Pertimbangan Kemaslahatan Dalam Menangkap Makna
dan Semangat Ketentuan Keagamaan: Kasus Ijtihad 'Umar Ibn
Al-Khattab (2/4)
Pertengkaran itu memuncak selama tiga hari, dan kegaduhan
orang banyak sekitar masalah itu pun menjadi-jadi. 'Umar
berpikir untuk memperluas musyawarahnya keluar kalangan
Muhajirin sehingga mencakup para pemuka Ansar (Ansar), dan
dipanggillah oleh Umar sepuluh orang dari mereka, lima orang
dari suku al-Aws dan lima orang dari suku al-Khazraj,
kemudian ia berpidato di depan mereka dengan pernyataan yang
indah dan bijaksana ini: ('Umar membaca hamdalah dan memuji
Tuhan sesuai dengan yang patut bagi-Nya, kemudian berkata),
"Aku tidak bermaksud mengejutkan kalian kecuali hendaknya
kalian menyertaiku dalam amanat mengenai urusan kalian yang
dibebankan kepadaku. Sebab aku hanyalah salah seorang saja
dari antara kalian ... Dan kalian hari ini hendaknya membuat
keputusan dengan benar-siapa saja yang hendak berbeda
pendapat denganku, silakan ia berbeda, dan siapa saja yang
hendak bersepakat denganku, silakan ia bersepakat ... Aku
tidaklah ingin kalian mengikuti begitu saja hal yang menjadi
kecenderunganku ini ... Di tangan kalian ada Kitab Allah
yang menyatakan kebenaran ... Dan demi Tuhan, kalau aku
pernah menyatakan suatu perkara yang kuinginkan, aku tidak
menginginkannya kecuali kebenaran."
Kaum Ansar: "Bicaralah, dan kami semua akan mendengarkan,
wahai Amir al-Mu'minin."
'Umar: "Kalian telah mendengar pembicaraan mereka,
kelompok yang menuduhku berbuat zalim berkenaan dengan
hak-hak mereka. Aku benar-benar berlindung kepada Allah dari
melakukan kezaliman ... Jika aku telah berbuat zalim kepada
mereka berkenaan dengan sesuatu yang menjadi milik mereka
dan aku memberikannya kepada orang lain, maka benar-benar
telah celakalah diriku ... Tetapi aku melihat bahwa tidak
ada lagi sesuatu (negeri) yang dibebaskan sesudah negeri
Khusru (Persia), dan Allah pun telah merampas untuk kita
harta kekayaan mereka dan tanah-tanah pertanian mereka. Maka
aku bagi-bagikanlah semua kekayaan (yang bergerak) kepada
mereka yang berhak, kemudian aku ambil seperlimanya, dan aku
atur menurut aturan tertentu, dan aku sepenuhnya
bertanggungjawab atas pengaturan itu ... Tetapi aku
berpendapat untuk menguasai tanah-tanah pertanian dan aku
kenakan pajak atas para penggarapnya, dan mereka
berkewajiban membayar jizyah sebagai fay' untuk orang-orang
Muslim, untuk tentara yang berperang serta anak turun
mereka, dan untuk generasi yang datang kemudian ... Tahukah
kalian pos-pos pertahanan itu? Di sana harus ada orang-orang
yang tinggal menetap. Tahukah kalian, negeri-negeri besar
seperti Syam, al-Jazirah (Lembah Mesopotamia), Kufah, Basrah
dan Mesir? Semuanya itu harus diisi dengan tentara dan
disediakan perbekalan untuk mereka. Dari mana mereka
mendapat perbekalan itu jika semua tanah pertanian telah
habis dibagi-bagi?"
Semua yang hadir: "Pendapat yang benar ialah pendapatmu.
Alangkah baiknya apa yang kau katakan dan lihat itu. Jika
pos-pos pertahanan dan kota-kota itu tidak diisi dengan
personil-personil, serta disediakan bagi mereka perbekalan
mereka, maka tentulah kaum kafir akan kembali ke kota-kota
mereka."
