V. Perspektif Jender Dalam Islam
(4/4)
oleh Nasaruddin Umar
Dosen IAIN Jakarta
Redaktur Pelaksana Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
2. Menstrual Taboo
Di antara kutukan perempuan yang paling monumental ialah
menstruasi. Teologi menstruasi ini kemudian menyatu dengan
berbagai mitos yang berkembang dari mulut ke mulut (oral
tradition) ke berbagai belahan bumi.
Teologi menstruasi dianggap berkaitan dengan pandangan
kosmopolitan terhadap tubuh wanita yang sedang menstruasi.
Perilaku perempuan di alam mikrokosmos diyakini mempunyai
hubungan kausalitas dengan alam makrokosmos.
Peristiwa-peristiwa alam seperti bencana alam, kemarau
panjang dan berkembangnya hama penyebab gagalnya panen
petani dihubungkan dengan adanya yang salah dalam diri
perempuan.
Darah menstruasi (menstrual blood) dianggap darah tabu
(menstrual taboo) dan perempuan yang sedang menstruasi
menurut kepercayaan agama Yahudi harus hidup dalam gubuk
khusus (menstrual huts), suatu gubuk khusus dirancang untuk
tempat hunian para perempuan menstruasi atau mengasingkan
diri di dalam goa-goa, tidak boleh bercampur dengan
keluarganya, tidak boleh berhubungan seks, dan tidak boleh
menyentuh jenis masakan tertentu. Yang lebih penting ialah
tatapan mata (menstrual gaze) dari mata wanita sedang
menstruasi yang biasa disebut dengan "mata iblis" (evil eye)
harus diwaspadai, karena diyakini bisa menimbulkan berbagai
bencana. Perempuan harus mengenakan identitas diri sebagai
isyarat tanda bahaya (signals of warning) manakala sedang
menstruasi, supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap
menstrual taboo.143
Dari sinilah asal-usul penggunaan
kosmetik144
yang semula hanya diperuntukkan kepada perempuan sedang
menstruasi. Barang-barang perhiasan seperti cincin, gelang,
kalung, giwang, anting-anting, sandal, selop, lipstik,
shadow, celak, termasuk cadar/jilbab ternyata adalah
menstrual creations.145
Upaya lain dalam mengamankan tatapan "mata iblis" ialah
dengan menggunakan kerudung/cadar (hoods/veils) yang dapat
menghalangi tatapan mata tersebut. Kalangan antropolog
berpendapat menstrual taboo inilah yang menjadi asal-usul
penggunaan kerudung atau cadar. Cadar atau semacamnya bukan
berawal dan diperkenalkan oleh Agama Islam dengan mengutip
"ayat-ayat jilbab"146
dan hadits-hadits tentang aurat. Jauh sebelumnya sudah ada
konsep kerudung/cadar yang diperkenalkan dalam Kitab
Tawrat147
dan Kitab Injil.148
Bahkan menurut Epstein, ketentuan penggunaan cadar sudah
dikenal dalam Hukum Kekeluargaan Asyiria (Assyrian
Code):
The tradition that women veil themselves when
they go out in public a very old in the orient. Probably
the first reference is to be found in the Assyirian Code,
where it a ruled that wives, daughters, widows, when,
going out in public, must be
veiled.149
(Tradisi penggunaan kerudung ke tempat-tempat umum
sudah berlangsung sejak dahulu kala di Timur. Kemungkinan
referensi paling pertama ditemukan ialah di dalam hukum
Asyiria, yang mengatur bahwa: isteri, anak perempuan,
janda, bilamana pergi ke tempat-tempat umum harus
menggunakan kerudung).
Asal-usul penggunaan cadar atau kerudung dan berbagai
macam kosmetik lainnya, menurut kalangan antropologis,
berawal dari mitos menstrual taboo, yaitu untuk mencegah "si
mata Iblis" dalam melakukan
aksinya.150
Penggunaan cadar/kerudung
(hood)151
pertama kali dikenal sebagai pakaian perempuan menstruasi.
