Pertimbangan Kemaslahatan Dalam Menangkap Makna
dan Semangat Ketentuan Keagamaan: Kasus Ijtihad 'Umar Ibn
Al-Khattab (1/4)
Berkaitan erat dengan pokok pembahasan tentang
reaktualisasi ajaran-ajaran agama yang dibawakan oleh Bapak
Munawir Syadzali ialah persoalan pertimbangan kemaslahatan
atau kepentingan umum dalam usaha menangkap makna dan
semangat berbagai ketentuan keagamaan. Pertimbangan itu
terlebih lagi berlaku berkenaan dengan ketentuan agama yang
tercakup dalam pengertian istilah "syari'at" sebagai hal
yang mengarah kepada sistem hukum dalam masyarakat.
Dalam teori-teori dan metode baku pemahaman agama, hal
tersebut dituangkan dalam konsep-konsep tentang istihsan
(mencari kebaikan), istislah (mencari kemaslahatan), dalam
hal ini kebaikan atau kemaslahatan umum (al-maslahat
al-'ammah, al-maslahat al-mursalah) disebut juga sebagai
keperluan atas kepentingan umum (umum al-balwa).
Contoh klasik untuk tindakan mempertimbangkan kepentingan
umum dalam menangkap makna semangat agama itu ialah yang
dilakukan oleh Khalifah II, 'Umar ibn al-Khattab r.a.,
berkenaan dengan masalah tanah-tanah pertanian berserta
garapan-garapannya yang baru dibebaskan oleh tentara Muslim
di negeri Syam (Syria Raya, meliputi keseluruhan kawasan
pantai timur Laut Tengah), Irak, Persia dan Mesir.
Pendirian 'Umar untuk mendahulukan pertimbangan tentang
kepentingan umum yang menyeluruh, baik secara ruang
(meliputi semua orang di semua tempat) maupun waktu
(mencakup generasi sekarang dan masa datang) mula-mula
mendapat tantangan hebat dari para sahabat Nabi, dipelopori
antara lain oleh 'Abd al-Rahman ibn Awf dan Bilal (bekas
muazin yang sangat disayangi Nabi). Mereka ini berpegang
teguh kepada beberapa ketentuan (lahir) di beberapa tempat
dalam al-Qur'an dan dalam Sunnah atau praktek Nabi pada
peristiwa pembebasan Khaybar (sebuah kota oase beberapa
ratus kilometer utara Madinah), dari sekelompok orang Yahudi
yang berkhianat. Tetapi, sebaliknya, sejak dari semula para
sahabat Nabi yang lain, termasuk tokoh-tokoh seperti 'Utsman
ibn 'Affan dan 'Ali ibn Abi Talib (kedua-duanya kelak
menjadi Khalifah, berturut-turut yang ketiga dan keempat),
sepenuhnya menyetujui pendapat 'Umar dan sepenuhnya
mendukung pelaksanaannya.
Pertikaian pendapat itu berlangsung panas selama
berhari-hari di Madinah, sampai akhirnya dimenangkan oleh
'Umar dan kawan-kawan dengan argumen-argumen yang tepat,
juga berdasarkan ketentuan-ketentuan Kitab Suci al-Qur' an.
Dalam banyak hal 'Umar memang dikenal sebagai tokoh yang
sangat bijaksana dan kreatif, bahkan jenius, tetapi juga
penuh kontroversi. Tidak semua orang setuju dengan 'Umar,
dari dahulu sampai sekarang. Kaum Syi'ah, misalnya, menolak
keras ketokohan 'Umar, khususnya kalangan ekstrim
(al-ghulat) dari mereka. Yang moderat pun masih melihat pada
'Umar hal-hal yang "menyimpang" dari agama. Atau, seperti
dikatakan oleh seorang tokoh 'ulama Syi'ah, Muhammad
al-Husayn Al Kashif al-Ghita', banyak tindakan 'Umar,
seperti dalam kasus ia melarang nikah mut'ah, adalah
semata-mata tindakan sosial-politik, yang tidak ada sangkut
pautnya dengan bukan keagamaan (madaniyyan la
diniyyan).[1]
Untuk memperoleh gambaran yang hidup dan langsung tentang
ijtihad 'Umar dan kemelut yang ditimbulkannya di Madinah
selama berhari-hari itu, di bawah ini disajikan terjemahan
dari dua penuturan oleh dua orang ahli. Tanpa membuat teori
yang abstrak, dari kedua penuturan itu dapat kita tarik
inspirasi untuk melihat dan memecahkan berbagai masalah kita
sendiri sekarang, sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu,
sama dengan tantangan yang dihadapi dan diselesaikan oleh
'Umar.