Kemudian terlintas dalam benak 'Umar suatu cahaya seperti
biasanya jika kebenaran datang ke lisan dan hatinya, lalu
berkata:
"Sungguh telah kudapatkan argumen dalam Kitab Allah,
'Sesuatu apa pun yang dikaruniakan Allah
sebagai harta rampasan untuk Rasul-Nya dari penduduk
negeri-negeri (yang dibebaskan) adalah milik Allah, Rasul,
kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang
terlantar dalam perjalanan, agar supaya tidak berkisar
diantara orang-orang kaya saja dari kamu. Maka apa pun yang
diberikan Rasul kepadamu sekalian hendaklah kamu ambil, dan
apa pun yang Rasul melarangnya untuk kamu hendaklah kamu
hentikan. Dan bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah,
sesungguhnya Allah itu keras dalam siksaan.'"
"Selanjutnya," kata 'Umar, "Allah berfirman,
'Dan bagi orang-orang miskin dari kalangan
Muhajirin yang diusir dari rumah-rumah dan harta kekayaan
mereka, guna mencari kemurahan Allah dan Ridla-Nya, serta
membantu Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang
benar.'"
"Kemudian," kata 'Umar lagi, "Allah tidak rela sebelum
Dia mengikutsertakan orang-orang lain dan berfirman,
'Dan mereka (kaum Ansar) yang telah
bertempattinggal di negeri (Madinah) serta beriman sebelum
(datang) mereka (kaum Muhajirin); mereka itu mencintai
orang-orang yang berhijrah kepada mereka, dan tidak
mendapati dalam dada mereka keinginan terhadap apa yang
diberikan kepada orang-orang yang berhijrah itu, bahkan
mereka lebih mementingkan orang-orang yang berhijrah itu
daripada diri mereka sendiri meskipun kesusahan ada pada
mereka. Barangsiapa yang terhindar dari kekikiran dirinya
sendiri, maka mereka itulah orang-orang yang bahagia.'"
"Firman ini," jelas 'Umar, adalah khusus tentang kaum
Ansar. Kemudian Allah tidak rela sebelum menyertakan bersama
mereka itu orang-orang lain (dari generasi mendatang), dan
berfirman,
'Dan orang-orang yang muncul sesudah mereka
(Muhajirin dan Ansar) itu semuanya berdo'a: 'Oh Tuhan kami,
ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah
mendahului kami dalam beriman, dan janganlah ditumbuhkan
dalam hati kami perasaan dengki kepada sekalian mereka yang
beriman itu. Oh Tuhan, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun
dan Maha
Penyayang.'"[4]
"Ayat ini," kata 'Umar, "secara umum berlaku untuk semua
orang yang muncul sesudah mereka (kaum Muhajirin dan Ansar)
itu, sehingga harta rampasan (fay') adalah untuk mereka
semua. Maka bagaimana mungkin kita akan membagi-baginya
untuk mereka (tentara yang berperang saja), dan kita
tinggalkan mereka yang datang belakangan tanpa bagian? Kini
menjadi jelas bagiku perkara yang sebenarnya." (Demikian
'Umar).
Para pembahas dapat menarik kesimpulan dari pendirian
'Umar itu tentang banyak hukum sosial dan ekonomi. Di situ
kita dapat melihat 'Umar sangat cermat memperhatikan agar
harta kekayaan tidak menumpuk hanya di tangan sekelompok
orang-orang kaya saja. Sebab penyerahan pemilikan atas
berpuluh-puluh juta hektar tanah pertanian di Irak, Syam,
Persia dan Mesir kepada sekelompok tentara dan bawahannya
akan membentuk sejumlah orang kaya yang pada mereka terdapat
harta benda melimpah ruah, dengan peredarannya pun terpusat
kepada mereka saja. Hal itu akan membawa dampak sosial dan
moral yang akibatnya tidak terpuji.
Di dalamnya kita melihat 'Umar memandang harta sebagai
hak semua orang dan menempuh kebijaksanaan yang
memperhitungkan kemaslahatan generasi mendatang. Itu adalah
pandangan yang cermat dan mendalam, yang dalam al-Qur'an
diketemukan sandaran yang sangat kuat.