Kerudung dan semacamnya semula bertujuan untuk menutupi
tatapan mata terhadap cahaya matahari dan sinar bulan,
karena hal itu dianggap tabu dan dapat menimbulkan bencana
di dalam masyarakat dan lingkungan alam.
Kerudung dari semacamnya semula dimaksudkan sebagai
pengganti "gubuk pengasingan" bagi keluarga raja atau
bangsawan. Keluarga bangsawan tidak perlu lagi mengasingan
diri di dalam gubuk pengasingan tetapi cukup menggunakan
pakaian khusus yang dapat menutupi anggota badan yang
dianggap sensitif. Dahulu kala perempuan yang menggunakan
cadar hanya dari keluarga bangsawan atau orang-orang yang
terhormat, kemudian diikuti oleh perempuan non-bangsawan.
Peralihan dan modifikasi dari gubuk pengasingan menstrual
hut menjadi cadar (menstrual hood) juga dilakukan di New
Guinea, British Columbia, Asia, dan Afrika bagian Tengah,
Amerika bagian Tengah, dan lain sebagainya. Bentuk dan bahan
cadar juga berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat
yang lain. Bentuk cadar di Asia agak lonjong menutupi kepala
sampai pinggang dan bahannya juga bermacam-macam; ada yang
dari serat kayu yang ditenun khusus dan ada yang dari wol
yang berasal dari bulu domba.152
Selain mengenakan cadar perempuan haid juga menggunakan
cat pewarna hitam (cilla') di daerah sekitar mata guna
mengurangi ketajaman pandangan matanya. Ada lagi yang
menambahkan dengan memakai kalung dari bahan-bahan tertentu
seperti dari logam, manik-manik, dan bahan dari tengkorak
kepala manusia.
Diskursus mengenai cadar, jilbab, kerudung dan
semacamnya, sesungguhnya bukan persoalan baru dalam sejarah
kaum perempuan. Masyarakat tradisional dahulu kala sudah
pernah muncul perdebatan seru. Apakah boleh perempuan yang
bukan bangsawan menggunakan cadar/kerudung sebagai pengganti
pengasingan di gubuk menstruasi. Agama Yahudi dan
selanjutnya dalam agama Kristen, dua agama besar sebelum
Islam juga telah mewajibkan penggunaan kerudung bagi kaum
perempuan. Yang jelas tradisi penggunaan kerudung, jilbab,
dan cadar sudah ada jauh sebelum ayat-ayat jilbab
diturunkan.
3. Haydl dalam Islam
Istilah menstruasi dalam literatur Islam disebut
haydl.153
Dalam al-Qur'an hanya disebutkan empat kali dalam dua ayat;
sekali dalam bentuk fi'l mudlari/present and future (yahidl)
dan tiga kali dalam bentuk ism mashdar
(al-mahidl).154
Dari segi penamaan saja, kata haydl sudah lepas dari
konotasi teologis seperti agama-agama dan kepercayaan
sebelumnya. Masalah haydl dijelaskan dalam Q., s.
al-Baqarah/1:222:
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang
haidh. Katakanlah: "Haydl itu adalah 'kotoran' oleh
karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haydl; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum
mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah
mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Sebab turunnya ayat itu dijelaskan dalam hadits riwayat
Imam Ahmad dari Anas, bahwa bilamana perempuan Yahudi sedang
haydl, masakannya tidak dimakan dan tidak boleh berkumpul
bersama keluarga di rumahnya. Salah seorang sahabat
menanyakan hal itu kepada Nabi, kemudian Nabi berdiam
sementara maka turunlah ayat tersebut di atas. Setelah ayat
itu turun, Rasulullah bersabda "lakukanlah segala sesuatu
(kepada isteri yang sedang haydl) kecuali bersetubuh".
