Islam, Doktrin dan Peradaban

oleh Dr. Nurcholish Madjid

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

       DISIPLIN KEILMUAN ISLAM TRADISIONAL: TASAWUF    (3/3)
            (Letak dan Peran Mistisisme dalam
               Penghayatan Keagamaan Islam)
                oleh Dr. Nurcholish Madjid
 
MASALAH KEABSAHAN TASAWUF
 
Membicarakan    keabsahan   Tasawuf   dapat   mengisyaratkan
pengambilan sikap penghakiman  (judgment)  dengan  implikasi
yang  serius,  karena  menyangkut masalah sampai dimana kita
bisa dan berhak  menilai  pengalaman  keruhanian  seseorang.
Telah  disinggung  bahwa  mistisisme atau pengalaman mistis,
tidak terkecuali yang ada pada kaum  Sufi,  selalu  mengarah
kedalam, dan dengan sendirinya bersifat pribadi. Oleh karena
itu pengalaman mistis hampir mustahil dikomunikasikan kepada
orang lain, dan selamanya akan lebih merupakan milik pribadi
si empunya sendiri. Oleh karena itu  sering  terjadi  adanya
tingkah  laku eksentrik dan "di luar garis," dan orang lain,
lebih-lebih sesama Sufi sendiri, akan  memandangnya,  dengan
penuh  pengertian,  jika  tidak  malah  kekaguman.  Berbagai
cerita tentang "wali" yang berkelakuan aneh, seperti  banyak
terdapat   di  berbagai  negeri  dan  daerah  Islam,  adalah
kelanjutan dari persepsi mistis ini.
 
Karena itu, bagi  mereka  yang  lebih  melihat  diri  mereka
sebagai  pemegang ajaran standar akan cepat mengutuk tingkah
laku aneh itu sebagai  tidak  lebih  daripada  keeksentrikan
yang  absurd  tanpa  makna,  jika  bukannya kesintingan atau
bahkan tarikan syetan yang sesat.
 
Kesesatan yang paling gawat, di mata ahl al-dhawahir,  ialah
yang  ada  dalam  kawasan  teori  dan  pandangan dasar, yang
mengarah  kepada  paham  "kesatuan   eksistensial"   (wahdat
al-wujud).  Selain  berbagai  tokoh yang sudah dikenal umum,
seperti  al-Hallaj  dan  Syekh  Siti  Jenar,  penganut   dan
pengembang pandangan itu yang paling kaya namun "liar" ialah
Ibn 'Arabi. Dalam  bukunya,  Fushush  al-Hikam,  Ibn  'Arabi
berdendang  dalam sebuah syair yang bernada "gurauan" dengan
Tuhan:
 
   Maka Ia (Tuhan)-pun memujiku, dan aku memuji-Nya,
     dan Ia menyembahku, dan aku pun menyembah-Nya.
   Dalam keadaan lahir aku menyetujui-Nya dan
     dalam keadaan hakiki aku menentang-Nya.
   Maka Ia pun mengenaliku namun aku tak mengenali-Nya
     lalu aku pun mengenali-Nya, maka aku pun menyaksikan-Nya
   Maka mana mungkin Ia tiada perlu,
     padahal aku menolong-Nya dan membahagiakan-Nya?
   Untuk inilah Kebenaran mewujudkan aku,
     sebab aku mengisi ilmu-Nya dan mewujudkan-Nya
   Begitulah, sabda telah datang kepada kita,
     dan telah dinyatakan dalam diriku segala maksudnya.14 
 
Ibn Arabi memang mengaku sebagai "kutub  para  wali"  (quthb
al-awliya), bahkan pemungkasnya. Ia dituding oleh para ulama
Syari'ah   sebagai   yang   paling   bertanggungjawab   atas
penyelewengan-penyelewengan   dalam  Islam,  khususnya  yang
terjadi di kalangan kaum Sufi. Namun bagi  para  pengikutnya
dia adalah al-syaikh al-akbar (guru yang agung).
 
Kesulitan  memahami  literatur kesufian, seperti karya-karya
Ibn Arabi ialah bahwa pengungkapan ide dan ajaran didalamnya
sering   menggunakan  kata  kiasan  (matsal)  dan  pelambang
(ramz). Karena itu ungkapan-ungkapan yang ada harus dipahami
dalam  kerangka  interpretasi  metaforis  atau tafsir batini
(ta'wil). Dan adalah ta'wil itu memang yang  menjadi  metode
pokok  mereka dalam memahami teks-teks suci, baik Kitab Suci
maupun Hadits Nabi.
 
