|
V. Perspektif Jender Dalam Islam
(2/4)
oleh Nasaruddin Umar
Dosen IAIN Jakarta
Redaktur Pelaksana Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
2. Misteri Nafs al-Wahidah
Dalam al-Qur'an tidak dijumpai ayat-ayat secara rinci
menceritakan asal-usul kejadian perempuan. Kata Hawa yang
selama ini dipersepsikan sebagai perempuan yang menjadi
isteri Adam sama sekali tidak pernah ditemukan dalam
al-Qur'an, bahkan keberadaan Adam sebagai manusia pertama
dan berjenis kelamin laki-laki masih
dipermasalahkan.116
Satu-satunya ayat yang mengisyaratkan asal usul kejadian
perempuan yaitu Q., s. al-Nisa'/4:1 sebagai berikut:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu
yang telah menciptakan kamu dari "diri" yang satu (a
single self), dan dari padanya Allah menciptakan pasangan
(pair)-nya, dan dari pada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasimu.
Akan tetapi maksud ayat ini masih terbuka peluang untuk
didiskusikan, karena ayat tersebut menggunakan kata-kata
bersayap. Para mufassir juga masih berbeda pendapat, siapa
sebenarnya yang dimaksud dengan "diri yang satu" (nafs
al-wahidah), siapa yang ditunjuk pada kata ganti (dhamir)
"dari padanya" (minha), dan apa yang dimaksud "pasangan"
(zawy) pada ayat tersebut?
Kitab-kitab tafsir mu'tabar dari kalangan jumhur seperti
Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Mizan, Tafsir Ibn Katsir,
Tafsir al-Bahr al-Muhith, Tafsir Ruh al-Bayan, Tafsir
al-Kasysyaf, Tafsir al-Sa'ud, Tafsir Jami al-Bayan an Tafsir
al-Maraghi, semuanya menafsirkan kata nafs al-wahidah dengan
Adam, dan dhamir minha ditafsirkan dengan "dari bagian tubuh
Adam", dan kata zawj ditafsirkan dengan Hawa, isteri Adam.
Ulama lain seperti Abu Muslim al-Isfahani, sebagaimana
dikutip al-Razi dalam tafsirnya (Tafsir al-Razi), mengatakan
bahwa dlamir "ha" pada kata minha bukan dari bagian tubuh
Adam tetapi "dari jins (gen), unsur pembentuk
Adam".117
Pendapat lain dikemukakan oleh ulama Syi'ah yang mengartikan
al-nafs al-wahidah dengan "roh"
(soul).118
Kedua pendapat terakhir yang berbeda dengan pendapat
jumhur ulama cukup beralasan pula. Jika diteliti secara
cermat penggunaan kata nafs yang terulang 295 kali dalam
berbagai bentuknya dalam al-Qur'an, tidak satupun dengan
tegas menunjuk kepada Adam. Kata nafs kadang-kadang berarti
"jiwa" (Q., s. al-Ma'idah/5:32), "nafsu" (Q., s.
al-Fajr/89:27), "nyawa/roh" (Q., s. al-'Ankabut/29:57). Kata
al-nafs al-wahidah sebagai "asal-usul kejadian" terulang
lima kali tetapi itu semua tidak mesti berarti Adam, karena
pada ayat lain, seperti Q., s. al-Syu'ra/42:11, nafs itu
juga menjadi asal-usul binatang.119
Kalau dikatakan al-nafs al-wahidah ialah Adam, berarti Adam
juga menjadi asal-usul kejadian hewan dan
tumbuh-tumbuhan?
Perhatikan sekali lagi ayat ini menggunakan bentuk
nakirah/indefinite "dari satu diri" (min nafsin), bukan
dalam bentuk ma'rifah/definite (min al-nafs), berarti
menunjukkan kekhususan (yufid al-takhshish) lalu diperkuat
(ta'kid) dengan kata "yang satu" (wahidah) sebagai shifat
dari min nafsin. Semuanya ini menunjukkan kepada substansi
utama (the first resource), yakni asal (unsur) kejadian
Adam, bukan Adam-nya sendiri sebagai secondary resources. Di
samping itu, seandainya yang dimaksud pada kata nafs ialah
Adam, mengapa tidak digunakan kata wahidin dengan bentuk
gender laki-laki (mudzakkar), tetapi yang digunakan kata
wahidah dalam bentuk perempuan (mu'annats). Walaupun kita
tahu bahwa kata nafs120
masuk kategori mu'annats sebagaimana beberapa ism 'alam
lainnya tetapi dalam al-Qur'an sering dijumpai shifat itu
menyalahi bentuk mawshuf-nya kemudian merujuk ke hakekat
yang di-shifat-i, jika yang di-shifat-i itu hendak
ditekankan oleh Si Pembicara
(Mukhathab).121
Kata al-nafs al-wahidah dalam ayat itu boleh jadi suatu
genus dan salah satu speciesnya ialah Adam dan pasangannya
(pair/zawj-nya) (Q., s. al-A'raf/7:189), sedangkan species
lainnya ialah binatang dan pasangannya (Q., s.