Pernyataan Rasulullah ini sampai kepada orang-orang Yahudi,
lalu orang-orang Yahudi dan mantan penganut Yahudi seperti
shock mendengarkan pernyataan tersebut. Apa yang selama ini
dianggap tabu tiba-tiba dianggap sebagai "hal yang alami"
(adzan). Kalangan mereka bereaksi dengan mengatakan apa yang
disampaikan oleh laki-laki itu (Rasulullah) adalah suatu
penyimpangan dari tradisi besar kita. Usayd ibn Hudlayr dan
Ubbad ibn Basyr melaporkan reaksi tersebut kepada
Rasulullah; lalu wajah Rasulullah berubah karena merasa
kurang enak terhadap reaksi
tersebut.155
Rasulullah dalam banyak kesempatan menegaskan kebolehan
melakukan kontak sosial dengan wanita haid. Rasulullah
kembali menegaskan bahwa: "Segala sesuatu dibolehkan
untuknya kecuali kemaluannya (faraj)", "Segala sesuatu boleh
untuknya kecuali bersetubuh (al-jima')". Bahkan Rasulullah
seringkali mengamalkan kebolehan itu dalam bentuk praktek.
Riwayat lain yang secara demonstratif disampaikan 'A'isyah,
antara lain, 'A'isyah pernah minum dalam satu bejana yang
sama dalam keadaan haydl, juga pernah menceritakan
Rasulullah melakukan segala sesuatu selain bersetubuh
(jima') sementara dirinya dalam keadaan haid, juga darah
haydl dan bekasnya yang terdapat dalam pakaian 'A'isyah;
sama sekali Rasulullah tidak memperlihatkan perlakuan taboo
terhadapnya.156
Jika diteliti lebih cermat, meanstream ayat di atas
sesungguhnya bukan lagi haydl-nya itu sendiri tetapi pada
al-mahidl-nya atau "tempat" keluarnya darah itu (mawdhi
'al-haydl), karena Tuhan menggunakan kata al-mahidl, bukan
al-haydl. Walaupun kedua kata itu sama-sama dalam bentuk
mashdar/verbal noun tetapi yang pertama menekankan "tempat"
haid (mawdhi 'al-haydl) sedangkan yang kedua menekankan
"waktu" dan "zat" haid ('ayn al-haydl) itu sendiri.
Banyak mufassir menyamakan atau tidak menegaskan
perbedaan pengertian kedua istilah tersebut. Pada hal
menyamakan atau membedakan pengertian tersebut masing-masing
mempunyai makna yang berbeda, bahkan lebih jauh akan
berimplementasi kepada persoalan hukum. Kalau al-mahidl
diartikan sama dengan al-haydl, maka ayat tersebut berarti
jauhilah perempuan itu pada waktu haydl artinya dilarang
bergaul dan bersenang-senang, dan ini jelas menyalahi
struktur makna yang dikehendaki Sang Mukhathab. Akan tetapi
kalau yang dimaksud ayat itu ialah al-mahidl dalam arti
mawdhi 'al-haydl, maka ayat itu berarti jauhilah tempat
haydl dari perempuan itu. Penggunaan logika yang kedua ini
menjadi jelas tanpa harus lagi ada "penghapusan" (nasakh)
atau pengkhususan (takhshish). Kalau yang dimaksud al-mahidl
yakni al-haydl maka akan menimbulkan kejanggalan dalam
pengertian, karena yang bermasalah
(adzan)157
dalam lanjutan ayat itu ialah waktu haid (zaman al-haydl),
bukan tempat haid (mawdhi' al-haydl), jadinya tidak logis
dalam pengertian (ghayr ma'qul al-ma'na) karena sesungguhnya
yang bermasalah (adzan) ialah mawdhu'-nya. Haydl itu sendiri
bukan adzan karena haydl hanya di-'ibirah-kan dengan darah
yang khusus.
Al-Razi dalam tafsirnya memberikan alternatif lain dengan
mengatakan bahwa kalimat al-mahidl yang pertama berarti
al-haydl, sedangkan yang kedua berarti tempat
haid.158
Implementasi dari pengertian ini ialah persoalan haid
sebagaimana yang ditanyakan sahabat Nabi dan sekaligus
menjadi sabab nuzul ayat itu hanyalah persoalan
fisik-biologis, tempat keluarnya darah haidh itu bukan
persoalan tabunya darah haid seperti yang dipersepsikan oleh
umat-umat terdahulu.