Yang pertama dari kedua penuturan itu berjudul Dari Celah
Fiqh 'Umar di Bidang Ekonomi dan Keuangan, oleh: al-Ustadh
al-Bahi
al-Khuli,[2]
sebagai berikut:
Berita-berita telah sampai kepada 'Umar r.a. dengan
membawa kabar gembira tentang telah terbebaskannya Syam,
Irak dan negeri Khusru (Persia), dan ia mendapati dirinya
berhadapan dengan persoalan ekonomi yang rumit ... Harta
benda musuh, yang terdiri dari emas, perak, kuda dan ternak
telah jatuh sebagai harta rampasan perang (ghanimah) di
tangan bala tentara yang menang dengan pertolongan Allah ...
Dan tanah-tanah pertanian mereka pun termasuk dalam
penguasaan tentara itu.
Berkenaan dengan harta (yang bergerak) maka 'Umar telah
melaksanakan hukum Allah mengenainya. Dia ambil
seperlimanya, dan membagi-bagikan empat perlima lainnya
kepada masing-masing anggota tentara sebagai pelaksanaan
firman Allah Ta'ala, "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa
apa pun yang kamu peroleh sebagai rampasan perang dari
sesuatu (harta kekayaan) itu maka seperlimanya adalah untuk
Allah dan untuk Rasul, kaum kerabat (dari Nabi), anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan ibn al-sabil (orang terlantar
di perjalanan), jika kamu sekalian benar-benar beriman
kepada Allah dan kepada apa yang telah Kami turunkan
(al-Qur'an) atas hamba Kami (Muhammad) pada hari penentuan,
yaitu hari ketika kedua golongan manusia (Muslim dan
Musyrik) bertemu (dalam peperangan, yakni, Perang Badar).
Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu."[3]
Tetapi berkenaan dengan tanah-tanah pertanian itu, 'Umar
berpendapat lain... Pendiriannya ialah bahwa tanah-tanah itu
harus disita, dan tidak dibagi-bagikan, lalu dibiarkan
seolah-olah tanah-tanah itu kepunyaan negara di tangan para
pemilik (aslinya setempat) yang lama, kemudian mereka ini
dikenakan pajak (kharaj), dan hasil pajak itu dibagi-bagikan
kepada keseluruhan orang-orang Muslim setelah disisihkan
daripada gaji tentara yang ditempatkan di pos-pos pertahanan
(al-thughur, seperti Basrah dan Kufah di Irak) dan
negeri-negeri yang terbebaskan.
Tetapi kebanyakan para sahabat menolak kecuali jika
tanah-tanah itu dibagikan di antara mereka karena
tanah-tanah itu adalah harta-kekayaan yang dikaruniakan
Allah sebagai rampasan (fay') kepada mereka.
Adapun titik pandangan 'Umar ialah bahwa negeri-negeri
yang dibebaskan itu memerlukan tentara pendudukan yang
tinggal di sana, dan tentara itu tentulah memerlukan ongkos.
Maka jika tanah-tanah pertanian itu habis dibagi-bagi, lalu
bagaimana tentara pendudukan itu mendapatkan logistik
mereka?' ... Demikian itu, ditambah lagi bahwa Allah tidak
menghendaki harta kekayaan hanya berkisar atau menjadi
sumber rejeki kaum kaya saja. Jika habis dibagi-bagi
tanah-tanah pertanian yang luas di Syam, Mesir, Irak dan
Persia kepada beberapa ribu sahabat, maka menumpuklah
kekayaan di tangan mereka, dan tidak lagi tersisa sesuatu
apa pun untuk mereka yang masuk Islam kelak kemudian hari
sesudah itu. Sehingga terjadilah adanya kekayaan yang
melimpah di satu pihak, dan kebutuhan (kemiskinan) yang
mendesak di pihak lain ... Itulah keadaan yang hati nurani
'Umar tidak bisa menerimanya.
Tetapi dalil dari Kitab dan Sunnah berada di pihak mereka
yang menentang pendapat 'Umar, yang terdiri dari mereka yang
menghendaki kekayaan yang memang halal dan telah
dikaruniakan Tuhan kepada mereka itu.