Di dalamnya juga terdapat tindakan sejenis nasionalisasi
tanah-tanah pertanian atau yang mendekati itu, yaitu ketika
ia mencegah sekelompok orang-orang Muslim sezamannya dari
menguasai tanah-tanah yang dikaruniakan Tuhan sebagai harta
rampasan (fay'), dan ia tidak bergeser dari pendapatnya
untuk menjadikan tanah-tanah itu milik negara, yang dari
hasil pajaknya ia membuat anggaran untuk tentara, dan dengan
hasil itu pula ia menanggulangi kesulitan-kesulitan di masa
depan.
Di dalamnya juga terdapat banyak hal yang lain, berupa
pandangan-pandangan finansial dan ekonomi yang menunjukkan
luasnya ufuk dan keluwesan pemikiran serta daya cakup Islam
yang hanif (secara alami selalu mencari yang benar dan baik)
terhadap masalah-masalah yang pelik ... Semoga Allah memberi
kita petunjuk untuk menggali dari agama kita berbagai
kekayaan, hal-hal mendasar dan hakiki.
Penuturan kedua berjudul "Bagaimana Para Sahabat Nabi
Menggunakan Akal Mereka untuk Memahami al-Qur'an", oleh: Dr
Ma'ruf
al-Dawalibi:[5]
Barangkali dari antara banyak masalah ijtihad dan
kejadian yang mucul di zaman para sahabat setelah wafat
Nabi, yang paling menonjol ialah masalah pembagian
tanah-tanah (pertanian) yang telah dibebaskan oleh tentara
(Islam) melalui peperangan di Irak, Syam (Syria) dan Mesir.
Telah terdapat nas al-Qur'an yang menyebutk.an dengan
jelas tanpa kesamaran sedikit pun di dalamnya bahwa
seperlima harta rampasan (perang) harus dimasukkan ke bayt
al-mal, dan harus diperlakukan sesuai dengan pengarahan yang
ditentukan oleh ayat suci. Allah telah berfirman dalam Surah
al-Anfal, "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang
kamu rampas (dalam perang) dari sesuatu (harta) maka
seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang yang
terlantar dalam perjalanan (ibn
al-sabil)."[6]
Sedangkan yang empat perlima selebihnya maka dibagi sama
antara mereka yang merampas (dalam perang) itu, sebagai
pengamalan ketentuan yang bisa dipahami dari ayat suci
tersebut dan praktek Nabi s.a.w. ketika beliau membagi
(tanah pertanian) Khaybar kepada para tentara.
Maka, sebagai pengamalan al-Qur'an dan al-Sunnah,
datanglah para perampas (harta rampasan perang) itu kepada
'Umar ibn al-Khaththab, dan meminta agar ia mengambil
seperlima daripadanya untuk Allah dan orang-orang yang
disebutkan dalam ayat (dimasukkan dalam bayt al-mal),
kemudian membagi sisanya kepada mereka yang telah
merampasnya dalam perang. (Kemudian terjadi dialog berikut):
Kata 'Umar: "Lalu bagaimana dengan orang-orang Muslim
yang datang kemudian? Mereka mendapati tanah-tanah pertanian
beserta garapannya telah habis terbagi-bagi, dan telah pula
terwariskan turun-temurun dan terkuasai? Itu bukanlah
pendapat (yang baik).
'Abd al-Rahman ibn 'Awf, menyanggah 'Umar: "Lalu apa
pendapat (yang baik)? Tanah pertanian dan garapannya itu
tidak lain adalah harta rampasan yang diberikan Allah kepada
mereka!"
'Umar menjawab: "Itu tidak lain adalah katamu sendiri,
dan aku tidak berpendapat begitu. Demi Tuhan, tidak akan ada
lagi negeri yang dibebaskan sesudahku yang di situ terdapat
kekayaan besar, bahkan mungkin akan menjadi beban atas
orang-orang Muslim. Jika aku bagi-bagikan tanah-tanah di
Irak beserta garapannya, tanah-tanah di Syam beserta
garapannya, maka dengan apa pos-pos pertahanan akan
dibiayai? Dan apa yang tersisa untuk anak cucu dan
janda-janda di negeri itu dan ditempat lain dari kalangan
penduduk Syam dan Irak?"
|