al-Syura/42:11) serta tumbuh-tumbuhan dan pasangannya (Q.,
s. Thaha/20:53).
Surah al-Nisa' di atas agaknya kurang relevan dijadikan
dasar dalam menerangkan asal-usul kejadian manusia secara
biologis, karena dilihat dari konteks (munasabah), ayat itu
berbicara tentang tanggung jawab para wali terhadap orang di
bawah perwaliannya. Ada ayat-ayat lain lebih khusus
berbicara tentang asal-usul kejadian, seperti asal-usul
manusia dari "air"/al-ma' (Q., s. al-Furqan/25:54), "air
hina"/ma'in mahin (Q., s. al-Mursalat/77:20), dan "air yang
terpancar"/ma'in dafiq (Q., s. al-Thariq/86:6),
"darah"/'alaq (Q., s. al-'Alaq/96:2), "saripati
tanah"/sulalatin min thin (Q., s. al-Mu'minun/23:12), "tanah
liat yang kering"/shalshalin min hama'in mahan (Q., s.
al--Hijr/ 15:28), "tanah yang kering seperti
tembikar"/shalshalin ka 'l-fakhkhar (Q., s.
al-Rahman/55:15), "dari tanah"/min thin (Q., s.
al-Sajdah/32:7), dan "diri yang satu" (nafs al-Wahidah (Q.,
s. al-Nisa'/4: 1). Akan tetapi asal-usul kejadian manusia
masih perlu diteliti lebih lanjut, yang mana asal-usul dalam
arti ciptaan awal (production) dan mana asal-usul dalam arti
ciptaan lanjutan (reproduction).
Ada kesulitan dalam memahami kisah asal-usul kejadian
manusia dalam al-Qur'an karena ada loncatan atau semacam
missing link dalam kisah-kisah tersebut. Al-Qur'an tidak
menerangkan secara runtut dari A sampai Z, tetapi dari A
meloncat ke X dan Z. Apa yang terjadi antara A dan X atau Z
tidak dijelaskan. Al-Qur'an bercerita tentang asal-usul
sumber manusia pertama dari "gen yang satu" (nafs
al-wahidah), Gen yang melahirkan species makhluk biologis
seperti jenis manusia, jenis binatang, dan jenis
tumbuh-tumbuhan. Dalam komponen lain ayat-ayat berbicara
tentang asal-usul manusia dalam konteks reproduksi, seperti
pada Q., s. al-Mu'minun/23:12-14.
Ayat-ayat kejadian manusia dalam al-Qur'an tidak cukup
kuat dijadikan alasan untuk menolak atau mendukung teori
evolusi dan untuk hal ini masih perlu penelitian lebih
lanjut. Terdapat beberapa ayat mengisyaratkan adanya makhluk
sejenis manusia selain dan sebelum Adam; seperti pertanyaan
malaikat yang bernada protes terhadap keinginan Tuhan untuk
menciptakan khalifah di bumi yang mengkhawatirkan terjadinya
pengulangan sejarah pertumpahan darah (Q.,s.
al-Baqarah/2:30) dan penggunaan dlamir plural (khalaqa-kum)
pada penciptaan manusia awal (Q., s. al-A'raf/7:11).
Ayat-ayat itu dapat dihubungkan dengan kemungkinan adanya
makhluk sejenis Adam pra Adam. Sementara banyak ayat
mengisyaratkan manusia sebagai ciptaan yang unik the unical
creation, sebagaimana diuraikan terdahulu.