Maka  meskipun  mereka  menggunakan  metode  ta'wil   mereka
sebenarnya  tetap  berpegang  kepada sumber-sumber suci itu.
Hanya saja,  sejalan  dengan  metode  mereka,  mereka  tidak
memahami    sumber-sumber   itu   menurut   bunyi   lahiriah
tekstualnya. Inilah pangkal kontroversi mereka  dengan  kaum
Syari'ah.  Maka  tidak  jarang kaum Syari'ah mengutuk mereka
sebagai sesat, seperti yang  dilakukan  oleh  Ibn  Taymiyyah
terhadap Ibn Arabi.
 
Tapi,  dalam  semangat  empatik,  mungkin  justru pengalaman
mistis kaum Sufi harus dipandang sebagai  bentuk  pengalaman
keagamaan  yang sejati. Seperti pengalaman Nabi dalam Mi'raj
yang  tak   terlukiskan,   sehingga   karenanya   juga   tak
terkomunikasikan,    pengalaman   mistis   kaum   Sufi   pun
sesungguhnya  berada   di   luar   kemampuan   rasio   untuk
menggambarkannya.  Kaum  Sufi  gemar  mengatakan bahwa untuk
bisa mengetahui apa hakikat pengalaman itu, seseorang  hanya
harus  mengalaminya sendiri. Mereka mempunyai perbendaharaan
yang kaya untuk melukiskan kenyataan  itu.  Misalnya,  tidak
mungkinlah  menjelaskan  rasa manisnya madu jika orang tidak
pernah mencicipinya sendiri.
 
Pengalaman mistis tertinggi  menghasilkan  situasi  kejiwaan
yang   disebut  ekstase.  Dalam  perbendaharaan  kaum  Sufi,
ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang
oleh  minuman  kebenaran.  Kebenaran  (al-haqq)  digambarkan
sebagai minuman keras atau  khamar.  Bahkan  untuk  sebagian
mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang
mereka namakan "dlamir al-sya'n," yaitu kata-kata "an"  yang
berarti  "bahwa"  dalam kalimat syahadat pertama, Asyhadu an
la ilaha illa Llah" (Aku  bersaksi  bahwa  tidak  ada  Tuhan
selain   Allah).  Pelukisan  ini  untuk  menunjukkan  betapa
intensenya mereka menghayati Tauhid, sehingga  mereka  tidak
menyadari apa pun yang lain selain Dia Yang Maha Ada.
 
Karena  itu,  suatu  pengalaman  mistis  mungkin  akan hanya
sekali terjadi dalam hidup  seorang,  tanpa  bisa  diulangi.
Inilah diumpamakan dengan turunnya "malam kepastian" (laylat
al-qadar), yang dalam  al-Qur'an  disebutkan  sebagai  lebih
baik dari seribu bulan. Artinya, seorang yang mengalami satu
momen menentukan itu, ia akan terpengaruh  oleh  pesan  yang
dibawa  seumur  hidupnya,  yaitu  sekitar  seribu bulan atau
delapan puluh tahun. Karena itu  meskipun  suatu  pengalaman
mistis   sebagai   suatu   kejadian  hanya  bersifat  sesaat
(transitory),  namun  relevansinya  bagi  pembentukan   budi
pekerti  akan bersifat abadi. Sebab dalam pengamalan intense
sesaat itu orang berhasil  menangkap  suatu  kebenaran  yang
utuh.   Kesadaran  akan  kebenaran  yang  utuh  itulah  yang
menimbulkan rasa bahagia dan tenteram yang  mendalam,  suatu
euphoria  yang tak terlukiskan. Dan itulah kemabukan mistis.
Kemudian, suatu hal yang amat penting ialah  bahwa  euphoria
itu  sekaligus  disertai dengan kesadaran akan posisi, arti,
dan peran diri sendiri yang proporsional, yaitu "tahu  diri"
(ma'rifat  al-nafs)15  yang  tidak  lebih  daripada  seorang
makhluk yang harus tunduk-patuh  dan  pasrah  bulat  (islam)
kepada  Sang  Maha  Pencipta (al-Khaliq). Maka seorang Sufi,
karena kepuasannya akan pengetahuan tentang Kebenaran, tidak
banyak menuntut dalam hidup ini. Ia puas (qana'ah) dan lepas
dari harapan kepada sesama  makhluk.  Ia  bebas,  karena  ia
merasa  perlu (faqir) hanya kepada Allah yang dapat ia temui
di mana  saja  melalui  ibadat  dan  dzikir.  Ia  menghayati
kehadiran   Tuhan  dalam  hidupnya  melalui  apresiasi  akan
nama-nama  (kualitas-kualitas)  Tuhan  yang  indah  (al-asma
al-husna),  dan  dengan  apresiasi itu ia menemukan keutuhan
dan keseimbangan dirinya
 
