|
IV. Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab
Kontemporer (4/4)
oleh A. Luthfi Assyaukanie
International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC), Malaysia,
sekarang menjadi Staf Redaksi Majalah Ummat
C. Peran dan Posisi Filsafat
Tampaknya gerakan kebangkitan filsafat dalam diskursus
intelektual Arab kontemporer (dan juga modern) berada pada
margin pembahasan. Padahal topik yang satu ini begitu
penting porsinya dalam mengilhami isu-isu intelektual dan
ilmiah dalam keseluruhan wacana Arab kontemporer. Bisa
dipastikan hampir seluruh pemikir modern Arab yang mempunyai
ide-ide cemerlang berlatar belakang akademis filsafat yang
kuat, lihatlah Rifa'ah Tahtawi dan Mushthafa 'Abd al-Raziq
di masa awal kebangkitan Arab, dan pada era sekarang Hassan
Hanafi, Mohammed Arkoun dan Mohammed Abid Jabiri, semuanya
jebolan fakultas filsafat. Kalau kemudian filsafat begitu
dianaktirikan atau tidak menjadi mainstream seperti pada
masa kejayaan bangsa Arab dulu itu disebabkan banyak faktor.
Di antaranya, tradisi filsafat dalam dunia Islam --setelah
mengalami pertarungan panjang dengan otoritas agama--
mengalami stagnasi yang serius. Sudah lumrah diketahui bahwa
dalam masa yang lumayan panjang, tradisi filsafat tidak lagi
diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Bahkan di
banyak tempat, filsafat diharamkan untuk dipelajari.
Implikasi dari pengharaman itu, menjadikan berkurangnya
konsumen filsafat. Tidaklah heran kalau kemudian mereka yang
kembali dari belajar filsafat di Barat lebih senang untuk
memprioritaskan pembahasan-pembahasan yang lebih empiris
yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan.
Bagaimanapun, itu tidak berarti tradisi filsafat dalam
diskursus intelektual Arab kontemporer menjadi tidak
penting. Usaha-usaha menghidupkan kembali tradisi filsafat
telah dilakukan sejak kurang dari satu abad setelah
kembalinya Tahtawi dari Paris. Dimulai oleh Mushthafa 'Abd
al-Raziq (1885-1946) --kakak kandung 'Ali 'Abd al-Raziq--
dengan usaha gigihnya menghidupkan kembali tradisi filsafat
Islam, kemudian Yusuf Karam (w.1955) yang seluruh hidupnya
dicurahkan untuk mengenalkan filsafat Barat modern ke dalam
masyarakat Arab. Lewat kedua tokoh ini tradisi filsafat
kemudian berkembang dan hidup kembali meski tidak
secemerlang era kejayaan Arab dulu. Munculnya sikap positif
dan akomodatif terhadap tradisi filsafat (filsafat Islam
khususnya), baik dari individu masyarakat atau
penguasa-penguasa Arab, didorong oleh beberapa faktor,
diantaranya, adanya slogan dan kampanye untuk menghidupkan
kembali tradisi dan nilai-nilai budaya Arab klasik, di mana
pencapaian filsafat merupakan elemen penting dalam budaya
tersebut. Disamping itu, sejalan dengan spirit modernisme
yang sedang digemborkan di negeri-negeri Arab, aspek
rasionalitas merupakan bagian penting dari modernitas. Usaha
untuk mencari contoh dari tradisi sendiri yang memuat pesan
rasionalitas hanya dapat dijumpai dalam tradisi filsafat,
seperti yang pernah dicontohkan oleh al-Kindi, al-Farabi,
Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Faktor lain adalah adanya kontak
baik secara langsung ataupun tidak dengan peradaban Barat
modern. Orang-orang Arab sekarang selalu menyamakan posisi
mereka dengan zaman kejayaan mereka dulu, ketika mereka
berinteraksi dengan peradaban dan pencapaian Yunani.
Terlebih kini, ketika mereka --sadar atau tidak--dikejutkan
oleh banyaknya studi tentang filsafat Islam yang dilakukan
oleh orang Barat. Hal ini, untuk selanjutnya menjadi cambuk
untuk mereka untuk mengkaji sendiri tradisi dan warisan
intelektual mereka, karena seharusnya merekalah yang lebih
mengetahui tradisi sendiri.
Usaha-usaha menghidupkan kembali tradisi filsafat dalam
masyarakat Arab modern dilakukan dengan berbagai cara. Dr.
