| V. Perspektif Jender Dalam Islam (3/4)
         oleh Nasaruddin UmarDosen IAIN Jakarta
 Redaktur Pelaksana Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
 3. Praktek Kesetaraan Jender pada
         Masa NabiKehidupan perempuan di masa Nabi perlahan-lahan sudah
         mengarah kepada keadilan jender. Akan tetapi setelah beliau
         wafat dan wilayah Islam semakin meluas, kondisi ideal yang
         mulai diterapkan Nabi kembali mengalami kemunduran. Dunia
         Islam mengalami enkulturasi dengan mengadopsi kultur-kultur
         androsentris (untuk tidak menyebut kultur misogyny). Wilayah
         Islam bertambah luas ke bekas wilayah jajahan Persia di
         Timur, bekas jajahan Romawi dengan pengaruh kebudayaan
         Yunaninya di Barat, dan ke Afrika, seperti Mesir dengan
         sisa-sisa kebudayaan Mesir Kunonya di bagian Selatan.
         Pusat-pusat kebudayaan tua tersebut memperlakukan kaum
         perempuan sebagai the second sex. Para ulama yang berasal
         dari wilayah tersebut sulit melepaskan diri dari kebudayaan
         lokalnya di dalam menafsirkan sumber-sumber ajaran Islam.
         Akibatnya, fiqh yang berkembang di dalam sejarah Islam
         adalah fiqh patriarki. Dapat dimaklumi, komunitas Islam yang
         semakin jauh dari pusat kotanya (heartland), akan semakin
         kuat mengalami proses enkulturasi. Di dalam memposisikan keberadaan perempuan, kita tidak
         bisa sepenuhnya merujuk kepada pengalaman di masa Nabi.
         Meskipun Nabi telah berupaya semaksimal mungkin untuk
         mewujudkan gender equality, tetapi kultur masyarakat belum
         kondusif untuk mewujudkan hal itu. Seperti diketahui bahwa
         wahyu baru saja selesai turun Nabi keburu wafat, maka wajar
         kalau Nabi tidak sempat menyaksikan blueprint ajaran itu
         sepenuhnya terwujud didalam masyarakat. Terlebih kedudukan
         perempuan yang berkembang dalam dunia Islam pasca Nabi tidak
         bisa dijadikan rujukan, karena bukannya semakin mendekati
         kondisi ideal tetapi malah semakin jauh. Jika dilihat sejarah perkembangan karier kenabian
         Muhammad, maka kebijakan rekayasa sosialnya semakin mengarah
         kepada prinsip-prinsip kesetaraan gender (gender
         equality/al-musawa al-jinsi). Perempuan dan anak-anak di
         bawah umur semula tidak bisa mendapatkan harta warisan atau
         hak-hak kebendaan, karena yang bersangkutan oleh hukum adat
         jahiliyah dianggap tidak cakap untuk mempertahankan qabilah,
         kemudian al-Qur'an secara bertahap memberikan hak-hak
         kebendaan kepada mereka (Q., s. al-Nisa'/4:12). Semula
         laki-laki bebas mengawini perempuan tanpa batas, kemudian
         dibatasi menjadi empat, itupun dengan syarat yang sangat
         ketat (Q., s. al-Nisa'/4:3). Semula perempuan tidak boleh
         menjadi saksi kemudian diberikan kesempatan untuk itu,
         meskipun dalam beberapa kasus masih dibatasi satu berbanding
         dua dengan laki-laki (Q., s. al-Baqarah/2:228 dan s.
         al-Nisa'/4:34). Pola dialektis ajaran Islam menganut asas penerapan
         bertahap (relatifering process/al-tadrij fi al-tasyri). Di
         sinilah perlunya mengkaji al-Qur'an secara hermeneutik, guna
         memahami suasana psikologis latar belakang turunnya sebuah
         ayat (sabab nuzul) atau munculnya sebuah hadis (sabab
         wurud). Kedudukan perempuan pada masa Nabi sering dilukiskan
         dalam syair sebagai dunia mimpi (the dream of woman). Kaum
         perempuan dalam semua kelas sama-sama mempunyai hak dalam
         mengembangkan profesinya. Seperti dalam karier politik,
         ekonomi, dan pendidikan, suatu kejadian yang sangat langka
         sebelum Islam. Tidak ditemukan ayat atau hadits yang melarang kaum
         perempuan aktif dalam dunia politik. Sebaliknya al-Qur'an
         dan hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif
         menekuni berbagai profesi. Dalam Q., s. al-Tawbah/9:71 dinyatakan: "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
         perempuan, sebagian mereka adalah auliya bagi sebagian yang
         lain, mereka menyuruh mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang
         munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada
         Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat dari
         Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
         
