|
Pertimbangan Kemaslahatan Dalam Menangkap Makna
dan Semangat Ketentuan Keagamaan: Kasus Ijtihad 'Umar Ibn
Al-Khattab (3/4)
Orang pun banyak berkumpul sekitar 'Umar, dan
mereka semua berseru; "Apakah engkau akan memberikan sesuatu
yang oleh Allah diberikan untuk kami dengan perantaraan
pedang-pedang kami kepada kaum yang belum ada dan belum
bersaksi? Dan kepada anak-anak mereka itu serta cucu-cucu
mereka yang belum ada?"
Namun 'Umar tak bergeming kecuali berkata: "Itulah
pendapatku."
Mereka menyahut: "Bermusyawarahlah!"
Maka 'Umar pun bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang
terkemuka, dan mereka ini berselisih pendapat. Adapun Abd
al-Rahman ibn 'Awf, maka pendapatnya ialah agar diberikan
kepada para tentara itu apa yang telah menjadi hak mereka.
Sedangkan pendapat 'Utsman, 'Ali, Thalhah dan Ibn 'Umar sama
dengan pendapat Umar.
Kemudian 'Umar memanggil sepuluh orang dari golongan
Ansar, lima orang dari suku al-Aws dan lima orang dari suku
al-Khazraj, terdiri dari para pembesar dan petinggi mereka.
Setelah mereka berkumpul, 'Umar membaca hamdalah dan memuji
Tuhan, kemudian berkata (penuturan al-Dawalibi ini tidak
jauh berbeda dengan al-Khuli di atas):
"Aku tidak bermaksud mengejutkan kalian kecuali hendaknya
kalian menyertaiku dalam amanatku dan dalam urusan kalian
yang dibebankan kepadaku. Sebab aku hanyalah salah seorang
saja dari kalian, dan kalian hari ini hendaknya membuat
keputusan dengan benar: siapa saja yang hendak berbeda
pendapat dengan aku, silakan ia berbeda, dan siapa saja yang
hendak bersepakat dengan aku, silakan ia bersepakat. Aku
tidaklah ingin kalian mengikuti begitu saja hal yang menjadi
kecenderunganku ini. Di tangan kalian ada Kitab Allah yang
menyatakan kebenaran. Dan demi Tuhan, kalau aku pernah
menyatakan suatu perkara yang kuinginkan, aku tidak
menginginkannya kecuali kebenaran."
Semuanya serentak berkata: "Bicaralah, dan kami semua
akan mendengarkan, wahai Amir al-Mu'minin."
Dan mulailah 'Umar berbicara:
"Kalian telah mendengar pembicaraan mereka, kelompok yang
menuduh aku berbuat zalim berkenaan dengan hak-hak mereka.
Aku benar-benar berlindung kepada Allah dari melakukan
kezaliman. Jika aku telah berbuat zalim kepada mereka
berkenaan dengan sesuatu yang menjadi milik mereka dan aku
berikan kepada orang lain, maka benar-benar telah celakalah
diriku. Tetapi aku melihat bahwa tidak ada lagi sesuatu
(negeri) yang dibebaskan sesudah negeri Khusru (Raja
Persia), dan Allah pun telah merampas untuk kita harta
kekayaan mereka dan tanah-tanah pertanian mereka,
garapan-garapan mereka, maka aku bagi-bagikanlah semua
kekayaan (yang bergerak) kepada mereka yang berhak, kemudian
aku ambil seperlimanya, dan aku atur menurut aturan
tertentu, dan aku sepenuhnya bertanggung jawab atas
pengaturan itu. Tetapi aku berpendapat untuk menguasai
tanah-tanah pertanian beserta garapan-garapannya, dan aku
terapkan pajak atas para penggarap tanah-tanah itu, dan
mereka berkewajiban membayar jizyah sebagai fay' untuk
orangorang Muslim, baik yang berperang maupun anak turun
mereka, dan untuk generasi yang kemudian. Tahukah kalian
pos-pos pertahanan itu? Di sana harus ada orang-orang yang
tinggal menetap. Tahukah kalian, kota-kota besar seperti
(di) Syam, al-Jazirah (Mesopotamia), Kufah, Basrah dan
Mesir? Semuanya itu memerlukan tentara untuk mempertahankan
dan biaya besar untuk mereka. Dari mana mereka diberi biaya
itu jika semua tanah pertanian dan garapannya telah habis
dibagi-bagi?" Serentak semuanya menjawab: "Pendapat yang
benar ialah pendapatmu. Alangkah baiknya apa yang kau
katakan dan lihat itu. Jika pos-pos pertahanan dan kota-kota
itu tidak diisi dengan personil-personil, serta disediakan
bagi mereka kebutuhan-kebutuhan mereka, maka tentulah kaum
kafir akan kembali ke kota-kota mereka." Kata Mu'adz kepada
'Umar: "Jika engkau sampai membagi-baginya, maka akan
terjadilah kekayaan yang amat besar berada di tangan
kelompok orang tertentu, kemudian mereka akan mati, lalu
harta itu akan bergeser ke tangan satu orang, baik laki-laki
atau pun perempuan, dan sesudah mereka itu muncul generasi
yang benar-benar melihat adanya kebaikan pada Islam --yaitu
mereka mendapati dalam Islam suatu keuntungan-- namun mereka
tidak mendapatkan apa-apa. Karena itu carilah sesuatu yang
menguntungkan baik generasi pertama maupun generasi akhir."