Konsep teologi yang menganggap Hawa/Eva berasal usul dari
tulang rusuk Adam membawa implikasi psikologis, sosial,
budaya, ekonomi, dan politik. Informasi dari sumber-sumber
ajaran agama mengenai asal usul kejadian wanita belum bisa
dijelaskan secara tuntas oleh ilmu pengetahuan. Kalangan
feminis Yahudi dan Kristen cenderung mengartikan kisah-kisah
itu sebagai simbolis yang perlu diberikan muatan makna
lain.122
Sedangkan Feminis Muslimah seperti
Mernissi123
cenderung melakukan kritik terhadap jalur riwayat (sanad),
materi hadits (matan), asal-usul (sabab wurud) terhadap
beberapa hadits yang memojokkan kaum perempuan, yang
diistilahkannya dengan hadits-hadits misogyny, disamping
melakukan kajian semantik dan sabab nuzul terhadap beberapa
ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan perempuan.
Pemahaman yang keliru mengenai asal-usul kejadian
tersebut bisa melahirkan sikap ambivalensi di kalangan
perempuan; di satu pihak ditantang untuk berprestasi dan
mengembangkan karier agar tidak selalu menjadi beban
laki-laki tetapi di lain pihak, ketika seorang perempuan
mencapai karier puncak, keberadaannya sebagai perempuan
shaleh dipertanyakan. Seolah-olah keberhasilan dan prestasi
perempuan tidak cukup hanya diukur oleh suatu standar
profesional tetapi juga seberapa jauh hal itu direlakan kaum
laki-laki. Kondisi yang demikian ini tidak mendukung
terwujudnya khalifat-un fi 'l-ardl yang ideal, karena itu
persoalan ini perlu diadakan klarifikasi.
C. Fungsi Keberadaan Laki-laki dan
Perempuan
Keberadaan Hawa untuk melengkapi salah satu hasrat Adam.
Anggapan seperti ini dapat dilihat dalam Kitab Tawrat dan
Kitab Injil, seperti dalam Genesis/2:18-19 ditegaskan bahwa
tidak baik seorang laki-laki sendirian dan karenanya Eva
diciptakan sebagai pelayan yang tepat untuk Adam (a helper
suitable for him).124
Dari pasal-pasal tersebut secara teologis mengesankan
kedudukan perempuan, bukan saja sebagai subordinasi
laki-laki, tetapi juga memberikan kedudukan yang inferior di
dalam masyarakat. Dalam sumber Yahudi, yakni dalam Midras
dijelaskan bahwa secara substansial penciptaan perempuan
dibedakan dengan laki-laki. Laki-laki diciptakan dengan
kognitif intelektual (cognition-by-intellect/hokhmah),
sedangkan perempuan diciptakan dengan kognitif instink
(cognition-by-instinct/ binah).125
Jika diperhatikan secara cermat beberapa pernyataan dalam
Bible, terutama dalam Kitab Kejadian, pernyataan-pernyataan
itu dengan jelas menunjukkan bahwa kedudukan perempuan
sangat timpang dibanding kedudukan laki-laki. Persoalan ini
menjadi sangat fundamental karena tersurat di dalam Kitab
Suci yang harus diyakini oleh pemeluknya. Hal yang seperti
ini sering dijumpai dalam masyarakat, misalnya beberapa
mitos destruktif tetap lestari hingga sekarang karena
dianggap sebagai bagian dari doktrin agama.
Problem teologis seperti ini menjadi hambatan terberat
dialami kalangan feminis. Carmody mengungkapkan bahwa,
sejumlah mitos tidak dapat ditolak karena sudah menjadi
bagian dari kepercayaan berbagai agama, misalnya tidak bisa
menolak mitos di sekitar Mary (Maryam) tanpa melepaskan
kepercayaan, karena dalam kepercayaan Kristen, cerita
tentang Jesus dan Mary dianggap sebagai nonmythologual
aspects.126
Dalam al-Qur'an, tidak ditemukan suatu ayat yang
menyebutkan cerita tentang asal-usul kejadian perempuan.