 Kata awliya' dalam ayat tersebut di atas menurut Quraish
         Shihab mencakup kerjasama, bantuan, dari penguasaan;
         sedangkan "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala
         segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap
         penguasa.135
          Dalam beberapa riwayat disebutkan betapa kaum perempuan
         dipermulaan Islam memegang peranan penting dalam kegiatan
         politik. Q., s. al-Mumtahanah/60:12 melegalisir kegiatan
         politik kaum wanita: "Wahai Nabi, jika datang kepadamu kaum wanita
         beriman untuk melakukan bai'at dari mereka tidak akan
         mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri,
         tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak
         akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dari
         kaki mereka dari tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang
         baik, maka terimalah janji setia (bay'at) mereka dari
         mohonkanlah ampun kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya
         Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
 Istri-istri Nabi terutama 'A'isyah telah menjalankan
         peran politik penting. Selain 'A'isyah, juga banyak wanita
         lain yang terlibat dalam urusan politik, mereka banyak
         terlibat dalam medan perang, dari tidak sedikit di antara
         mereka gugur di medan perang, seperti Ummu Salamah (istri
         Nabi), Shafiyyah, Laylah al-Ghaffariyah, Ummu Sinam
         al-Aslamiyah. Sedangkan kaum perempuan yang aktif di dunia politik
         dikenal misalnya: Fathimah binti Rasulullah, 'A'isyah binti
         Abu Bakar, 'Atika binti Yazid ibn Mu"awiyah, Ummu Salamah
         binti Ya'qub, Al-Khayzaran binti 'Athok, dan lain
         sebagainya. Dalam bidang ekonomi wanita bebas memilih pekerjaan yang
         halal, baik di dalam atau di luar rumah, mandiri atau
         kolektif, di lembaga pemerintah atau swasta, selama
         pekerjaan itu dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, dari
         tetap menghormati ajaran agamanya. Hal ini dibuktikan oleh
         sejumlah nama penting seperti Khadijah binti Khuwaylid
         (istri Nabi) yang dikenal sebagai komisaris perusahaan,
         Zaynab binti Jahsy, profesinya sebagai penyamak kulit
         binatang, Ummu Salim binti Malhan yang berprofesi sebagai
         tukang rias pengantin, istri Abdullah ibn Mas'ud dan Qilat
         Ummi Bani Anmar dikenal sebagai wiraswastawan yang sukses,
         al-Syifa' yang berprofesi sebagai sekretaris dan pernah
         ditugasi oleh Khalifah 'Umar sebagai petugas yang menangani
         pasar kota Madinah. Begitu aktif kaum wanita pada masa Nabi,
         maka 'A'isyah pernah mengemukakan suatu riwayat "Alat
         pemintal di tangan wanita lebih baik dari pada tombak di
         tangan kaum laki-laki." Dalam riwayat lain Nabi pernah
         mengatakan "Sebaik-baik permainan seorang wanita muslimah di
         dalam rumahnya adalah
         memintal/menenun."136
          Jabatan kontroversi bagi kaum wanita adalah menjadi
         Kepala Negara. Sebagian ulama masih menganggap jabatan ini
         tidak layak bagi seorang wanita, namun perkembangan
         masyarakat dari zaman ke zaman pendukung pendapat ini mulai
         berkurang. Bahkan al-Mawdudi yang dikenal sebagai ulama yang
         secara lebih tekstual mempertahankan ajaran Islam sudah