Perintah untuk "menjauhi" (fa'tazilu) dalam ayat di atas
bukan berarti menjauhi secara fisik (li al-tab'id) tetapi
memisahkan atau menghindarkan diri untuk tidak berhubungan
langsung (i'tizal). Sedangkan darah haid disebut al-adzan
karena darah tersebut adalah darah tidak sehat dan tidak
diperlukan lagi oleh organ tubuh wanita. Bahkan kalau darah
itu tinggal di dalam perut akan menimbulkan masalah, karena
itulah disebut adzan.
Mengenai pembersihan diri
(thaharah)159
dari haydl, dalam Islam tidak pula dikenal adanya upacara
ritual khusus seperti dalam agama Yahudi dan
kepercayaan-kepercayaan sebelumnya. Jumhur ulama berpendapat
bahwa sesudah hari ketujuh160
ia sudah dapat dianggap bersih setelah mandi, kecuali Abu
Hanifah berpendapat tidak harus mandi tapi cukup
membersihkan tempat keluarnya darah haid dan juga tidak
perlu menunggu tujuh hari. Sekalipun kurang tujuh hari kalau
sudah merasa bersih sudah dapat melakukan ibadah secara
rutin.161
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Auza'i dan Ibn
Hazm.162
Dari gambaran tersebut di atas dapat dipahami bahwa
ajaran Islam tidak menganut faham menstrual taboo,
sebaliknya berupaya mengikis tradisi dan mitos masyarakat
sebelumnya yang memberikan beban berat terhadap kaum wanita.
Seperti mitos tentang wanita haid seolah-olah ia tidak
dipandang dan diperlakukan sebagai manusia, karena selain
harus diasingkan juga harus melakukan berbagai kegiatan
ritual yang berat.
E. Penutup
Banyak hal yang perlu diluruskan dalam persepsi
masyarakat tentang perempuan. Terutama anggapan sadar dan
bawah sadar bahwa kaum laki-laki lebih utama dari pada kaum
prempuan. Semenjak dahulu kala, orang banyak berbicara
tentang ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamin tetapi
hasilnya belum banyak mengalami kemajuan. Persepsi itu
memang sulit dihilangkan karena berakar dari atau didukung
oleh ajaran teologi. Padahal Max Weber pernah menegaskan
bahwa tidak mungkin mengubah perilaku masyarakat tanpa
mengubah sistem etika, dan tidak mungkin mengubah etika
tanpa meninjau sistem teologi dalam masyarakat.
Diskursus mengenai perempuan seringkali terlalu tematis,
sehingga dilupakan persoalan asasinya. Para feminis telah
banyak mencurahkan perhatian untuk mengangkat harkat dan
martabat kaum perempuan, tetapi tidak sedikit perempuan
merasa enjoy di atas keprihatinan para feminis tersebut.
Mereka percaya bahwa perempuan ideal ialah mereka yang bisa
hidup di atas kodratnya sebagai perempuan, dan kodrat itu
dipahami sebagai takdir (divine creation), bukan konstruksi
masyarakat (social consttuction).
Dalam praktek terkadang sulit dibedakan mana pesan yang
bersumber dari doktrin agama dan mana yang bersumber dari
mitos. Agama pada hakekatnya menjadikan manusia sebagai
subjek dan sekaligus sebagai objek. Pesan-pesan agama untuk
kemaslahatan manusia mestinya dapat dijangkau oleh umat
(mukallaf). Sedangkan pesan yang lahir dari mitos seringkali
memberikan muatan lebih (over loads). Untuk itu, perlu
adanya reidentifikasi masalah dan reinterpretasi
sumber-sumber ajaran agama.
Islam tidak sejalan dengan faham patriarki mutlak, yang
tidak memberikan peluang kepada perempuan untuk berkarya
lebih besar, baik di dalam maupun di luar rumah. Al-Qur'an
tidak memberikan penegasan tentang unsur dan asal-usul
kejadian laki-laki dan perempuan, tidak juga mengenal konsep
dosa warisan, dan skandal buah terlarang adalah tanggung
jawab bersama Adam dan Hawa. Perbedaan anatomi
fisik-biologis antara laki-laki dan perempuan tidak
mengharuskan adanya perbedaan status dan kedudukan.
|