|
Pertimbangan Kemaslahatan Dalam Menangkap Makna
dan Semangat Ketentuan Keagamaan: Kasus Ijtihad 'Umar Ibn
Al-Khattab (4/4)
'Umar terus melakukan musyawarah dan pembahasan.
Banyak orang berargumentasi untuk melakukan pembagian sesuai
dengan pengertian lahir nas-nas, dan 'Umar berargumentasi
untuk tidak melakukan pembagian demi kemaslahatan masyarakat
Muslim sendiri. Seolah-olah 'Umar membedakan antara apa yang
dilaksanakan Nabi s.a.w. di tanah-tanah pertanian Khaybar
yang kecil pada permulaan Islam yang dituntut oleh
kemaslahatan masyarakat Muslim saat itu tanpa menyimpang
daripadanya, dan tanah-tanah pertanian lembah yang subur di
Irak, Mesir dan Syam, yang seandainya diterapkan di sana apa
yang dipraktekkan Rasulullah di tanah-tanah pertanian
Khaybar itu maka tentu masyarakat Muslim akan kehilangan
kemaslahatannya.
Orang banyak tetap saja pada pendirian mereka, sampai
akhirnya 'Umar datang dan menyatakan: "Aku telah mendapatkan
argumentasi terhadap mereka dengan bagian akhir dari
ayat-ayat al-Hasyr."
Di situ Tuhan merinci mereka yang berhak atas harta
rampasan perang dengan firman-Nya: "Sesuatu (harta kekayaan)
yang diberikan Tuhan sebagai rampasan perang untuk Rasul-Nya
dari penduduk negeri adalah milik Tuhan, Rasul, para
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibn
al-sabil, agar supaya harta itu tidak berkisar di antara
orang-orang kaya saja dari antara kamu..." Maksudnya supaya
harta rampasan itu tidak berputar di kalangan para orang
kaya saja tanpa ikut sertanya para fakir-miskin, sampai
dengan firman Allah Ta'ala: "Bagi orang-orang miskin para
Muhajirin yang diusir dari rumah-rumah dan harta benda
mereka ..." terus ke firman-Nya, "Dan mereka yang telah
menetap di negeri (Madinah) dan beriman sebelum (datang)
mereka (Muhajirin) itu. . .," serta diakhiri dengan firman,
"Dan mereka yang datang sesudah mereka itu
..."[8]
Kemudian kata 'Umar: "Aku tidak melihat ayat ini
melainkan meliputi semua orang manusia sampai termasuk pula
seorang penggembala kampung Kidd'." Lalu 'Umar berseru
kepada orang banyak itu: "Apakah kalian menghendaki
datangnya generasi belakangan tanpa mendapatkan sesuatu apa
pun? Lalu apa yang tersisa untuk mereka sepeninggal kalian
itu? Kalau tidak karena generasi kemudian itu, tidaklah ada
suatu negeri yang dibebaskan melainkan pasti aku
bagi-bagikan sebagaimana Rasulullah s.a.w. telah
membagi-bagikan tanah
Khaybar."[9]
Demikianlah 'Umar memutuskan untuk menyita tanah-tanah
pertanian itu dan tidak membagi-bagikannya kepada tentara
pembebas, dan membiarkan tanah-tanah itu tetap berada di
kalangan para penduduk penggarap yang dari hasilnya mereka
membayar pajak untuk dibelanjakan bagi kemaslahatan
masyarakat Muslim pada umumnya, dan orang-orang Muslim pun
kemudian bersepakat dengan 'Umar.
Jelas bahwa tindakan bijaksana dari 'Umar r.a. yang
menyimpang dari tindakan Rasulullah s.a.w. bukanlah berarti
peniadaan suatu Sunnah yang tetap yang dibawa oleh Nabi
s.a.w., melainkan justru berpegang teguh kepada Sunnah itu
dengan dalil-dalil berbagai nas yang lain mengikuti
kemaslahatan umum. Jika Rasulullah membagi-bagi antara
orang-orang Muslim harta rampasan perang yang terdiri dari
tanah-tanah pertanian pada waktu itu tanpa menyisakan barang
sesuatu untuk generasi yang datang kemudian, maka hal itu
ialah karena masalah zaman menghendaki hal demikian sesuai
dengan situasi yang ada, khususnya untuk menolong nasib
orang-orang miskin Muhajirin dari Makkah yang diusir dari
tempat-tempat kediaman dan harta kekayaan mereka. Dan jika
'Umar tidak membagi-bagikannya, maka hal itu pun karena
kemaslahatan saat itu, sebagaimana ia sendiri telah
menjelaskannya, menghendaki kebijaksanaan demikian itu. '
Itulah sebabnya al-Qadli Abu Yusuf berkata: ''Pendapat
yang dianut 'Umar r.a. untuk tidak membagi tanah-tanah
pertanian itu antara mereka yang membebaskannya, ketika
Tuhan memberinya kearifan tentang apa yang disebutkan dalam
Kitab Suci sebagai penjelasan pendapatnya itu, adalah suatu
petunjuk dari Tuhan. Pada 'Umar dengan tindakan tersebut
--yang di situ terdapat kebaikan pendapatnya-- berupa
pengumpulan pajak dan pembagiannya di antara orang-orang
Muslim, terkandung kebaikan umum bagi masyarakat mereka.