Yang ada hanya cerita tentang kesombongan Iblis yang
berdampak pada Adam dan pasangannya, harus meninggalkan
sorga.127
Hanya ada beberapa riwayat yang kontroversi menceritakan
asal-usul keberadaan kejadian perempuan, yang redaksinya
hampir sama dengan cerita yang ada dalam Kitab Kejadian,
seperti dalam hadits:
"Ketika Allah mengusir Iblis keluar dari Taman
lalu di dalamnya ditempatkan Adam. Karena ia tidak
mempunyai teman bermain maka Allah menidurkannya kemudian
mengambil unsur dari tulang rusuk kirinya lalu Ia
mengganti daging di tempat semula kemudian Ia menciptakan
Hawa dari padanya. Ketika bangun, Adam menemukan seorang
perempuan duduk di dekat kepalanya. Adam bertanya: Siapa
anda? Hawa menjawab: perempuan. Adam kembali bertanya:
Kenapa engkau diciptakan? Hawa menjawab: Supaya engkau
mendapatkan kesenangan dari diri saya. Para malaikat
berkata: Siapa namanya? Dijawab: Hawwa. Mereka bertanya:
mengapa dipanggil Hawa? dijawab: Karena diciptakan dari
sebuah benda hidup".128
Redaksi riwayat di atas sangat mirip dengan redaksi Kitab
Genesis, khususnya Pasal 21-23. Riwayat-riwayat semacam ini
diragukan keabsahannya oleh, bukan saja dari kalangan
feminis muslimah seperti Riffat Hasan tetapi juga kalangan
ulama seperti Muhammad Rasyid Ridla. Dalam Tafsir al-Manar,
Rasyid Ridla mengesankan bahwa tradisi pemahaman yang
mempersepsikan Hawa dari tulang rusuk kiri Adam, bukan
bersumber dari al-Qur'an tetapi pengaruh ajaran Kitab Suci
sebelumnya, "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam
dan Hawa dalamKitab Perjanjian Lama (Kejadian 2:21) niscaya
pendapat yang keliru tidak pernah terlintas dalam benak
seorang muslim".129
Wibke Walther mendukung pendapat tersebut dengan
mengemukakan beberapa bukti sejarah bahwa pada era awal
Islam, yakni pada masa Nabi, kaum perempuan mendapatkan
kemerdekaan sangat berbeda dengan yang pernah membudaya
sebelumnya. Belakangan setelah wilayah Islam meluas dan
bersentuhan dengan budaya lain, khususnya faham asketisme
Kristen kedudukan perempuan dalam dunia Islam mengalami
dekadensi.130
Pendapat yang sama juga diungkapkan Fatima Mernissi dan
Muhammad Iqbal.
1. Konsep Kesetaraan Jender dalam
al-Qur'an
Al-Qur'an memberikan pandangan optimistis terhadap
kedudukan dan keberadaan perempuan. Semua ayat yang
membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sampai keluar ke
bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan
kata ganti untuk dua orang (dlamir mutsanna), seperti kata
huma, misalnya keduanya memanfaatkan fasilitas sorga (Q., s.
al-Baqarah/2:35), mendapat kualitas godaan yang sama dari
setan (Q., s. al-A'rif/7:20), sama-sama memakan buah khuldi
dan keduanya menerima akibat terbuang ke bumi (7:22),
sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni.Tuhan (7:23).
Setelah di bumi, antara satu dengan lainnya saling
melengkapi, "mereka adalah pakaian bagimu dan kamu juga
adalah pakaian bagi mereka" (Q., s. al-Baqarah/2:187).
Secara ontologis, masalah-masalah substansial manusia
tidak diuraikan panjang lebar di dalam al-Qur'an. Seperti
mengenai roh, tidak dijelaskan karena hal itu dianggap
"urusan Tuhan" (Q., s. al-Isr'a'/17:85). Yang ditekankan
ialah eksistensi manusia sebagai hamba/'abid (Q., s.
al-Dzariyat/51:56) dan sebagai wakil Tuhan di bumi/khalifah
fi al-ardl (Q., s. al-An'am/6:165). Manusia adalah
satu-satunya makhluk eksistensialis, karena hanya makhluk
ini yang bisa turun naik derajatnya di sisi Tuhan. Sekalipun
manusia ciptaan terbaik (ahsan taqwim/Q., s. al-Thin/95:4)
tetapi tidak mustahil akan turun ke derajat "paling rendah"
(asfala safilin/Q., s. al-Tin/95:5), bahkan bisa lebih
rendah dari pada binatang (Q., s. al-A'raf/7:179).
Ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan
kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin (Q., s.
al-Hujurat/49:13). Al-Qur'an tidak menganut faham the second
sex yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu,
atau the first ethnic, yang mengistimewakan suku tertentu.
Pria dan wanita dan suku bangsa manapun mempunyai potensi
yang sama untuk menjadi 'abid dan khalifah (Q., s.
al-Nisa'/4:124 dan s. al-Nahl/16:97).
