan kepada
persamaan umat manusia (egalitarisme), dan lain-lain. Dalam
pandangan serupa itu, Nabi Muhammad s.a.w. tidak bisa
disamakan dengan Nabi 'Isa al-Masih, karena ajaran Nabi
Muhammad tidak banyak mengandung kedalaman keruhanian
pribadi. Tetapi Nabi Muhammad s.a.w. lebih mirip dengan Nabi
Musa a.s. dan para rasul dari kalangan anak turun Nabi
Ya'qub (Isra'il), yang mengajarkan tentang betapa pentingnya
berpegang kepada hukum-hukum Taurat (Talmudic Law).
Bahwa Nabi Muhammad s.a.w membawa reformasi sosial yang
monumental kiranya sudah jelas. Al-Qur an sendiri mengaitkan
keimanan serta penerimaan seruan Nabi dengan usaha reformasi
dunia (ishlah al-ardl). Tetapi di berbagai tempat dalam
al-Qur an juga disebutkan bahwa tugas reformasi dunia itu
tidak hanya dipunyai oleh Nabi Muhammad, melainkan juga oleh
para nabi yang lain.9 Dan Nabi Muhammad memang telah
melaksanakannya dengan sukses luar biasa. Salah satu
pengakuan yang jujur dari pihak luar Islam atas sukses Nabi
dalam membawa reformasi dunia ini ialah yang diberikan oleh
Michael H. Hart. Dalam bukunya yang memuat urutan peringkat
seratus orang yang paling berpengaruh dalam sejarah umat
manusia, Hart menempatkan Nabi Muhammad sebagai manusia
nomor satu yang paling berpengaruh. Ia menegaskan:
"Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam
urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di
dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin
jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya
berpegang kepada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad
satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih
sukses-sukses luar biasa ditilik dari ukuran agama
maupun ruang lingkup duniawi."10
Namun disamping itu al-Qur'an juga banyak menegaskan tentang
pentingnya orientasi keruhanian yang bersifat ke dalam dan
mengarah kepada pribadi. Justru sudah menjadi kesadaran para
sarjana Islam sejak dari masa-masa awal bahwa Islam adalah
agama pertengahan (wasath) antara, di satu pihak, agama
Yahudi yang legalistik dan banyak menekankan orientasi
kemasyarakatan dan, di pihak lain, agama Kristen yang
spiritualistik dan sangat memperhatikan kedalaman olah serta
pengalaman rohani serta membuat agama itu lembut. Seperti
dikatakan Ibn Taymiyyah, "Syari'ah Taurat didominasi oleh
ketegaran, dan Syari'ah Injil didominasi oleh kelembutan;
sedangkan Syari'ah al-Qur an menengahi dan meliputi keduanya
itu."11
Maka sebagai bentuk pertengahan dan sekaligus antara kedua
agama pendahuluannya itu, Islam mengandung ajaran-ajaran
hukum dengan orientasi kepada masalah-masalah tingkah laku
manusia secara lahiriah seperti pada agama Yahudi, tapi juga
mengandung ajaran-ajaran keruhanian yang mendalam seperti
pada agama Kristen. Bahkan sesungguhnya antara keduanya itu
tidak bisa dipisahkan, meskipun bisa dibedakan. Sebab ketika
orang Muslim dituntut untuk tunduk kepada suatu hukum
tingkah laku lahiriah, ia diharapkan, malah diharuskan,
menerimanya dengan ketulusan yang terbit dari lubuk hatinya.
Ia harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu yang
berakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan ini tercermin
dalam susunan kitab-kitab fiqh, yang selalu dimulai dengan
bab pensucian (thaharah) lahir, sebagai awal pensucian
batin.
Walaupun begitu, tetap ada kemungkinan orang mengenali mana
yang lebih lahiriah, dan mana pula yang batiniah.
Sebenarnya, sudah sejak zaman Rasulullah s.a.w. sendiri,
terdapat kelompok para sahabat Nabi yang lebih tertarik
kepada hal-hal yang bersifat lebih batiniah itu.
Disebut-sebut, misalnya, kelompok ahl al-shuffah, yaitu
sejumlah sahabat yang memilih hidup sebagai faqir, dan
sangat setia kepada masjid. Tidak heran bahwa kelompok ini,
dalam literatur kesufian, sering diacu sebagai teladan
kehidupan saleh dikalangan para sahabat.
Al-Qur'an sendiri memuat berbagai firman yang merujuk kepada
pengalaman spritual Nabi. Misalnya, lukisan tentang dua kali
pengalaman Nabi bertemu dan berhadapan dengan Malaikat
Jibril dan Allah. Yang pertama ialah pengalaman beliau
ketika menerima wahyu pertama di gua Hira, di atas Bukit
Cahaya (Jabal Nur). Dan yang kedua ialah pengalaman beliau
dengan perjalanan malam (isra ) dan naik ke langit (mi'raj)
yang terkenal itu. Kedua pengalaman Nabi itu dilukiskan
dalam Kitab Suci demikian:
Demi bintang ketika sedang tenggelam. Sahabatmu sekalian itu
tidaklah sesat ataupun menyimpang. Dan ia tidaklah berucap
karena menurut keinginan. Itu tidak lain adalah ajaran yang
diwahyukan. Diajarkan kepadanya oleh Jibril yang kuat
perkasa. Yang bijaksana, dan yang telah menampakkan diri
secara sempurna. Yaitu ketika ia berada di puncak cakrawala.
Kemudian ia pun mendekati, dan menghampiri. Hingga sejarak
kedua ujung busur panah, atau lebih dekat lagi. Lalu Tuhan
wahyukan kepada hamba-Nya wahyu yang dikehendaki. Tidaklah
jiwa (Nabi) mendustakan yang dilihatnya sendiri. Apakah kamu
semua akan membantahnya tentang yang ia saksikan? Padahal
sungguh ia telah menyaksikan pada lain kesempatan. Yaitu
didekat Pohon Lotus, di alam penghabisan Di sebelahnya ada
Surga tempat kediaman. Ketika Pohon Lotus itu diliputi
cahaya tak terlukiskan. Penglihatan Nabi tidak bergoyah, dan
tidak pula salah arah. Sungguh ia telah menyaksikan
tanda-tanda Tuhannya yang Agung tak terkira.12
Bagi kaum Sufi, pengalaman Nabi dalam Isra-Mi'raj itu
adalah sebuah contoh puncak pengalaman ruhani. Justru ia
adalah pengalaman ruhani yang tertinggi, yang bisa dipunyai
oleh seorang Nabi. Namun kaum Sufi berusaha untuk meniru dan
mengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skala
dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Sebab inti
pengalaman itu ialah penghayatan yang pekat akan situasi
diri yang sedang berada di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia
"bertemu" dengan Dzat Yang Maha Tinggi itu. "Pertemuan"
dengan Tuhan adalah dengan sendirinya juga merupakan puncak
kebahagiaan, yang dilukiskan dalam sebuah hadits sebagai
"sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, tak terdengar
oleh telinga, dan tak terbetik dalam hati manusia." Sebab
dalam "pertemuan" itu, segala rahasia kebenaran "tersingkap"
(kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan sirna
(fana ) dalam Kebenaran. Maka Ibn 'Arabi, misalnya,
melukiskan "metode" atau thariqah-nya sebagai perjalanan ke
arah penyingkapan Cahaya Ilahi, melalui pengunduran diri
(khalwah) dari kehidupan ramai.13
|
|
|
ISLAM Doktrin dan Peradaban Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Please direct any suggestion to Media Team |