Islam, Doktrin dan Peradaban

oleh Dr. Nurcholish Madjid

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Pertimbangan Kemaslahatan Dalam Menangkap Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan: Kasus Ijtihad 'Umar Ibn Al-Khattab (4/4)

 'Umar terus melakukan musyawarah dan pembahasan. Banyak orang berargumentasi untuk melakukan pembagian sesuai dengan pengertian lahir nas-nas, dan 'Umar berargumentasi untuk tidak melakukan pembagian demi kemaslahatan masyarakat Muslim sendiri. Seolah-olah 'Umar membedakan antara apa yang dilaksanakan Nabi s.a.w. di tanah-tanah pertanian Khaybar yang kecil pada permulaan Islam yang dituntut oleh kemaslahatan masyarakat Muslim saat itu tanpa menyimpang daripadanya, dan tanah-tanah pertanian lembah yang subur di Irak, Mesir dan Syam, yang seandainya diterapkan di sana apa yang dipraktekkan Rasulullah di tanah-tanah pertanian Khaybar itu maka tentu masyarakat Muslim akan kehilangan kemaslahatannya.

Orang banyak tetap saja pada pendirian mereka, sampai akhirnya 'Umar datang dan menyatakan: "Aku telah mendapatkan argumentasi terhadap mereka dengan bagian akhir dari ayat-ayat al-Hasyr."

Di situ Tuhan merinci mereka yang berhak atas harta rampasan perang dengan firman-Nya: "Sesuatu (harta kekayaan) yang diberikan Tuhan sebagai rampasan perang untuk Rasul-Nya dari penduduk negeri adalah milik Tuhan, Rasul, para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibn al-sabil, agar supaya harta itu tidak berkisar di antara orang-orang kaya saja dari antara kamu..." Maksudnya supaya harta rampasan itu tidak berputar di kalangan para orang kaya saja tanpa ikut sertanya para fakir-miskin, sampai dengan firman Allah Ta'ala: "Bagi orang-orang miskin para Muhajirin yang diusir dari rumah-rumah dan harta benda mereka ..." terus ke firman-Nya, "Dan mereka yang telah menetap di negeri (Madinah) dan beriman sebelum (datang) mereka (Muhajirin) itu. . .," serta diakhiri dengan firman, "Dan mereka yang datang sesudah mereka itu ..."[8]

Kemudian kata 'Umar: "Aku tidak melihat ayat ini melainkan meliputi semua orang manusia sampai termasuk pula seorang penggembala kampung Kidd'." Lalu 'Umar berseru kepada orang banyak itu: "Apakah kalian menghendaki datangnya generasi belakangan tanpa mendapatkan sesuatu apa pun? Lalu apa yang tersisa untuk mereka sepeninggal kalian itu? Kalau tidak karena generasi kemudian itu, tidaklah ada suatu negeri yang dibebaskan melainkan pasti aku bagi-bagikan sebagaimana Rasulullah s.a.w. telah membagi-bagikan tanah Khaybar."[9]

Demikianlah 'Umar memutuskan untuk menyita tanah-tanah pertanian itu dan tidak membagi-bagikannya kepada tentara pembebas, dan membiarkan tanah-tanah itu tetap berada di kalangan para penduduk penggarap yang dari hasilnya mereka membayar pajak untuk dibelanjakan bagi kemaslahatan masyarakat Muslim pada umumnya, dan orang-orang Muslim pun kemudian bersepakat dengan 'Umar.

Jelas bahwa tindakan bijaksana dari 'Umar r.a. yang menyimpang dari tindakan Rasulullah s.a.w. bukanlah berarti peniadaan suatu Sunnah yang tetap yang dibawa oleh Nabi s.a.w., melainkan justru berpegang teguh kepada Sunnah itu dengan dalil-dalil berbagai nas yang lain mengikuti kemaslahatan umum. Jika Rasulullah membagi-bagi antara orang-orang Muslim harta rampasan perang yang terdiri dari tanah-tanah pertanian pada waktu itu tanpa menyisakan barang sesuatu untuk generasi yang datang kemudian, maka hal itu ialah karena masalah zaman menghendaki hal demikian sesuai dengan situasi yang ada, khususnya untuk menolong nasib orang-orang miskin Muhajirin dari Makkah yang diusir dari tempat-tempat kediaman dan harta kekayaan mereka. Dan jika 'Umar tidak membagi-bagikannya, maka hal itu pun karena kemaslahatan saat itu, sebagaimana ia sendiri telah menjelaskannya, menghendaki kebijaksanaan demikian itu. '

Itulah sebabnya al-Qadli Abu Yusuf berkata: ''Pendapat yang dianut 'Umar r.a. untuk tidak membagi tanah-tanah pertanian itu antara mereka yang membebaskannya, ketika Tuhan memberinya kearifan tentang apa yang disebutkan dalam Kitab Suci sebagai penjelasan pendapatnya itu, adalah suatu petunjuk dari Tuhan. Pada 'Umar dengan tindakan tersebut --yang di situ terdapat kebaikan pendapatnya-- berupa pengumpulan pajak dan pembagiannya di antara orang-orang Muslim, terkandung kebaikan umum bagi masyarakat mereka. Sebab jika seandainya pendapatan dan kekayaan (negeri) tidak diserahkan kepada manusia (secara umum), maka pos-pos pertahanan tidak lagi terpenuhi kebutuhannya, dan tentara tidak lagi mendapatkan perbekalan untuk melanjutkan perjuangan suci (jihad) mereka.