Sosok ideal, perempuan muslimah (syakhshiyah al-ma'rah)
digambarkan sebagai kaum yang memiliki kemandirian
politik/al-istiqlal al-siyasah (Q., s. al-Mumtahanah/60:12),
seperti sosok Ratu Balqis yang mempunyai kerajaan
"superpower"/'arsyun 'azhim (Q., s. al-Naml/27:23); memiliki
kemandirian ekonomi/al-istiqlal al-iqtishadi (Q., s.
al-Nahl/16:97), seperti pemandangan yang disaksikan Nabi
Musa di Madyan, wanita mengelola peternakan (Q., s.
al-Qashash/28:23), kemandirian di dalam menentukan
pilihan-pilihan pribadi/al-istiqlal al-syakhshi yang
diyakini kebenarannya, sekalipun harus berhadapan dengan
suami bagi wanita yang sudah kawin (Q., s. al-Tahrim/66:11)
atau menentang pendapat orang banyak (public opinion) bagi
perempuan yang belum kawin (Q., s. al-Tahrim/66:12).
Al-Qur'an mengizinkan kaum perempuan untuk melakukan gerakan
"oposisi" terhadap berbagai kebobrokan dan menyampaikan
kebenaran (Q., s. al-Tawbah/9:71). Bahkan al-Qur'an
menyerukan perang terhadap suatu negeri yang menindas kaum
perempuan (Q., s. al-Nisa'/4:75).
Gambaran yang sedemikian ini tidak ditemukan di dalam
kitab-kitab suci lain. Tidaklah mengherankan jika pada masa
Nabi ditemukan sejumlah perempuan memiliki kemampuan dan
prestasi besar sebagaimana layaknya kaum laki-laki.
2. Penafsiran Berwawasan
Jender
Hampir semua tafsir yang ada mengalami gender bias. Hal
itu antara lain disebabkan karena pengaruh budaya
Timur-Tengah yang androcentris. Bukan hanya kitab-kitab
Tafsir tetapi juga kamus. Sebagai salah satu contoh,
al-dzakar/mudzakkar (laki-laki) seakar kata dengan al-dzikr
berarti mengingat. Kata khalifah di dalam kamus Arab paling
standar, Lisan al-Arab, menyatakan bahwa: "khalifah hanya
digunakan di dalam bentuk maskulin" (al-khalifah la yakun
illa al-dzakar).
Ada beberapa ayat sering dipermasalahkan karena cenderung
memberikan keutamaan kepada laki-laki, seperti dalam ayat
warisan (Q., s. al-Nis'a'/4: 11), persaksian (Q., s.
al-Baqarah/2:228, s. al-Nisa'/4:34), dan laki-laki sebagai
"pemimpin"/qawwamah (Q., s. al-Nisa'/4:34), akan tetapi
ayat-ayat itu tidak bermaksud merendahkan kaum perempuan.
Ayat-ayat itu boleh jadi merujuk kepada fungsi dan peran
sosial berdasarkan jenis kelamin (gender roles) ketika itu.
Seperti diketahui ayat-ayat mengenai perempuan umumnya
mempunyai riwayat sabab nuzul jadi sifatnya sangat
historical. Lagi pula ayat-ayat tersebut berbicara tentang
persoalan detail (muayyidat). Umumnya ayat-ayat seperti itu
dimaksudkan untuk mendukung dan mewujudkan tujuan umum
(maqashid) ayat-ayat essensial,131
yang juga menjadi tema sentral al-Qur'an.
Ayat-ayat yang diturunkan dalam suatu sebab khusus (sabab
nuzul) terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, a)
apakah ayat-ayat itu berlaku secara universal tanpa
memperhatikan kasus turunnya (yufid al-'alm), atau b)
berlaku universal dengan syarat memperhatikan persamaan
karakteristik illat (khushush al-'illah), yang meliputi
empat unsur yaitu peristiwa, pelaku, tempat, dan waktu, atau
c) hanya mengikat peristiwa khusus yang menjadi sebab
(khushush al-sabab) turunnya ayat, dengan demikian ayat-ayat
tersebut tidak mengcover secara langsung peristiwa-peristiwa
lain.132
Al-Qur'an dan Nabi Muhammad telah melakukan proses awal
dalam membebaskan manusia, khususnya kaum perempuan, dari
cengkeraman teologi, mitos, dan budaya jahiliyah. Al-Qur'an
dan hadits yang berbicara tentang beberapa kasus tertentu,
hendaknya dilihat sebagi suatu proses yang mengarah kepada
suatu tujuan umum (maqashid al-syari'ah). Al-Qur'an
mempunyai seni tersendiri dalam memperkenalkan dan
menyampaikan ide-idenya, misalnya dengan: a) disampaikan
secara bertahap (al-tadrij fi al-tasyri), b) berangsur
(taqlil al-taklif), dan c) tanpa memberatkan (a'dam
al-haraj). Sebagai contoh, upaya menghapuskan minuman yang
memabukkan (iskar), diperlukan empat ayat turun secara
bertahap. Jika kita perhatikan ayat-ayat yang turun
berkenaan dengan persoalan perbudakan, kewarisan, dan
poligami, runtut turunnya ayat-ayat tersebut mengarah kepada
suatu tujuan, yaitu mewujudkan keadilan dan menegakkan
amanah dalam masyarakat.133
Dalam melihat hak asasi perempuan dalam Islam, kiranya
kita tidak hanya memusatkan perhatian kepada
peraturan-peraturan yang ada dalam kitab-kitab Fiqh.