Syukri Najjar memberikan tiga jenis model yang ditempuh oleh
para penulis dan sarjana Arab modern dalam usaha mereka
menghidupkan kembali tradisi filsafat di dunia
Arab:93
pertama, usaha menghidupkan filsafat Islam klasik lewat
penyuntingan (tahqiq) buku-buku filsafat yang ditulis oleh
para filsuf Muslim klasik. Kemudian memberikan kajian
singkat dan mendalam tentang karya-karya tersebut. Jika
diperlukan, menterjemahkannya kedalam bahasa-bahasa asing
--bahasa Inggris terutama. Kedua, memperkenalkan filsafat
Barat modern lewat penterjemahan karya-karya filsuf Barat ke
dalam bahasa Arab, serta mengusahakan kajian dan studi-studi
detail atas karya-karya tersebut. Ketiga, menulis dan
menciptakan sendiri isyu-isyu filsafat yang berhubungan
dengan realitas kontemporer ataupun sebagai reaksi dari
isyu-isyu filsafat yang sudah ada.
Lewat ketiga model tersebut, tradisi filsafat dalam dunia
Arab modern terus berkembang. Model pertama misalnya, banyak
dilakukan oleh para mahasiswa Arab yang sedang merampungkan
program pasca-sarjana mereka, baik sebagai persyaratan untuk
merampungkan program MA (sebagai tesis) atau Ph.D. (sebagai
disertasi). Beberapa institusi ilmiah baik swasta maupun
milik pemerintah juga turut ambil bagian dalam menghidupkan
warisan filsafat Islam. Al-Amiriyah contohnya, sebuah
penerbitan di Cairo-Mesir yang bekerjasama dengan
kementerian kebudayaan, di bawah pengawasan Dr. Ibrahim
Madkour, telah mengerjakan karya besar Ibn Sina, al-Syifa.
Secara perorangan, usaha-usaha menghidupkan tradisi
intelektual Islam dengan gairah terus dilakukan, contohnya
Abu al-A'la Afifi telah mengkhususkan dirinya dalam bidang
kajian pemikiran Ibn'Arabi, Musthafa Hilmi dan 'Abd al-Halim
Mahmud dalam bidang kajian tasawuf, Muhammad al-Bahi dan Abu
Riddah mendalami tradisi ilmu kalam, dan Albert Nadir secara
khusus mendalami teologi spekulatif Mu'tazilah. Jamil
Shaliba, F. Anawati dan Fuad al-Ahwani adalah para eksponen
dalam studi tentang Ibn Sina. Farid Jabr dan Sulayman Dunya
adalah ahli-ahli dalam Abu Hamid al-Ghazali. M.Yusuf Musa,
Amirah Mathar dan Mahmud Qasim ahli tentang Ibn Rusyd, dan
Abd Rahman Badawi ahli tentang pengaruh Yunani terhadap
filsafat Islam.
Yang menyangkut usaha pengenalan filsafat Barat modern,
telah dilakukan oleh sarjana-sarjana seperti Usman Amin
(Descartes), Najib Baladi (Berkeley), Fuad Zakariya
(Spinoza), Zaki Najib Mahmud (Russel), Abd Rahman Badawi
(Eksistensialisme), dan Adel Daher (filsafat Anglo-Saxon).
Buku-buku tematis tentang isyu-isyu filsafat tidak kalah
banyaknya, seperti studi tentang problem "kebebasan"
(freedom), "manusia" (man), "penciptaan" (creation) dan
sejenisnya telah ditulis secara serius oleh Zakariya Ibrahim
dan problem tentang moral dan etika secara luas dibahas oleh
Dr. Adel Daher.
Dari penulisan secara deskriptif, para filsuf Arab modern
berusaha menciptakan madzhab-madzhab dan kelompok pemikiran
sendiri. Tidak hanya kritis terhadap pencapaian filsafat
baik Islam maupun Barat, mereka mulai membangun aliran
filsafat baru, meski basis metafisisnya masih belum bisa
dipisahkan dari kedua sistem tersebut. Kelompok pertama yang
muncul di panggung intelektualisme Arab modern adalah
pemikiran filsafat yang beraliran materialisme (ittijah
maddi). Dimotori oleh dua filsuf Kristen Arab; Shibli
Shumayl dan Farah Antun. Shibli Shumayl dikenal dengan
usahanya mengembangkan teori evolusi Darwin, karena itu ia
kondang dengan sebutan Darwinnya Arab. Teori filsafatnya
berangkat dari pandangan dunianya tentang alam. Menurutnya,
alam adalah gabungan dari materi (maddah) dan energi
(quwwah), sedangkan materi sendiri merupakan satu tahapan
kondisi energi. Materialisme kosmik membawa kepada prinsip
penyatuan alam yang pada gilirannya, prinsip ini mengubah
materi dan energinya kepada satu kesatuan; benda, tumbuhan,
hewan, manusia, atau apa saja. Semuanya adalah satu
substansi yang berbeda fenomenanya.94
Keyakinan Shumayl akan materi mendorongnya untuk
mengesampingkan agama. Sebagai gantinya, ia percaya seratus
persen akan keabsolutan sains, dan ia menulis;
Agama manusia yang agung adalah sains. Kelebihannya dari
agama-agama lain adalah bahwa sains mengajarkan manusia apa
yang diajarkan agama, tetapi lebih dari itu, sains tidak
pernah memberi larangan pada manusia atau aturan-aturan yang
membelenggu kebebasan manusia. Agama yang benar adalah sains
yang benar.95
Kelompok kedua adalah aliran rasionalisme (ittijah
'aqli), biasa dikaitkan kepada Muhammad 'Abduh dan Farid
Wajdi. Kedua tokoh reformer itu menyeru akan kebebasan akal.