Mereka ini mengajukan argumen kepadanya bahwa harta
kekayaan itu adalah fay' (jenis harta yang diperoleh dari
peperangan), dan tanah rampasan serupa itu telah pernah
dibagi-bagikan Rasul 'alayhi al-salam sebelumnya, dan beliau
(Rasul) tidak pernah melakukan sesuatu seperti yang ingin
dilakukan 'Umar. Terutama Bilal r.a. sangat keras terhadap
'Umar, dan mempelopori gerakan oposisi sehingga menyesakkan
dada 'Umar dan menyusahkannya, sehingga karena susah dan
sedihnya itu 'Umar mengangkat kedua tangannya kepada Tuhan
dan berseru, "Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan
kawan-kawan." Akhirnya memang Tuhan melindunginya dari Bilal
dan kawan-kawan dengan paham keagamaannya yang mendalam,
yang meneranginya dengan suatu cahaya dari celah baris-baris
dalam Kitab Suci, dan dengan argumen yang unggul, yang semua
golongan tunduk kepada kekuatannya.
Begitulah 'Umar yang suatu saat berkata kepada
sahabat-sahabatnya yang hadir bahwa Sa'd ibn Abi Waqqas
menulis surat kepadanya dari Irak bahwa masyarakat (tentara
Muslim) yang ada bersama dia telah memintanya untuk
membagi-bagi harta rampasan di antara mereka dan tanah-tanah
pertanian yang dikaruniakan Allah kepada mereka sebagai
rampasan juga. (Kemudian terjadi dialog berikut):
Sekelompok dari mereka berkata: "Tulis surat kepadanya
dan hendaknya ia membagi-bagikan tanah itu antara mereka."
'Umar: "Lalu bagaimana dengan orang-orang Muslim yang
datang kemudian sesudah itu, yang akan mendapati tanah-tanah
telah habis terbagi-bagikan, terwariskan dari orang-orang
tua serta telah terkuasai?... Ini bukanlah pendapat yang
benar."
'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Lalu apa pendapat yang
benar?... Tanah-tanah itu tidak lain daripada sesuatu yang
dikaruniakan Tuhan kepada mereka sebagai rampasan!" 'Umar:
"Memang seperti yang kau katakan ... Tapi aku tidak
melihatnya begitu ... Demi Tuhan, tiada lagi suatu negeri
akan dibebaskan sesudahku melainkan mungkin akan menjadi
beban atas orang-orang Muslim ... Jika tanah-tanah pertanian
di Irak dan Syam dibagi-bagikan, maka dengan apa biaya
pos-pos pertahanan ditutup, dan apa yang tersisa bagi anak
turun dan para janda di negeri ini dan di tempat lain dari
kalangan penduduk Syam dan Irak?"
Orang banyak: "Bagaimana mungkin sesuatu yang
dikaruniakan Tuhan kepada kami sebagai harta rampasan dengan
perantaraan pedang-pedang kami akan engkau serahkan kepada
kaum yang belum ada dan belum bersaksi, serta kepada
anak-cucu mereka turun-temurun yang belum ada?"
'Umar (dalam keadaan bingung dan termangu): "Ini adalah
suatu pendapat."
Orang banyak: "Bermusyawarahlah"
Maka 'Umar pun bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang
terkemuka, yang memiliki kepeloporan dan keperintisan yang
mendalam dalam Islam:
'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Aku berpendapat hendaknya kau
bagi-bagikan kepada mereka itu hak-hak mereka."
'Ali ibn Abi Talib: "Tapi pendapat yang benar ialah
pendapatmu, wahai Amir al-Mu'minin!"
Al-Zubayr ibn al-'Awwam: "Tidak! Sebaliknya, apa yang
dikaruniakan Tuhan kepada kita sebagai rampasan dengan
pedang kita itu harus dibagi-bagi."
'Utsman ibn 'Affan: "Pendapat yang benar ialah yang
dikemukakan 'Umar."
Bilal: "Tidak! Demi Tuhan, sebaliknya kita harus
melaksanakan hukum Tuhan terhadap harta yang dikaruniakan
sebagai rampasan kepada hamba-hambaNya yang beriman."
Talhah: "Aku berpendapat bahwa yang benar ialah yang
dianut 'Umar."
Al-Zubayr: "Ke mana kalian, wahai kaum, hendak pergi dari
Kitab Allah?"
'Abd Allah ibn 'Umar: "Teruskan, wahai Amir al-Mu'minin,
dengan pendapatmu itu. Sebab aku harap bahwa di situ ada
kebaikan bagi umat ini."
Bilal (berteriak dan marah): "Demi Tuhan, tidak berlaku
di umat ini kecuali apa yang telah ditentukan Kitab Allah
dan Sunnah Rasul-Nya s.a.w."
'Umar (dalam keadaan sesak dada dan sedih): "Oh Tuhan,
lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan."
|