Demikianlah kedua penuturan tentang ijtihad 'Umar r.a.

Semoga kita dapat belajar dari kearifan tokoh dalam sejarah Islam yang amat menentukan itu, yang sering dikemukakan sebagai tauladan seorang pemimpin dan penguasa yang adil, demokratis dan terbuka.

CATATAN

1 Muhammad al-Husayn Al Kashif al-Ghitha, Ashl al-Shi'ah wa Ushuluha (Beirut: Mu'assasat al-A'lami, 1982), h. 101.

2 Al-Bahi al-Khuli, "Min fiqh 'Umar fi al-Iqtisad wa al-Mal", dalam majalah al-Muslimun (Damaskus), No. 4, Jumada al-Akhirah, 1373 H/Februari, 1954, hh. 55-59.

3 Q., s. al-Anfal/8:41.

4 Q., s. al-Hashr/59:7-10.

5 Ma'ruf al-Dawalibi, "Kayfa ista'mala al-sahaabah 'uqulahum fi fahm al-Qur'an", dalam majalah al-Muslimun (Damaskus), No. 7, Rabi' al-Thani 1375 H./Tashrin al-Thani (November) 1955, hh. 4347.

6 Lihat catatan 3.

7 Ibid.

8 Lihat catatan 4.

9 Diambil dari Kitab al-Huquq al Madaniyyah (Kitab Hak-hak Sipil) oleh al-Zarqa, halaman 76. Al-Zarqa telah menjabarkan ayat ghanimah (harta rampasan perang) dalam s. al-Anfal/8:41, "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun dari sesuatu (harta kekayaan) yang kamu rampas dalam peperangan maka sesungguhnya seperlima daripadanya adalah untuk Allah dan untuk Rasul, para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang dalam perjalanan." Kata al-Zarqa, "Sebenarnya ayat suci itu menentukan pembelanjaan seperlima dari harta rampasan itu untuk urusan umum, dan Sunnah menjelaskan tindakan Nabi tentang cara membagikan sisanya (yang empat perlima) kepada para anggota mereka yang merebut harta rampasan itu. Kemudian datang ayat fay' dalam Surah al-Hasyr/59:6-10, yang mengatakan, 'Apa pun yang diberikan Tuhan bahwa harta fay' kepada RasulNya ...' yang ayat itu memberi kejelasan bahwa harta fay' harus dimanfaatkan oleh orang-orang Muslim secara keseluruhan, baik yang sekarang maupun yang bakal datang, dan tidak hanya terbatas untuk para pejuang pembebas saja, melainkan semuanya harus ditempatkan di bawah bayt al-mal. Beda antara ghanimah dan fay' dalam istilah Shar'i ialah bahwa ghanimah harta yang dirampas dari musuh dengan kekuatan senjata, sedangkan fay' adalah harta yang ditinggalkan musuh karena ketakutan, atau yang mereka bayarkan karena terpaksa dan kalah, dan tidak diperoleh dari musuh itu dengan pengerahan kavaleri atau pun komando tentara dalam medan peperangan. Karena itu fay' meliputi pula pungutan-pungutan yang dibebankan kepada mereka seperti jiryah atas pribadi-pribadi dan pajak (kharaj) atas bumi. Telah terbukti dalam Sunnah ketika Nabi s.a.w. membebaskan Khaybar, yang dibebaskan dengan kekerasan, bukan dengan jalan damai, dan penduduk Yahudinya yang terperangi itu meninggalkannya atas dasar hukum pelarian diri, maka tanah-tanah pertanian mereka itu dianggap termasuk fay', dan Nabi mengambil separohnya --sebelum seperlimanya-- kemudian ditinggalkan untuk para pengawas dan penghuni setempat, kemudian beliau bagi-bagikan sisanya kepada para tentara pembebas." Kemudian al-Ustadh menuturkan kisah pembebasan Lembah Irak (Mesopotamia), dan menafsirkan pendirian 'Umar yang bijaksana dalam membedakan antara harta rampasan perang yang bergerak dan tanah-tanah pertanian, bahwa sesungguhnya ia justru berpegang kepada dalil-dalil nas dan menggabungkan semuanya, dan melaksanakan setiap dalil nas itu dengan meletakkan pada tempatnya yang dibimbing oleh pandangannya yang menyeluruh dan tepat, tidak seperti yang dikesankan oleh mereka dari zaman sekarang yang mengira dalam masalah ini 'Umar menyalahi nas-nas agama, dan menganggap sikap menyalahi itu menurut perkiraan mereka sebagai suatu kejeniusan dalam berijtihad. Dari yang kita kutip itu anda bisa melihat bahwa 'Umar menggunakan argumen-argumen dari nas al-Qur'an sendiri yang dengan nas-nas itu ia membungkam para penentangnya dan membuktikan keunggulan pemahamannya mengenai nas-nas itu. Menyertai pendapat 'Umar dalam pandangannya itu para pembesar sahabat yang mendalami pemahaman agama seperti 'Ali dan Mu'adh. (Al-Muslimun).

(sebelum)


ISLAM Doktrin dan Peradaban
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team