Meskipun keduanya selalu dikaitkan dengan madzhab
neo-rasionalisme dalam filsafat Arab modern, mereka lebih
akrab dikenal sebagai pemikir sosial atau "reformer"
ketimbang "filsuf". 'Abduh tidak mempunyai karya tulis
khusus tentang filsafat rasionalismenya, tetapi secara
keseluruhan, 'Abduh adalah seorang rasionalis.
Rasionalis Arab dengan artian filosofis yang sesungguhnya
adalah Yusuf Karam. Ia banyak menulis tentang terra-terra
rasionalisme filsafat seperti al-Aql wa al-Wujud (Akal dan
Wujud) dan al-Thabi'ah wa ma ba'da Thabi'ah (Fisika dan
Metafisika). Dalam dua karyanya ini, Karam mencoba
membuktikan bahwa manusia mempunyai daya rasional yang dapat
menangkap makna-makna abstrak, dan dari makna-makna itu
tersusun hukum-hukum dan aturan-aturan yang dengannya
persoalan-persoalan metafisis dapat dipahami secara
sistematis. Lewat metode rasionalisme, masalah-masalah
supra-natural didiskusikan, seperti tentang problem esensi,
substansi, eksistensi Tuhan, dan
lain-lain.96
Di sini, tampak Yusuf Karam ingin menghidupkan rasionalisme
Ibn Sina, Ibn Rusyd dan para filsuf Muslim Aristotelian
lainnya. Tentu, dengan begini tidak ada yang baru dari
madzhab neo-rasionalisme. Yang baru adalah justru sikap
untuk kembali kepada spirit filsafat klasik dan penolakan
terhadap filsafat materialisme modern.
Kelompok ketiga adalah aliran filsafat spiritualisme
(ittijah ruhi). Dalam dunia intelektualisme Muslim klasik,
kelompok ini sejajar dengan kaum Sufi dan "pemabuk-pemabuk
Tuhan". Dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran para mistikus
Muslim seperti al-Ghazali, Ibn 'Arabi dan Rumi dengan
pengaruh yang cukup intens dari Plato, Kant dan Bergson.
Aliran filsafat ini telah membangun madzhab filsafat baru
dengan nama baru; Akkad mendirikan Wijdaniyah, Rene Habsyi
membangun Syahsyaniyah, Usman Amin menciptakan Jawwaniyah
dan Zaki al-Arsuazi memprakarsai al-Rahmaniyyah. Akkad
dengan Wijdaniyah-nya berpendapat bahwa hakekat alam semesta
tidak mungkin dapat dipersepsi kecuali dengan intuisi
(wijdan). Intuisi menurut Akkad adalah kesadaran kosmik
(wa'y al-kawni) yang serupa dengan ilham, ia lebih tinggi
dari persepsi indera dan akal.97
Syahsyaniyah Habsyi lebih diilhami oleh mistik Barat modern.
Seperti diakuinya, ia dipengaruhi oleh Bergson, Rafson,
Heidegger, Kierkegaard dan Gabriel Marcel. Syahsyaniyah,
menurut Habsyi, adalah madzhab filsafat yang hendak
menyatukan filsafat klasik dengan filsafat modern, yaitu
dengan cara mengembalikan modernitas kepada masa lalu
melewati filsafat abad tengah hingga filsafat Yunani. Usman
Amin menamakan madzhab filsafatnya "Jawwaniyah". Istilah
Jawwaniyah diambil dari bahasa Arab klasik yang kini banyak
digunakan dalam bahasa amiyah, yaitu kata "jawwa" (di dalam)
sebagai lawan kata "barra" (di luar). Jawwaniyah dalam
konsepsi Amin artinya esoterisme, yaitu aliran yang
memandang kekuatan alam yang sebenarnya adalah kekuatan
spirit (al-ruh). Amin ingin mentransendensikan seluruh
materi lewat kontemplasi spiritual demi mencapai kebebasan
jiwa-karena kebebasan yang sebenarnya adalah kebebasan
spirit. Dalam membangun filsafatnya ini, Amin banyak
dipengaruhi oleh Descartes dan Bergson, terutama yang
menyangkut perbedaan ruh dan badan.98
Al-Rahmaniyah Zaki al-Arsuazi diilhami oleh ide korelasi
antara hamba dengan Tuhannya. Istilah "al-Rahmaniyah"
berasal dari akar kata R-H-M yang merujuk kepada dua makna;
pertama, Rahman sebagai pencipta, dan yang kedua rahim, di
mana janin ciptaan pertama kali ditempatkan. Hubungan antara
Rahman dan rahim adalah hubungan kesinambungan dan saling
melengkapi dan menyem-purnakan. Hamba tanpa Tuhan adalah
mustahil, dan Tuhan tanpa hamba tidak akan diketahui
wujud-Nya.