         memberikan dukungan kepada Fatimah Jinnah sebagai orang
         nomor satu di
         Pakistan.137
          Dalam bidang pendidikan tidak perlu diragukan lagi,
         Al-Qur'an dan Hadits banyak memberikan pujian kepada
         perempuan yang mempunyai prestasi dalam ilmu pengetahuan.
         Al-Qur'an menyinggung sejumlah tokoh perempuan yang
         berprestasi tinggi, seperti Ratu Balqis, Maryam, istri
         Fir'awn, dari sejumlah istri Nabi. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi pernah
         didatangi kelompok kaum perempuan yang memohon kesediaan
         Nabi untuk menyisihkan waktunya guna mendapatkan ilmu
         pengetahuan. Dalam sejarah Islam klasik ditemukan beberapa
         nama perempuan menguasai ilmu pengetahuan penting seperti
         'A'isyah isteri Nabi, Sayyidah Sakinah, putri Husayn ibn
         'Ali ibn Abi Thalib, Al-Syekhah Syuhrah yang digelari dengan
         "Fikhr al-Nisa" (kebanggaan kaum perempuan), adalah salah
         seorang guru Imam Syafi'i, Mu'nisat al-Ayyubi (saudara
         Salahuddin al-Ayyubi), Syamiyat al-Taymi'yah, Zaynab, putri
         sejarawan al-Bagdadi, Rabi'ah al-Adaw'iyah, dan lain
         sebagainya. Kemerdekaan perempuan dalam menuntut ilmu pengetahuan
         banyak dijelaskan dalam beberapa hadits, seperti hadits yang
         diriwayatkan oleh Ahmad bahwa Rasulullah melaknat wanita
         yang membuat keserupaan diri dengan kaum laki-laki, demikian
         pula sebaliknya, tetapi tidak dilarang mengadakan
         perserupaan dalam hal kecerdasan dan amal
         ma'ruf.138
          Peran sosial perempuan dalam lintasan sejarah Islam
         mengalami kemerosotan di abad kedua, setelah para penguasa
         muslim kembali mengintrodusir tradisi hellenistik di dalam
         dunia politik. Tradisi hellenistik banyak mengakomodir
         ajaran Yahudi yang menempatkan kedudukan perempuan hampir
         tidak ada perannya dalam kehidupan masyarakat. Di samping
         itu, para ulama --diantaranya dengan sponsor pemerintah--
         sedang giat-giatnya melakukan standarisasi hukum dengan
         melaksanakan kodifikasi kitab-kitab fiqh dan kitab-kitab
         hadits. Apakah ada kaitan antara pembukuan dan pembakuan
         kitab fiqh dan proses penurunan peran perempuan, masih perlu
         diteliti lebih jauh. D. Perempuan dan Dosa Warisan
         Konsep teologi yang juga memberikan citra negatif kepada
         kaum perempuan ialah anggapan bahwa Hawa menjadi penyebab
         tergelincirnya Adam dari Sorga ke planet bumi. Karena
         rayuannya, Adam lengah lalu memakan buah terlarang
         menyebabkannya terlempar ke bumi. Akhirnya, kaum perempuan
         harus menanggung akibat lebih besar, seperti yang dapat
         dilihat dalam Kitab Talmud dan Bibel. Dalam Agama Yahudi, asal-usul terjadinya dosa asal
         (original sin) juga lebih banyak dipersalahkan kaum
         perempuan. Bahkan kalangan misogyny menganggap perempuan
         sebagai "setan betina" (female demon) yang harus selalu
         diwaspadai. 1. Kutukan terhadap Hawa dan Adam
         Dalam Kitab Talmud (Eruvin 100b) disebutkan bahwa akibat
         pelanggaran Hawa/Eva di Sorga maka kaum perempuan secara
         keseluruhan akan menanggung 10 beban penderitaan: 
            Perempuan akan mengalami siklus menstruasi, yang
            sebelumnya Hawa/ Eva tidak pernah mengalaminya.
            