Sungguh menakjubkan pernyataan Mu'adz itu: Jika
tanah-tanah pertanian itu dibagi habis, maka terjadilah
kekayaan amat besar pada kelompok tertentu, dan kalau mereka
ini semuanya telah tiada, kekayaan itu akan pindah ke tangan
satu-dua orang, sehingga orang-orang (dari kalangan penduduk
setempat) yang muncul sesudah itu dan memeluk Islam tidak
lagi mendapatkan sesuatu apa pun! Alangkah cemerlang
pernyataannya itu!
Dengan pernyataannya itu, Mu'adz seolah-olah hendak
menentang banyak orang sebagaimana kaum sosialis sekarang
menentang para tuan tanah agar jangan sampai tanah yang luas
milik Tuhan itu jatuh ke tangan hanya satu-dua orang, baik
pria maupun wanita, yang dengan pemilikan tanah itu orang
tersebut memetik buah kerja keras sejumlah besar para
pekerja petani untuk dinikmati sendiri tanpa disertai
kalangan manusia lainnya.
Para sahabat Nabi itu terus melakukan pembicaraan sesama
mereka selama beberapa hari. Mereka yang berpendapat harus
dibagi-bagi, berargumentasi dengan praktek Nabi s.a.w. dalam
membagi-bagikan tanah Khaybar di antara para tentara yang
membebaskannya, dan dengan firman Allah, "Ketahuilah bahwa
apa pun dari sesuatu (kekayaan) yang kamu rampas dalam
peperangan maka seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, para
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang
terlantar di
perjalanan."[7]
Karena ayat itu hanya mengemukakan ketentuan untuk
menyisihkan seperlima saja dari kekuasaan para tentara
pelaksana rampasan dalam perang dan menyerahkannya kepada
bayt al-mal untuk digunakan bagi keperluan pihak-pihak yang
berhak yang tersebutkan dalam ayat itu, sedangkan ayat itu
tidak memberi ketentuan apa-apa tentang bagian yang empat
perlima lagi, maka 'Abd al-Rahman ibn 'Awf berkata kepada
'Umar: "Tanah-tanah pertanian dan garapannya itu tidak lain
ialah harta yang dirampaskan oleh Tuhan untuk mereka, yakni
harta yang diberikan Tuhan kepada mereka dari musuh."
Sedangkan 'Umar, dalam menjawab 'Abd al-Rahman atas
argumennya itu, menyatakan: "Itu tidak lain hanyalah
pendapatmu, dan aku tidak berpendapat begitu. Demi Tuhan,
tidak ada lagi sesudahku negeri yang dibebaskan yang di situ
terdapat kekayaan yang besar, bahkan mungkin akan menjadi
beban atas orang-orang Muslim. Maka jika aku bagi habis
tanah Irak dan garapannya, juga tanah Syam dan garapannya,
maka bagaimana membiayai pos-pos pertahanan? Dan apa yang
tersisa untuk anak turun dan janda-janda di negeri itu dan
di tempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?"
|