Mestinya juga dilihat dan dibandingkan bagaimana status dan
kedudukan perempuan sebelum Islam. Misalnya dalam soal
warisan; anak perempuan mendapat separoh bagian dari yang
didapat anak laki-laki (Q., s. al-Nisa'/4:11). Ketika ayat
ini memberikan bagian kepada anak perempuan, meskipun itu
hanya separoh, tanggapan masyarakat ketika itu sama ketika
ayat haid diturunkan (akan diuraikan tersendiri), yaitu
menimbulkan kekagetan (shock) dalam masyarakat, karena
ketentuan baru itu dianggap menyimpang dari tradisi besar
(great tradition) mereka. Ketentuan sebelumnya harta warisan
itu jatuh kepada anggota keluarga yang bisa mempertahankan
clan atau qabilah, dalam hal ini menjadi tugas laki-laki.
Sekalipun laki-laki tetapi belum dewasa maka dihukum sama
dengan perempuan. Itulah sebabnya Nabi Muhammad tidak
memperoleh harta warisan dari bapak dan neneknya karena ia
masih belum dewasa.
Bagaimana jadinya seandainya pembagian warisan ketika itu
ditetapkan sama rata kepada anggota keluarga tanpa
membedakan peran jenis kelamin (gender role), sementara
peran sosial berdasarkan peran jenis kelamin ketika itu
sangat menentukan. Mencari titik temu antara wahyu
(revelation) dan budaya lokal adalah tugas para ulama. Para
ulama berusaha merumuskan suatu pranata --kemudian lebih
dikenal dengan Fiqh Islam-- dengan melakukan sintesa antara
kultur Arab dan prinsip-prinsip dasar al-Qur'an.
Meskipun laki-laki dalam Fiqh Islam masih terkesan
dominan tetapi martabat perempuan sudah diakui, bahkan
perempuan selalu di bawah perlindungan laki-laki. Kalau ia
sebagai isteri dipertanggung jawabkan oleh suami, sebagai
anak dipertanggung jawabkan oleh Bapak, sebagai saudara
dipertanggungjawabkan oleh saudara laki-laki, meskipun ia
lebih tua, dan menerima mahar dari laki-laki. Kaum
laki-lakilah yang bertanggung jawab terhadap seluruh anggota
keluarga clan dan/kabilah yang ketika itu sangat rawan.
Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada para fuqaha',
memang ada beberapa hal dalam kitab Fiqh dinilai telah
selesai memenuhi tugas historisnya. Jika kita konsisten
terhadap kaidah al-hukmu yadur ma'a al-illah (hukum
mengikuti perkembangan zamannya) maka fiqh Islam sudah
semestinya diadakan berbagai penyesuaian.
Salah satu upaya al-Qur'an dalam menghilangkan
ketimpangan peran jender tersebut ialah dengan merombak
struktur masyarat qabilah yang berciri patriarki
paternalistik menjadi masyarakat ummah yang berciri
bilateral-demokratis. Promosi karier kelompok masyarakat
qabilah hanya bergulir di kalangan laki-laki, sedangkan
kelompok masyarakat ummah ukurannya adalah prestasi dan
kualitas, tanpa membedakan jenis kelamin dan suku bangsa.
Itulah sebabnya Rasulullah sejak awal mengganti nama Yatsrib
menjadi Madinah,134
karena Yatsrib terlalu berbau etnik (syu'ubiyah), sedangkan
Madinah terkesan lebih kosmopolitan.
|