            Perempuan yang pertama kali melakukan persetubuhan
            akan mengalami rasa sakit.
            
            Perempuan akan mengalami penderitaan dalam mengasuh
            dan memelihara anak-anaknya. Anak-anak membutuhkan
            perawatan, pakaian, kebersihan, dan pengasuhan sampai
            dewasa. Ibu merasa risih manakala pertumbuhan
            anak-anaknya tidak seperti yang diharapkan.
            
            Perempuan akan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri.
            
            Perempuan akan merasa tidak leluasa bergerak ketika
            kandungannya berumur tua.
            
            Perempuan akan merasa sakit pada waktu melahirkan.
            
            Perempuan tidak boleh mengawini lebih dari satu
            laki-laki.
            
            Perempuan masih akan merasakan hubungan seks lebih
            lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi.
            
            Perempuan sangat berhasrat melakukan hubungan seks
            terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat
            itu kepadanya.
            
            Perempuan lebih suka tinggal di
            rumah.139
         
          Mungkin banyak kaum perempuan dewasa ini tidak sadar
         kalau poin pertama sampai terakhir bukan sekedar peristiwa
         alami, tetapi oleh orang-orang yang mempercayai kitab itu
         diyakini sebagai bagian dari "kutukan" Tuhan terhadap
         kesalahan Hawa. Sedangkan kutukan yang ditimpakan kepada laki-laki, dan
         ini menarik untuk diperhatikan, adalah sebagai berikut: 
            Sebelum terjadi kasus pelanggaran (spiritual decline)
            postur tubuh laki-laki lebih tinggi dari pada bentuk
            normal sesudahnya.
            
            Laki-laki akan merasa lemah ketika ejakulasi.
            
            Bumi akan ditumbuhi banyak pohon berduri.
            
            Laki-laki akan merasa susah dalam memperoleh mata
            pencaharian.
            
            Laki-laki pernah makan rumput di lapangan rumput
            bersama binatang ternak, tetapi Adam memohon kepada Tuhan
            agar kutukan yang satu ini dihilangkan.
            
            Laki-laki akan makan makanan dengan mengeluarkan
            keringat di alisnya.
            
            Adam kehilangan ketampanan menakjubkan yang telah
            diberikan oleh Tuhan kepadanya.
            
            Ditinggalkan oleh ular yang sebelumnya telah menjadi
            pembantu setia laki-laki.
            
            Adam dibuang dari taman sorga dan kehilangan status
            sebagai penguasa jagat raya.
            
            Laki-laki diciptakan dari debu dan akan kembali
            menjadi debu. Ia ditakdirkan untuk mati dan
            dikubur.140
         
          Kutukan yang ditimpakan kepada kaum laki-laki, selain
         lebih lunak kutukan itu juga langsung atau tidak langsung
         menimpa kaum perempuan. Sebaliknya, kutukan terhadap
         perempuan lebih berat dan monumental serta hanya dialaminya
         sendiri, tidak dialami kaum laki-laki. Dalam Bibel juga dipersepsikan bahwa kaum laki-laki
         pantas memiliki superioritas di atas perempuan, sebaliknya
         kaum perempuan pada tempatnyalah mengabdikan diri kepada
         kaum laki-laki, karena selain diciptakan dari tulang rusuk
         Adam dan untuk melengkapi kesenangan Adam, juga dianggap
         penyebab langsung jatuhnya Adam dari syorga, seperti
         diungkapkan dalam Kitab Kejadian (3:12): "Manusia itu menjawab: "Perempuan yang kamu
         tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu
         kepadaku, maka
         kumakan".141
         
 Sebagai sanksi terhadap kaum perempuan antara lain
         dikatakan dalam Kitab Kejadian (3:16) "FirmanNya kepada perempuan itu: "Susah
         payahmu waktu mengandung akan kubuat sangat banyak, dengan
         kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan
         berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa
         atasmu."142
         
 Jika doktrin-doktrin tersebut dilihat dalam perspektif
         sejarah, maka Islam adalah suatu sistem nilai yang
         progressif pada zamannya. Ajaran-ajarannya yang kontroversi
         ketika itu tidak hanya dapat ditawarkan (accessible) tetapi
         juga dapat diterima (acceptable) dalam kurun waktu yang
         singkat. Dapat dibandingkan ajaran Bibel baru populer
         setelah 'Isa/Yesus meninggal, sedangkan Nabi Muhammad sempat
         menyaksikan ajarannya dianut di sekitar Timur-Tengah.
       |