Hidup  penuh  sikap  pasrah  itu  memang  bisa   mengesankan
kepasifan   dan   eskapisme.  Tapi  sebagai  dorongan  hidup
bermoral, pengalaman mistis kaum Sufi  sebetulnya  merupakan
suatu kedahsyatan. Karena itulah ajaran Tasawuf juga disebut
sebagai  ajaran  akhlak.  Dan  akhlak  yang  hendak   mereka
wujudkan  ialah yang merupakan "tiruan" akhlak Tuhan, sesuai
dengan sabda Nabi yang mereka  pegang  teguh,  "Berakhlaqlah
kamu semua dengan akhlaq Allah."
 
Catatan kaki:
-------------
    1 Hadits ini dikutip oleh Ibn Taymiyyah dalam kitabnya,
   Minhaj al Sunnah fi Naqdl kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyyah,
   4 jilid, (Riyadl: Maktab al-Riyadl al-Hadits, tanpa tahun),
   jilid IV, h. 121.
    2 Ibid
    3 Sebuah hadits diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kita
   shahihnya, dari Abdullah ibn Umar, dikutip dan dijabarkan
   oleh Ibn Taymiyyah. (Ibid., jilid II, h. 329).
    4 Pandangan yang cukup umum di kalangan orang-orang Muslim
   ini menjadi dasar sarjana sosiologi terkenal,
   Robert N. Bellah, untuk membuat penilaian -sebagaimana dalam
   kesempatan lain telah dikemukakan- bahwa Islam mengajarkan
   sistem politik yang terbuka dan "moderen."
   Tetapi karena prasarana sosialnya pada bangsa Arab dan
   dunia saat itu belum siap, maka sistem kekhalifahan Islam
   itu tidak bertahan lama, dan diganti dengan sistem "kerajaan
   Bani Umayyah yang menurut Bellah tidak lain ialah penghidupan
   kembali sistem tribalisme Arab yang telah ada sebelum
   kedatangan Islam. Maka Bellah dapat memahami mengapa
   orang-orang Muslim moderen, dalam mencari acuan untuk
   cita-cita politik mereka, senantiasa merujuk kepada masa
   kekhalifahan pertama sebagai model. (Lihat Robert N. Bellah,
   Beyond Belief [New York: Harper & Row, 1976], hh. 150-51).
    5 Q., s. al-Baqarah/2:13.
    6 Ibn Taymiyyah, Iqtidla al-Shirath al-Mustaqim
   (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun), h. 10.
    7 Ibid.
    8 Ibid.
    9 Lihat, a.l., Q., s. al-A'raf/7:56 dan 85.
   10 Michael H. Hart, The 100, a Ranking of the Most Influential
   Persons in History, terjemah Indonesia oleh H. Mahbub Djunaidi,
   "Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah",
   (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 27.
   11 Ibn Taymiyyah, Al-Jawab al-Shahih li Man Baddala Din al-Masih,
   4 jilid, (Beirut [?]: Mathabi' al-Majd al-Tijariyyah,
   tanpa tahun), jilid 3, h. 240.
   12 Q., s. al-Najm/53:1-18.
   13 Salah satu buku Muhy al-Din ibn Arabi berjudul,
   dalam bahasa Arab, Risalat al-Anwar fi ma Yumnah
   Shahib al-Khalwah min al-Asrar (Risalah Cahaya tentang
   Berbagai Rahasia yang dikaruniakan kepada orang yang
   melakukan pengunduran diri (khalwah), diterjemahkan ke
   dalam bahasa Inggris oleh Rabia Terri Harris, Journey to
   the Lord of Power (New York: Inner Traditions International,
   1981).
   14 Muhy al-Din ibn Arabi, Fushush al-Hikam, h. 83. Cf
   terjemahan Inggris oleh R.W.J. Austin, The Bezels of Wisdom
   (New York: Paulist Press, 1980), h. 95.
   15 Karena itu di kalangan kaum Sufi terkenal ungkapan dalam
   bahasa Arab, "Man arafa nafsahu fa qad 'arafa Rabbahu"
   (Barangsiapa tahu dirinya maka ia akan tahu Tuhannya).
   Karena pengetahuan tentang diri secara proporsional adalah
   indikasi pengetahuan akan Kebenaran Yang Bulat.

(sebelum)


ISLAM Doktrin dan Peradaban
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team