Sebab jika seandainya pendapatan dan kekayaan (negeri) tidak
diserahkan kepada manusia (secara umum), maka pos-pos
pertahanan tidak lagi terpenuhi kebutuhannya, dan tentara
tidak lagi mendapatkan perbekalan untuk melanjutkan
perjuangan suci (jihad) mereka.
Demikianlah kedua penuturan tentang ijtihad 'Umar r.a.
Semoga kita dapat belajar dari kearifan tokoh dalam
sejarah Islam yang amat menentukan itu, yang sering
dikemukakan sebagai tauladan seorang pemimpin dan penguasa
yang adil, demokratis dan terbuka.
CATATAN
1 Muhammad
al-Husayn Al Kashif al-Ghitha, Ashl al-Shi'ah wa Ushuluha
(Beirut: Mu'assasat al-A'lami, 1982), h. 101.
2 Al-Bahi
al-Khuli, "Min fiqh 'Umar fi al-Iqtisad wa al-Mal", dalam
majalah al-Muslimun (Damaskus), No. 4, Jumada al-Akhirah,
1373 H/Februari, 1954, hh. 55-59.
3 Q., s.
al-Anfal/8:41.
4 Q., s.
al-Hashr/59:7-10.
5 Ma'ruf
al-Dawalibi, "Kayfa ista'mala al-sahaabah 'uqulahum fi fahm
al-Qur'an", dalam majalah al-Muslimun (Damaskus), No. 7,
Rabi' al-Thani 1375 H./Tashrin al-Thani (November) 1955, hh.
4347.
6 Lihat
catatan 3.
7 Ibid.
8 Lihat
catatan 4.
9 Diambil dari Kitab
al-Huquq al Madaniyyah (Kitab Hak-hak Sipil) oleh al-Zarqa,
halaman 76. Al-Zarqa telah menjabarkan ayat ghanimah (harta
rampasan perang) dalam s. al-Anfal/8:41, "Dan ketahuilah
olehmu sekalian bahwa apa pun dari sesuatu (harta kekayaan)
yang kamu rampas dalam peperangan maka sesungguhnya
seperlima daripadanya adalah untuk Allah dan untuk Rasul,
para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang
dalam perjalanan." Kata al-Zarqa, "Sebenarnya ayat suci itu
menentukan pembelanjaan seperlima dari harta rampasan itu
untuk urusan umum, dan Sunnah menjelaskan tindakan Nabi
tentang cara membagikan sisanya (yang empat perlima) kepada
para anggota mereka yang merebut harta rampasan itu.
Kemudian datang ayat fay' dalam Surah al-Hasyr/59:6-10, yang
mengatakan, 'Apa pun yang diberikan Tuhan bahwa harta fay'
kepada RasulNya ...' yang ayat itu memberi kejelasan bahwa
harta fay' harus dimanfaatkan oleh orang-orang Muslim secara
keseluruhan, baik yang sekarang maupun yang bakal datang,
dan tidak hanya terbatas untuk para pejuang pembebas saja,
melainkan semuanya harus ditempatkan di bawah bayt al-mal.
Beda antara ghanimah dan fay' dalam istilah Shar'i ialah
bahwa ghanimah harta yang dirampas dari musuh dengan
kekuatan senjata, sedangkan fay' adalah harta yang
ditinggalkan musuh karena ketakutan, atau yang mereka
bayarkan karena terpaksa dan kalah, dan tidak diperoleh dari
musuh itu dengan pengerahan kavaleri atau pun komando
tentara dalam medan peperangan. Karena itu fay' meliputi
pula pungutan-pungutan yang dibebankan kepada mereka seperti
jiryah atas pribadi-pribadi dan pajak (kharaj) atas bumi.
Telah terbukti dalam Sunnah ketika Nabi s.a.w. membebaskan
Khaybar, yang dibebaskan dengan kekerasan, bukan dengan
jalan damai, dan penduduk Yahudinya yang terperangi itu
meninggalkannya atas dasar hukum pelarian diri, maka
tanah-tanah pertanian mereka itu dianggap termasuk fay', dan
Nabi mengambil separohnya --sebelum seperlimanya-- kemudian
ditinggalkan untuk para pengawas dan penghuni setempat,
kemudian beliau bagi-bagikan sisanya kepada para tentara
pembebas." Kemudian al-Ustadh menuturkan kisah pembebasan
Lembah Irak (Mesopotamia), dan menafsirkan pendirian 'Umar
yang bijaksana dalam membedakan antara harta rampasan perang
yang bergerak dan tanah-tanah pertanian, bahwa sesungguhnya
ia justru berpegang kepada dalil-dalil nas dan menggabungkan
semuanya, dan melaksanakan setiap dalil nas itu dengan
meletakkan pada tempatnya yang dibimbing oleh pandangannya
yang menyeluruh dan tepat, tidak seperti yang dikesankan
oleh mereka dari zaman sekarang yang mengira dalam masalah
ini 'Umar menyalahi nas-nas agama, dan menganggap sikap
menyalahi itu menurut perkiraan mereka sebagai suatu
kejeniusan dalam berijtihad. Dari yang kita kutip itu anda
bisa melihat bahwa 'Umar menggunakan argumen-argumen dari
nas al-Qur'an sendiri yang dengan nas-nas itu ia membungkam
para penentangnya dan membuktikan keunggulan pemahamannya
mengenai nas-nas itu. Menyertai pendapat 'Umar dalam
pandangannya itu para pembesar sahabat yang mendalami
pemahaman agama seperti 'Ali dan Mu'adh. (Al-Muslimun).
|