Di samping madzhab-madzhab dan aliran-aliran filsafat
yang disebutkan di atas, ada banyak lagi kelompok lain yang
kebanyakan berafiliasi kepada sistem filsafat Barat modern.
Yusuf Murad misalnya, mencoba membangun sistem filsafat yang
berlandaskan penggabungan psikologi (psychology) dengan
fisikologi (physicology) seperti yang dikembangkan di Barat.
Ia menamakan filsafatnya dengan aliran al-takammuli
(perfectionism). 'Abd al-Rahman Badawi dikenal sebagai
eksistensialis Arab nomor wahid, tulisan-tulisannya berkisar
sekitar etika eksistensialisme seperti yang dikembangkan
oleh Gabriel Marcel dan Sartre. Nama-nama lain yang turut
memberikan kontribusi dalam menghidupkan tradisi filsafat di
dunia Arab modern adalah Ya'qub Sharruf, Majid Fakhri, Zaki
Najib Mahmud, Ma'an Ziyadeh, Sulayman Dunya, Muhsin Mahdi
dan seorang wanita, Dr. Amirah Mathar.
D. Penutup
Wacana pemikiran Arab kontemporer telah berjalan lebih
dari dua dekade, dengan berbagai corak aliran pemikiran yang
mewarnainya. jika melihat perkembangan dan pasang-surutnya,
ada beberapa nuktah dan kesimpulan yang dapat ditarik:
Pertama, tipologi pemikiran seperti yang dikategorikan dalam
tulisan ini, sedikit banyak telah mengalami pergeseran. Hal
tersebut diakibatkan adanya dialog dan interaksi antara
pemikir yang mewakili setiap tipologi tersebut. Kendati
demikian, tipologi itu masih relevan untuk mengukur sikap
intelektual setiap pemikir Arab, terutama yang berhubungan
dengan isyu tradisi dan modernitas (al-turats wa
al-hadatsah). Tipologi tersebut berdasarkan kategorisasi ide
(idea based categorization) dan bukan berdasarkan
kategorisasi peran sosial-politik (social political based
categorization). Itu artinya, tidak semua pemikir atau
intelektual Arab yang dimasukkan dalam satu tipologi adalah
secara ketat tidak bisa keluar dari kerangka tipologis
berpikimya.
Kedua, persoalan besar yang dihadapi intelektual Arab
masih berkisar soal penentuan sikap budaya kepada dua isyu
besar: tradisi dan modernitas. Dan perbedaan pengambilan
sikap terhadap dua isyu tersebut yang menyebabkan terjadinya
fragmentasi isyu dan juga tipe pemikiran di kalangan pemikir
Arab. Latar belakang pendidikan tetap merupakan faktor
penting dalam membentuk para pemikir tersebut
mengartikulasikan gagasan-gagasan pembaharuan mereka.
Ketiga, seiring dengan semakin banyaknya kaum terpelajar
lulusan luar negeri (Barat), model artikulatif yang
diterapkan oleh para pemikir itu pun mengalami perkembangan,
seperti yang dapat kita lihat pada pemikir asal Maghribi
yang menggunakan metode yang dikembangkan oleh gerakan
strukturalis di Eropa. Usaha untuk memahami sosio-budaya
Arab pun bukan hanya ditempuh lewat perspektif subjektif
(al-ana), tapi juga lewat perspektif orang lain (al-akhar).
Menurut para pemikir itu, perspektif seperti ini penting,
bukan hanya untuk perbandingan, tapi juga untuk mencari
solusi yang terbaik untuk komunitas bangsa Arab.
Keempat, di luar kategorisasi tipologis yang hanya peduli
dengan tema-tema tradisi dan modernitas, ada beberapa
pemikir atau sarjana yang kepeduliannya lebih pada
persoalan-persoalan yang bersifat murni akademis (filsafat).
Para pemikir jenis ini menganggap letak kegemilangan
peradaban bangsa Arab adalah pada pencapaian ilmiahnya, dan
filsafat merupakan inti dari itu semua. Karena itu, concern
terhadap warisan filsafat merupakan kunci utama untuk
memasuki kegemilangan tersebut.
|